Rabu, 15 Juni 2011

Tahu budi bahasa

    Abdurrahman anak seorang yang kaya raya. Dirumahnya ia hidup selalu dengan kemewahan. Minum-makannya dijaga oleh beberapa bujangnya. Tempat makannya itu didalam sebuah bilik yang besar dan indah. Ditengahnya ada sebuah meja yang bagus dikelilingi oleh kursi-kursi yang bagus pula. Perkakas makannya halus-halus dan mahal-mahal harganya. Biarpun ia semanja itu, Adburrahman pandai juga merendahkan hatinya. Kerendahan hatinya itu terbukti pada suatu hari.

    Pada suatu hari Abdurrahman dipanggil oleh seorang biasa saja, yang hendak berjamu sedikit akan melepaskan nazarnya. Abdurrahman pergilah kerumah orang itu.

    Maka kata adiknya : "Mengapa kakak pergi kesana? Tak ada disana, lain dari pada makanan yang biasa saja. Katakan sajalah kakak tak sempat, karena banyak urusan."

    Jawab Abdurrahman : "Salah pikiran adik itu. Panggilan yang semacam itu sedapat-dapatnya jangan kita tolak. Karena ia memanggil itu betul-betul dengan hati bersih. Bukanlah karena ia hendak melagak atau hendak memperlihatkan kemewahannya. Dan lagi rezeki itu, bagaimanapun kecilnya harus kita terima dengan syukur; karena semuanya itu kemurahan Allah jua. Sebab itu saya perlu memuliakan panggilannya itu."

    Pada waktu yang telah ditentukan, pergilah Abdurrahman kerumah orang miskin itu. Ketika akan masuk ia memberi salam, lalu duduk bersama-sama jamu yang lain. Dilihatnya perjamuan itu memang sangat sederhana sekali. Piring mangkuknya murah-murah harganya dan sudah tua-tua, tetapi bersih.

    Maka makanlah Abdurrahman bersama-sama dengan jamu yang lain. Makannya enak dan minumnya sejuk. Tak nampak sedikit juga, bahwa ia memandang rendah kepada makanan itu. Makanlah ia sehingga kenyang sebagai jamu yang lain juga. Bukan main senang hati orang miskin itu, melihat perbuatan Abdurrahman demikian itu. Sangkanya anak orang kaya itu akan makan sesuap dua suap saja, sebab makanan yang tersedia tiada yang enak-enak sebagai makanannya tiap-tiap hari. Sesudah makanpun Abdurrahman memuji-muji sambil mengucap : Alhamdulillah. Tak ada bedanya dengan jamu yang lain.

    Waktu akan pulang ia tak pula lupa minta terima kasih akan kebaikan hati orang itu.

    Melihat itu bukan main senang hatinya yang punya rumah. Pada suatu hari terkenanglah pula oleh Abdurrahman hendak menjamu sahabat-sahabatnya. Maka dipanggilnyalah mereka itu sesudah sembahyang Jum'at. Orang yang memanggilnya dahulu itu tiada pula ketinggalan. Kepada pelayannya disuruh sediakannya makanan yang sederhana saja. Tidak duduk dimeja dan kursi, tidak memakai sendok dan garpu, melainkan duduk bersila ditikar dan makan disuap dengan tangan.

    Setelah jamu pulang, adik-adik Abdurrahman lalu berkata, katanya : "Heran benar kami memikirkan, apa sebabnya jamu kakak itu kakak rendahkan? Duduk ditikar, makan dengan tangan, tidak memakai sendok dan garpu, sebagai kebiasaan tiap-tiap hari. Tak ada ubahnya sebagai perjamuan orang kampung yang biasa saja. Tidakkah nanti perbuatan kakak itu jadi ejekan orang?"

    Jawab Abdurrahman : "Adikku semuanya, sebabnya saya buat seperti tadi,ialah karena hendak memelihara hati sahabat-sahabat saya yang tidak berada. Kalau kita sediakan sebagaimana biasa, tentulah mereka itu akan canggung memakai sendok dan garpu itu. Akhirnya mereka itu malu. Memberi malu orang itu, lebih-lebih memberi malu sahabat, adalah perangai yang tak baik sekali. Orang yang tahu budi bahasa, tiadalah akan berbuat seperti itu, adik-adikku?"

    Mendengar itu adik-adik Abdurrahman tiada berkata-kata lagi. Kata kakaknya terasa olehnya semuanya.



( Bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



Tidak ada komentar: