Rabu, 28 November 2012

Terang Bulan


Malam ini langit jernih. Beribu-ribu bintang bergemerlapan serta bulan sebesar nyiru nampaknya. Kata orang, malam ini bulan purnama. Angin berhembus dengan lemah lembut; daun kayu bergoyang perlahan-lahan. Sedap benar waktu itu duduk diluar rumah. Hampir pada tiap-tiap halaman ada orang duduk-duduk makan angin.

Anak-anak pun banyak yang bermain-main diluar sampai jauh malam; ada yang main galah panjang, ada yang main bersembunyi-sembunyian.

Ketika si Amat dan si Ali tiada serta bermain dengan teman-temannya, sebab  si Amat akan berceritera. Emak dan bapaknya serta kedua saudaranya duduk dihalaman mendengarkan si Amat berceritera, yang didengarnya tadi siang disekolah. Kata si Amat : “Mak, ceritera ini bagus benar, tetapi panjang sedikit.”

“Biarlah”, sahut si Isah dan si Ali serempak, “Ceriterakanlah, kami dengar!”

Pak Amat duduk ditikar sambil menghisap rokok daun yang diisi dengan kemenyan, supaya harum baunya. Emak dan bapak anak-anak itu ingin juga mendengarkan ceritera si Amat.

Ceritera :
Kata orang : pada jaman dulu, yaitu ketika sekalian binatang pandai berkata-kata sebagai manusia, adalah dua orang bersaudara. Yang sulung bernama Lokek dan yang bungsu bernama dermawan. Lokek itu kaya, sawah ladangnya banyak, uangnya tiada sedikit. Tetapi ia sangat kikir, sehingga tiada pernah memberi sedekah barang sedikit juapun kepada orang miskin. Lain benar halnya dengan dermawan; meskipun nasinya sepinggan, suka ia membagi dengan orang minta-minta. Ia pengasih-penyayang kepada fakir miskin.

Pada suatu hari, pergilah Dermawan mendapatkan saudaranya akan meminta tolong, karena berasnya sudah habis dan padi disawahnya baru hampir masak.

Tatkala ia sampai kerumah abangnya, bukan pertolongan yang diperolehnya, melainkan kata yang pedih-pedih yang didengarnya, serta dimarah-marahi oleh abangnya. Akhirnya diberinya jualah oleh abangnya beras secupak dan ikan sedikit.

Dengan sedih hati, pulanglah Dermawan kerumahnya. Ditengah jalan bertemulah ia dengan seorang-orang tua yang sangat miskin. Badannya kurus, hampir tak dapat berjalan. Maka Dermawanpun lupalah akan kesusahannya. Dihampirinya orang tua itu, lalu dibawanya pulang kerumahnya. Disitu disuruhnya orang tua itu tidur diatas balai-balai tempatnya tidur. Kata Dermawan : “Pak, berbaring-baringlah disana dulu, sementara hamba memasak nasi untuk bapak.”

“Terimakasih, nak. Janganlah bersusah-susah benar! Kalau bapak dapat tidur sedikit, tentu badan bapak akan segar.”

Ceritera (sambungan) :
Sementara orang tua itu tidur-tidur, bekerjalah Dermawan didapur yang tak banyak perkakasnya. Ketika selesailah pekerjaannya, disediakannya makanan untuk orang tua yang sakit itu.

Bukan main besar hatinya melihat perbuatan Dermawan itu. Lalu makanlah ia bersama-sama dengan yang empunya rumah, sedikit seorang.

Pada malam itu Dermawan menahani orang tua itu tidur dirumahnya. Pada keesokan harinya bermohonlah orang tua itu akan meneruskan perjalanannya. Sebelum ia berangkat, berkatalah ia : “Hai orang muda, berbahagialah engkau, karena engkau baik hati benar. Bapak tiada dapat membalas budimu. Ambillah pemberian bapak ini akan jadi tanda mata.” Lalu diberikannya sebuah lesung kecil dari pada perak. Katanya pula : “Barang apa yang kau ingini katakanlah : Tumbuk, tumbuk, tumbuk! Jangan lebih , jangan kurang. Kalau menyuruh berhenti, kau tumbukkan antannya tiga kali ketanah.”

Belum lagi dapat Dermawan mengucapkan terima kasih, orang tua itu sudah lenyap dari pemandangannya, sehingga tercengang-cenganglah ia.

Pada malamnya dipanggil Dermawanlah orang-orang miskin kerumahnya; dijamunya makan minum dengan selengkapnya.Sekalian makanan dan minuman itu diperolehnya dari lesung peraknya itu.

Sekarang si Dermawan telah menjadi seorang yang berada; meskipun demikian, sekali-kali tak berubah hatinya. Tatkala kabar ini sampai kepada saudaranya, timbullah niat jahat dalam hati saudaranya itu; ia mencuri lesung adiknya .

“Wah, jahat benar hatinya,” kata si Isah dan si Ali. “Coba kalau saya ada disitu, tentu saya sorakkan ia mencuri,” kata si Ali pula. Si Amat meneruskan ceriteranya :

Pada suatu malam datanglah Lokek mendapatkan adiknya. Dengan besar hati diterima Dermawanlah abangnya bermalam dirumahnya.

Maka bertanyalah Lokek dari hal lesung bertuah itu. Oleh karena Dermawan tidak berhati jahat, tiadalah ia menyangka apa-apa yang buruk; semuanya diceriterakannya seterang-terangnya. Waktu tengah malam, ketika orang sedang tidur nyenyak, dicuri Lokeklah lesung itu, lalu dibawanya berlayar.

“Cih.., jahat benar si Lokek,” seru si Isah.

“Namanyapun si Lokek,” jawab bapaknya.

Ceritera (penutup) :
‘Sudah itu,” kata si Amat, “Berlayarlah kapal yang ditumpanginya menuju negeri yang jauh.

Pada suatu hari dikeluarkan lesung yang dicurinya. Alangkah besar hatinya melihat lesung itu! Pikirnya, apabila ia sampai kenegeri baru itu, akan disuruhnya tumbuk emas banyak-banyak; tentulah ia akan kaya.

Tengah ia berpikir demikian, didengarnya orang berkata, bahwa dikapal kekurangan garam.

“Inilah waktu yang baik akan mencoba kesaktian lesung ini,” pikir Lokek dalam hatinya. Sebentar itu juga dipanggilnya orang kapal, dikatakannya kepada mereka itu, ia sanggup mengadakan garam. Sekalian mereka itu sangat heran dan masing-masing hendak mengetahui, bagaimana jalannya. Dikeluarkan Lokek lesung itu, diletakkan diatas meja, lalu katanya : “Tumbuk, tumbuk, tumbuk garam!” Lesung itu menumbuklah, sehingga berhamburanlah garam keluar. “Sudah, sudah  cukup,” seru anak-anak kapal. Akan tetapi antan itu tak mau berhenti. Lokekpun hilanglah akalnya.  Dicarinya tanah, tak ada; karena ia tergopoh-gopoh berangkat, lupalah ia membawa tanah, jadi tak dapat ia menyuruh berhenti menumbuk.

Bertambah lama, bertambah banyak garam bertimbun dalam kapal itu, akhirnya tenggelamlah. Sampai sekarang antan itu masih menumbuk juga, sebab itu air laut asin rasanya.

“Bagaimana si Lokek, bang?” Tanya si Ali.
“Ia mati terbenam.”
“Itu bagus, itu bagus. Sudah habis ceriteranya, bang?”
“Sudah.”
“Mari kita tidur!” kata ibu anak-anak itu. “Hari sudah jauh malam.”

Mak Isah kelima beranak masuklah kedalam dan tiada berapa lamanya sunyi senyaplah dalam kampong, hanya bunyi cengkerik saja yang kedengaran.


 
(Bersumber dari buku : “Dikampung”)



Minggu, 18 November 2012

Kitab si Dahlan

Sudah makan tengah hari adik si Dahlan tidur. Si Isah menolong ibunya mencuci piring mangkuk disumur,bekas makan tadi. Si Dahlan, si Amat dan si Ali pergi kehalaman muka duduk dibawah pohon asam yang rimbun daunnya. Si Aziz ada juga bersama-sama. Sejuk hawa disitu! Tiba-tiba teringatlah oleh si Dahlan kitabnya yang baru dibelikan orang tuanya. Ia berlari kerumah mengambil kitab itu yang terletak dalam bungkusan baju adiknya.

“Ini dia, Mat!” kata si Dahlan sambil mengunjukkan kitabnya kepada si Amat, tatkala ia sudah kembali ketempat tadi. Si Amat membalik-balik halamannya. Didalamnya adalah gambaran yang bagus-bagus.

“Bila kau peroleh kitab ini, Lan?” Tanya si Amat.

“Kemarin dulu. Banyak ceriteranya yang bagus bagus. Yang sedih sekali  ceritera anak dengan burung.”

“Bacalah, Lan,” seru si Ali. Dalam hatinya ia berpikir : “Lekaslah aku masuk sekolah, lekaslah aku pandai membaca dan menulis seperti si Dahlan dan Abangku.”

Si Dahlan mulai membaca :

SENANG dan SUSAH
Adalah seorang anak yang bernama si Mansur. Tabiatnya kasar dan pemalas. Lebih suka berjalan-jalan dari pada menolong orang tuanya atau menyudahkan pekerjaan sekolah.

Pada suatu hari ia tiada bersekolah. Ia berjalan kesana kemari sambil membawa sebuah katapel atau pelanting. Sesampainya dekat kebun pak HUsin, kelihatan olehnya seekor burung sedang memberi makan anaknya yang masih kecil-kecil.

Pikir si Mansur : “Coba kupasang dia”. Lalu diambilnya batu, ditembaknya, tetapi untung tidak kena. Burung itu terkejut, lalu terbanglah kesana-kemari; anaknya mencicit-cicit memanggil induknya. Induk burung itupun hinggap pula pada tepi sarangnya, tetapi ……….. tiba-tiba sebuah batu mengenai dadanya. Sesa’at itu juga gugurlah ia kebumi dengan tiada bernapas lagi. Si Mansur tertawa. Sangkanya ia sudah pandai benar menembak. Diangkatnya burung yang telah mati itu, dicampakkannya ketepi jalan. Sudah itu iapun meneruskan perjalanannya. Dari jauh terdengarlah cicit anak-anak burung yang sekarang tiada beribu lagi.

“Aduh, kasihan,” kata si Amat. Si Ali berdiam diri saja; air matanya tampak berlinang-linang.

Senang dan susah (sambungan) :
Malamnya turunlah angina rebut disertai hujan yang seperti dicurahkan dari langit. Hawa udara terasa sejuk. Makin jauh malam, makin dingin. Si Mansur tidur nyenyak benar;  badan dan kepalanya ditutupinya dengan selimut tebal, sehingga tiada terasa lagi olehnya sejuk malam itu.

……………………………………….

“Cit, cit …,” teriak anak-anak burung yang tiada lagi berinduk itu. Perutnya lapar, badannya dingin, tetapi induknya tak ada lagi yang akan menutupinya dengan sayapnya dan memberi makan apabila lapar.

Hujan terus saja dan anginpun bertiup tak henti-hentinya. Pada keesokan harinya lalu pula si Mansur dekat pohon tempat ia membunuh burung kemarin. Dalam hatinya ia hendak mengambil sarang burung itu; lalu dipanjatnya dengan segera. Tetapi tak ada gunanya; keempat anak burung itu tiada bernapas lagi. Si Mansurpun turunlah dan meneruskan perjalanannya.

Sebuah batu kecil ditangan yang bengis sudah menghilangkan nyawa lima ekor burung.

Belum berapa lama ia berjalan, kelihatan olehnya seekor anjing besar, tidur ditepi jalan.

Iapun berpikir : “Baiklah aku lanting anjing itu”. Diambilnya sebuah batu, diletakkannya pada kulit katapelnya.  Sebentar lagi kedengaranlah dengking anjing yang kesakitan.

Tetapi apakah itu?

“Aduh, aduh,” teriak si Mansur. “Aduh, aduh!”

Tak kala anjing itu melihat siapa yang menyakitinya, sebentar itu juga dikejarnya si Mansur yang berlari sekencang-kencangnya. Oleh karena ia melihat kebelakang, kakinya terantuk pada batu, iapun tersungkur ketanah. Sebentar itu juga anjing itu menggigit kakinya, sehingga nerdarah-darah.

Orang kampung datanglah menolong si Mansur yang nakal itu; dibawa mereka itu dia pulang kerumah orang tuanya. Sebulan lamanya ia terpaksa tinggal ditempat tidur.

Semenjak itu, apabila ia hendak mengusik binatang, terbayanglah dimatanya burung yang dibunuhnya dahulu, anjing yang disakitinya dan luka pada kakinya yang sampai sekarang masih berbekas.

 

(Bersumber dari buku : “Dikampung”)

 
   
 

Rabu, 07 November 2012

Ceritera zaman Nabi Nuh


Kata yang empunya ceritera, pada zaman dahulu kala, waktu Nabi Allah Nuh memerintah, terjadilah air bah yang sangat besar. Dunia ini habis tenggelam. Tidak ada setelempap tanah tempat berdiri. Sekalian manusia habis mati. Hanyalah ada delapan puluh orang laki-laki dan perempuan yang masih hidup, yakni orang yang beriman kepada Nabi Allah Nuh dan menjunjung tinggi perintah-perintahNYA. Lain daripada itu adalah beberapa ekor binatang. Semuanya mengikut kemana juga Nabi Nuh pergi.

Oleh Nabi Allah Nuh dibuatlah sebuah kapal yang amat besar. Dengan kapal itulah Nabi Allah Nuh membawa rakyatnya dan segala binatang-binatang itu. Entah berapa lamanya mereka terkatung-katung ditengah laut, tak tentu arah dan tujunya. Kata setengah cerita adalah 14 hari dan 14 malam lamanya.

Pada suatu hari surutlah air bah yang sangat hebat itu. Tetapi daratan belumlah juga kelihatan. Maka dititahkan oleh Nabi Allah Nuh seekor burung garuda akan mencari daratan.

Maka burung garuda itu terbanglah membubung keudara. Setelah berapa lamanya ia beredar kesana kemari, tampaklah olehnya setumpak daratan. Dilihatnya disana banyak mayat dan bangkai binatang bertimbun-timbun. Maka dimakannyalah bangkai itu sekenyang-kenyangnya. Setelah sudah ia makan barulah ia pulang mendapatkan Nabi Allah Nuh.

Sabda Nabi Allah Nuh : “Hai garuda, adakah engkau bertemu dengan daratan?”

Jawab garuda : “Ada, ya Nabi Allah, jauh tempatnya dari sini.”

Sabda Nabi Allah Nuh pula : “Manakah tandanya engkau bertemu dengan daratan itu?”

Burung garuda itu tak dapat menjawab. Tak ada tanda yang dibawanya.

Maka Nabi Allah Nuh bertitahlah kepada burung dara : “Hai burung dara pergilah engkau mencari daratan ! Dan bawalah tanda daratan itu kelak.”

Maka burung darapun terbang pulalah mencari daratan. Sedang terbang berpikir ia dalam hatinya, pikirnya : “Sedangkan garuda yang besar dan gagah perkasa itu tidak dapat membawa tanda daratan itu. Apalagi aku yang lemah ini? Tetapi biarlah kuusahakan juga.

Iapun terbanglah menuju keudara. Dengan kehendak Allah tampaklah olehnya daratan. Maka turunlah ia disana. Tanahnya masih lumpur dan merah warnanya. Pikir burung dara dalam hatinya : “Bagaimanakah aku akan membawa tandanya? Sebutir tanah tak ada yang dapat aku patuk. Sekaliannya lumpur cair sebagai air.”

Burung dara itu termenunglah beberapa lamanya. Akhirnya dapatlah olehnya suatu akal. Kakinya dan paruhnya direndamkannya kedalam lumpur yang sebagai darah itu. Kemudian terbanglah ia kembali mendapatkan nabinya.

Setelah sampai bertanyalah Nabi Allah Nuh : “Hai burung dara, adakah engkau bertemu dengan daratan itu?”

Jawab burung dara : “Ada, ya Nabi Allah. Inilah tandanya pada kaki dan paruh hamba. Lumpurnya yang merah hamba patuk dan hamba pijak, sehingga kaki dan paruh hamba menjadi merah.”

Nabi Allah Nuh melihatlah kepada kaki dan paruh burung dara itu. Maka percayalah ia.

Nabi Allah Nuh lalu bertitah pula, sabdanya : “Hai burung dara, untuk pembalas jasamu itu engkau hendak kuberi suatu tanda kehormatan, yakni dokoh seuntai.” Lalu Nabi Allah Nuh menggantungkan dokoh yang amat indah dileher burung dara itu.”

Kata burung dara itu : “Ya Nabi Allah, janganlah hamba diberi dokoh ini. Nanti binatang-binatang lain iri hatinya dan hamba tentu dibunuhnya.”


Burung Dara (Merpati)  (google/kaskus)
Kata Nabi Allah Nuh : “Hai burung dara, janganlah engkau kuatir. Dokoh itu hanya tampak olehmu saja, sedang oleh binatang-binatang dan burung-burung yang  lain hanya tampak sebagai bulu biasa.”

Mendengar itu senanglah hati burung dara menerima pemberian nabinya. Kata yang punya ceritera, itulah sebabnya bulu yang dileher burung dara sampai sekarang berkilat-kilat sebagai emas, yaitu dokoh kehormatan yang diberikan Nabi Allah Nuh dahulu. Dan itu pulalah sebabnya kaki dan paruhnya merah, yakni bekas lumpur, waktu nenek moyangnya mencari daratan.


 

(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)



   
 

 

 

Minggu, 04 November 2012

Menuang Air secara lebih cepat

Pada kehidupan yang ada, sering kita menggunakan dengan apa yang namanya air.
Namun kadang kita kurang seberapa perhatian tentang air tersebut.

Berikut kami lihat beberapa waktu yang lalu, dari sebuah tayangan teve.
Tentang menuang air dari sebuah bejana/botol, secara lebih cepat.

Mungkin kita menganggap bahwa cara pada gambar C, adalah yang lebih cepat.
 


 
Tetapi pada kenyataannya, cara pada gambar D, adalah yang lebih cepat.

Yakni : Menuang air, kemudian sambil menggerak/goyang2-kan botol tersebut.


Kurang percaya?

Silahkan buktikan sendiri! à bila perlu gunakan alat pengukur waktu yang akurat.

 


     '

Kamis, 01 November 2012

Riwayat Nabi Yusuf


Nabi Yakub beranak dua belas orang laki-laki. Amat sayang ia kepada anak-anaknya itu. Tetapi yang disayanginya benar, ialah anaknya yang kesebelas, Yusuf namanya. Bukan karena kecantikan parasnya saja, lebih-lebih karena baik budi pekertinya, elok tingkah-lakunya dan lemah-lembut tutur bahasanya. Kelakuannya yang baik menjadi suri tauladan bagi kawan-kawannya, yang sebaya dengan dia. Sebab itu sekalian orang sayang kepadanya. Demikian pula saudara-saudaranya. Binyamin anak yang bungsu waktu itu baru berumur tiga tahun. Sungguhpun ia sekecil itu, lebih sayangnya kepada Yusuf daripada kepada saudara-saudaranya yang lain.

Pada suatu malam Yusuf bermimpi. Dalam mimpinya itu ia diangkat orang menjadi raja dalam sebuah kerajaan yang amat besar dan banyak penduduknya.

Keesokan harinya diceriterakannyalah mipinya itu kepada saudara-saudaranya.

Sejak mendengar ceritera Yusuf itu, bencilah mereka itu kepadanya. Jika sebenarnya Yusuf menjadi raja kelak, tentulah mereka itu akan dibawahnya dan terpaksa menuruti perintahnya. Demikianlah pikiran  mereka itu. Yusuf tak diajaknya lagi bercakap-cakap atau berjalan bersama-sama.

Pada suatu hari Nabi Yakub membelikan Yusuf sehelai baju belederu merah, bersulamkan benang emas. Amat bagusnya baju itu; lagi pula mahal harganya.

Saudara-saudaranya makin bertambah-tambah iri hatinya melihat Yusuf dibelikan baju yang bagus itu. “Kita sudahi juga Yusuf ini”, kata Rubin anak Nabi Yakub yang sulung kepada adik-adiknya, waktu mereka itu sedang menggembalakan dombanya ditengah padang, tidak jauh dari rumahnya.

Yusuf waktu itu sedang duduk dirumah bermain-main dengan adiknya Binyamin. Datanglah bapaknya, Nabi Yakub lalu bersabda, sabdanya : “Pergilah kamu ketengah padang melihat saudaramu menggembalakan domba!” Yusufpun berdirilah, lalu pergi mendapatkan saudara-saudaranya.

“Marilah kita bunuh dia”, kata Rubin kepada saudara-saudaranya, “Sekaranglah waktunya yang baik; nanti kita katakan kepada bapak, bahwa ia telah dikoyak oleh binatang buas.”

Juda, saudara Yusuf juga berkata, katanya : “Lebih baik kita masukkan saja ia kedalam sumur.”

Setelah Yusuf sampai kesana, maka iapun ditangkaplah oleh mereka itu; bajunya yang bagus dan mahal ditanggalkannya dan kedua belah tangannya diikat erat-erat.

Waktu mereka itu akan melemparkan Yusuf kedalam sumur, maka kelihatanlah olehnya dari jauh beberapa orang saudagar datang berunta.

“Hai”, teriak Rubin, “Janganlah dia dilemparkan kedalam sumur. Lebih baik kita jual dia kepada saudagar-saudagar itu sebagai budak. Tentulah akan mahal harganya.”

Yusufpun dijualnyalah kepada saudagar yang baru datang itu.

Sesudah itu disembelihlah seekor domba, lalu dilumurinya baju Yusuf dengan darah domba itu. Mereka itupun pulanglah. Baju yang sudah dilumurinya dengan darah itu diperlihatkannya kepada bapaknya, lalu katanya : “Yusuf sudah mati ditangkap oleh binatang buas dan dilarikannya masuk hutan. Inilah bajunya kami bawa. Habis berlumuran darah.

Bapaknya yang sudah tua itu menangislah mendengar kabar anaknya mati itu.
----------------------------------------------------------------------------

Saudagar-saudagar yang membeli Yusuf itu meneruskan perjalanannya ke Mesir. Disitu Yusuf dijual pula oleh mereka itu. Labanya berlipat ganda dari pokoknya dahulu. Yusufpun sampai ketangan seorang pembesar negeri.

Yusuf seorang yang cepat kaki ringan tangan. Jikalau dipanggil, dengan segera ia datang, kalau disuruh lekas ia pergi. Tuannya amat sayang kepadanya, lebih dari kepada anaknya sendiri. Sebab itu terbitlah sakit hati isterinya. Difitnahkannya Yusuf kepada suaminya. Suaminya percaya saja akan fitnah isterinya itu. Yusufpun dimasukkan oranglah kedalam penjara.

Pada suatu hari raja dinegeri itu bermimpi. Dalam mimpinya, baginda rsanya berjalan-jalan dipinggir sungai Nil. Maka kelihatanlah oleh baginda lembu empat belas ekor, tujuh ekor gemuk dan tujuh ekor kurus. Lembu yang gemuk-gemuk itu habis dimakan oleh lembu yang kurus-kurus itu, tetapi badannya kurus juga.

Ketika baginda bangun, amatlah susah hatinya. Maka dipanggillah ahli nujum akan melihat, apakah takbir mimpi itu. Tetapi seorangpun tak ada yang dapat menerangkan arti mimpi itu kepada baginda.

Tiba-tiba berkatalah seorang hamba sahaya baginda, katanya : “Ampun tuanku syah alam, dalam penjara ada seorang muda yang pandai mentakbirkan mimpi, Yusuf namanya.”

Maka Yusufpun disuruh baginda keluarkan dan disuruh datang menghadap baginda. Bagindapun menceriterakan mimpi kepadanya serta disuruhnya mentakbirkannya sekali.

Yusuf menjawab dengan hormatnya : “Ya, tuanku syah alam. Tuhan yang mahakuasa memberi tahu kepada tuanku, bahwa hanya tujuh tahun lagi negeri tuanku ini dalam kemakmuran. Sudah itu akan datang musim kesusahan, tujuh tahun lamanya. Tumbuh-tumbuhan akan mati semuanya. Tanah-tanah akan kering dan makanan akan habis; rakyat tuankupun akan kelaparan.

Baginda percaya akan perkataan tersebut,lalu disuruh baginda karuniai dia harta amat banyaknya. Lain dari pada itu ia diangkat oleh baginda jadi raja muda yang akan menggantikan baginda kelak sepeninggal baginda. Baginda sendiripun tiada berputera seorang juga.
----------------------------------------------------------------------------

Tujuh tahun lamanya sejak itu. Tujuh tahun pula negeri Mesir dalam kemakmuran. Ternak kembang, padi menjadi, tak terpanai banyaknya.

Raja muda menyuruh mendirikan beratus-ratus gudang besar penyimpan padi dan makanan-makanan yang lain, untuk persediaan dalam waktu kesusahan. Sekarang datanglah musim kelaparan, musim yang amat ditakuti itu. Sekalian tumbuh-tumbuhan dan ternak habis mati. Tetapi di Mesir tiadalah orang takut akan kelaparan dan kehausan, makanan dan minuman yang disediakan malah melebihi keperluan hamba rakyat semuanya.

Dinegeri-negeri lainpun, diluar negeri Mesir orang menanggung kesusahan. Demikian juga dinegeri Nabi Yakub.

Saudara Yakubpun pergilah ke Mesir akan membeli padi. Binyamin tak pergi mengikut, karena ia masih kecil. Setelah mereka itu sampai kesana, maka iapun disuruh oranglah menghadap raja muda.

Baharu saja mereka itu sampai, tahu sekali baginda, bahwa yang datang itu saudara baginda yang menjual baginda dahulu. Tetapi seorangpun tak ada yang mengenal baginda lagi. Sebelum padi diberikan oleh baginda, baginda lebih dahulu bertanyakan hal ikhwalnya dirumah. Lalu diceriterakannyalah hal bapaknya dan adiknya Binyamin.

“Bawalah adikmu itu kemari”, jawab baginda, “sudah itu barulah kamu saya beri padi.” Sudah itu mereka itupun bermohonlah akan pulang kenegerinya.

Mula-mula Nabi Yakub tak mau melepas Binyamin pergi. Tetapi kemudian diizinkannya juga Binyamin menghadap Raja Muda di Mesir, karena padi simpanannya selama ini hampir habis.

Sampai di Mesir masuklah Rubin dengan saudara-saudaranya menghadap baginda Raja Muda. Waktu baginda melihat adiknya Binyamin, tak dapat ia lagi menahan hatinya, lalu diulurkannya tangannya, pergi kepada Binyamin dan berkata, katanya : “Binyamin, tak ingatkah kamu lagi? Sayalah saudaramu Yusuf.” Adiknya itu didukungnya lalu didudukkannya dipangkuannya.

Saudara-saudaranya yang lain amat takutnya. Seorangpun tak ada yang berani berkata sepatah juapun. Mereka itu berlutut menyembah baginda dan minta ampun kepadanya akan kesalahannya.

Baginda Yusuf, yang berhati mulia itu tiadalah marah sedikit juga kepada saudara-saudaranya. Malah baginda amat berbesar hati dapat bertemu kembali dengan saudara-saudara baginda.

“Tuhan menyuruh saya datang ke Mesir ini ialah akan melepaskan penduduk dan kakanda semuanya dari bahaya kesusahan ini”, kata baginda. “Sekarang pergilah kakanda pulang semuanya. Tinggalkanlah Binyamin disini dan bawalah ayahanda kita kemari, karena musim lapar ini masih lama lagi. Bawalah makanan sekali untuk bekal dijalan.”

Mereka itupun amat berbesar hati mendengar kata baginda itu, lalu berdiri dan didakapnya adiknya itu berganti-ganti. Sudah itu berangkatlah mereka itu kenegerinya.

Baru saja mereka itu sampai dihalaman, berteriaklah ia : “Ayah, Yusuf masih hidup. Sekarang ia menjadi raja di-Mesir. Ayah disuruhnya pergi kesana.”

Mula-mula Nabi Yakub tak percaya akan perkataan anaknya itu. Tetapi setelah diceriterakan oleh mereka itu semuanya, barulah ia percaya. Tiada berapa lamanya kemudian berangkatlah mereka itu menuju ke-Mesir.

Setelah baginda Raja Muda mendengar kabar, bahwa ayah dan saudara baginda sudah datang, maka pergilah baginda keluar kota akan mengalu-alukan ayahanda baginda serta saudaranya semuanya.

Setelah bertemu, maka berlututlah baginda menyembah Nabi Yakub. Keduanyapun berdakaplah. Karena riangnya berlinang-linanglah air matanya.

Raja Muda Yusuf pergilah menghadap raja akan memohonkan kepada baginda, supaya ayahnya Nabi yakub dan saudara-saudaranya boleh tinggal bersama-sama dengan dia di Mesir.

Rajapun memperkenankan permintaan baginda itu.

Beberapa tahun lamanya Nabi Yakub tinggal di-Mesir amat senangnya bersama-sama dengan anaknya.

 



(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)

Nb.: Kelihatannya cerita diatas diambil petikhan-petikan dari seberapa sumber.



 '