Kamis, 16 Februari 2012

Anak gembala yang jadi panglima perang

Dalam sebuah dusun diam seorang tani dengan bininya dan seorang anaknya laki-laki. Anak itu Ole namanya. Pekerjaan Ole tiap-tiap hari menggembalakan kuda. Setelah umurnya 16 tahun, bapaknya berkata, katanya : “Ole, pekerjaan kita bapak sendiri sajalah mengerjakannya. Tidak perlu kita berdua. Sebab itu lebih baik engkau mencari pekerjaan lain. Engkau sudah besar, sudah sanggup mencari penghidupan dinegeri lain. Pergilah, Ole, mudah-mudahan engkau beruntung. Biarlah bapak tinggal dengan ibumu disini.”

Mendengar nasihat bapaknya itu Ole termenung beberapa lamanya. Pikirnya didalam hatinya : “Benar pula kata bapakku itu. Dari kecil sampai tua aku akan jadi gembala saja. Kalau aku pergi merantau kenegeri lain, barangkali disana aku beruntung. Apalagi aku sudah besar, tak patut lagi menyusahkan orang tuaku.”

Pada suatu hari berangkatlah Ole dari rumah orang tuanya menuju arah ketimur. Karena perjalanan dalam hutan rimba saja, dibawanya seekor kudanya yang amat dikasihinya. Kuda itu ditunggangnya, supaya ia jangan payah benar dijalan.

Setelah lama berjalan, tiba-tiba tampak olehnya sehelai bulu burung terletak ditanah. Bulu itu besar dan panjang dan berkilau-kilauan warnanya sebagai emas; amat indah rupanya. Turun ia dari atas kudanya akan mengambil bulu burung itu. Tiba-tiba terdengar olehnya suara, bunyinya “Jangan diambil, Ole, nanti engkau dapat bahaya.” Ole berpaling sambil melihat berkeliling. Tetapi seorang manusiapun tak kelihatan.
“Siapa yang berkata itu?” Tanya Ole.
“Saya”, jawab kudanya.
“Hai pandaikah engkau bercakap?” Tanya Ole dengan heran.
“Bukan terdengar olehmu tadi!” kata kuda pula. “Ganjil benar binatang pandai berkata? Tetapi banyak lagi yang ajaib-ajaib didunia ini akan kau lihat. Bulu burung yang sebagai emas itu suatu keganjilan pula. Jika kau ambil, engkau akan susahan benar. Tetapi lain dari pada itu engkau akan mendapat bahagia yang besar pula nanti. Sebab itu engkau ambil atau tidak, itu kuserahkan kepadamu sendiri.”

Sesudah berdiam diri sejurus lamanya, Ole berkata, katanya : “Biarlah saya ambil bulu burung itu!” Maka diambilnya lalu disimpannya. Hari bertambah malam juga. Ole mencari tempat untuk bermalam.

Keesokan harinya diteruskannya perjalanannya. Ketika melalui sebuah rimba besar, terdengar olehnya bunyi mencicit-cicit.
“Apa yang mencicit itu”, tanya Ole.
“Saya,” terdengar suara amat halusnya. Ole melihat ketempat suara itu; tampak olehnya seekor anak burung bersembunyi dibawah daun-daun kayu kering.
“Mengapa engkau disitu?” Tanya Ole pula.

“Saya terjatuh dari sarang. Saya belum pandai terbang tinggi, sebab saya belum kuat. Karena itu saya tak dapat pulang kembali.

“O.., jangan kau susah,” kata Ole. “Mari saya pulangkan engkau kembali kesarangmu.”

“Tempatnya tinggi benar,” kata anak burung itu. “Nanti engkau terjatuh.”

“Tidak mengapa,” jawab Ole, “Saya tukang memanjat juga didusun saya.”

Dengan susah payah dapat jugalah anak burung itu dipulangkannya kembali kesarangnya. Ketika Ole hendak turun, anak burung itu berkata : “Ole, engkau seorang anak yang baik hati. Jika engkau perlu pertolongan, nanti saya datang.”

Setelah Ole sampai kebawah, ditunggangnya kudanya, lalu terus berjalan. Tujuh hari tujuh malam lamanya ia naik kuda, barulah sampai kekota. Ia terus keistana raja; kepada penjaga dipintu kota dikatakannya ia hendak menghadap raja.

Kata penjaga pintu : “Baginda sekarang tidak suka menerima orang. Baginda dalam berdukacita yang amat sangat, sebab putera baginda yang perempuan dirampas oleh seorang raksasa. Sampai sekarang puteri itu belum juga dapat kembali.”

Kata Ole : “Aku hendak mohon belas kasihan kepada baginda, barangkali ada sesuatu pekerjaan bagiku.”

“O.., kalau begitu pergilah kepintu yang sebuah lagi. Engkau boleh jadi tukang kuda, sebab tukang kuda memang kurang.”

Ole menerima pekerjaan itu dengan girang hatinya. Sejak itu Ole jadi tukang kuda raja.

Pada suatu hari Ole dipanggil raja. Setelah ia datang, raja bertitah dengan murka, sabdanya : “Ole tak tahu engkau, bahwa waktu tidur tak boleh engkau memasang lampu dibilikmu?”

Sembah Ole : “Patik tahu tuanku.”

“Mengapa engkau pasang juga?”

“Tidak ada patik memasang lampu, tuanku.”

“Engkau berdusta, banyak orang mengadukan, bahwa bilikmu sampai pagi terang benderang.”

“Ampun, tuanku, itu bukan lampu, melainkan sehelai bulu burung yang bercahaya-cahaya sebagai emas dapat oleh patik dahulu dijalan.”

“Coba perlihatkan bulu burung itu?”

Ole mengambil bulu burungnya, lalu dipersembahkannya kapada baginda.

“O.., alangkah indahnya bulu burung ini”, titah raja dengan heran. “Burung apakah yang bulunya sebagai ini? Sekarang mesti engkau pergi mencari burung itu, Ole! Sebelum dapat jangan engkau pulang kembali.”

“Baiklah tuanku”, sembah Ole.

Ole pulang ketempatnya. Setelah sampai ia kepada kudanya, katanya : “Hai kudaku, kemanakah akan kucari burung yang mempunyai bulu seperti ini?”

Jawab kudanya : “Bulu itu sebetulnya kepunyaan tuan puteri yang dirampas raksasa itu. Bulu itu tercecer dijalan ketika puteri itu dilarikannya. Naiklah keatas belakangku, supaya boleh kubawa engkau ketempat tuan puteri itu!”

Ole naik keatas kudanya. Kuda itu berlari dengan amat kencangnya. Akhirnya kaki kuda itu tidak lagi berjejak ditanah; adalah sebagai burung terbang layaknya. Seketika lamanya, sampailah mereka itu kedalam hutan besar lalu berhenti. Ole hendak bertanya kepada kudanya, tetapi tiba-tiba kuda itu hilang lenyap. Dihadapannya terletak sebilah pedang yang tajam berkilat-kilat. Pedang itu diambilnya dan ia berjalan pula. Belum lama ia berjalan, tampak olehnya dua belas ekor ular besar-besar datang kepadanya. Ole sangat terkejut, karena ular itu tampak hendak menyerang dia. Dengan segera dipegangnya pedangnya kuat-kuat akan melawan. Ketika itu terdengar olehnya bunyi burung terbang diudara; seekor burung besar melayang-layang mengelilingi sekalian ular itu. Ular itu memutar-mutarkan kepalanya menghadap kepada burung itu. Waktu itu Ole dapat menyerang ular itu seekor demi seekor, sehingga sekaliannya dibunuhnya.

Sesudah ular itu mati semuanya, burung besar itu datanglah mengelilingi Ole beberapa kali, kemudian terbanglah ia. Ketika itu teringatlah oleh Ole akan anak burung yang ditolongnya dahulu. Boleh jadi burung itulah yang telah menolongnya.

Dalam ia berpikir-pikir itu, tiba-tiba berlari-larilah seorang puteri dari dalam rimba sambil berseru : “Engkau telah menolong saya. Bawalah saya kepada raja, nanti engkau akan diberi baginda hadiah yang besar.”

“Baiklah “, jawab Ole, “Tetapi kuda saya yang tahu jalan pulang, sudah hilang.”

“Itu yang berdiri disisimu, bukan kudakah?” kata putri itu dengan tersenyum.

Amat heran Ole memandang kepada kudanya, yang telah terdiri saja disebelahnya. Dan pedang pembunuh ular tadi tak ada lagi. Puteri itu dinaikkannya keatas kuda itu dan ia sendiripun naik pula,lalu keduanya pulang keistana.

Bukan buatan sukanya hati baginda melihat puteranya kembali. Hari itu juga dimulailah berjaga-jaga bersuka-sukaan seluruh negeri.

Ole diangkat raja menjadi panglima perang dan diberi sebuah gedung yang besar dan indah. Maka dijemputnyalah ibu-bapaknya dan tinggal didalam gedungnya yang baru itu bersama-sama.




(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)







Rabu, 15 Februari 2012

Daun Surga (3)

III.Daun Emas

Dengan selamat sampailah kafilah itu dengan pengiringnya ketempat yang ditujunya. Amatlah besar hati Khalifah melihat anaknya sudah datang itu. Maka diceriterakanlah oleh tuan puteri itu hal perjalanannya dari awalnya sampai kesudahannya. Tuan puteri itu dikawinkanlah oleh Khalifah dengan Abdullah, karena ia merasa berhutang budi kepadanya. Lagi pula tuan puteri suka kepadanya, karena adat dan tabiatnya yang tak ada celanya itu. Abdullah hiduplah dengan isterinya yang dicintainya beberapa bulan lamanya.

Akan Umar amat sakitlah hatinya melihat Abdullah, anak pengiring Unta, didudukkan dengan tuan putri itu. Mengapa bukan dia yang diambil oleh Khalifah menjadi menantunya.

Pada suatu hari dipanggilnyalah Singa Durjana datang kerumahnya. Rupanya tiadalah ia mati ditembak oleh Hafiz dipadang pasir dahulu itu. Diberinyalah raja perampok itu harta amat banyaknya, serta katanya : “Sekalian harta ini ambillah olehmu. Tetapi haruslah kamu bunuh Abdullah. Kalau dapat engkau membunuhnya, akan kuberi lagi kamu harta dua kali sebanyak ini”.

Dengan berbesar hati, karena belum pernah melihat harta sebanyak itu, iapun menganggukkan kepalanya dan memasukkan uang yang beratus-ratus itu kedalam puranya, lalu bermohon pergi.

Pada suatu petang duduklah Abdullah dengan isterinya dibawah pohon kayu yang rimbun dihalaman, dimuka rumahnya. Kafur duduk bersimpuh ditanah. Dipandangnya tuannya keduanya itu berganti-ganti. Tak puas-puasnya ia melihat burung dua sejoli itu; yang seorang tegap dan gagah dan yang seorang lagi cantik molek dipandang mata.

Tiba-tiba anjing Abdullah menyalak. Abdullahpun berdirilah akan melihat kalau-kalau ada orang datang. Dekat pintu masuk kehalaman rumahnya tampak olehnya seorang-orang turun dari kudanya. Abdullah datang mendapatkannya, lalu berkata, katanya : “Selamat datang tuan, silahkan masuk.”

“Saya takkan masuk kerumah tuan, sebelum tuan berjanji, bahwa tuan akan menolong saya”, jawab orang itu. “Tuan ialah jamu saya, permintaan tuan berarti perintah bagi saya”, jawab Abdullah. Mendengar itu barulah orang itu mau masuk kedalam. Iapun mulailah berceritera : “Saya ini seorang saudagar biasa saja. Maksud saya hendak pergi ke Medinah. Tadi dalam suatu perbantahan saya sudah membunuh orang. Tentulah kaum kerabatnya sekarang akan menuntutkan balas. Itulah sebabnya saya datang kemari ini akan meminta kepada tuan, supaya tuan suka mengantarkan saya ke Madinah.”

“Duduklah tuan dahulu”, kata Abdullah, saya hendak masuk kedalam menyiapkan apa yang perlu dibawa, sebentar lagi saya datang.” Sudah itu masuklah ia. Kafur yang memperhatikan jamu itu sejak ia datang, berlari-lari mendapatkan tuannya, lalu katanya : “Tuan, orang itu bukannya saudagar, melainkan seorang-orang jahat. Tidakkah kelihatan oleh tuan pestol beserta pelornya yang ada dipinggangnya? Janganlah tuan pergi.” “Penjahat atau saudagar, itu saya tak perduli, ia tamu saya, harus saya hormati. Lekaslah kamu sediakan makanan!” kata Abdullah dengan pendek.

Kafurpun pergilah dengan segera. Tiap-tiap ia datang ketempat saudagar duduk itu, diperhatikannya juga orang itu, makin rasa-rasa teringat olehnya, bahwa ia dahulu sudah pernah bertemu dengan dia. Tetapi dimana, sudah lupa ia. Duduklah ia termenung memikirkannya. Abdullah sudah kembali dari dalam dan duduk bercakap-cakap dengan jamunya. Sekonyong-konyong datanglah Kafur mendapatkannya. Sambil menunjuk kepada saudagar itu berkatalah ia, katanya : “Singa Durjana!”
“Diam!” kata Abdullah “Pergi dari hadapanku.”

Setelah mereka itu selesai makan, bersiaplah ia hendak berangkat. Waktu Abdullah terpisah sebentar dari jamunya, datanglah Kafur kepadanya, lalu katanya: “Tuan usir saya, sebab saya beritahukan kepada tuan bahaya yang akan datang menimpa tuan. Musuh yang sebesar-besarnya, tuan hormati dan tuan terima dengan baik.”

“Kita tidak boleh syak kepada orang yang minta tolong dan yang sudah menyerahkan dirinya kepada kita”, jawab Abdullah. Kafurpun melompat pula kedalam. Waktu ia kembali, ia membawa pestol dan bedil Abdullah, lalu katanya. “Bawalah pestol dan bedil tuan ini.”

“Tak baik kita mengiringkan tamu kita dengan bersenjata”, jawab Abdullah, “Bawalah kembali kedalam!” Sesudah berkata itu pergilah ia mendapatkan ibu dan isterinya serta pamannya, Hafiz akan memberi selamat tinggal.

Sekalian percakapan Kafur dan Abdullah itu terdengar semuanya oleh saudagar itu. Heran ia memikirkan ketulusan hati serta tawakkal Abdullah kepada Tuhan.

Tiada berapa lamanya Abdullah dan jamunya sudah diatas kudanya menuju padang pasir. “Saya harap, tuan akan memaafkan akan kesalahan Kafur tadi itu”, kata Abdullah. Jika ia budak saya”, kata jamu itu, “Saya pukul ia benar-benar.” “Bukankah itu tidak baik”, jawab Abdullah, “Kita harus sayang kepada orang yang menyayangi kita. Pada pikiranya saya dalam bahaya, sebab itulah saya diberitahunya. Tetapi perkataannya itu tak saya dengarkan. Kewajiban saya ialah menolong tuan, mengantarkan tuan sampai Medinah!”

Tepekur jamunya mendengar perkataannya itu. Dengan tak berkata sepatah juapun mereka itupun meneruskan perjalanannya.. “Bagaimana saya akan membunuhnya?” pikir jamu itu dalam hatinya, “Ia percaya betul kepada saya.” Tetapi sebentar lagi teringat pula olehnya harta yang banyak, yang dijanjikan Umar kepadanya. Dikeluarkannyalah pestolnya lalu dibidikkannya kepada Abdullah yang terdahulu sedikit dari padanya. Ketika ia akan memetik pestol itu, Abdullah berkata : “Saudara, berhentilah kita sebentar disini dahulu, karena waktu ashar sudah datang”, lalu ia turun dari kudanya dan tikar sembahyang dibentangkannya sekali. “Saya tak pernah sembahyang” jawab jamunya. “Heran saya melihat tuan” jawab Abdullah dengan lemah lembut. “Tak saya sangka sedikit juga tuan tidak akan takut kepada Tuhan Yang Maha Besar, Tuhan seru sekalian alam.” ‘Saya tidak takut kepadaNya”, jawab saudagar itu, “Kepada inilah saya yang takut”, sambil memperlihatkan sebuah jimat kepada Abdullah. “Jimat inilah yang selalu menolong saya dan melepaskan saya dari beberapa bahaya.”

“Lupakah tuan akan Tuhan dan RasulNya, yang memberikan kekuatan kepada jimat tuan itu?” ujar Abdullah. “Bukanlah jimat, melainkan Tuhanlah yang memelihara kita dari segala kejahatan.”

“Tidakkah takut tuan akan mati?” Tanya orang itu pula. “Tidak”, jawab Abdullah, “Karena segala yang hidup akan mati. Hanyalah bekal untuk mati itu yang harus kita sediakan, yaitu amalan dan kebaikan kita semasa kita hidup. Tuhan itu berbuat sekehendakNya. Sekarang kita bersenang-senang, tak kurang suatu apa. Tetapi kalau Tuhan hendak mengambil kita kembali kepadaNya, dengan sebentar saja kita akan mati, meninggalkan dunia yang fana ini, yang penuh dengan dengan segala bencana. Baru saja tuan datang kerumah saya, saya sudah tahu sekali, bahwa tuan bukannya saudagar, melainkan Singa Durjana, musuh saya yang sebesar-besarnya. Tetapi sebab tuan meminta tolong dan menyerahkan diri kepada saya, saya antarkan tuan dengan tak bersenjata sebuah juapun. Karena orang yang seperti itu tak boleh diiringkan dengan senjata. Itu memberi malu orang namanya. Itulah pekerjaan yang seburuk-buruknya. Sebab itu jikalau tuan musuh saya, Tuhan Yang Maha Kuasa akan melindungi saya; dan jikalau tuan sahabat saya, unjukkanlah tangan tuan kepada saya!”

Mendengar perkataan Abdullah, lemahlah sendi anggota Singa Durjana. Diulurkannya tangan kanannya kepada Abdullah, lalu bertanya, tanyanya : “Dari sekarang ini bersahabatlah kita selama-lamanya. Saya minta terima kasih kepada tuan, karena sudah memberi petunjuk kepada saya, membawa saya kepada jalan yang benar. Apakah yang akan saya berikan kepada tuan? Ambillah oleh tuan jimat ini, yang telah membawa saya kepada jalan yang sesat.”

Sudah itu sembahyanglah keduanya bersama-sama. Habis sembahyang, Singa Durjana berkata : “Sehingga inilah saya tuan antarkan. Biarlah saya teruskan perjalanan saya seorang diri. Percayalah tuan, bahwa saya akan mengubah penghidupan saya, tidak lagi seperti yang sudah-sudah.”

Keduanyapun bersalamanlah. Singa Durjana meneruskan perjalanannya dan Abdullah pulanglah kembali.

Ditengah jalan diperhatikannya jimat yang diberikan Singa Durjana itu. Dilihatnya berbungkus dengan kain biru. Dibukanya kain biru itu, maka kelihatan olehnya kain kuning. Waktu kain kuning itu dibukanya pula, maka kelihatanlah suatu benda kecil yang kuning warnanya.

Waktu ia melihat benda itu, berseri-serilah mukanya. “Teranglah daun surga yang ketiga”, katanya dalam hatinya. Benda itupun dibungkusnya pula, lalu disimpannya baik-baik dalam sakunya.

Dengan berbesar hati, karena mendapat daun surga yang ketiga itu teruslah ia lambat-lambat. Rindu ia hendak bertemu dengan ibu dan isterinya, dengan pamannya Hafiz. Kepada Kafurpun tak lupa-lupa ia.



(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)

Selasa, 07 Februari 2012

Wong lelungan ing jaman saiki.

Suprapta banjur celatu : “ Iya mas, mestine akeh weruhmu. Priye ta, Sepur kuwi ?”

Sumbaga mangsuli : “Aku iya weruh setitik-setitik, ora akeh; pengrasamu aku iki pinter banget mana? Mengkene kandane guruku :

Ing kapuloan Indonesiyah kene, wiwite ana Sepur, seprene lagi wolung puluh tahun kurang luwih; saben-saben mundak; nganti seprene isih mundak-mundak wae. Negara sing ndelik-ndelik, saiki wis akeh sing ana Sepure utawa Treme. Wohwohan wetune padesan utawa Negara, dek biyen ora bisa payu, marga ora bisa mbuwang, nganti pada bosok. Bareng wis ana Sepur, banjur dikirimake menyang endi-endi, bisa laris, payu akeh. Mengkono uga iwak segara sing dikirimake esuk saka tanah pesisir, yen diemot Sepur, sorene bisa tekan Negara sing adoh saka pesisir. Yen saka Semarang, sorene bisa tekan Ngayoja, Surakarta, Magelang, ora butuk. Yen saka Surabaya, menyang Madiun, Kediri, Ponorogo, Tulung-Agung.

Sepur kuwi, yen ing tanah Jawa, sing disik dewe saka Semarang menyang Tanggung. Ora lawas dibanjurake tekan Sala, banjur tekan Ngayoja pisan. Let setaun rong taun banjur ana Sepur saka Jakarta menyang Bogor. Saikine ngendi-endi wis ana Sepur. Saka Jakarta menyang Surabaya, yen nunggang Sepur bisa tekan sedina. La yen nunggang dokar, nganti pirang-pirang dina.

Olehe masang ril dalan Sepur kuwi ora gampang; ora kena kon banjur dipasang wae teplak-teplek ana tengah sawah utawa tengah alas. Yen lemahe endek, diurug disik nganti mingklik-mingklik. Yen duwur digempur. Sing nggarap wong pirang-pirang atus, pirang-pirang ewu, nganti sasen-sasen utawa tetaunan. Yen nrajang gunung, gununge ditrowong; nrowong kuwi rekasa banget. Iki mengko iya nganggo ngliwati trowongan. Yen nrowong gunung, olehe miwiti saka kiwa tengen. Iba ta angele olehe ngira-ira, murih trowongane bisa kenceng, bisa gatuk, tuk, ora menggak-menggok. Penggawene kreteg sing ana nduwure jurang utawa kali, iku iya dudu penggawean baen-baen. Yen aku kowe, ora bisa nduga-nduga kepriye rekane; bisane rampung babar pisan, kenane diambah Sepur, iya nganti lawas olehe nggarap. Terkadang ana lemahe sing longsor; lemah urugan anyar mlorod menyang jurang sing cerung; banjur diurug maneh kaya dek wiwitan.”

Suprapta takon : “Kuwi kabeh aku isih nyandak pikirku; bareng jare ana sepur sing bisa menek, munggah gunung, kuwi aku judeg. Gek kepriye rekane?”

Sumbaga mangsuli: “O.., kuwi ora kok munggah gunung ndeder ngono. Iya bener munggah, nanging ora kaya cecak menek tembok kae; dalane sepur digawe menggak-menggok, mubang-mubeng. Unggah-unggahane ora sepiraa; mung wae dalane mundah dawa. Ewa dene iya ana sing rada banget munggahe. Yen cantelane Kreta sing mburi dewe pedot umpamane, kuwi mbalike banter banget lakune; bisa ndadeake cilakane wong-wong sing nunggang. Mulane murih aja nganti klakon mengkono, lokomotip diseleh ana ing mburi, dadi nyurung.”

Suprapta takon maneh; sabab kepingin weruh sing temenan : “Iya Lokomotip diseleh mburi; la yen Lokomotip dewe sing sepatune tugel, kepriye; ha rak bisa mbalik; Kretane kabeh katut!”

Sumbaga mangsuli : “Sing mengkono kuwi iya wis dikuwayani. Trem sing saka Secang menyang Bahrawa kuwi ya ana sing munggah rada banget; kono rile telu; sing tengah ana unton-untone. Lokomotip iya ana rodane gede ana ing tengah, iya nganggo unton-unton, bisa plek karo unton-untone ril sing ana tengah mau. Kuwi gawene wis kaya sepatu; malah ngungkuli.

Dalan sepur kuwi, yen tiba ing enggok-enggokan, pinggire dipasangi cagakan ana palange. Apa maneh ing halte utawa Setatsiyun iya ana cagake mengkono kuwi. Yen palangane, tibane ing cagak mau malang bener, masinise banjur ngerti, yen sepure ora kena mlaku banjur; sepure iya kudu diendegake. Dene yen sore, wis peteng, sing dienggo tenger : Lentera; belinge ana sing abang, ana sing ijo. Dadi masinis kuwi, sasuwene nglakokake sepur, rupa-rupa sing kudu diawasake; ora kena disambi ngenak-enak. Yen sembrana, bisa gawe cilakane wong pirang-pirang.

Sepur karo Trem kuwi rile ngendi-endi pada wae ambane. Dadi yen ana Kreta amot barang saka ngetrem, arep dibanjurake metu Sepur, ora susah dielihi. Kretane momotan kuwi wae diwetokake ing dalan Sepur, iya plek wae. Mung Sepur N.I.S. (Ngayoja-Sala-Semarang), dalane amba, geseh karo Sepur liya-liyane.

Isih ana maneh tunggangan sing luwih dening rikat, ngambah awang-awang, jenenge Kapal-Udara utawa Zeppelin. Tunggangane kaya Prau; sing nunggang manggon ana ing omah-omahan sajrone balon. Lakune bablas wae, ora preduli apa-apa, sabab lakune ana ing awang-awang; dadi alas, kuta-kuta, kali, telaga, kuwi kabeh ana ngisore, ora prelu masang kreteg utawa ngurug dalan kaya Sepur iki. Wis lakune rikat, nganggo bisa ngenceng wae. Dadi tekane ngenggon iya gelis banget.

Malah saiki luwih akeh piranti ora arupa Balon, mabur kaya manuk, ananging swiwine ora kekejer, ora kumebet; iku diarani Montor-Mabur. Rong dina wae saka Eropa menyang tanah Jawa kene bisa tekan.”



(Bersumber dari buku : “Kembang Setaman”)





Pengalaman sebuah layang-layang

Orang baru selesai mengetam. Musim berlayang-layang sudah datang. Si Karim, si Syahrial dan si Rustian pergi kebelakang rumah akan memecahkan tabung pekaknya. Dikeluarkannya uang dua puluh sen banyaknya. Amat besar hati mereka itu, karena sekarang tentulah dapat membeli sebuah layang-layang yang bagus. Yang menyenangkan hatinya benar, ialah karena tak perlu lagi meminta uang kepada ayahnya, melainkan membeli dengan uangnya sendiri. Dengan hati yang riang pergilah mereka kekedai akan memilih layang-layang yang bagus. Sesudah puas menawar diperolehnyalah sebuah layang-layang yang dihatinya. Bentuknya seperti ular naga, ekornya panjang dan berwarna-warna, badannya bersisik, moncongnya ternganga dan lidahnya yang merah terjulur panjang keluar.

Dari kedai itu pergilah ketiga saudara itu ketanah lapang dimuka tumah Tuan Kentyo.

“Minta-minta saja ada angin”, kata si Karim, “tentu ia akan tinggi, sampai keawan”. Sambil berkata-kata itu sampailah mereka itu ketanah lapang. Si Syahrial pergi mengajungkan layang-layang itu dan si Rustian mengulur talinya. Tiada berapa lamanya layang-layang itupun naiklah. Tak putus-putus mereka itu memandang keatas.

Mula-mula tak bagus naiknya, rasanya akan pusing diudara. Sebab itu ditukikkannya kepalanya kebawah. Si Rustian mengulur talinya dan merarik tali itu kembali dengan sangat kencangnya. Layang-layang itupun naiklah pula dengan cepat keatas, tidak melihat kekiri-kekanan. Sekarang datang giliran si Karim akan menaikkan layang-layang itu. Si Syahrial menengadah keatas akan melihat dan sudah itu melompat-lompat karena riangnya.

Sebagai seekor binatang yang amat ganjil, yang penuh dengan pelbagai warna, “Ular Naga” itu melayang kekiri dan kekanan. Ekornya terayun-ayun, tak ubahnya seperti Ular betul. Senang betul hati layang-layang itu, waktu ia melihat kebawah. Alangkah kecilnya semuanya. Ketiga anak-anak itu setinggi api-api rupanya. Rumah tak ubahnya seperti kotak. Amat jauh dan lebar pemandangannya dari atas itu. Gunung-gunung yang tinggi kelihatan tadi, sekarang terasa sudah sama tinggi dengan dia.

“Alangkah besarnya hati saya, jikalau saya terlepas dari ikatan benang celaka ini. Tentu dapat saya mengedari ruang langit ini, melihat kebagusan alam”, kata layang-layang itu sama sendirinya. “Maukah kamu mengikut saya”, kedengaran olehnya suara dari belakang. Waktu layang-layang itu menoleh ketempat suara itu, kelihatan olehnya muka orang, warnanya kelabu, pipinya gembung dan matanya terbelalak. “Siapa kamu?” Tanya layang-layang itu. “Angin”, jawabnya dengan pendek. “Kalau kamu mau mengikut, akan kuperlihatkan kepadamu sebahagian besar dari pulau Jawa ini”. Suka sekali”, jawab layang-layang itu. Angin itu berkata : “Kalau begitu baiklah, jagalah dirimu baik-baik!” Iapun menggembungkan pipinya, lalau diembusnya layang-layang itu sekuat-kuatnya.

Tik! Tali layang-layang itupun putuslah. Layang-layang itu melihat sebentar kebawah, tetapi angin tadi itu menangkapnya, lalu dibawanya menuju ketempat lain. Apa yang tidak dilihatnya waktu itu. Rumah dikampung-kampung lain, sungai-sungai yang kuning airnya karena kotor, beratus piring sawah dan gunung-gunung yang hijau warnanya.

“Ha” teriak layang-layang itu. “jangan kencang benar! Saya hendak melihat-lihat temasa disini sebentar, karena lain sekali disini keadaan alam dari dikampung tuan saya, Karim, Syahrial dan Rustian.” “Saya sudah beratus tahun berembus ditempat ini”, jawab angin itu, “segala liku ditempat ini tahu saya semuanya.” “Tetapi saya tidak”, jawab layang-layang itu pula, “lagi pula saya sudah payah rasanya. Bagaimanakah kalau kita berhenti sebentar?” Angin itu tertawa sekeras-kerasnya. “Kamu belum melihat lagi kekuatan saya”, ujarnya, “akan saya perlihatkan kepadamu sebagian dari pengalaman saya. Akan senang hatimu nanti berteman dengan saya. Mereka itu terbang pula melalui desa yang besar-besar. Dibawah kelihatan olehnya beberapa orang anak kampung sedang bermain api. Daun dan ranting yang kering-kering dikumpulkannya, lalu dibakarnya. “Sekarang lihatlah olehmu!” ujar angin itu. “Akan saya tiup api itu”. Sesudah berkata itu digembungkannya pula pipinya, lalu diembusnya api itu. Dalam sekejap mata saja api yang kecil itu besarlah. Tiada berapa lamanya rumah yang dekat-dekat terbakar semuanya. Tongtongpun berbunyilah bersahut-sahutan. Orang kampung berlarian hilir mudik. Pompa air belum juga kelihatan. Api meruak dari sebuah rumah kerumah yang lain. Sebentar saja sudah empat buah rumah menjadi abu. Layang-layang itupun mulai takutlah “Antarkanlah saya pulang kerumah tuan saya!” ujarnya. “Cukuplah rasanya apa yang saya lihat ini”. “Penakut!” kata angin itu pula. “Ini belum lagi semuanya”. Digonggongnya pula layang-layang itu, sehingga sampai keatas sebuah desa yang lain. Angin itu berkata : “Sekarang perhatikanlah olehmu baik-baik akan kemegahan saya. Kelihatanlah olehmu menara yang jauh, yang baru saja sudah dibuat orang itu?” Layang-layang itu tidak menjawab, melainkan menganggukkan kepalanya saja. Angin itupun berembuslah dengan sekencang-kencangnya. Awan yang gelap berkumpullah diatas menara itu. Sebentar lagi kelihatan kilat kebawah dan ……. Menara itupun patah dualah.

“O.., angin!” kata layang-layang itu. “Alangkah bengisnya kamu! Tak adakah pekerjaanmu yang lain dari pada merusak dan memusnahkan?”

Angin itu menjawab : “Janganlah kamu berkata terburu-buru menyalahkan daku. Ada juga pekerjaanku yang menyenangkan hati. Aku menolong manusia menanam tumbuh-tumbuhan. Serbuk bunga itu menjadi tumbuh-tumbuhan. Pohon buah-buahan yang tidak disangka orang sedikit juga aka nada ditempat itu …….. ya, hutan yang besar itu akulah yang menjadikannya. Lekas-lekaslah kamu sedikit! Kita akan terbang menuju laut. Kapal layar yang kamu lihat itu tentu tak kan maju kalau tak ada aku. Sekarang akan saya tiup layarnya itu lambat-lambat, supaya selamat ia sampai kepelabuhan.”

“Amat senang hatiku”, ujar layang-layang itu , melihat kamu ada juga mengerjakan kebajikan. Sekarang sudah puaslah hatiku. Antarkanlah aku kerumahku!”

Mendengar permintaan layang-layang itu, anginpun berkata : “Kamu seorang yang tak tahu menerima kasih. Saya bawa kamu melihat tamasya yang bagus-bagus, tetapi sekarang kamu hendak meninggalkan daku. Adakah patut itu?” Dibulatkannya pipinya sebesar-besarnya lalu diembusnya layang-layang itu sekeras-kerasnya kearah kampung si Karim, Syahrial dan Rustian. Kemudian diembuskannya kepuncak sebuah pohon dimuka rumah anak-anak itu.

Alangkah besarnya hati ketiga anak itu, waktu keluar dari rumahnya melihat layang-layangnya ada diatas pohon mangga dimuka rumahnya.

Si Karim berlari-lari kepohon itu, dipanjatnya sekali, diambilnya layang-layang itu dan dibawanya kebawah. Mereka itupun pergilah pula ketiganya ketanah lapang dimuka rumah Tuan Kentyo akan melepas layang-layang itu. Tetapi layang-layang itu tak mau lagi naik tinggi-tinggi, takut akan disambar pula oleh raja angin itu.

(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)




Kamis, 02 Februari 2012

Wong lelungan ing jaman biyen

Ana priyayi wis tuwa nunggang sepur bebarengan bocah nonoman telu. Siji jenenge Suprapta, siji Arsana, sijine Sumbaga. Priyayi mau sok ngantuk, terkadang iya turu barang, karo linggih bae. Bareng wis suwe olehe turu banjur nglilir karo mulet sarta celatu “ Ah, saiki iki, yen lelungan kok kepenak temen; karo turu wae bisa tekan ngenggon.” Suprapta nyambungi : ‘Rumiyin punapa boten mekaten?” Priyayi mangsuli : “Ora; biyen durung ana Sepur, during ana Trem. Jarene, wong lelungan jaman kuna, rekasa banget. Dalan-dalan presasat durung ana; mung sing cedak-cedak kraton ana dalane sing rada becik; nanging ya ora becik kaya saiki. Wong dagang lan bakul-bakul, yen arep menyang Negara, metu ing dalan cilik, mung sedeng wong siji. Dagangane digendong utawa dipikul; ana sing diemot ing Jaran; sing diemot Cikar arang-arang. Wonge pada mlaku darat bebarengan akeh karo nggawa gegaman: Tumbak, Keris, Pedang; sabab sedalan-dalan begal pirang-pirang. Buron galak, kayata : Macan, Celeng, Asu-ajag, Asu-kikik, ora kurang. Wong-wong wadon utawa bocah-bocah arang-arang sing lelungan adoh; yen perlu lelungan, ya nunggang Jaran utawa Kremun utawa Tandu. Ana maneh sing sugih banget, nunggang Grobag utawa Pedati, utawa Kreta; ora ana pire kaya tunggangan jaman saiki; rodane kayu wutuhan bae. Dadi yen ditunggangi jlag-jlug, lara kabeh menyang awak. Dek jaman Majapahit yaw is ana Kreta, jenenge Gerbong; kuwi tunggangane para putri, yen nderek cangkrama utawa mbebedag menyang alas. Gerbong kuwi dek jaman kuna wis dianggep becik banget arang-arang sing duwe. Ana layang Jawa kuna sing nyebutake, yen putri Cempa, nalikane krama oleh ratu ing Majapahit, gawane : Gong, Pedati karo Gerbong. Para putri iya sok nitih Joli; sing nggotong nganti wong 16. Joli iku rupane kayu kaya omah-omahan cilik; saiki sok dianggo pola batikan, jenenge “Semen Jolen.”

Jaman saiki, yen wong lelungan munggah gunung, iya sok nunggang Tandu; sing digawe mung “Kursi-males” wae, diwenehi slandangan pring, dipikul uwong.

Arsana takon : ‘La yen ngambah seganten menapa inggih rekaos, ing jaman kina menika?”

Priyayi mangsuli : “Ora kayaa! Dek biyen durung ana Kapal Api; bajage wae pirang-pirang. Praune cilik-cilik nanging rikat; yen ana prau dagang liwat, banjur dibegal. Yen mlayu, ditututi; meh mesti kecandake. Saiki ing segara cedak-cedak kene iya isih ana bajag; apa maneh cedak-cedak Madura kana; malah nganti misuwur: bajag Sampang. Nanging Pamarentah saiki ajeg olehe njaga segara. Yen ana prau bajag sing kemlebat, banjur dibledig; meh ora tau luput, sabab prau Negara sing njaga kuwi rikat-rikat banget.

Saikine yen wong lelungan ngambah segara kepenak banget; mestine kowe ya wis krungu kabare saka layang wacan ing sekolahan. Tunggangane Kapal-Api, meh ora ana sambe-kalane, umbalane murah. Dene panggonane turu utawa ngaso, lan pangane, yen ditimbang karo prau-prau jaman biyen, dudu-dudu kaceke.”

Arsana takon : “La tanah Jawi ngriki, samenika kok saged dados sae, menika kados pundi wiwit-wiwitanipun?”

Priyayi mangsuli : “Mengkene : barang-barang dagangan, bisane gampang penggawane menyang tanah-tanah sing adoh saka segara, kudu ana dalane sing becik. Dadi prelu digawekake rattan. Yen penggawane gampang, regane bisa murah. Mulane dek satus tahun seprene diyasa ratan dawa banget, saka Caringin njujur tanah Jawa nganti tekan Banyuwangi. Ana simpang ane pirang-pirang, dianggo lakune Kreta-pos. Saben let 4 utawa 5 pal ana pose; ana Jarane 4 utawa 6 utawa 8 dianggo nunda Jaran sing nglakokake Kreta-pos; Kretane-pos iya sok ana. Kreta-pos kuwi, sing nunggangi priyayi-priyayi Negara utawa bangsa patikelir. Dene yen ngliwati gunung, tekan unggah-unggahan sing ndeder, iya disediyani Kebo, kanggo nggered Kreta kuwi. Yen nunggang Kreta-pos, njujur tanah Jawa, bisa tekan sajrone 6 utawa 7 dina. Mangka sadurunge ana prenatan mengkono, nganti lakon 10 dina.

Kejaba ratan kuwi, ana maneh kreteg-kreteg pirang-pirang sing digawe. Dadi lakone wong utawa tunggangan, senajan kaline banjir, iya bisa banjur bae.

Jaman saiki saben kuta akeh tunggangan. Sadengah wong bisa nunggang; duwit setali wae wis kena dianggo mubeng-mubeng. Yen ing Jakarta, Dokar kuwi jenenge Sado; Kreta sewan : Ebro. Yen Sala utawa Ngayoja, Kreta sewan jenenge Andong; yen Surabaya : kosong. Biyen aku tau menyang Jakarta, menyang Surabaya; wah, tunggangan pating sliri, pating sriwet, nganti bingung aku.

Tunggangan-tunggangan sing mengkono kuwi kabeh, yen ditimbang karo dek jaman biyen, wis becik banget; nanging sing becik dewe, yen jaman saiki, iya mung Sepur; bisa amot wong pirang-pirang atus, barang-barang pirang-pirang koyan. Nanging yen perkara Sepur, ora akeh sumurupku. Mestine kangmasmu Den Sumbaga, akeh kawruhe; sabab wis sinau ana ing pamulangan. Rak inggih, ta, Den?”




(Bersumber dari buku : “Kembang Setaman”)


.

Rabu, 01 Februari 2012

Daun Surga (2)

II.Daun Perak

Khalifah dinegeri Abdullah itu ada berputera seorang perempuan. Amat cantik parasnya tuan puteri itu. Kecantikannya termasyhur kemana-mana. Waktu itu tuan puteri itu ada dipelabuhan, yang amat jauh letaknya, baharu datang dari negeri lain. Sebab itu Khalifah itu memerintahkan Umar menjemput anaknya kepelabuhan itu. Sungguhpun Umar tak berani melakukan pekerjaan yang berbahaya itu, karena dijalan kepelabuhan itu banyak perampok, tak berani ia menolak permintaan Khalifah itu. Kalau tak dikabulkannya, tentulah akan bercerai lehernya dengan kepalanya.

Iapun pergilah mendapatkan Abdullah akan meminta mengantarkannya menjemput tuan puteri itu. Abdullah, seorang yang suka menolong orang lain, biar musuhnya sekalipun, mengabulkan permintaan Umar itu.

Beberapa ekor kuda dan unta yang tangkas larinya, dua belas orang yang berani-berani, dan makanan bekal dijalan disediakannyalah. Setelah siap semuanya, sekaliannyapun naiklah keatas kudanya, lalu berangkatlah menuju kepelabuhan, tempat tuan puteri itu.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka itu ketempat yang ditujunya. Tuan puteri itupun dikeluarkanlah dari dalam kapal. Sebuah keranda besar dan bagus, diatas seekor unta yang dihiasi disediakan untuk tuan puteri itu. Unta2 yang lain dimuati dengan barang-barang tuan puteri itu. Mahal-mahal harganya. Sesudah selesai, berangkatlah semuanya.

Kabar tuan puteri datang itu, kembanglah segenap negeri. Perampok-perampokpun bersedialah akan menyamun tuan puteri itu ditengah jalan. Rupa-rupanya Abdullah hati-hati benar menjaga. Sebentar-sebentar ia memacu kudanya kedepan sudah itu kebelakang, penjagaannya tak dilalaikannya sedikitpun juga. Melihat Abdullah tiada melalaikan kewajibannya sedikit juga itu, senanglah hati puteri itu.

Sungguhpun Abdullah keras menjalankan perintahnya tetapi orang-orang dikafilah itu sayang kepadanya, karena ia memerintahkan barang suatu adalah dengan manis tutur bahasanya. Berlainan sekali dengan Umar. Kalau sedikit saja seseorang lalai dalam melakukan pekerjaannya, lalu dipukul dan dimaki-makinya. Tak ada orang yang suka kepadanya. Tuan puteripun amat benci melihatnya.

Pada suatu hari Umar dan Abdullah berdiri dekat unta tuan puteri itu. Disebelah tuan puteri itu duduk budaknya seorang perempuan, anak Afrika, Kafur namanya; umurnya kira-kira dua belas tahun. Sungguhpun ia budak belian, tetapi tuan puteri amat sayang kepadanya, karena ia seorang anak yang lucu, pandai meriangkan hati.

Tiba-tiba kelihatan oleh Abdullah sebuah noktah hitam jauh disebelah barat. Titik hitam itu makin lama makin besar dan menuju ketempat kafilah itu. Abdullah memperhatikannya benar-benar. Sejurus kemudian berserulah ia dengan keras suaranya, serunya : “Bersiaplah semuanya!” Diperintahkannyalah orang-orangnya menjaga tempatnya masing-masing, seperti sudah dibiasakan oleh mereka itu, kalau ada musuh datang. Yang datang itu kiranya sekawan perampok.

Tiada berapa lamanya terdengarlah dentum bedil. Seketika lagi menyerbulah perampok-perampok itu sambil memegang sebuah bedil dan sebilah pedang pada tangannya. Perkelahian yang hebatpun terjadilah. Rupanya tak tertahan lama oleh pengiring kafilah itu berkelahi, karena perampok itu amat banyaknya. Tetapi Abdullah tak mau mundur. Kuda putihnya dipacunya mengejar musuhnya. Ditangannya terhunus sebilah pedang yang berkilat-kilat, diayunkannya kekiri dan kekanan. Musuh yang dekat kepadanya ada yang putus lehernya dan ada pula yang jatuh tersungkur ketanah, mendapat luka-luka besar dikepala dan kakinya. Tiba-tiba unta yang membawa tuan puteri kena tembak kepalanya, lalu jatuh. Ketika itu juga seorang diantara perampok pergi kekeranda tuan puteri itu. Dengan cepatnya ditangkapnya tuan puteri itu, dinaikkannya keatas kudanya, lalu dibawanya lari dengan sekencang-kencangnya menuju padang pasir. Perampok-peramapok yang lainpun larilah pula, meninggalkan kafilah itu. Rupanya mereka itu tiada hendak merampok harta yang banyak dikafilah itu , melainkan akan melarikan tuan puteri itu hendak dijualnya seperti budak. Tentulah akan beribu-ribu uang diperolehnya.

Tuan puteri yang dilarikan perampok itu melambaikan tangannya kepada Abdullah sambil berseru, serunya : “Tolonglah saya! Lepaskan saya!” “Siapa yang dibawanya itu?” Tanya Abdullah. “Kafur” kedengaran suara menjawab dari keranda, diatas belakang unta. Yang berkata itu ialah tuan puteri. “Kafur yang terbawa oleh perampok itu”, seru Umar dengan riangnya, sambil tertawa-tawa. “Diambilnya berguk saya, lalu dipakainya”, kata tuan puteri itu pula. “Maksudnya, supaya aku terlepas dari bahaya. Tak dipikirkannya kecelakaan yang akan menimpa dirinya, asal saya tertolong.” Sudah itu berlinang-linanglah air matanya mengingatkan Kafur, anak yang setia itu.

“Alangkah akan susahnya kita, jikalau tuan puteri yang sebenarnya dilarikannya”, kata Umar kepada Abdullah sambil tertawa. “Ini Kafur, budak hitam lagi buruk yang dibawanya. Banyak orang dinegeri kita yang akan menggantikannya. Marilah kita teruskan perjalanan kita.”

Tetapi Abdullah sangat marahnya mendengarkan perkataan itu, lalu katanya kepada Umar dan orang-orang kafilah yang lain : “Apa? Akan kita teruskan perjalanan kita? Akan kita tinggalkan Kafur? Itu tak mungkin sekali-kali! Akan saya cari ia sampai dapat. Sedangkan barang yang dipertaruhkan kepada kita walau sedikitpun sekali, jika hilang akan kita cari juga sedapat-dapatnya, apalagi manusia. Sekarang siapa yang suka mengikut, turutlah saya. Kalau tidak, saya sendiri pergi.”

Seorangpun tak berkata-kata sepatah juapun. Rupanya takut mereka itu menyabung nyawanya akan menolong Kafur.

“Baiklah”, kata Abdullah. “Kalau tak ada yang mau, saya sendiripun pergi juga.” Untunglah ada seorang diantara mereka itu yang berani serta seperasaan dengan Abdullah. Siapakah kiranya orang itu? Tiada lain, melainkan Hafiz, pamannya yang menolongnya, waktu ia menggali sumur dahulu.

Keduanyapun melompatlah keatas kudanya, lalu dipacunya sekali.

Siang bertukar dengan malam. Hari gelap gulita. Bintang sebuahpun tak kelihatan dilangit.Dari jauh kelihatanlah oleh Abdullah dan pamannya cahaya lampu. Rupanya disitulah perampok itu mendirikan kemahnya. Abdullah dan Hafiz turunlah dari kudanya, lalu merangkak lambat-lambat menuju tempat itu.

Makin lama makin dekat juga ia. Maka kelihatanlah olehnya tiga orang mengelilingi sebuah lampu. Yang seorang, Singa Durjana namanya, terkenal sebagai kepala perampok yang amat ditakuti orang digurun pasir.

Rupa perampok-perampok itu belum tahu akan kekhilafannya. Pada pikirannya tuan puteri juga yang terbawa itu. Ketiga orang itu masuk kedalam kemahnya, duduk bercakap-cakap menghadapi mangkuk kopinya. Kemudian sampailah percakapan mereka itu kepada tuan puteri yang dilarikannya. Waktu itu Abdullah dan pamannya mengintai kedalam. Sekalian percakapan mereka itu dapat didengarnya dari luar.

Tiba-tiba tegaklah Singa Durjana, lalu pergi melihat tawanannya. Waktu itu tahulah ia, bahwa bukan tuan puteri yang dilarikannya, melainkan Kafur lalu terbitlah marahnya. Dikeluarkannya pistolnya,lalu ditembakkannya kepada Kafur. Kafurpun memekikkan kesakitan. Kena ia rupanya. Waktu Singa Durjana hendak menembaknya sekali lagi, maka kedengaranlah dentum bedil tiga kali dari luar. Ketika itu juga ketiga perampok itu terbaringlah ditanah. Hafizlah yang menembaknya.

Mendengar tembakan itu, perampok-perampok yang lainpun bangunlah dari tidurnya, lalu menuju kemah itu. Dengan cepatnya Kafur menyepakkan lampu yang dihadapannya sehingga jatuh. Lampu itupun padamlah. Abdullah melompat kedalam, Kafur didukungnya, dibawanya keluar, lalu diletakkannya keatas kudanya. Iapun melompat pula keatas kudanya, lalu dipacunya sekali.

“Semuanya keatas kuda”, perintah seorang diantara perampok-perampok yang tinggal. Tetapi waktu mereka itu pergi melihat kudanya, tak seekor juga lagi kelihatan; seolah lepas semuanya. Dimana-mana kelihatanlah api menyala. Akal Hafizlah itu semuanya. Ia sendiri meniarap dibalik setumpuk barang, tidak jauh dari kemah itu. Perlahan-lahan merangkaklah ia mendapatkan kudanya. Setelah ia tiba disana, melompatlah ia keatas kuda itu. Seperti panah lepas dari busurnya, larilah kuda itu dalam malam yang amat gelap itu.

Dalam pangkuan Abdullah, Kafur tak berkata sepatah juapun. Dalam pada itu kuda Abdullah berlari juga dengan cepatnya.

Fajarpun menyisinglah disebelah timur. Abdullah menghentikan kudanya. Kafur diturunkannya, lalu diletakkannya perlahan-lahan ketanah. Kafur menjerit kesakitan, sambil memegang bahunya. Dengan cepat tahulah, bahwa Kafur luka sedikit. Luka itu dibalut oleh Abdullah dengan sapu tangannya. Kafur menentang saja kepada Abdullah.

Sesudah selesai berkatalah ia dengan air mata berlinang-linang dipipinya : “Tuan, tak sedikit juga hamba menyangka, bahasa tuan akan yang suka menolong hamba, seorang budak belian yang amat hina. Apakah sebabnya tuan suka menolong hamba?”

“Sebabnya kamu dalam penjagaan saya”, jawab Abdullah dengan pendek.

Maka sahut Kafur : “Hamba minta terima kasih kepada tuan atas kesucian dan kebaikan hati tuan kepada hamba. Tak kan lupa-lupa oleh hamba kebaikan tuan selama-lamanya.”

Tiada berapa lamanya kemudian kelihatanlah oleh Abdullah pamannya datang dari jauh. Setelah turun dari kudanya, maka berdakaplah paman dan kemanakan itu sambil mengucap syukur karena sudah diselamatkan Tuhan Yang Maha Kuasa itu.

Tiba-tiba Kafur meniarap dihadapan Abdullah lalu berkata, katanya : “Hamba tak dapat rasanya membalas jasa tuan; dari sekarang ini tuanlah Tuhan hamba; tuanlah yang akan hamba sembah.” “Diam”, kata Abdullah dengan marahnya. “Kamu tidak boleh berkata demikian itu, Tuhanmu dan Tuhan saya ialah satu, yaitu Allah, serta Dialah yang akan kamu sembah. Tuhanmu yang engkau sembah sekarang, tuli dan buta; ialah sepotong kayu saja; tentulah lama kelamaan dia akan rusak dan habis dimakan bubuk.” Kafur menjawab : “Tuhan saya bukanlah sepotong kayu, melainkan inilah”, sambil mengeluarkan sehelai bulu dari dalam bajunya. “Ambillah bulu burung ini oleh tuan. Patah-patahkan dan hancurkanlah ia benar-benar. Hamba tidak akan bertuhan lagi kepadanya. Dari sa’at ini yang akan menjadi Tuhan hamba, yaitu Allah”

Abdullah dan Hafiz mendakap anak itu berganti-ganti. Bulu burung itu dipatah dan dikoyak-koyakkan oleh Abdullah. Tiba-tiba Abdullah mengambil suatu benda dari tanah, jatuh dari bulu ayam itu. Benda itu diperhatikannya, lalu diperlihatkannya kepada pamannya dengan riangnya, sambil berkata, katanya : “Paman lihatlah, benda ini putih seperti perak dan bangunnya serupa dengan benda yang dapat oleh kita disumur dahulu.”

Waktu Hafiz melihat benda itu, berkatalah ia, katanya : “O.. anakku, inilah bunga surga yang kedua. Tiap-tiap kali kamu berbuat kebajikan, kamu dikurniai Allah sebuah daun dari surga. Simpanlah dia baik-baik.”



(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)