Selasa, 30 Oktober 2012

Musim Layang-layang

Layang-layang.  by: lagu anak-anak

Kuambil buluh sebatang.

Kupotong sama panjang.

Kuraut dan kutimbang dengan benang.

Kujadikan layang-layang.

Bermain, berlari.

Bermain layang-layang.

Bermain kubawa ketanah lapang.

Hati gembira dan riang.

 

Padi sudah disabit dan sudah dibawa pulang kelumbung. Sawah-sawah yang seperti ditaburi dengan emas dahulu, sekarang sudah seperti kepala gundul. Banyak itik, ayam dan kerbau mencari makanannya disitu.

Pada petang hari banyaklah anak-anak menaikkan layang-layangnya. Bermacam-macam bangunnya : ada yang seperti ikan, ada yang seperti bulan dan ada pula yang serupa burung.

Si Amatpun ada berlayang-layang yang dibuatnya sendiri. Layang-layang itu sebagai ular; ekornya panjang, hampir tiga depa. Susah benar menaikkannya. Kalau tak ada angin kencang, tak mau naik, sebab itu si Alipun bersiul-siullah memanggil angin.

Tiada berapa lama antaranya turunlah angin kencang. Lalu si Ali disuruh abangnya menganjungkan layang-layangnya. Tiada berapa lamanya naiklah layang-layang itu, bagus benar, sehingga hampir tegak tali; naik layang-layang yang demikian berpayung namanya. Ekornya selalu bergerak-gerak, tetapi tegaknya tiada berubah, tidak seperti layang-layang Palembang yang susah dipegang tetap.

“Mari saya pegang, bang!” ujar si Ali.
 
“Tunggu dulu,” jawab abangnya. “Biar kita ulur habis-habis, baru kau pegang.”

Maka habislah benangnya diulur si Amat, sehingga layang-layang sebesar itu sekarang kecil benar tampaknya.

Tiba-tiba si Ali menunjuk kepada layang-layang yang putus. Beramai-ramai anak-anak itu mengejar, tetapi tak dapat sebab terbangnya meninggi; dengan tangan hampa kembalilah mereka itu, bermain layang-layang sebagai bermula.

 
 

(Bersumber dari buku : “Dikampung”)

 
 
   

 

Selasa, 23 Oktober 2012

Ande Ande Lumut

Dari sebuah legenda berbahasa Jawa. Tersebutlah mBok Randa (perempuan janda ind.) Dadapan beserta dengan anaknya yang bernama Ande-ande Lumut. Keduanya tinggal pada tempat yang agak terpencil, disebuah areal pegunungan ditepi hutan. Seiring dengan berjalannya waktu, tentang keberadaan Ande-ande Lumut disitu, lambat-laun juga “sumebar nganti tekan ing njaban rangkah”(tersebar hingga kedaerah lain ind.). Hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang aneh, karena Ande-ande Lumut adalah seorang pemuda yang elok rupa, pun juga yang tak bisa disangkal lagi adalah kehalusan serta keluhuran budi pekertinya.
Yang namanya Intan, walaupun bercampur dengan dedaunan, tentu akan nampak juga kemilau sinarnya.
 
Keberadaan Dusun Dadapan tersebut sangatlah terasing dari tempat pemukiman lainnya. Berbatas tebing tinggi, hutan belantara yang lengkap dengan goa dan jurangnya, serta menghadap kepada sebuah telaga yang begitu luas. Satu-satunya jalan pintas untuk menuju kesana adalah dengan menyeberangi telaga yang ditunggui oleh si Yuyu Kangkang.
 
Dari cerita-cerita yang terbawa dari orang ke orang itu, akhirnya banyaklah gadis-gadis, dara cantik, perempuan-perempuan dari berbagai daerah disekitarnya yang berkeinginan untuk menjadi pendamping hidup si Ande-ande Lumut.
 
Namun pesona yang dimiliki si Ande-ande Lumut, begitu hebat, menggoda setiap hati perempuan lawan jenisnya. Memaksa kepada mereka semua datang ke Dusun Dadapan untuk mendapatkan hati si Ande-ande Lumut.
 
Demikian juga dengan Gadis-putri cantik yang bernama Pleting Abang, Pleting Ijo, dan Pleting Biru ini. Begitu sampai ditepian telaga, mereka sudah dihadang oleh Yuyu Kangkang. Kesempatan dan peluang itu dimanfa’atkan sekali dengan akal liciknya oleh si Yuyu Kangkang. Dia mau menyeberangkan mereka, asalkan diberikan padanya suatu imbalan.
“Imbalan apakah yang kamu kehendaki, uang ataukah makanan?”, tanya mereka.
Jawab si Yuyu Kangkang : “Aku tidak butuh uang, karena disini jauh dari Mall dan Pasar, he..he..he..”
Lanjut Yuyu Kangkang : “Dan kalau dengan makanan, disinipun sudah cukup banyak makanan dan buah-buahan!!”
Tanya mereka : “Lalu…., apakah yang kamu mau?”
 
Tentang hal itu, cukup banyak diceriterakan dalam bentuk tembang  jawa, beberapa puluh tahun yang lalu, diantaranya adalah sebagai berikut :
 
Putraku si Ande-ande Lumut, tumuruna ana putri kang unggah-unggahi.
Putrine kang ayu rupane, Pleting Abang (Ijo, Biru) iku kang dadi asmane.
Bu sibu, kula mboten purun; Bu sibu, kula bade matur.
Nadyan ayu, sisane si Yuyu Kangkang.
 
Putraku si Ande-ande Lumut, tumuruna ana putri kang unggah-unggahi.
Putrine kang ala rupane, Pleting Kuning iku kang dadi asmane.
Bu sibu, kula inggih purun; Bu sibu, kula bade matur.
Nadyan ala, punika kang putra suwun.
 
Artinya kurang lebih :
Putraku Ande-ande Lumut, segera turunlah dari samadi kamu, karena ada putri yang menghendaki dirimu.
Putrinya cantik sekali, Pleting Abang (Ijo, Biru) namanya.
Ibu, saya tidak suka; Ibu, saya mau sampaikan.
Walaupun cantik, ia mudah terbujuk rayu si Yuyu Kangkang.
 
Putraku Ande-ande Lumut, segera turunlah dari samadi kamu, karena ada putri yang menghendakimu.
Putrinya jelek, Pleting Kuning namanya.
Ibu, saya suka; Ibu, saya mau sampaikan.
Walaupun jelek, itulah (putri) dambaan hamba.
 
Tentang si Pleting Abang, Pleting Ijo, dan Pleting Biru, itu sebenarnya adalah masih sesaudara dengan si Pleting Kuning. Perlu diketahui, Pleting Kuning memiliki paras yang cantik sekali. Justru dengan kecantikan yang dimilikinya itu, membuat saudara-saudaranya yang lain iri dan membencinya. Memberikan kepadanya pakaian yang jelek dan kumal, memberikan pekerjaan dan tugas lain yang berat kepadanya si Pleting Kuning, dan juga diasingkan dari percakapan/pergaulan saudara-saudaranya. Namun, justru dengan kesemuanya itu menjadikan “gemblengan” (didikan ind.) mental kepadanya, untuk lebih tegar dalam menjalani hidup ini.
 
Sebagai makhluk sosial, si Pleting Kuning pun juga mempunyai rasa ketertarikan kepada lawan jenisnya. Walaupun samar-samar beritanya, cerita tentang si Ande-ande Lumutpun akhirnya sampai pula ketelinga Pleting Kuning. Terbit juga niatan hatinya untuk mendatangi Ande-ande Lumut di- Desa Dadapan tersebut, namun begitu mendengar kegagalan ketiga kakak-kakaknya dalam memikat hati si Ande-ande Lumut, menjadikan ciut juga nyalinya untuk datang kesana.
 
Hari berganti hari, namun khayalan serta bayangan Ande-ande Lumut, datang dan datang menghantui benak pikirannya. Hingga akhirnya ia membulatkan tekad hatinya untuk datang ke Desa Dadapan. Ketika hari hampir pagi, keluarlah ia dari rumahnya, meninggalkan Ibu dan Kakak-kakaknya. Karena ia sangat yakin kalau mereka mengetahui Pleting Kuning akan pergi ke Desa Dadapan, tentulah akan dicegah dan akan dimarahi habis-habisan.
 
Kemunculan si Pleting Kuning ditepi telaga tersebut, dengan pakaian lusuh, rambut acak-acakan, serta bau tidak sedap; sangat berbeda sekali dengan Kakak-kakaknya yang berpakaian serba indah, rambut tertata sekali, serta dengan aroma bau yang harum. Sangat menjijikkan dan menjadikan amarah si Yuyu Kangkang. Lalu dengan kata-katanya yang keras : “ Hai…, siapa kamu, mendekat ketempatku ini?”
Jawab si Pleting Kuning : “Saya si Pleting Kuning!”
Selanjutnya, Yuyu Kangkangpun segera mengusirnya : “Pergi!! Kesana, pergi…. segera menjauh dari tempat ini. Cepaaat…!!”
 
Si Pleting Kuningpun segera pergi meninggalkan tepian telaga itu. Selanjutnya ia segera mengambil jalan memutar, memasuki hutan rimba belantara,untuk menuju ke Desa Dadapan.  Walaupun dengan susah payah, akhirnya si Pleting Kuning sampai juga ke Desa Dadapan. Kiranya atas kehendak yang Kuasa juga, ia bisa melalui semua halang rintang yang ada ditengah hutan belantara, serta terbebas juga dari bujuk rayu si Yuyu Kangkang. Dan... akhirnya sampai pula ia ketempat tujuannya.
 
Kami sampaikan kilas balik dari cerita perjalanan kakak-kakak Pleting kuning :
Tak kala si Ande-ande lumut lagi melakukan olah samadi ditempat ketinggian, datanglah ibunya memberi tahu bahwa ada putri-putri cantik yang datang, menyampaikan maksudnya ingin menjadi pendamping hidup bagi si Ande-ande Lumut.
 
Tetapi dari Pleting Abang, Pleting Ijo, dan Pleting Biru tersebut, kesemuanya tidak ada yang berkenan dihati si Ande-ande Lumut. Karena mereka semua sudah mudah terkena bujuk rayu si Yuyu Kangkang.
Selanjutnya, dengan berat hati, satu persatu dari mereka itupun mohon diri untuk kembali pulang ke desanya masing-masing.
 
Perlu diketahui, bahwa para orang tua dijaman itu, sejak awal sudah membekali putera-puterinya dengan keilmuan lahir dan batin. Dimaksudkan agar kelak ketika mereka dewasa nanti, sudah siap mandiri menghadapi tantangan yang ada dalam mengarungi samudra yang membawa bahtera hidupnya, kemudian hari.
Tempat terasing, ketinggian, Goa-goa sunyi, dibawah pohon beringin, adalah sebagian tempat yang disuka bagi para petapa untuk melakukan samadi, untuk mendekatkan dirinya kepada sang Pencipta. Begitu juga yang dilakukan si Ande-ande Lumut, tak kala ibunya menjelang kepada dirinya, ketika ada gadis cantik yang bertamu kepadanya.
 
Berikutnya, kembali ibunya dikejutkan dengan datangnya seorang gadis berpakaian kumal, compang-camping, rambut acak-acakan, muka kusut, serta seluruh anggota tubuh penuh goresan luka yang telah mengering dan berbau agak amis.
 
mBok Randa, bertanya : “Hai… siapa kamu, dan ada keperluan apa datang kemari?”
Pleting Kuning menjawab dengan polosnya : “Kami Pleting Kuning, datang kemari mau menghendaki putera ibu yang bernama Ande-ande Lumut!”
Dengan spontan, meninggi suara mBok Randa : “Hai.. Pleting Kuning…!!! Tidakkah berkaca dulu, sebelum kamu datang kemari!?”
“Yang cantik, rapi, kaya, dan pinter saja, masih tidak dikehendaki oleh anakku. Apalagi orang semacam kamu!’’
 
Mendengar suara melengking dari ibunya itu, yang sebelumnya tidak pernah sekalipun ia mendengar suara ibunya sekeras itu. Segera si Ande-ande Lumutpun berhenti, dan kemudian menyeru dengan halus kepada ibunya : “Ibuu…!”
 
Ibunya pun segera menghampirinya, dengan penuh keheranan.
Ande-ande Lumut, berkata : “Ketahuilah Ibuku, ya perempuan kumal serta berbau amis inilah, yang hamba kehendaki!”
 
Dengan berat hati, akhirnya mBok Randapun akhirnya harus menerima keadaan tersebut. Dengan muka sambil berpaling, ia memberikan pakaian pengganti kepada si Pleting Kuning, dan menyuruh kepadanya untuk segera mandi dan merapikan diri.
Setelah Pleting Kuning berlalu dari hadapannya, kembali mBok Randa melanjutkan pertanyaannya.
 
mBok Randa, bertanya : “Sadarkah engkau, dengan memilih si Pleting Kuning itu?”
Jawab si Ande-ande Lumut : “Betul Ibu, saya sadar sepenuhnya!”
mBok Randa : “Pikirkanlah kembali, tidakkah engkau menyesal dikemudian hari?”
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . .
 
Dalam kesungguhan tanya jawab diantara keduanya, ibu dan anak, yang berlangsung seru itu, muncullah Pleting Kuning yang sudah bebersih dan merapikan diri. Walaupun hanya berbalut dengan pakaian sederhana (milik mBok Randa), namun tetaplah terpancar sinar keanggunannya; rambut berombak bak mayang mengurai, kulit kuning langsat, wajah lonjong bulat telur, dst. Melihat itu menjadikan mBok Randa tertegun, terbengong-bengong, diusap-usap kelopak matanya, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Ini seorang puteri, ataukah Bidadari …….”, ucapnya didalam hati.
 
Yang terucap dari lisan mBok randa, hanyalah kata : “Haa……h!”
 
Ande-ande Lumut mengamit lengan Pleting Kuning, untuk dipersilahkan duduk disamping dirinya. Dan kemudian…………., Ande-ande Lumutpun  mengungkapkan jatidiri dirinya yang sebenarnya.
 
Ande-ande Lumut, berkata :  “Ibu..! Ketahuilah, bahwa putramu ini sebenarnya adalah Raden Panji Asmarabangun putera mahkota Kerajaan, sedangkan si Pleting Kuning ini tak lain adalah kekasihku Dewi Sekartaji dari kerajaan Kediri.”
 
Kembali mBok Randa tersentak hatinya, tak kuasa menahan terharunya. Langsung merangkul dan menangis tersedu-sedu dipangkuan Ande-ande Lumut.
Disela tangisnya, ia berucap mohon maaf kepada Ande-ande Lumut, atas kelancangan dirinya.
mBok Randa, berucap : “Duh… Raden, maafkanlah kami yang telah lancang kepada Raden. Maafkanlah kami, Raden…….!”
 
Ande-ande Lumut, menjawab : “ Sudahlah Ibu,tidak apa-apa! Seharusnya, sayalah yang harus meminta maaf kepada Ibu, karena diwaktu itu kami tidak mengatakan yang sebenarnya tentang jatidiri saya”
 
Hari berganti hari, suasana bahagia begitu meliputi rumah mBok Randa Dadapan. Berikutnya kabar tentang keberadaannya itupun dengan cepat menyebar, dan berkicau dijejaring sosial yang memang lagi membahana diseantero kerajaan tersebut. Punggawa kerajaan yang ditugaskan untuk memanuki (mengamati, ind.) keberadaan putera kerajaan itu, pun segera melaporkan, untuk segera mengirimkan kereta penjemputan. Dengan petunjuk GPS, akhirnya mereka semua bisa mendapatkan petunjuk arah yang benar. Untuk menuju kepada koordinat Desa Dadapan, yang ditentukan.
 
Kemudian Raden Panji Asmarabangun, Dewi Sekartaji, dan mBok Randa Dadapan pun kesemuanya ikut diboyong ke kerajaan.
 
 
 
(Sebuah saduran bebas dari sebuah ceritera Ande-ande Lumut)
 
Bersumber dari berbagai media, dan :
 
Sebenarnya, cukup banyak cerita yang berkembang seputar tentang Putera Mahkota, Raden Panji Asmarabangun ini. Antara lain : Ande-ande Lumut, Puteri Dewi Anggraeni, Timun Emas, Entit, dst.
 
 
 

Minggu, 07 Oktober 2012

Daun Surga (4)

Karena jauhnya, tak sampai ia hari itu juga ketempatnya. Hari sudah mulai malam dan kudanya mulai letih. Sebab itu dicarinyalah tempat yang baik untuk bermalam.
 
Waktu itu bulan purnama. Setelah sudah makan, tidurlah ia ditikar yang dihamparkannya ditanah, serta melihat kebulan yang sedang bercahaya-cahaya dengan terangnya itu. Tiada berapa lamanya tertidurlah ia.
 
Dalam tidurnya itu ia bermimpi, bertemu dengan ibu dan isterinya yang dicintainya, pamannya Hafiz dan Kafur.
 
Waktu fajar menyingsing menandakan hari akan siang, bangunlah ia. Sesudah sembahyang subuh, dinaikinyalah kudanya, lalau berangkatlah ia.
 
Beberapa lamanya kemudian, tampaklah olehnya rumahnya dari jauh. Alangkah herannya, waktu dilihatnya pintu rumah masih tertutup, sungguhpun hari sudah siang.
 
Setelah ia sampai dihalaman ia bertambah heran, karena anjingnya, yang biasanya datang atau menyalak kalau ia datang tak kelihatan. Iapun berseru-serulah memanggil Kafur;  tetapi Kafurpun tidak menjawab. Dipanggilnya pula isterinya dan ibunya. Seorangpun tiada menjawab. Sekarang tumbuhlah syak dalam hatinya. “Tentulah ada yang terjadi sepeninggalku”, pikirnya.
 
Maka pergilah ia kepintu akan masuk kedalam. Waktu dibukanya pintu itu, maka kelihatanlah olehnya pamannya Hafiz terhantar dilantai. Pergi ia kebelakang akan melihat ibu dan isterinya serta Kafur, tetapi seorangpun tak kelihatan. Sesudah itu kembalilah ia ketempat Hafiz terhantar. Ditangan kanannya ada secarik sutera biru dan ditangan kirinya secarik lakan merah. Badannya penuh berlumuran darah. Dibelakangnya masih terpangcang sebuah pisau. "O, paman” katanya. “Bangunlah paman katakanlah kepada saya, siapa yang sudah membunuh paman.
 
Tahu saya, bahwa paman menyabung nyawa membela isteriku. Sutera biru yang paman pegang itu ialah secarik baju isteriku dan yang merah itu secarik baju perampok yang melarikannya. Alangkah kejamnya perampok jahanam itu! Tak berani ia rupanya menikam paman dari hadapan!”
 
Abdullahpun melompat pula keluar, naik keatas kudanya, lalu berteriak-teriak seperti orang gila lakunya. Sekalian orangpun heranlah melihat kelakuan Abdullah demikian itu. Abdullahpun berkata dari atas kudanya, sambil menunjuk kearah rumahnya, katanya : “Tak seorang juga rupanya yang dapat ditumpang. Lihatlah oleh tuan-tuan. Paman Hafiz sudah dibunuh orang. Ibu dan isteri saya serta Kafur dilarikannya.”
 
Seorang diantara mereka itu berkata, katanya : “Tak tahu kami, bahwa ada musuh yang datang. Hanyalah Umar, sahabat tuan yang datang beserta kawannya.” “Kalau begitu Umarlah yang melakukan pekerjaan yang hina itu”, kata Abdullah dalam hatinya. Muka merah padam karena marahnya, lalu berkatalah ia, katanya : “Siapa yang berani, ikutlah saya. Kalau tak ada yang mau mengikut, biarlah saya sendiri pergi”, lalu diputarnya kudanya dan dipacunya sekali. Sekalian orang laki-laki ditempat itu mengenakan pakaiannya, mengambil senjatanya, lalu menurutkan Abdullah dengan kudanya dari belakang.
 
Dengan mudahnya dapatlah diketahuinya kemana arahnya perampok itu pergi, karena jejak kuda dan unta perampok itu masih jelas kelihatan.
 
Tengah hari tepat kelihatanlah oleh Abdullah sebuah titik hitam amat jauhnya. Tahu sekali ia, bahwa itulah yang dicarinya. “Itulah dia!” katanya sambil menunjuk kearah titik hitam itu.
 
Kudanyapun dilecutnya menuju  tempat itu. Makin lama makin dekatlah ia kesitu. Rupanya kelihatan oleh Umar dan orangnya Abdullah datang itu, karena sebentar itu juga mereka itu menghalau kuda dan untanya dengan kencangnya. Ibu Abdullah dan Kafur ditinggalkan orang disitu.
 
Waktu ibunya melihat Abdullah datang, maka disongsongnyalah anaknya. Abdullahpun turunlah dari kudanya. Didakapnya ibunya dan Kafur dipegangnya dengan tangan kirinya. Sesa’at lamanya mereka itu tak berkata-kata sepatah juapun. Tiba-tiba berkatalah ibunya, katanya : "Anakku Abdullah, janganlah lama-lama, waktu sedikit; isterimu masih dalam tangan musuh. Segeralah engkau menurutinya!”
 
Mengingat perkataan ibunya itu, melompatlah sekali ia keatas kudanya. Seperti kilat, larilah kuda itu mengejar musuhnya.
 
Setelah dekat benar maka kelihatanlah olehnya seorang berjubah merah memacu kudanya dengan tangkasnya, menyimpang kekiri. Padanya ada seorang perempuan, sedang melambai-lambaikan tangannya dan berteriak-teriak : “Abdullah, Abdullah.” Mendengar teriak itu tahulah ia, bahwa yang dibawa lari oleh perampok itu yaitu isterinya. Waktu isteri Abdullah melihat suaminya itu, maka dengan tidak diketahui oleh perampok itu, ditariknyalah tali kekang kuda itu. Kuda itu berhenti sebentar. Penyamun yang ganas itu amat marahnya, lalu mencabut pisaunya. Maka ditikamnyalah dada perempuan yang tak berdosa itu, lalu diempaskannya ketanah.
 
“Pang”,  berbunyi bedil Abdullah. Perampok itupun jatuhlah, tidak jauh dari tempat itu, lalu matilah disitu juga.
 
Setelah sampai Abdullah ketempat isterinya, iapun turunlah dari kudanya. Isterinya diletakkannya keatas pangkuannya. Melihat darah memancar-mancar dari dada isterinya, maka bercucuranlah air matanya.
 
Tiba-tiba isterinya membuka matanya, menentang kepada Abdullah, lalu berkata, katanya. “Abdullah, manakah ia?” “Ia sudah mati karena peluruku”, jawab Abdullah.
 
Isterinya tersenyum mendengar perkataan suaminya, lalu katanya : “Sekarang senanglah hatiku meninggalkanmu. Selamat tinggal Abdullah selamat tinggal”, lalu ditutupnyalah matanya, tidak akan bangun-bangun lagi.
 
Abdullah melekapkan isterinya kedadanya, dan air matanya meleleh dipipinya.
 
Tiada berapa lamanya datanglah Kafur dan Ibunya ketempat itu. Sedih hatinya melihat isteri anaknya. Kafur, budak yang setia itu memagut kaki tuannya, lalu menangis dan berguling-guling ditanah. Tak tertahan olehnya bercerai dengan tuannya, yang memeliharanya dari kecil sampai besarnya.
 
Tiba-tiba berkatalah ibu Abdullah, katanya : “Abdullah, kamu seorang laki-laki, menangis pekerjaan perempuan. Umar masih hidup. Carilah ia, karena ialah asal bencana ini.”
 
Abdullah mendakap ibunya, memegang kepala Kafur, lalu naik keatas kudanya. Ditujukannyalah kudanya ketengah-tengah padang pasir mencari Umar. Kira-kira sejam lamanya kemudian, maka dilihatnya seekor kuda mati terhantar ditanah. Tidak jauh dari situ kedengaran olehnya orang mengerang.
 
Maka pergilah ia ketempat orang itu. Siapakah yang dilihatnya disitu? Ialah Umar sedang mengaduh kesakitan. Matanya  tak terbukakan lagi olehnya.
 
“Akan saya bunuhkah ia sekarang”, kata Abdullah dalam hatinya. “Tidak”, katanya pula, “Saya beri minum ia dahulu.” Maka dikeluarkannyalah tempat airnya, lalu dititikkannya air kemulut Umar. Waktu terasa oleh Umar bibirnya dingin, maka dibukanyalah matanya. Tempat air itu direbut, lalu diminum sampai habis.
 
“Sudah segarkah terasa badanmu?” Tanya Abdullah. “Mengucaplah kamu, karena hendak kupenggal lehermu.”
 
Umar terkejut mendengar perkataan Abdullah, lalu berkata katanya : “Abdullah engkau beri aku minum, sudah itu hendak kau bunuh aku. Tak ingatkah engkau lagi waktukita maish kecil, bermain bersama-sama? Ampunilah aku akan kesalahanku. Kalau aku engkau bunuh, tentulah tak dapat lagi aku membayar utangku, ta’at kepada Tuhan, akan kuhapuskan dosaku selama ini. Tuhan menghadiahkan surge kepada orang yang dapat menahan amarahnya. Tuhan menyayangi orang, yang menyayangi orang lain.”
 
“Perkataanmu itu melepaskan dirimu”, kata Abdullah, lalu berdiri. Dipangkunya Umar lalu didudukkannya keatas kudanya. Setelah terasa oleh Umar sudah seenak-enaknya ia duduk diatas kuda itu, maka dilecutnyalah kuda itu. Kuda itu melompatlah lalu lari dengan kencangnya.
 
Umar melihat sekali lagi kebelakang, lalu berkata, katanya : “Alangkah bodohnya kamu. Sekarang tentulah kamu akan mati kelaparan dan kehausan disitu.”
 
Abdullah tak menyesal sedikit juga melepaskan musuhnya yang sebesar-besarnya yang sudah ada dalam tangannya. Maka berjalan jugalah ia lambat-lambat. Panas waktu itu amat teriknya. Hausnya tak tertahan lagi olehnya. “Sekarang sampailah ajalku”, katanya dalam hatinya. Dengan pedangnya digalinyalah lubang disitu untuk kuburnya.
 
Setelah siap lubang itu, maka Abdullah mencuci muka, telinga, tangan dan kakinya dengan pasir, seperti orang mengambil air sembahyang.
 
Sudah itu direbahkanlah badannya dalam lubang itu.
………………………………………………………………  
 
Waktu ia membuka matanya, maka dilihatnya dekat kakinya sebuah jurang yang amat dalam. Didalamnya bernyala-nyala api yang amat besarnya. Bukan main panasnya waktu itu. Diseberang jurang itu dilihatnya kebun yang amat bagus. Buah-buahan yang ada disitu sedang bermasakan. Bunga-bungaan perbagai warna semerbak baunya. Alangkah senang dan sejuknya diseberang itu. Diatas jurang itu ada sebuah titian yang amat halus, lebih halus lagi dari rambut dibelah tujuh, lagi pula amat tajamnya. Waktu Abdullah melihat sekali lagi keseberang, maka kelihatanlah olehnya isterinya dan Hafiz melambai-lambainya.
 
Apakah akalnya hendak pergi keseberang itu? Akan dititinyakah titian yang halus dan tajam itu?
 
Tiba-tiba kedengaranlah olehnya suatu suara. Entah dari mana datangnya. Suara itu berkata, katanya :Abdullah, janganlah takut, titilah titian itu.” Abdullahpun menitilah. Seperti angina kencangnya ia meniti titian itu. Dengan selamat sampailah ia keseberang. Isterinya dan pamannya Hafiz yang dicintainya sudah menantinya disitu. Tak terperi, betapa besarnya hati mereka itu ketiganya, waktu bertemu kembali itu. Karena sukanya berlinang-linang air mata dimatanya. Mereka itupun duduklah bertiga menyenangkan hatinya, sambil bercakap-cakap dibawah sepohon kayu yang amat rimbun.
 
Abdullah tercengang-cengang melihat keindahan alam disitu. Tiba-tiba datanglah seorang malaikat kepadanya. Malaikat itu berkata,katanya : “Abdullah, kamu sekarang ada dalam surga. Amalan dan kebaikanmulah yang menyampaikan kamu kemari. Inilah daun surga yang keempat, yang masih kau cari-cari. AMbillah ia dan simpanlah baik-baik!”
 
Karena Abdullah berani berkorban, diperolehnya juga daun intan, daun surga yang keempat. Daun itu disimpannya baik-baik, lalu direbahkannyalah badannya ditanah. Tiada berapa lamanya tertidurlah ia ……………………………………………………………………
 
Tak seorang juga didunia ini yang sudah melihat surga, tetapi arwah Abdullah sudah melihatnya.
………………………………………………………………………
 
Anginpun bertiuplah dengan kencangnya dan tiada berapa lamanya lubang yang dibuat oleh Abdullah tadi, tertutuplah oleh pasir.
 
 
 
(bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)
 
Nb.:
Semampu kami, aku tulis ceritera ini apa adanya, dengan ejaan baru; Semoga Sobatku bisa memakluminya.