Kamis, 27 Desember 2012

Membantu kerja Orang-Tua

1. Si Ali menolong bapaknya:

“Li, kau mengikut kesawah?” Tanya bapaknya kepada si Ali.
“Ya, pak,” jawab si Ali. “Masih banyak pekerjaan, pak?”
“Tidak; hari ini aku hendak menyikat; barangkali sehari ini habis.”
“Ha, menyikat! Betulkah boleh saya mengikut kesawah, pak?”
“Mengapa tidak! Marilah kita ambil kerbau kekandang!”

Keduanya berjalanlah kebelakang rumah. Disitu dilihatnya kedua ekor kerbaunya masih berbaring; ia mengunyah tidak berhenti-hentinya. Bersama-sama dibukanya pintu kandang, lalu dihalaunya kerbau itu keluar. Kemudian berjalannah mereka itu menuju sawah yang tiada berap jauh dari kampungnya. Pak Amat memikul sikat yang akan dipakai nanti. Si Ali menurut dibelakang.

Belum berapa lama berjalan, sampailah mereka itu kesawahnya yang sudah dibajak. Pak Amat memasang kerbau itu dihadapan sikat. Si Ali tegak melihat bapaknya bekerja. Tatkala sudak selesai, bertanyalah pak Amat kepada anaknya:

“Ali, suka kamu naik dibelakang?”
“Suka, pak.”

Bapaknya menolong si Ali memanjat palang sikat.

“Ssss!” kata si Ali sambil mencoba membunyikan cambuknya, tetapi tidak berbunyi, sebab tak ada talinya.

“Pa, seperti naik kereta rasanya. Hus, hah, hus,” demikianlah kedengaran si Ali menghalau kerbaunya.

 

2. Mengantarkan nasi:

“Pak, mana kak Isah, belum tiba juga?” kata si Ali.
“Kau sudah lapar?” Tanya bapaknya. “Nantilah sebentar, tentu tak lama lagi ia datang.”

Betul sekali apa yang dikatakan bapaknya itu.

Dari jauh sudah tampak si Isah menjunjung bakul dan menjinjing bungkusan menuju kesawah itu.

“Kak, kak,” seru si Ali dari jauh. “Mengapa selambat itu kakak datang?”
“Kau sudah lapar?” Tanya kakaknya. “Pak, adakah si Ali menolong bapak bekerja?”
“Ada,” sahut bapaknya.
“Kalau begitu patutlah adik lapar. Lihatlah ini, dik, apakah ini?”

“Ha, rujak kelapa muda. Ha, sedap, sedap benar,” ujar si Ali, sambil menari-nari berkeliling kakaknya.

Sesudah bapak dan anak itu mencuci kaki dan tangannya, duduklah mereka itu dibawah pohon yang rindang. Panas matahari amat terik, tetapi dibawah pohon itu tak terasa panas karena dilindungi oleh daun yang rimbun.

Sedap benar makan mereka itu! Sesudah makan, diminumnyalah rujak kelapa muda yang sejuk dan manis rasanya.

Tak kala hampir habis makan minum, si Amat tiba pula disawah. Lalu si Ali menceriterakan pekerjaannya semenjak pagi.

Dalam mangkuk masih ada rujak kelapa sedikit, lalu dihabiskan oleh si Amat.

Ketika sudah lepas penat,mulai pula mereka itu bekerja. Kerbau yang sementara itu makan rumput disawah yang belum dikerjakan, dipasang pulalah. Sekarang si Amat menggantikan bapaknya memegang tali kerbau dan si Ali duduk pula diatas palang sikat. Pak Ali memperbaiki pematang keliling sawahnya.


3. Memandikan kerbau:

Kira-kira pukul empat selesailah pekerjaan disawah.

“Amat, bawalah kerbau kita kesungai, mandikan bersih-bersih!”
“Pak, saya pergi juga kesungai bersama-sama dengan abang. Boleh pak?” Tanya si Ali.

“Boleh, pergilah dengan abangmu! Aku hendak pulang membersihkan kebun kacang dan menggali ubi kayu yang sudah tua. Besok hari pekan, jadi boleh dijual.”

Kedua anak itu ditolong bapaknya naik kepunggung kerbau; kemudian berjalanlah binatang itu menuju sungai.

Disan sudah banyak anak-anak yang lain memandikan kerbaunya. Ramai mereka itu bersorak-sorak dan bersembur-semburan.

Ketika dilihatnya kedua saudara itu datang, bertambah riuh suara mereka itu; separuhnya pergi ketepi sungai akan menyemburi.

“Tunggu, tunggu dulu,” kata si Amat. “Nanti basah pakaianku.”

Sesudah berkata demikian dibukanya kain bajunya, diletakkannya ditepi sungai diatas sebuah batu besar. Kemudian si Amat dan si Ali turun keair.

Kerbaunya sudah dahulu turun.

Ramai benar mereka itu berperang-perangan air, bersembur-semburan tiada berhenti-hentinya.
 

Tiba-tiba sekaliannya lari naik kedarat. Seorang diantara anak-anak itu yang bernama si Badu berteriak-teriak: “Buaya, buaya!” Tatkala dilihatnya teman-temannya berlari-larian dengan tergopoh-gopoh, tertawalah ia, sebab sudah kena tipunya.

Banyak diantara kawan-kawannya jatuh bangun karena kakinya terserandung.

“Mana buaya? Mana buaya?” Tanya mereka itu seorang kepada seorang. Jawab si Badu: “Buaya ada dekat laut.” Barulah mereka tahu, bahwa ia sudah dipermain-mainkan oleh si Badu.

Dimana pula ada buaya digunung? Tetapi dalam waktu terkejut tidak terpikir sampai kesitu.
Kemudian pulanglah masing-masing kerumahnya sambil mengendarai kerbaunya.

 

 

(Bersumber dari buku : “Dikampung”)



    

Sabtu, 22 Desember 2012

Bermain

1. Si Ali dengan kawannya.

Disebelah rumah si Ali tinggal pak Aziz, yang beranak seorang laki-laki; hampir seumur dengan si Ali, namanya si Aziz. Anak itu belum bersekolah sebagai si Ali juga.

Kalau si Ali tidak mengikut bapaknya dan si Aziz ada dirumah, keduanyapun bermain-mainlah. Kadang-kadang bermain dibelakang rumah si Ali; kadang-kadang dihalaman rumah si Aziz.

Ketika si Ali sudah pulang mandi, pergilah ia kesebelah. Si Azizpun ada dirumah, jadi dapatlah kedua anak itu bermain-main.

“Jis, mari kita main kuda-kudaan.”
“Ayolah,mana talinya?”
“Tali kelopak pisang saja!”

Keduanyapun pergilah kepohon pisang yang dibelakang rumah.

“Siapa jadi kuda?”
“Kau, Jis, nanti aku.”

 
Si Azizpun menggigit kekang dan si Ali memegang tali les dan cambuk.

“Ayo, Belang, larilah!”

Cyh, cyh, cyh! Kudanyapun meringkik. Beberapa lamanya berlari-lari berkeliling rumah, lelahlah mereka itu. Kemudian si Ali pulang makan.

“Nanti kau datang pula, Li?” Tanya si Aziz.
“Belum tentu,” jawab si Ali, lalu ia pulang.
 

2. Main balon-balonan.

Diantara rumah si Aziz dan si Ali ada pagar hidup. Pagar itu pagar batang jarak.

Pada suatu hari si Aziz bermain-main kerumah si Ali. Belum berapa lama bermain, berkata si Aziz kepada temannya :

“Li, mari kita main balon-balonan!”
“Dari apa kita buat?”
“Dari getah jarak.”


Keduanya pergi kepagar jarak itu; dipatahkannya ranting yang muda. Maka titiklah getahnya; ditampungnya dengan daun jarak. Sudah itu diambilnya tangkai daun yang tua akan peniupnya.

“Lihatlah, Li, balonku naik sampai kepohon pisang!”

Si Ali mengembus pula, tetapi masih ditangkai pengembus, balonnya sudah pecah. Dicobanya sekali lagi, terjadilah sebuah balon besar.

“Lihat, Jis, lihatlah! Bagus benar warna itu.”

Keduanya memandang balon si Ali. Betul bermacam-macam warna tampak disitu; ada yang kuning, ada yang hijau, ada pula yang merah.

Sudah itu diembus si Ali balonnya, lalu naiklah balon itu. Tinggi, tinggi benar; hampir sampai kebubungan rumahnya. Waktu kedua anak itu payah, pulanglah masing-masing kerumahnya.



(Bersumber dari buku : “Dikampung”)



   

      

Rabu, 28 November 2012

Terang Bulan


Malam ini langit jernih. Beribu-ribu bintang bergemerlapan serta bulan sebesar nyiru nampaknya. Kata orang, malam ini bulan purnama. Angin berhembus dengan lemah lembut; daun kayu bergoyang perlahan-lahan. Sedap benar waktu itu duduk diluar rumah. Hampir pada tiap-tiap halaman ada orang duduk-duduk makan angin.

Anak-anak pun banyak yang bermain-main diluar sampai jauh malam; ada yang main galah panjang, ada yang main bersembunyi-sembunyian.

Ketika si Amat dan si Ali tiada serta bermain dengan teman-temannya, sebab  si Amat akan berceritera. Emak dan bapaknya serta kedua saudaranya duduk dihalaman mendengarkan si Amat berceritera, yang didengarnya tadi siang disekolah. Kata si Amat : “Mak, ceritera ini bagus benar, tetapi panjang sedikit.”

“Biarlah”, sahut si Isah dan si Ali serempak, “Ceriterakanlah, kami dengar!”

Pak Amat duduk ditikar sambil menghisap rokok daun yang diisi dengan kemenyan, supaya harum baunya. Emak dan bapak anak-anak itu ingin juga mendengarkan ceritera si Amat.

Ceritera :
Kata orang : pada jaman dulu, yaitu ketika sekalian binatang pandai berkata-kata sebagai manusia, adalah dua orang bersaudara. Yang sulung bernama Lokek dan yang bungsu bernama dermawan. Lokek itu kaya, sawah ladangnya banyak, uangnya tiada sedikit. Tetapi ia sangat kikir, sehingga tiada pernah memberi sedekah barang sedikit juapun kepada orang miskin. Lain benar halnya dengan dermawan; meskipun nasinya sepinggan, suka ia membagi dengan orang minta-minta. Ia pengasih-penyayang kepada fakir miskin.

Pada suatu hari, pergilah Dermawan mendapatkan saudaranya akan meminta tolong, karena berasnya sudah habis dan padi disawahnya baru hampir masak.

Tatkala ia sampai kerumah abangnya, bukan pertolongan yang diperolehnya, melainkan kata yang pedih-pedih yang didengarnya, serta dimarah-marahi oleh abangnya. Akhirnya diberinya jualah oleh abangnya beras secupak dan ikan sedikit.

Dengan sedih hati, pulanglah Dermawan kerumahnya. Ditengah jalan bertemulah ia dengan seorang-orang tua yang sangat miskin. Badannya kurus, hampir tak dapat berjalan. Maka Dermawanpun lupalah akan kesusahannya. Dihampirinya orang tua itu, lalu dibawanya pulang kerumahnya. Disitu disuruhnya orang tua itu tidur diatas balai-balai tempatnya tidur. Kata Dermawan : “Pak, berbaring-baringlah disana dulu, sementara hamba memasak nasi untuk bapak.”

“Terimakasih, nak. Janganlah bersusah-susah benar! Kalau bapak dapat tidur sedikit, tentu badan bapak akan segar.”

Ceritera (sambungan) :
Sementara orang tua itu tidur-tidur, bekerjalah Dermawan didapur yang tak banyak perkakasnya. Ketika selesailah pekerjaannya, disediakannya makanan untuk orang tua yang sakit itu.

Bukan main besar hatinya melihat perbuatan Dermawan itu. Lalu makanlah ia bersama-sama dengan yang empunya rumah, sedikit seorang.

Pada malam itu Dermawan menahani orang tua itu tidur dirumahnya. Pada keesokan harinya bermohonlah orang tua itu akan meneruskan perjalanannya. Sebelum ia berangkat, berkatalah ia : “Hai orang muda, berbahagialah engkau, karena engkau baik hati benar. Bapak tiada dapat membalas budimu. Ambillah pemberian bapak ini akan jadi tanda mata.” Lalu diberikannya sebuah lesung kecil dari pada perak. Katanya pula : “Barang apa yang kau ingini katakanlah : Tumbuk, tumbuk, tumbuk! Jangan lebih , jangan kurang. Kalau menyuruh berhenti, kau tumbukkan antannya tiga kali ketanah.”

Belum lagi dapat Dermawan mengucapkan terima kasih, orang tua itu sudah lenyap dari pemandangannya, sehingga tercengang-cenganglah ia.

Pada malamnya dipanggil Dermawanlah orang-orang miskin kerumahnya; dijamunya makan minum dengan selengkapnya.Sekalian makanan dan minuman itu diperolehnya dari lesung peraknya itu.

Sekarang si Dermawan telah menjadi seorang yang berada; meskipun demikian, sekali-kali tak berubah hatinya. Tatkala kabar ini sampai kepada saudaranya, timbullah niat jahat dalam hati saudaranya itu; ia mencuri lesung adiknya .

“Wah, jahat benar hatinya,” kata si Isah dan si Ali. “Coba kalau saya ada disitu, tentu saya sorakkan ia mencuri,” kata si Ali pula. Si Amat meneruskan ceriteranya :

Pada suatu malam datanglah Lokek mendapatkan adiknya. Dengan besar hati diterima Dermawanlah abangnya bermalam dirumahnya.

Maka bertanyalah Lokek dari hal lesung bertuah itu. Oleh karena Dermawan tidak berhati jahat, tiadalah ia menyangka apa-apa yang buruk; semuanya diceriterakannya seterang-terangnya. Waktu tengah malam, ketika orang sedang tidur nyenyak, dicuri Lokeklah lesung itu, lalu dibawanya berlayar.

“Cih.., jahat benar si Lokek,” seru si Isah.

“Namanyapun si Lokek,” jawab bapaknya.

Ceritera (penutup) :
‘Sudah itu,” kata si Amat, “Berlayarlah kapal yang ditumpanginya menuju negeri yang jauh.

Pada suatu hari dikeluarkan lesung yang dicurinya. Alangkah besar hatinya melihat lesung itu! Pikirnya, apabila ia sampai kenegeri baru itu, akan disuruhnya tumbuk emas banyak-banyak; tentulah ia akan kaya.

Tengah ia berpikir demikian, didengarnya orang berkata, bahwa dikapal kekurangan garam.

“Inilah waktu yang baik akan mencoba kesaktian lesung ini,” pikir Lokek dalam hatinya. Sebentar itu juga dipanggilnya orang kapal, dikatakannya kepada mereka itu, ia sanggup mengadakan garam. Sekalian mereka itu sangat heran dan masing-masing hendak mengetahui, bagaimana jalannya. Dikeluarkan Lokek lesung itu, diletakkan diatas meja, lalu katanya : “Tumbuk, tumbuk, tumbuk garam!” Lesung itu menumbuklah, sehingga berhamburanlah garam keluar. “Sudah, sudah  cukup,” seru anak-anak kapal. Akan tetapi antan itu tak mau berhenti. Lokekpun hilanglah akalnya.  Dicarinya tanah, tak ada; karena ia tergopoh-gopoh berangkat, lupalah ia membawa tanah, jadi tak dapat ia menyuruh berhenti menumbuk.

Bertambah lama, bertambah banyak garam bertimbun dalam kapal itu, akhirnya tenggelamlah. Sampai sekarang antan itu masih menumbuk juga, sebab itu air laut asin rasanya.

“Bagaimana si Lokek, bang?” Tanya si Ali.
“Ia mati terbenam.”
“Itu bagus, itu bagus. Sudah habis ceriteranya, bang?”
“Sudah.”
“Mari kita tidur!” kata ibu anak-anak itu. “Hari sudah jauh malam.”

Mak Isah kelima beranak masuklah kedalam dan tiada berapa lamanya sunyi senyaplah dalam kampong, hanya bunyi cengkerik saja yang kedengaran.


 
(Bersumber dari buku : “Dikampung”)



Minggu, 18 November 2012

Kitab si Dahlan

Sudah makan tengah hari adik si Dahlan tidur. Si Isah menolong ibunya mencuci piring mangkuk disumur,bekas makan tadi. Si Dahlan, si Amat dan si Ali pergi kehalaman muka duduk dibawah pohon asam yang rimbun daunnya. Si Aziz ada juga bersama-sama. Sejuk hawa disitu! Tiba-tiba teringatlah oleh si Dahlan kitabnya yang baru dibelikan orang tuanya. Ia berlari kerumah mengambil kitab itu yang terletak dalam bungkusan baju adiknya.

“Ini dia, Mat!” kata si Dahlan sambil mengunjukkan kitabnya kepada si Amat, tatkala ia sudah kembali ketempat tadi. Si Amat membalik-balik halamannya. Didalamnya adalah gambaran yang bagus-bagus.

“Bila kau peroleh kitab ini, Lan?” Tanya si Amat.

“Kemarin dulu. Banyak ceriteranya yang bagus bagus. Yang sedih sekali  ceritera anak dengan burung.”

“Bacalah, Lan,” seru si Ali. Dalam hatinya ia berpikir : “Lekaslah aku masuk sekolah, lekaslah aku pandai membaca dan menulis seperti si Dahlan dan Abangku.”

Si Dahlan mulai membaca :

SENANG dan SUSAH
Adalah seorang anak yang bernama si Mansur. Tabiatnya kasar dan pemalas. Lebih suka berjalan-jalan dari pada menolong orang tuanya atau menyudahkan pekerjaan sekolah.

Pada suatu hari ia tiada bersekolah. Ia berjalan kesana kemari sambil membawa sebuah katapel atau pelanting. Sesampainya dekat kebun pak HUsin, kelihatan olehnya seekor burung sedang memberi makan anaknya yang masih kecil-kecil.

Pikir si Mansur : “Coba kupasang dia”. Lalu diambilnya batu, ditembaknya, tetapi untung tidak kena. Burung itu terkejut, lalu terbanglah kesana-kemari; anaknya mencicit-cicit memanggil induknya. Induk burung itupun hinggap pula pada tepi sarangnya, tetapi ……….. tiba-tiba sebuah batu mengenai dadanya. Sesa’at itu juga gugurlah ia kebumi dengan tiada bernapas lagi. Si Mansur tertawa. Sangkanya ia sudah pandai benar menembak. Diangkatnya burung yang telah mati itu, dicampakkannya ketepi jalan. Sudah itu iapun meneruskan perjalanannya. Dari jauh terdengarlah cicit anak-anak burung yang sekarang tiada beribu lagi.

“Aduh, kasihan,” kata si Amat. Si Ali berdiam diri saja; air matanya tampak berlinang-linang.

Senang dan susah (sambungan) :
Malamnya turunlah angina rebut disertai hujan yang seperti dicurahkan dari langit. Hawa udara terasa sejuk. Makin jauh malam, makin dingin. Si Mansur tidur nyenyak benar;  badan dan kepalanya ditutupinya dengan selimut tebal, sehingga tiada terasa lagi olehnya sejuk malam itu.

……………………………………….

“Cit, cit …,” teriak anak-anak burung yang tiada lagi berinduk itu. Perutnya lapar, badannya dingin, tetapi induknya tak ada lagi yang akan menutupinya dengan sayapnya dan memberi makan apabila lapar.

Hujan terus saja dan anginpun bertiup tak henti-hentinya. Pada keesokan harinya lalu pula si Mansur dekat pohon tempat ia membunuh burung kemarin. Dalam hatinya ia hendak mengambil sarang burung itu; lalu dipanjatnya dengan segera. Tetapi tak ada gunanya; keempat anak burung itu tiada bernapas lagi. Si Mansurpun turunlah dan meneruskan perjalanannya.

Sebuah batu kecil ditangan yang bengis sudah menghilangkan nyawa lima ekor burung.

Belum berapa lama ia berjalan, kelihatan olehnya seekor anjing besar, tidur ditepi jalan.

Iapun berpikir : “Baiklah aku lanting anjing itu”. Diambilnya sebuah batu, diletakkannya pada kulit katapelnya.  Sebentar lagi kedengaranlah dengking anjing yang kesakitan.

Tetapi apakah itu?

“Aduh, aduh,” teriak si Mansur. “Aduh, aduh!”

Tak kala anjing itu melihat siapa yang menyakitinya, sebentar itu juga dikejarnya si Mansur yang berlari sekencang-kencangnya. Oleh karena ia melihat kebelakang, kakinya terantuk pada batu, iapun tersungkur ketanah. Sebentar itu juga anjing itu menggigit kakinya, sehingga nerdarah-darah.

Orang kampung datanglah menolong si Mansur yang nakal itu; dibawa mereka itu dia pulang kerumah orang tuanya. Sebulan lamanya ia terpaksa tinggal ditempat tidur.

Semenjak itu, apabila ia hendak mengusik binatang, terbayanglah dimatanya burung yang dibunuhnya dahulu, anjing yang disakitinya dan luka pada kakinya yang sampai sekarang masih berbekas.

 

(Bersumber dari buku : “Dikampung”)

 
   
 

Rabu, 07 November 2012

Ceritera zaman Nabi Nuh


Kata yang empunya ceritera, pada zaman dahulu kala, waktu Nabi Allah Nuh memerintah, terjadilah air bah yang sangat besar. Dunia ini habis tenggelam. Tidak ada setelempap tanah tempat berdiri. Sekalian manusia habis mati. Hanyalah ada delapan puluh orang laki-laki dan perempuan yang masih hidup, yakni orang yang beriman kepada Nabi Allah Nuh dan menjunjung tinggi perintah-perintahNYA. Lain daripada itu adalah beberapa ekor binatang. Semuanya mengikut kemana juga Nabi Nuh pergi.

Oleh Nabi Allah Nuh dibuatlah sebuah kapal yang amat besar. Dengan kapal itulah Nabi Allah Nuh membawa rakyatnya dan segala binatang-binatang itu. Entah berapa lamanya mereka terkatung-katung ditengah laut, tak tentu arah dan tujunya. Kata setengah cerita adalah 14 hari dan 14 malam lamanya.

Pada suatu hari surutlah air bah yang sangat hebat itu. Tetapi daratan belumlah juga kelihatan. Maka dititahkan oleh Nabi Allah Nuh seekor burung garuda akan mencari daratan.

Maka burung garuda itu terbanglah membubung keudara. Setelah berapa lamanya ia beredar kesana kemari, tampaklah olehnya setumpak daratan. Dilihatnya disana banyak mayat dan bangkai binatang bertimbun-timbun. Maka dimakannyalah bangkai itu sekenyang-kenyangnya. Setelah sudah ia makan barulah ia pulang mendapatkan Nabi Allah Nuh.

Sabda Nabi Allah Nuh : “Hai garuda, adakah engkau bertemu dengan daratan?”

Jawab garuda : “Ada, ya Nabi Allah, jauh tempatnya dari sini.”

Sabda Nabi Allah Nuh pula : “Manakah tandanya engkau bertemu dengan daratan itu?”

Burung garuda itu tak dapat menjawab. Tak ada tanda yang dibawanya.

Maka Nabi Allah Nuh bertitahlah kepada burung dara : “Hai burung dara pergilah engkau mencari daratan ! Dan bawalah tanda daratan itu kelak.”

Maka burung darapun terbang pulalah mencari daratan. Sedang terbang berpikir ia dalam hatinya, pikirnya : “Sedangkan garuda yang besar dan gagah perkasa itu tidak dapat membawa tanda daratan itu. Apalagi aku yang lemah ini? Tetapi biarlah kuusahakan juga.

Iapun terbanglah menuju keudara. Dengan kehendak Allah tampaklah olehnya daratan. Maka turunlah ia disana. Tanahnya masih lumpur dan merah warnanya. Pikir burung dara dalam hatinya : “Bagaimanakah aku akan membawa tandanya? Sebutir tanah tak ada yang dapat aku patuk. Sekaliannya lumpur cair sebagai air.”

Burung dara itu termenunglah beberapa lamanya. Akhirnya dapatlah olehnya suatu akal. Kakinya dan paruhnya direndamkannya kedalam lumpur yang sebagai darah itu. Kemudian terbanglah ia kembali mendapatkan nabinya.

Setelah sampai bertanyalah Nabi Allah Nuh : “Hai burung dara, adakah engkau bertemu dengan daratan itu?”

Jawab burung dara : “Ada, ya Nabi Allah. Inilah tandanya pada kaki dan paruh hamba. Lumpurnya yang merah hamba patuk dan hamba pijak, sehingga kaki dan paruh hamba menjadi merah.”

Nabi Allah Nuh melihatlah kepada kaki dan paruh burung dara itu. Maka percayalah ia.

Nabi Allah Nuh lalu bertitah pula, sabdanya : “Hai burung dara, untuk pembalas jasamu itu engkau hendak kuberi suatu tanda kehormatan, yakni dokoh seuntai.” Lalu Nabi Allah Nuh menggantungkan dokoh yang amat indah dileher burung dara itu.”

Kata burung dara itu : “Ya Nabi Allah, janganlah hamba diberi dokoh ini. Nanti binatang-binatang lain iri hatinya dan hamba tentu dibunuhnya.”


Burung Dara (Merpati)  (google/kaskus)
Kata Nabi Allah Nuh : “Hai burung dara, janganlah engkau kuatir. Dokoh itu hanya tampak olehmu saja, sedang oleh binatang-binatang dan burung-burung yang  lain hanya tampak sebagai bulu biasa.”

Mendengar itu senanglah hati burung dara menerima pemberian nabinya. Kata yang punya ceritera, itulah sebabnya bulu yang dileher burung dara sampai sekarang berkilat-kilat sebagai emas, yaitu dokoh kehormatan yang diberikan Nabi Allah Nuh dahulu. Dan itu pulalah sebabnya kaki dan paruhnya merah, yakni bekas lumpur, waktu nenek moyangnya mencari daratan.


 

(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)



   
 

 

 

Minggu, 04 November 2012

Menuang Air secara lebih cepat

Pada kehidupan yang ada, sering kita menggunakan dengan apa yang namanya air.
Namun kadang kita kurang seberapa perhatian tentang air tersebut.

Berikut kami lihat beberapa waktu yang lalu, dari sebuah tayangan teve.
Tentang menuang air dari sebuah bejana/botol, secara lebih cepat.

Mungkin kita menganggap bahwa cara pada gambar C, adalah yang lebih cepat.
 


 
Tetapi pada kenyataannya, cara pada gambar D, adalah yang lebih cepat.

Yakni : Menuang air, kemudian sambil menggerak/goyang2-kan botol tersebut.


Kurang percaya?

Silahkan buktikan sendiri! à bila perlu gunakan alat pengukur waktu yang akurat.

 


     '

Kamis, 01 November 2012

Riwayat Nabi Yusuf


Nabi Yakub beranak dua belas orang laki-laki. Amat sayang ia kepada anak-anaknya itu. Tetapi yang disayanginya benar, ialah anaknya yang kesebelas, Yusuf namanya. Bukan karena kecantikan parasnya saja, lebih-lebih karena baik budi pekertinya, elok tingkah-lakunya dan lemah-lembut tutur bahasanya. Kelakuannya yang baik menjadi suri tauladan bagi kawan-kawannya, yang sebaya dengan dia. Sebab itu sekalian orang sayang kepadanya. Demikian pula saudara-saudaranya. Binyamin anak yang bungsu waktu itu baru berumur tiga tahun. Sungguhpun ia sekecil itu, lebih sayangnya kepada Yusuf daripada kepada saudara-saudaranya yang lain.

Pada suatu malam Yusuf bermimpi. Dalam mimpinya itu ia diangkat orang menjadi raja dalam sebuah kerajaan yang amat besar dan banyak penduduknya.

Keesokan harinya diceriterakannyalah mipinya itu kepada saudara-saudaranya.

Sejak mendengar ceritera Yusuf itu, bencilah mereka itu kepadanya. Jika sebenarnya Yusuf menjadi raja kelak, tentulah mereka itu akan dibawahnya dan terpaksa menuruti perintahnya. Demikianlah pikiran  mereka itu. Yusuf tak diajaknya lagi bercakap-cakap atau berjalan bersama-sama.

Pada suatu hari Nabi Yakub membelikan Yusuf sehelai baju belederu merah, bersulamkan benang emas. Amat bagusnya baju itu; lagi pula mahal harganya.

Saudara-saudaranya makin bertambah-tambah iri hatinya melihat Yusuf dibelikan baju yang bagus itu. “Kita sudahi juga Yusuf ini”, kata Rubin anak Nabi Yakub yang sulung kepada adik-adiknya, waktu mereka itu sedang menggembalakan dombanya ditengah padang, tidak jauh dari rumahnya.

Yusuf waktu itu sedang duduk dirumah bermain-main dengan adiknya Binyamin. Datanglah bapaknya, Nabi Yakub lalu bersabda, sabdanya : “Pergilah kamu ketengah padang melihat saudaramu menggembalakan domba!” Yusufpun berdirilah, lalu pergi mendapatkan saudara-saudaranya.

“Marilah kita bunuh dia”, kata Rubin kepada saudara-saudaranya, “Sekaranglah waktunya yang baik; nanti kita katakan kepada bapak, bahwa ia telah dikoyak oleh binatang buas.”

Juda, saudara Yusuf juga berkata, katanya : “Lebih baik kita masukkan saja ia kedalam sumur.”

Setelah Yusuf sampai kesana, maka iapun ditangkaplah oleh mereka itu; bajunya yang bagus dan mahal ditanggalkannya dan kedua belah tangannya diikat erat-erat.

Waktu mereka itu akan melemparkan Yusuf kedalam sumur, maka kelihatanlah olehnya dari jauh beberapa orang saudagar datang berunta.

“Hai”, teriak Rubin, “Janganlah dia dilemparkan kedalam sumur. Lebih baik kita jual dia kepada saudagar-saudagar itu sebagai budak. Tentulah akan mahal harganya.”

Yusufpun dijualnyalah kepada saudagar yang baru datang itu.

Sesudah itu disembelihlah seekor domba, lalu dilumurinya baju Yusuf dengan darah domba itu. Mereka itupun pulanglah. Baju yang sudah dilumurinya dengan darah itu diperlihatkannya kepada bapaknya, lalu katanya : “Yusuf sudah mati ditangkap oleh binatang buas dan dilarikannya masuk hutan. Inilah bajunya kami bawa. Habis berlumuran darah.

Bapaknya yang sudah tua itu menangislah mendengar kabar anaknya mati itu.
----------------------------------------------------------------------------

Saudagar-saudagar yang membeli Yusuf itu meneruskan perjalanannya ke Mesir. Disitu Yusuf dijual pula oleh mereka itu. Labanya berlipat ganda dari pokoknya dahulu. Yusufpun sampai ketangan seorang pembesar negeri.

Yusuf seorang yang cepat kaki ringan tangan. Jikalau dipanggil, dengan segera ia datang, kalau disuruh lekas ia pergi. Tuannya amat sayang kepadanya, lebih dari kepada anaknya sendiri. Sebab itu terbitlah sakit hati isterinya. Difitnahkannya Yusuf kepada suaminya. Suaminya percaya saja akan fitnah isterinya itu. Yusufpun dimasukkan oranglah kedalam penjara.

Pada suatu hari raja dinegeri itu bermimpi. Dalam mimpinya, baginda rsanya berjalan-jalan dipinggir sungai Nil. Maka kelihatanlah oleh baginda lembu empat belas ekor, tujuh ekor gemuk dan tujuh ekor kurus. Lembu yang gemuk-gemuk itu habis dimakan oleh lembu yang kurus-kurus itu, tetapi badannya kurus juga.

Ketika baginda bangun, amatlah susah hatinya. Maka dipanggillah ahli nujum akan melihat, apakah takbir mimpi itu. Tetapi seorangpun tak ada yang dapat menerangkan arti mimpi itu kepada baginda.

Tiba-tiba berkatalah seorang hamba sahaya baginda, katanya : “Ampun tuanku syah alam, dalam penjara ada seorang muda yang pandai mentakbirkan mimpi, Yusuf namanya.”

Maka Yusufpun disuruh baginda keluarkan dan disuruh datang menghadap baginda. Bagindapun menceriterakan mimpi kepadanya serta disuruhnya mentakbirkannya sekali.

Yusuf menjawab dengan hormatnya : “Ya, tuanku syah alam. Tuhan yang mahakuasa memberi tahu kepada tuanku, bahwa hanya tujuh tahun lagi negeri tuanku ini dalam kemakmuran. Sudah itu akan datang musim kesusahan, tujuh tahun lamanya. Tumbuh-tumbuhan akan mati semuanya. Tanah-tanah akan kering dan makanan akan habis; rakyat tuankupun akan kelaparan.

Baginda percaya akan perkataan tersebut,lalu disuruh baginda karuniai dia harta amat banyaknya. Lain dari pada itu ia diangkat oleh baginda jadi raja muda yang akan menggantikan baginda kelak sepeninggal baginda. Baginda sendiripun tiada berputera seorang juga.
----------------------------------------------------------------------------

Tujuh tahun lamanya sejak itu. Tujuh tahun pula negeri Mesir dalam kemakmuran. Ternak kembang, padi menjadi, tak terpanai banyaknya.

Raja muda menyuruh mendirikan beratus-ratus gudang besar penyimpan padi dan makanan-makanan yang lain, untuk persediaan dalam waktu kesusahan. Sekarang datanglah musim kelaparan, musim yang amat ditakuti itu. Sekalian tumbuh-tumbuhan dan ternak habis mati. Tetapi di Mesir tiadalah orang takut akan kelaparan dan kehausan, makanan dan minuman yang disediakan malah melebihi keperluan hamba rakyat semuanya.

Dinegeri-negeri lainpun, diluar negeri Mesir orang menanggung kesusahan. Demikian juga dinegeri Nabi Yakub.

Saudara Yakubpun pergilah ke Mesir akan membeli padi. Binyamin tak pergi mengikut, karena ia masih kecil. Setelah mereka itu sampai kesana, maka iapun disuruh oranglah menghadap raja muda.

Baharu saja mereka itu sampai, tahu sekali baginda, bahwa yang datang itu saudara baginda yang menjual baginda dahulu. Tetapi seorangpun tak ada yang mengenal baginda lagi. Sebelum padi diberikan oleh baginda, baginda lebih dahulu bertanyakan hal ikhwalnya dirumah. Lalu diceriterakannyalah hal bapaknya dan adiknya Binyamin.

“Bawalah adikmu itu kemari”, jawab baginda, “sudah itu barulah kamu saya beri padi.” Sudah itu mereka itupun bermohonlah akan pulang kenegerinya.

Mula-mula Nabi Yakub tak mau melepas Binyamin pergi. Tetapi kemudian diizinkannya juga Binyamin menghadap Raja Muda di Mesir, karena padi simpanannya selama ini hampir habis.

Sampai di Mesir masuklah Rubin dengan saudara-saudaranya menghadap baginda Raja Muda. Waktu baginda melihat adiknya Binyamin, tak dapat ia lagi menahan hatinya, lalu diulurkannya tangannya, pergi kepada Binyamin dan berkata, katanya : “Binyamin, tak ingatkah kamu lagi? Sayalah saudaramu Yusuf.” Adiknya itu didukungnya lalu didudukkannya dipangkuannya.

Saudara-saudaranya yang lain amat takutnya. Seorangpun tak ada yang berani berkata sepatah juapun. Mereka itu berlutut menyembah baginda dan minta ampun kepadanya akan kesalahannya.

Baginda Yusuf, yang berhati mulia itu tiadalah marah sedikit juga kepada saudara-saudaranya. Malah baginda amat berbesar hati dapat bertemu kembali dengan saudara-saudara baginda.

“Tuhan menyuruh saya datang ke Mesir ini ialah akan melepaskan penduduk dan kakanda semuanya dari bahaya kesusahan ini”, kata baginda. “Sekarang pergilah kakanda pulang semuanya. Tinggalkanlah Binyamin disini dan bawalah ayahanda kita kemari, karena musim lapar ini masih lama lagi. Bawalah makanan sekali untuk bekal dijalan.”

Mereka itupun amat berbesar hati mendengar kata baginda itu, lalu berdiri dan didakapnya adiknya itu berganti-ganti. Sudah itu berangkatlah mereka itu kenegerinya.

Baru saja mereka itu sampai dihalaman, berteriaklah ia : “Ayah, Yusuf masih hidup. Sekarang ia menjadi raja di-Mesir. Ayah disuruhnya pergi kesana.”

Mula-mula Nabi Yakub tak percaya akan perkataan anaknya itu. Tetapi setelah diceriterakan oleh mereka itu semuanya, barulah ia percaya. Tiada berapa lamanya kemudian berangkatlah mereka itu menuju ke-Mesir.

Setelah baginda Raja Muda mendengar kabar, bahwa ayah dan saudara baginda sudah datang, maka pergilah baginda keluar kota akan mengalu-alukan ayahanda baginda serta saudaranya semuanya.

Setelah bertemu, maka berlututlah baginda menyembah Nabi Yakub. Keduanyapun berdakaplah. Karena riangnya berlinang-linanglah air matanya.

Raja Muda Yusuf pergilah menghadap raja akan memohonkan kepada baginda, supaya ayahnya Nabi yakub dan saudara-saudaranya boleh tinggal bersama-sama dengan dia di Mesir.

Rajapun memperkenankan permintaan baginda itu.

Beberapa tahun lamanya Nabi Yakub tinggal di-Mesir amat senangnya bersama-sama dengan anaknya.

 



(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)

Nb.: Kelihatannya cerita diatas diambil petikhan-petikan dari seberapa sumber.



 '

Selasa, 30 Oktober 2012

Musim Layang-layang

Layang-layang.  by: lagu anak-anak

Kuambil buluh sebatang.

Kupotong sama panjang.

Kuraut dan kutimbang dengan benang.

Kujadikan layang-layang.

Bermain, berlari.

Bermain layang-layang.

Bermain kubawa ketanah lapang.

Hati gembira dan riang.

 

Padi sudah disabit dan sudah dibawa pulang kelumbung. Sawah-sawah yang seperti ditaburi dengan emas dahulu, sekarang sudah seperti kepala gundul. Banyak itik, ayam dan kerbau mencari makanannya disitu.

Pada petang hari banyaklah anak-anak menaikkan layang-layangnya. Bermacam-macam bangunnya : ada yang seperti ikan, ada yang seperti bulan dan ada pula yang serupa burung.

Si Amatpun ada berlayang-layang yang dibuatnya sendiri. Layang-layang itu sebagai ular; ekornya panjang, hampir tiga depa. Susah benar menaikkannya. Kalau tak ada angin kencang, tak mau naik, sebab itu si Alipun bersiul-siullah memanggil angin.

Tiada berapa lama antaranya turunlah angin kencang. Lalu si Ali disuruh abangnya menganjungkan layang-layangnya. Tiada berapa lamanya naiklah layang-layang itu, bagus benar, sehingga hampir tegak tali; naik layang-layang yang demikian berpayung namanya. Ekornya selalu bergerak-gerak, tetapi tegaknya tiada berubah, tidak seperti layang-layang Palembang yang susah dipegang tetap.

“Mari saya pegang, bang!” ujar si Ali.
 
“Tunggu dulu,” jawab abangnya. “Biar kita ulur habis-habis, baru kau pegang.”

Maka habislah benangnya diulur si Amat, sehingga layang-layang sebesar itu sekarang kecil benar tampaknya.

Tiba-tiba si Ali menunjuk kepada layang-layang yang putus. Beramai-ramai anak-anak itu mengejar, tetapi tak dapat sebab terbangnya meninggi; dengan tangan hampa kembalilah mereka itu, bermain layang-layang sebagai bermula.

 
 

(Bersumber dari buku : “Dikampung”)

 
 
   

 

Selasa, 23 Oktober 2012

Ande Ande Lumut

Dari sebuah legenda berbahasa Jawa. Tersebutlah mBok Randa (perempuan janda ind.) Dadapan beserta dengan anaknya yang bernama Ande-ande Lumut. Keduanya tinggal pada tempat yang agak terpencil, disebuah areal pegunungan ditepi hutan. Seiring dengan berjalannya waktu, tentang keberadaan Ande-ande Lumut disitu, lambat-laun juga “sumebar nganti tekan ing njaban rangkah”(tersebar hingga kedaerah lain ind.). Hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang aneh, karena Ande-ande Lumut adalah seorang pemuda yang elok rupa, pun juga yang tak bisa disangkal lagi adalah kehalusan serta keluhuran budi pekertinya.
Yang namanya Intan, walaupun bercampur dengan dedaunan, tentu akan nampak juga kemilau sinarnya.
 
Keberadaan Dusun Dadapan tersebut sangatlah terasing dari tempat pemukiman lainnya. Berbatas tebing tinggi, hutan belantara yang lengkap dengan goa dan jurangnya, serta menghadap kepada sebuah telaga yang begitu luas. Satu-satunya jalan pintas untuk menuju kesana adalah dengan menyeberangi telaga yang ditunggui oleh si Yuyu Kangkang.
 
Dari cerita-cerita yang terbawa dari orang ke orang itu, akhirnya banyaklah gadis-gadis, dara cantik, perempuan-perempuan dari berbagai daerah disekitarnya yang berkeinginan untuk menjadi pendamping hidup si Ande-ande Lumut.
 
Namun pesona yang dimiliki si Ande-ande Lumut, begitu hebat, menggoda setiap hati perempuan lawan jenisnya. Memaksa kepada mereka semua datang ke Dusun Dadapan untuk mendapatkan hati si Ande-ande Lumut.
 
Demikian juga dengan Gadis-putri cantik yang bernama Pleting Abang, Pleting Ijo, dan Pleting Biru ini. Begitu sampai ditepian telaga, mereka sudah dihadang oleh Yuyu Kangkang. Kesempatan dan peluang itu dimanfa’atkan sekali dengan akal liciknya oleh si Yuyu Kangkang. Dia mau menyeberangkan mereka, asalkan diberikan padanya suatu imbalan.
“Imbalan apakah yang kamu kehendaki, uang ataukah makanan?”, tanya mereka.
Jawab si Yuyu Kangkang : “Aku tidak butuh uang, karena disini jauh dari Mall dan Pasar, he..he..he..”
Lanjut Yuyu Kangkang : “Dan kalau dengan makanan, disinipun sudah cukup banyak makanan dan buah-buahan!!”
Tanya mereka : “Lalu…., apakah yang kamu mau?”
 
Tentang hal itu, cukup banyak diceriterakan dalam bentuk tembang  jawa, beberapa puluh tahun yang lalu, diantaranya adalah sebagai berikut :
 
Putraku si Ande-ande Lumut, tumuruna ana putri kang unggah-unggahi.
Putrine kang ayu rupane, Pleting Abang (Ijo, Biru) iku kang dadi asmane.
Bu sibu, kula mboten purun; Bu sibu, kula bade matur.
Nadyan ayu, sisane si Yuyu Kangkang.
 
Putraku si Ande-ande Lumut, tumuruna ana putri kang unggah-unggahi.
Putrine kang ala rupane, Pleting Kuning iku kang dadi asmane.
Bu sibu, kula inggih purun; Bu sibu, kula bade matur.
Nadyan ala, punika kang putra suwun.
 
Artinya kurang lebih :
Putraku Ande-ande Lumut, segera turunlah dari samadi kamu, karena ada putri yang menghendaki dirimu.
Putrinya cantik sekali, Pleting Abang (Ijo, Biru) namanya.
Ibu, saya tidak suka; Ibu, saya mau sampaikan.
Walaupun cantik, ia mudah terbujuk rayu si Yuyu Kangkang.
 
Putraku Ande-ande Lumut, segera turunlah dari samadi kamu, karena ada putri yang menghendakimu.
Putrinya jelek, Pleting Kuning namanya.
Ibu, saya suka; Ibu, saya mau sampaikan.
Walaupun jelek, itulah (putri) dambaan hamba.
 
Tentang si Pleting Abang, Pleting Ijo, dan Pleting Biru, itu sebenarnya adalah masih sesaudara dengan si Pleting Kuning. Perlu diketahui, Pleting Kuning memiliki paras yang cantik sekali. Justru dengan kecantikan yang dimilikinya itu, membuat saudara-saudaranya yang lain iri dan membencinya. Memberikan kepadanya pakaian yang jelek dan kumal, memberikan pekerjaan dan tugas lain yang berat kepadanya si Pleting Kuning, dan juga diasingkan dari percakapan/pergaulan saudara-saudaranya. Namun, justru dengan kesemuanya itu menjadikan “gemblengan” (didikan ind.) mental kepadanya, untuk lebih tegar dalam menjalani hidup ini.
 
Sebagai makhluk sosial, si Pleting Kuning pun juga mempunyai rasa ketertarikan kepada lawan jenisnya. Walaupun samar-samar beritanya, cerita tentang si Ande-ande Lumutpun akhirnya sampai pula ketelinga Pleting Kuning. Terbit juga niatan hatinya untuk mendatangi Ande-ande Lumut di- Desa Dadapan tersebut, namun begitu mendengar kegagalan ketiga kakak-kakaknya dalam memikat hati si Ande-ande Lumut, menjadikan ciut juga nyalinya untuk datang kesana.
 
Hari berganti hari, namun khayalan serta bayangan Ande-ande Lumut, datang dan datang menghantui benak pikirannya. Hingga akhirnya ia membulatkan tekad hatinya untuk datang ke Desa Dadapan. Ketika hari hampir pagi, keluarlah ia dari rumahnya, meninggalkan Ibu dan Kakak-kakaknya. Karena ia sangat yakin kalau mereka mengetahui Pleting Kuning akan pergi ke Desa Dadapan, tentulah akan dicegah dan akan dimarahi habis-habisan.
 
Kemunculan si Pleting Kuning ditepi telaga tersebut, dengan pakaian lusuh, rambut acak-acakan, serta bau tidak sedap; sangat berbeda sekali dengan Kakak-kakaknya yang berpakaian serba indah, rambut tertata sekali, serta dengan aroma bau yang harum. Sangat menjijikkan dan menjadikan amarah si Yuyu Kangkang. Lalu dengan kata-katanya yang keras : “ Hai…, siapa kamu, mendekat ketempatku ini?”
Jawab si Pleting Kuning : “Saya si Pleting Kuning!”
Selanjutnya, Yuyu Kangkangpun segera mengusirnya : “Pergi!! Kesana, pergi…. segera menjauh dari tempat ini. Cepaaat…!!”
 
Si Pleting Kuningpun segera pergi meninggalkan tepian telaga itu. Selanjutnya ia segera mengambil jalan memutar, memasuki hutan rimba belantara,untuk menuju ke Desa Dadapan.  Walaupun dengan susah payah, akhirnya si Pleting Kuning sampai juga ke Desa Dadapan. Kiranya atas kehendak yang Kuasa juga, ia bisa melalui semua halang rintang yang ada ditengah hutan belantara, serta terbebas juga dari bujuk rayu si Yuyu Kangkang. Dan... akhirnya sampai pula ia ketempat tujuannya.
 
Kami sampaikan kilas balik dari cerita perjalanan kakak-kakak Pleting kuning :
Tak kala si Ande-ande lumut lagi melakukan olah samadi ditempat ketinggian, datanglah ibunya memberi tahu bahwa ada putri-putri cantik yang datang, menyampaikan maksudnya ingin menjadi pendamping hidup bagi si Ande-ande Lumut.
 
Tetapi dari Pleting Abang, Pleting Ijo, dan Pleting Biru tersebut, kesemuanya tidak ada yang berkenan dihati si Ande-ande Lumut. Karena mereka semua sudah mudah terkena bujuk rayu si Yuyu Kangkang.
Selanjutnya, dengan berat hati, satu persatu dari mereka itupun mohon diri untuk kembali pulang ke desanya masing-masing.
 
Perlu diketahui, bahwa para orang tua dijaman itu, sejak awal sudah membekali putera-puterinya dengan keilmuan lahir dan batin. Dimaksudkan agar kelak ketika mereka dewasa nanti, sudah siap mandiri menghadapi tantangan yang ada dalam mengarungi samudra yang membawa bahtera hidupnya, kemudian hari.
Tempat terasing, ketinggian, Goa-goa sunyi, dibawah pohon beringin, adalah sebagian tempat yang disuka bagi para petapa untuk melakukan samadi, untuk mendekatkan dirinya kepada sang Pencipta. Begitu juga yang dilakukan si Ande-ande Lumut, tak kala ibunya menjelang kepada dirinya, ketika ada gadis cantik yang bertamu kepadanya.
 
Berikutnya, kembali ibunya dikejutkan dengan datangnya seorang gadis berpakaian kumal, compang-camping, rambut acak-acakan, muka kusut, serta seluruh anggota tubuh penuh goresan luka yang telah mengering dan berbau agak amis.
 
mBok Randa, bertanya : “Hai… siapa kamu, dan ada keperluan apa datang kemari?”
Pleting Kuning menjawab dengan polosnya : “Kami Pleting Kuning, datang kemari mau menghendaki putera ibu yang bernama Ande-ande Lumut!”
Dengan spontan, meninggi suara mBok Randa : “Hai.. Pleting Kuning…!!! Tidakkah berkaca dulu, sebelum kamu datang kemari!?”
“Yang cantik, rapi, kaya, dan pinter saja, masih tidak dikehendaki oleh anakku. Apalagi orang semacam kamu!’’
 
Mendengar suara melengking dari ibunya itu, yang sebelumnya tidak pernah sekalipun ia mendengar suara ibunya sekeras itu. Segera si Ande-ande Lumutpun berhenti, dan kemudian menyeru dengan halus kepada ibunya : “Ibuu…!”
 
Ibunya pun segera menghampirinya, dengan penuh keheranan.
Ande-ande Lumut, berkata : “Ketahuilah Ibuku, ya perempuan kumal serta berbau amis inilah, yang hamba kehendaki!”
 
Dengan berat hati, akhirnya mBok Randapun akhirnya harus menerima keadaan tersebut. Dengan muka sambil berpaling, ia memberikan pakaian pengganti kepada si Pleting Kuning, dan menyuruh kepadanya untuk segera mandi dan merapikan diri.
Setelah Pleting Kuning berlalu dari hadapannya, kembali mBok Randa melanjutkan pertanyaannya.
 
mBok Randa, bertanya : “Sadarkah engkau, dengan memilih si Pleting Kuning itu?”
Jawab si Ande-ande Lumut : “Betul Ibu, saya sadar sepenuhnya!”
mBok Randa : “Pikirkanlah kembali, tidakkah engkau menyesal dikemudian hari?”
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . .
 
Dalam kesungguhan tanya jawab diantara keduanya, ibu dan anak, yang berlangsung seru itu, muncullah Pleting Kuning yang sudah bebersih dan merapikan diri. Walaupun hanya berbalut dengan pakaian sederhana (milik mBok Randa), namun tetaplah terpancar sinar keanggunannya; rambut berombak bak mayang mengurai, kulit kuning langsat, wajah lonjong bulat telur, dst. Melihat itu menjadikan mBok Randa tertegun, terbengong-bengong, diusap-usap kelopak matanya, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Ini seorang puteri, ataukah Bidadari …….”, ucapnya didalam hati.
 
Yang terucap dari lisan mBok randa, hanyalah kata : “Haa……h!”
 
Ande-ande Lumut mengamit lengan Pleting Kuning, untuk dipersilahkan duduk disamping dirinya. Dan kemudian…………., Ande-ande Lumutpun  mengungkapkan jatidiri dirinya yang sebenarnya.
 
Ande-ande Lumut, berkata :  “Ibu..! Ketahuilah, bahwa putramu ini sebenarnya adalah Raden Panji Asmarabangun putera mahkota Kerajaan, sedangkan si Pleting Kuning ini tak lain adalah kekasihku Dewi Sekartaji dari kerajaan Kediri.”
 
Kembali mBok Randa tersentak hatinya, tak kuasa menahan terharunya. Langsung merangkul dan menangis tersedu-sedu dipangkuan Ande-ande Lumut.
Disela tangisnya, ia berucap mohon maaf kepada Ande-ande Lumut, atas kelancangan dirinya.
mBok Randa, berucap : “Duh… Raden, maafkanlah kami yang telah lancang kepada Raden. Maafkanlah kami, Raden…….!”
 
Ande-ande Lumut, menjawab : “ Sudahlah Ibu,tidak apa-apa! Seharusnya, sayalah yang harus meminta maaf kepada Ibu, karena diwaktu itu kami tidak mengatakan yang sebenarnya tentang jatidiri saya”
 
Hari berganti hari, suasana bahagia begitu meliputi rumah mBok Randa Dadapan. Berikutnya kabar tentang keberadaannya itupun dengan cepat menyebar, dan berkicau dijejaring sosial yang memang lagi membahana diseantero kerajaan tersebut. Punggawa kerajaan yang ditugaskan untuk memanuki (mengamati, ind.) keberadaan putera kerajaan itu, pun segera melaporkan, untuk segera mengirimkan kereta penjemputan. Dengan petunjuk GPS, akhirnya mereka semua bisa mendapatkan petunjuk arah yang benar. Untuk menuju kepada koordinat Desa Dadapan, yang ditentukan.
 
Kemudian Raden Panji Asmarabangun, Dewi Sekartaji, dan mBok Randa Dadapan pun kesemuanya ikut diboyong ke kerajaan.
 
 
 
(Sebuah saduran bebas dari sebuah ceritera Ande-ande Lumut)
 
Bersumber dari berbagai media, dan :
 
Sebenarnya, cukup banyak cerita yang berkembang seputar tentang Putera Mahkota, Raden Panji Asmarabangun ini. Antara lain : Ande-ande Lumut, Puteri Dewi Anggraeni, Timun Emas, Entit, dst.