Selasa, 31 Januari 2012

Daun Surga (1)

I.Daun Tembaga

Dalam sebuah kota, dekat padang pasir ditanah Arab adalah seorang saudagar, Mansur namanya. Amat kayanya saudagar itu. Kapal dan kafilahnya membawa dagangannya kenegeri lain. Karena banyak untungnya, makin lama makin kayalah ia, tetapi makin kikir. Sungguhpun ia sekaya itu, tak berbahagia juga ia rasanya, karena ia tak beranak seorang juga. Itulah yang amat menyusahkan hatinya. Kepada siapakah kelak akan dihebahkannya hartanya yang banyak itu, kalau ia tak ada lagi. Siang dan malam tak berhenti ia meminta kepada Tuhan, supaya ia dikurniai seorang anak.

Permintaannya diperlakukan Tuhan. Ia beroleh seorang anak laki-laki. Anak itu dinamainya Umar.

Bersama-sama dengan Umar lahir pula dinegeri itu seorang anak, laki-laki juga, Abdullah namanya. Bapaknya, seorang pemimpin kafilah Mansur yang kaya itu, sudah lama meninggal dalam perkelahian dengan perampok-perampok dipadang pasir.

Mansur amat berbesar hati beroleh anak itu.

“Umar dan Abdullah haruslah bersahabat karib seumur hidupnya”, katanya dalam hatinya. Sudah itu pergilah ia mendapatkan seorang ahli nujum akan menenungi untung anaknya. Sesudah ahli nujum itu membalik-balik kitabnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya, berkatalah ia, katanya : “Sahabat yang sebaik-baiknya, akan menjadi musuhnya yang sebesar-besarnya.” Maka menyesallah Mansur dengan sesal yang amat sangat, karena tahadi ia sudah meminta, supaya Abdullah akan menjadi sahabat Umar, sehidup semati. Tentulah Abdullah ini akan menjadi musuhnya dikemudian hari”, katanya dalam hatinya. Diberinyalah ahli nujum itu hadiah amat banyaknya, lalu katanya : “Inilah hadiah kuberikan kepada tuan, tetapi ada tiga buah permintaan saya kepada tuan. Yang pertama ialah, supaya anak saya menjadi orang yang sekaya-kayanya ditanah Arab ini. Yang kedua ialah, supaya ia selalu dalam kandungan sehat wal’afiat saja. Dan yang ketiga, supaya ia benci kepada segala orang.” Kalau berlaku pintanya itu, tentu Umar tak ada sahabatnya dan tentu tak ada pula musuhnya yang akan mencelakakannya, seperti yang diramalkan oleh ahli nujum itu. Ahli nujum itu berkata, katanya : “Baiklah, insya Allah kehendak tuan kan berlaku.” Dengan bersenang hati Mansur pulang kerumahnya.

Baharu Mansur berangkat, maka ibu Abdullah sampai kesana. Ia seorang yang miskin. Memberi sedekah banyak-banyak kepada ahli nujum itu tentu tak dapat olehnya. Sungguhpun begitu diberanikannya hatinya, lalu katanya kepad ahli nujum itu : “Uang tak ada pada saya, karena saya seorang miskin. Sungguhpun begitu hendak saya sampaikan juga suatu permintaan kepada tuan .” “Apakah permintaanmu itu, katakanlah,!” kata ahli nujum itu dengan lemah lembutnya. “Permintaan saya ialah, supaya anak saya, akan menjadi seorang yang berbahagia dan baik budi pekertinya”, kata ibu Abdullah dengan hormatnya. Heran ahli nujum itu mendengar permintaan itu, karena berlainan benar dengan permintaan Mansur yang kaya raya itu.

“Berbahagia dan baik budi pekerti anakmu hendaknya, yang kau minta kepadaku”, kata ahli nujum itu. “Permintaan yang demikian itu tak dapat saya mengabulkannya, hanya dapat diperolehnya, kalau ia dapat mencari daun surga. Empat helai daunnya daun surga itu. Tetapi, sejak Nabi Adam a.s. sampai sekarang ini, tak ada seorang juga yang mendapat “daun surga” itu diatas dunia ini. Suruhlah cari olehnya!”

Sesudah berkata itu ahli nujum itupun gaiblah, entah kemana perginya.

Umar menjadi seorang yang kaya raya. Lebih kaya dari pada bapaknya. Badannya sehat, besar dan tegap. Tak ada orang yang disayanginya, lain dari pada dirinya sendiri. Bapaknyapun tak dipedulikannya. Waktu Mansur sakit keras, Umar pergi juga berdagang kenegeri lain, karena tak ada yang lain ingatannya melainkan menumpukkan uang. Karena bapaknya merasa ajalnya akan sampai, ditahannya anaknya akan pergi itu, tetapi anaknya tak mengindahkan kehendak bapaknya itu. Berhamburan air matanya melepas anaknya yang disayanginya berjalan itu. Sampai hati ia meninggalkannya. Entah apabila akan bertemu lagi.

Sehari sepeninggal anak yang durhaka itu, Mansurpun meninggallah.

Bagaimanakah halnya dengan Abdullah? Ia dibawa oleh ibunya kepadang pasir. Disitulah ia tinggal sampai besarnya, menjadi seorang yang berbadan tegap dan berani. Kemudian ia menjadi pemimpin kafilah dan penunjuk jalan dipadang pasir, yang amat termasyhur karena pandai dan beraninya. Barang perniagaan yang diserahkan kepadanya dijaganya dengan sempurna, sehingga jarang benar saudagar-saudagar yang tak bersenang hati atas penjagaannya. Perampok-perampok tak berani mendekatnya; mendengarkan nama Abdullah saja sudah menggigil ia ketakutan. Begitulah pengaruhnya Abdullah itu dipadang pasir itu.

Tetapi sungguhpun demikian, tak juga berbahagia ia rasanya. Ibunya menceriterakan kepadanya, tentang “daun surga” yang dikatakan ahli nujum dahulu, waktu ia masih kecil itu. Tak putus-putusnya ia bertanyakan tentang hal itu kepada orang pandai-pandai, tetapi tak seorang juga yang dapat menerangkan kepadanya. Pada suatu hari bertemulah ia dengan seorang-orang tua, bangsa Yahudi. Orang itu menceriterakan sebuah dongeng tentang daun itu.

Waktu Siti Hawa dahulu akan keluar dari surga, maka dipetiknyalah daun empat helai serangkai; yaitu daun yang sebagus-bagusnya diantara daun-daun yang ada disitu. Sebuah diantara daun itu merah seperti tembaga; sebuah lagi putih seperti perak; yang ketiga kuning seperti emas, dan yang keempat berkilau-kilauan seperti intan. Daun itu digenggamnya baik-baik dengan kedua belah tangannya. Waktu ia sampai dipintu surga, dibukanyalah tangannya akan melihatnya. Tiba-tiba berhembuslah angin dengan kerasnya. Daun yang keempat, yang berkilau-kilauan seperti intan itu jatuh kembali kedalam surga. Hanyalah daun tembaga, emas dan perak itulah saja terbawa olehnya kedunia ini. Dimana adanya sekarang ini, tak seorang juga yang tahu.

Percaya benar Abdullah akan ceritera orang itu. “Daun yang ketiga helai itu akan saya cari juga”, kata Abdullah dalam hatinya.


Enam bulan lagi ditempatnya tinggal itu akan datang musim kemarau. Ia tahu, bahwa ditempatnya itu dalam musim kemarau amat susah mendapat air. Dari orang tua yang bertemu olehnya dahulu ia mendapat kabar, bahwa dahulu kala disitu ada memerintah seorang raja perempuan yang amat adil, lagi arif dan bijaksana, serta sayang kepada hamba rakyat baginda. Baginda menyuruh membuat beberapa buah sumur dipadang pasir itu. Dari sumur itulah orang yang tinggal disitu mengambil air. Kalau tak ada sumur itu, tentulah pada adatnya penduduk negeri itu akan mati kehausan.

“Lebih baik kucoba pula menggali sumur disini”, pikir Abdullah dalam hatinya, lalu dimulainya sekali menggali. Pamannya, Hafiz namanya menolongnya menggali sumur itu. Orang-orang lain dikota itu mentertawakannya, karena tak masuk pada pikiran mereka itu, bahwa sumur dipadang pasir akan mengeluarkan air. Akan tetapi ejekan orang banyak itu tak dipedulikannya. Pekerjaannya itu akan diteruskannya juga. Dari pagi ia bekerja sampai masuk matahari berdua dengan pamannya dengan tidak henti-hentinya. Sudah sebulan lamanya ia bekerja itu. Tetapi tak ada juga tanda-tanda kelihatan olehnya, bahwa maksudnya yang suci itu akan tercapai. Sungguhpun begitu ia tidak berputus asa. Bulan yang kedua, ketiga, keempat dan kelima begitu juga. Air sudah mulai berkurang. Bukan keenam datanglah musim yang ditakuti itu. Matahari memancarkan cahayanya dengan amat teriknya. Air setitik tak ada lagi. Anak-anak kecil bertangisan kehausan.

Abdullah sudah didalam sumur. Tiba-tiba terdengar olehnya bunyi air menderu. Iapun berteriak sekeras-kerasnya; “Paman, paman, mati aku, tarikkan keranjang ini keatas!” Dengan sekuat-kuat tulangnya pamannya menarikkan keranjang itu. Abdullahpun sampailah dengan selamat keatas. Kalau lima menit saja Hafiz terlambat, tentulah Abdullah tak dapat ditolong lagi. Badannya penuh berlumur-lumpur.

Tiada berapa lamanya penuhlah sumur itu. Airnya amat jernih dan sejuk rasanya. Berduyun-duyunlah orang datang kesana, tua-muda, besar-kecil datang melihat. Orang-orang itu menuji-muji Abdullah semuanya, karena kekerasan hatinya.

Lupa ia ketika itu, bahwa ia dahulu menertawa-tawakannya. Berganti-ganti mereka itu minum dalam timba itu. Setelah semuanya mendapat bahagian, baharulah Abdullah minum. Tetapi apakah yang terasa olehnya dalam mulutnya? Waktu dikeluarkannya, dilihatnya sebuah benda kecil dari tembaga, seperti daun bangunnya, lalu diperlihatkannya kepada pamannya. “Anakku”, kata pamannya, “inilah sehelai diantara “daun surga” yang dihadiahkan Tuhan kepadamu, karena kamu sudah memperlihatkan keberanianmu, berbuat jasa untuk penduduk disini. Simpanlah ia baik-baik.”

Abdullah tepekur mendengarkan keterangan pamannya. Iapun menadahkan tangannya kelangit dan meminta syukur kepada Tuhan, karena sebahagian dari permintaannya sudah makbul.



(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)

2 komentar:

Djeng Lengkuas mengatakan...

Terharu rasanya,,,36-37 tahun lampau,saya membaca buku ini saat kelas 1 atau 2 SD,dan selalu ingat dan merindukannya,meski saat itu belum mengerti,,,buku yg bagus penuh pesan moral

Unknown mengatakan...

Penerbit buku "Setangkai Daun Surga" disadur Aman Dt. Majoindo tahun 1952 (cet. ke-3, Penerbit Balai Pustaka)