II.Daun Perak
Khalifah dinegeri Abdullah itu ada berputera seorang perempuan. Amat cantik parasnya tuan puteri itu. Kecantikannya termasyhur kemana-mana. Waktu itu tuan puteri itu ada dipelabuhan, yang amat jauh letaknya, baharu datang dari negeri lain. Sebab itu Khalifah itu memerintahkan Umar menjemput anaknya kepelabuhan itu. Sungguhpun Umar tak berani melakukan pekerjaan yang berbahaya itu, karena dijalan kepelabuhan itu banyak perampok, tak berani ia menolak permintaan Khalifah itu. Kalau tak dikabulkannya, tentulah akan bercerai lehernya dengan kepalanya.
Iapun pergilah mendapatkan Abdullah akan meminta mengantarkannya menjemput tuan puteri itu. Abdullah, seorang yang suka menolong orang lain, biar musuhnya sekalipun, mengabulkan permintaan Umar itu.
Beberapa ekor kuda dan unta yang tangkas larinya, dua belas orang yang berani-berani, dan makanan bekal dijalan disediakannyalah. Setelah siap semuanya, sekaliannyapun naiklah keatas kudanya, lalu berangkatlah menuju kepelabuhan, tempat tuan puteri itu.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka itu ketempat yang ditujunya. Tuan puteri itupun dikeluarkanlah dari dalam kapal. Sebuah keranda besar dan bagus, diatas seekor unta yang dihiasi disediakan untuk tuan puteri itu. Unta2 yang lain dimuati dengan barang-barang tuan puteri itu. Mahal-mahal harganya. Sesudah selesai, berangkatlah semuanya.
Kabar tuan puteri datang itu, kembanglah segenap negeri. Perampok-perampokpun bersedialah akan menyamun tuan puteri itu ditengah jalan. Rupa-rupanya Abdullah hati-hati benar menjaga. Sebentar-sebentar ia memacu kudanya kedepan sudah itu kebelakang, penjagaannya tak dilalaikannya sedikitpun juga. Melihat Abdullah tiada melalaikan kewajibannya sedikit juga itu, senanglah hati puteri itu.
Sungguhpun Abdullah keras menjalankan perintahnya tetapi orang-orang dikafilah itu sayang kepadanya, karena ia memerintahkan barang suatu adalah dengan manis tutur bahasanya. Berlainan sekali dengan Umar. Kalau sedikit saja seseorang lalai dalam melakukan pekerjaannya, lalu dipukul dan dimaki-makinya. Tak ada orang yang suka kepadanya. Tuan puteripun amat benci melihatnya.
Pada suatu hari Umar dan Abdullah berdiri dekat unta tuan puteri itu. Disebelah tuan puteri itu duduk budaknya seorang perempuan, anak Afrika, Kafur namanya; umurnya kira-kira dua belas tahun. Sungguhpun ia budak belian, tetapi tuan puteri amat sayang kepadanya, karena ia seorang anak yang lucu, pandai meriangkan hati.
Tiba-tiba kelihatan oleh Abdullah sebuah noktah hitam jauh disebelah barat. Titik hitam itu makin lama makin besar dan menuju ketempat kafilah itu. Abdullah memperhatikannya benar-benar. Sejurus kemudian berserulah ia dengan keras suaranya, serunya : “Bersiaplah semuanya!” Diperintahkannyalah orang-orangnya menjaga tempatnya masing-masing, seperti sudah dibiasakan oleh mereka itu, kalau ada musuh datang. Yang datang itu kiranya sekawan perampok.
Tiada berapa lamanya terdengarlah dentum bedil. Seketika lagi menyerbulah perampok-perampok itu sambil memegang sebuah bedil dan sebilah pedang pada tangannya. Perkelahian yang hebatpun terjadilah. Rupanya tak tertahan lama oleh pengiring kafilah itu berkelahi, karena perampok itu amat banyaknya. Tetapi Abdullah tak mau mundur. Kuda putihnya dipacunya mengejar musuhnya. Ditangannya terhunus sebilah pedang yang berkilat-kilat, diayunkannya kekiri dan kekanan. Musuh yang dekat kepadanya ada yang putus lehernya dan ada pula yang jatuh tersungkur ketanah, mendapat luka-luka besar dikepala dan kakinya. Tiba-tiba unta yang membawa tuan puteri kena tembak kepalanya, lalu jatuh. Ketika itu juga seorang diantara perampok pergi kekeranda tuan puteri itu. Dengan cepatnya ditangkapnya tuan puteri itu, dinaikkannya keatas kudanya, lalu dibawanya lari dengan sekencang-kencangnya menuju padang pasir. Perampok-peramapok yang lainpun larilah pula, meninggalkan kafilah itu. Rupanya mereka itu tiada hendak merampok harta yang banyak dikafilah itu , melainkan akan melarikan tuan puteri itu hendak dijualnya seperti budak. Tentulah akan beribu-ribu uang diperolehnya.
Tuan puteri yang dilarikan perampok itu melambaikan tangannya kepada Abdullah sambil berseru, serunya : “Tolonglah saya! Lepaskan saya!” “Siapa yang dibawanya itu?” Tanya Abdullah. “Kafur” kedengaran suara menjawab dari keranda, diatas belakang unta. Yang berkata itu ialah tuan puteri. “Kafur yang terbawa oleh perampok itu”, seru Umar dengan riangnya, sambil tertawa-tawa. “Diambilnya berguk saya, lalu dipakainya”, kata tuan puteri itu pula. “Maksudnya, supaya aku terlepas dari bahaya. Tak dipikirkannya kecelakaan yang akan menimpa dirinya, asal saya tertolong.” Sudah itu berlinang-linanglah air matanya mengingatkan Kafur, anak yang setia itu.
“Alangkah akan susahnya kita, jikalau tuan puteri yang sebenarnya dilarikannya”, kata Umar kepada Abdullah sambil tertawa. “Ini Kafur, budak hitam lagi buruk yang dibawanya. Banyak orang dinegeri kita yang akan menggantikannya. Marilah kita teruskan perjalanan kita.”
Tetapi Abdullah sangat marahnya mendengarkan perkataan itu, lalu katanya kepada Umar dan orang-orang kafilah yang lain : “Apa? Akan kita teruskan perjalanan kita? Akan kita tinggalkan Kafur? Itu tak mungkin sekali-kali! Akan saya cari ia sampai dapat. Sedangkan barang yang dipertaruhkan kepada kita walau sedikitpun sekali, jika hilang akan kita cari juga sedapat-dapatnya, apalagi manusia. Sekarang siapa yang suka mengikut, turutlah saya. Kalau tidak, saya sendiri pergi.”
Seorangpun tak berkata-kata sepatah juapun. Rupanya takut mereka itu menyabung nyawanya akan menolong Kafur.
“Baiklah”, kata Abdullah. “Kalau tak ada yang mau, saya sendiripun pergi juga.” Untunglah ada seorang diantara mereka itu yang berani serta seperasaan dengan Abdullah. Siapakah kiranya orang itu? Tiada lain, melainkan Hafiz, pamannya yang menolongnya, waktu ia menggali sumur dahulu.
Keduanyapun melompatlah keatas kudanya, lalu dipacunya sekali.
Siang bertukar dengan malam. Hari gelap gulita. Bintang sebuahpun tak kelihatan dilangit.Dari jauh kelihatanlah oleh Abdullah dan pamannya cahaya lampu. Rupanya disitulah perampok itu mendirikan kemahnya. Abdullah dan Hafiz turunlah dari kudanya, lalu merangkak lambat-lambat menuju tempat itu.
Makin lama makin dekat juga ia. Maka kelihatanlah olehnya tiga orang mengelilingi sebuah lampu. Yang seorang, Singa Durjana namanya, terkenal sebagai kepala perampok yang amat ditakuti orang digurun pasir.
Rupa perampok-perampok itu belum tahu akan kekhilafannya. Pada pikirannya tuan puteri juga yang terbawa itu. Ketiga orang itu masuk kedalam kemahnya, duduk bercakap-cakap menghadapi mangkuk kopinya. Kemudian sampailah percakapan mereka itu kepada tuan puteri yang dilarikannya. Waktu itu Abdullah dan pamannya mengintai kedalam. Sekalian percakapan mereka itu dapat didengarnya dari luar.
Tiba-tiba tegaklah Singa Durjana, lalu pergi melihat tawanannya. Waktu itu tahulah ia, bahwa bukan tuan puteri yang dilarikannya, melainkan Kafur lalu terbitlah marahnya. Dikeluarkannya pistolnya,lalu ditembakkannya kepada Kafur. Kafurpun memekikkan kesakitan. Kena ia rupanya. Waktu Singa Durjana hendak menembaknya sekali lagi, maka kedengaranlah dentum bedil tiga kali dari luar. Ketika itu juga ketiga perampok itu terbaringlah ditanah. Hafizlah yang menembaknya.
Mendengar tembakan itu, perampok-perampok yang lainpun bangunlah dari tidurnya, lalu menuju kemah itu. Dengan cepatnya Kafur menyepakkan lampu yang dihadapannya sehingga jatuh. Lampu itupun padamlah. Abdullah melompat kedalam, Kafur didukungnya, dibawanya keluar, lalu diletakkannya keatas kudanya. Iapun melompat pula keatas kudanya, lalu dipacunya sekali.
“Semuanya keatas kuda”, perintah seorang diantara perampok-perampok yang tinggal. Tetapi waktu mereka itu pergi melihat kudanya, tak seekor juga lagi kelihatan; seolah lepas semuanya. Dimana-mana kelihatanlah api menyala. Akal Hafizlah itu semuanya. Ia sendiri meniarap dibalik setumpuk barang, tidak jauh dari kemah itu. Perlahan-lahan merangkaklah ia mendapatkan kudanya. Setelah ia tiba disana, melompatlah ia keatas kuda itu. Seperti panah lepas dari busurnya, larilah kuda itu dalam malam yang amat gelap itu.
Dalam pangkuan Abdullah, Kafur tak berkata sepatah juapun. Dalam pada itu kuda Abdullah berlari juga dengan cepatnya.
Fajarpun menyisinglah disebelah timur. Abdullah menghentikan kudanya. Kafur diturunkannya, lalu diletakkannya perlahan-lahan ketanah. Kafur menjerit kesakitan, sambil memegang bahunya. Dengan cepat tahulah, bahwa Kafur luka sedikit. Luka itu dibalut oleh Abdullah dengan sapu tangannya. Kafur menentang saja kepada Abdullah.
Sesudah selesai berkatalah ia dengan air mata berlinang-linang dipipinya : “Tuan, tak sedikit juga hamba menyangka, bahasa tuan akan yang suka menolong hamba, seorang budak belian yang amat hina. Apakah sebabnya tuan suka menolong hamba?”
“Sebabnya kamu dalam penjagaan saya”, jawab Abdullah dengan pendek.
Maka sahut Kafur : “Hamba minta terima kasih kepada tuan atas kesucian dan kebaikan hati tuan kepada hamba. Tak kan lupa-lupa oleh hamba kebaikan tuan selama-lamanya.”
Tiada berapa lamanya kemudian kelihatanlah oleh Abdullah pamannya datang dari jauh. Setelah turun dari kudanya, maka berdakaplah paman dan kemanakan itu sambil mengucap syukur karena sudah diselamatkan Tuhan Yang Maha Kuasa itu.
Tiba-tiba Kafur meniarap dihadapan Abdullah lalu berkata, katanya : “Hamba tak dapat rasanya membalas jasa tuan; dari sekarang ini tuanlah Tuhan hamba; tuanlah yang akan hamba sembah.” “Diam”, kata Abdullah dengan marahnya. “Kamu tidak boleh berkata demikian itu, Tuhanmu dan Tuhan saya ialah satu, yaitu Allah, serta Dialah yang akan kamu sembah. Tuhanmu yang engkau sembah sekarang, tuli dan buta; ialah sepotong kayu saja; tentulah lama kelamaan dia akan rusak dan habis dimakan bubuk.” Kafur menjawab : “Tuhan saya bukanlah sepotong kayu, melainkan inilah”, sambil mengeluarkan sehelai bulu dari dalam bajunya. “Ambillah bulu burung ini oleh tuan. Patah-patahkan dan hancurkanlah ia benar-benar. Hamba tidak akan bertuhan lagi kepadanya. Dari sa’at ini yang akan menjadi Tuhan hamba, yaitu Allah”
Abdullah dan Hafiz mendakap anak itu berganti-ganti. Bulu burung itu dipatah dan dikoyak-koyakkan oleh Abdullah. Tiba-tiba Abdullah mengambil suatu benda dari tanah, jatuh dari bulu ayam itu. Benda itu diperhatikannya, lalu diperlihatkannya kepada pamannya dengan riangnya, sambil berkata, katanya : “Paman lihatlah, benda ini putih seperti perak dan bangunnya serupa dengan benda yang dapat oleh kita disumur dahulu.”
Waktu Hafiz melihat benda itu, berkatalah ia, katanya : “O.. anakku, inilah bunga surga yang kedua. Tiap-tiap kali kamu berbuat kebajikan, kamu dikurniai Allah sebuah daun dari surga. Simpanlah dia baik-baik.”
(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar