Selasa, 07 Februari 2012

Pengalaman sebuah layang-layang

Orang baru selesai mengetam. Musim berlayang-layang sudah datang. Si Karim, si Syahrial dan si Rustian pergi kebelakang rumah akan memecahkan tabung pekaknya. Dikeluarkannya uang dua puluh sen banyaknya. Amat besar hati mereka itu, karena sekarang tentulah dapat membeli sebuah layang-layang yang bagus. Yang menyenangkan hatinya benar, ialah karena tak perlu lagi meminta uang kepada ayahnya, melainkan membeli dengan uangnya sendiri. Dengan hati yang riang pergilah mereka kekedai akan memilih layang-layang yang bagus. Sesudah puas menawar diperolehnyalah sebuah layang-layang yang dihatinya. Bentuknya seperti ular naga, ekornya panjang dan berwarna-warna, badannya bersisik, moncongnya ternganga dan lidahnya yang merah terjulur panjang keluar.

Dari kedai itu pergilah ketiga saudara itu ketanah lapang dimuka tumah Tuan Kentyo.

“Minta-minta saja ada angin”, kata si Karim, “tentu ia akan tinggi, sampai keawan”. Sambil berkata-kata itu sampailah mereka itu ketanah lapang. Si Syahrial pergi mengajungkan layang-layang itu dan si Rustian mengulur talinya. Tiada berapa lamanya layang-layang itupun naiklah. Tak putus-putus mereka itu memandang keatas.

Mula-mula tak bagus naiknya, rasanya akan pusing diudara. Sebab itu ditukikkannya kepalanya kebawah. Si Rustian mengulur talinya dan merarik tali itu kembali dengan sangat kencangnya. Layang-layang itupun naiklah pula dengan cepat keatas, tidak melihat kekiri-kekanan. Sekarang datang giliran si Karim akan menaikkan layang-layang itu. Si Syahrial menengadah keatas akan melihat dan sudah itu melompat-lompat karena riangnya.

Sebagai seekor binatang yang amat ganjil, yang penuh dengan pelbagai warna, “Ular Naga” itu melayang kekiri dan kekanan. Ekornya terayun-ayun, tak ubahnya seperti Ular betul. Senang betul hati layang-layang itu, waktu ia melihat kebawah. Alangkah kecilnya semuanya. Ketiga anak-anak itu setinggi api-api rupanya. Rumah tak ubahnya seperti kotak. Amat jauh dan lebar pemandangannya dari atas itu. Gunung-gunung yang tinggi kelihatan tadi, sekarang terasa sudah sama tinggi dengan dia.

“Alangkah besarnya hati saya, jikalau saya terlepas dari ikatan benang celaka ini. Tentu dapat saya mengedari ruang langit ini, melihat kebagusan alam”, kata layang-layang itu sama sendirinya. “Maukah kamu mengikut saya”, kedengaran olehnya suara dari belakang. Waktu layang-layang itu menoleh ketempat suara itu, kelihatan olehnya muka orang, warnanya kelabu, pipinya gembung dan matanya terbelalak. “Siapa kamu?” Tanya layang-layang itu. “Angin”, jawabnya dengan pendek. “Kalau kamu mau mengikut, akan kuperlihatkan kepadamu sebahagian besar dari pulau Jawa ini”. Suka sekali”, jawab layang-layang itu. Angin itu berkata : “Kalau begitu baiklah, jagalah dirimu baik-baik!” Iapun menggembungkan pipinya, lalau diembusnya layang-layang itu sekuat-kuatnya.

Tik! Tali layang-layang itupun putuslah. Layang-layang itu melihat sebentar kebawah, tetapi angin tadi itu menangkapnya, lalu dibawanya menuju ketempat lain. Apa yang tidak dilihatnya waktu itu. Rumah dikampung-kampung lain, sungai-sungai yang kuning airnya karena kotor, beratus piring sawah dan gunung-gunung yang hijau warnanya.

“Ha” teriak layang-layang itu. “jangan kencang benar! Saya hendak melihat-lihat temasa disini sebentar, karena lain sekali disini keadaan alam dari dikampung tuan saya, Karim, Syahrial dan Rustian.” “Saya sudah beratus tahun berembus ditempat ini”, jawab angin itu, “segala liku ditempat ini tahu saya semuanya.” “Tetapi saya tidak”, jawab layang-layang itu pula, “lagi pula saya sudah payah rasanya. Bagaimanakah kalau kita berhenti sebentar?” Angin itu tertawa sekeras-kerasnya. “Kamu belum melihat lagi kekuatan saya”, ujarnya, “akan saya perlihatkan kepadamu sebagian dari pengalaman saya. Akan senang hatimu nanti berteman dengan saya. Mereka itu terbang pula melalui desa yang besar-besar. Dibawah kelihatan olehnya beberapa orang anak kampung sedang bermain api. Daun dan ranting yang kering-kering dikumpulkannya, lalu dibakarnya. “Sekarang lihatlah olehmu!” ujar angin itu. “Akan saya tiup api itu”. Sesudah berkata itu digembungkannya pula pipinya, lalu diembusnya api itu. Dalam sekejap mata saja api yang kecil itu besarlah. Tiada berapa lamanya rumah yang dekat-dekat terbakar semuanya. Tongtongpun berbunyilah bersahut-sahutan. Orang kampung berlarian hilir mudik. Pompa air belum juga kelihatan. Api meruak dari sebuah rumah kerumah yang lain. Sebentar saja sudah empat buah rumah menjadi abu. Layang-layang itupun mulai takutlah “Antarkanlah saya pulang kerumah tuan saya!” ujarnya. “Cukuplah rasanya apa yang saya lihat ini”. “Penakut!” kata angin itu pula. “Ini belum lagi semuanya”. Digonggongnya pula layang-layang itu, sehingga sampai keatas sebuah desa yang lain. Angin itu berkata : “Sekarang perhatikanlah olehmu baik-baik akan kemegahan saya. Kelihatanlah olehmu menara yang jauh, yang baru saja sudah dibuat orang itu?” Layang-layang itu tidak menjawab, melainkan menganggukkan kepalanya saja. Angin itupun berembuslah dengan sekencang-kencangnya. Awan yang gelap berkumpullah diatas menara itu. Sebentar lagi kelihatan kilat kebawah dan ……. Menara itupun patah dualah.

“O.., angin!” kata layang-layang itu. “Alangkah bengisnya kamu! Tak adakah pekerjaanmu yang lain dari pada merusak dan memusnahkan?”

Angin itu menjawab : “Janganlah kamu berkata terburu-buru menyalahkan daku. Ada juga pekerjaanku yang menyenangkan hati. Aku menolong manusia menanam tumbuh-tumbuhan. Serbuk bunga itu menjadi tumbuh-tumbuhan. Pohon buah-buahan yang tidak disangka orang sedikit juga aka nada ditempat itu …….. ya, hutan yang besar itu akulah yang menjadikannya. Lekas-lekaslah kamu sedikit! Kita akan terbang menuju laut. Kapal layar yang kamu lihat itu tentu tak kan maju kalau tak ada aku. Sekarang akan saya tiup layarnya itu lambat-lambat, supaya selamat ia sampai kepelabuhan.”

“Amat senang hatiku”, ujar layang-layang itu , melihat kamu ada juga mengerjakan kebajikan. Sekarang sudah puaslah hatiku. Antarkanlah aku kerumahku!”

Mendengar permintaan layang-layang itu, anginpun berkata : “Kamu seorang yang tak tahu menerima kasih. Saya bawa kamu melihat tamasya yang bagus-bagus, tetapi sekarang kamu hendak meninggalkan daku. Adakah patut itu?” Dibulatkannya pipinya sebesar-besarnya lalu diembusnya layang-layang itu sekeras-kerasnya kearah kampung si Karim, Syahrial dan Rustian. Kemudian diembuskannya kepuncak sebuah pohon dimuka rumah anak-anak itu.

Alangkah besarnya hati ketiga anak itu, waktu keluar dari rumahnya melihat layang-layangnya ada diatas pohon mangga dimuka rumahnya.

Si Karim berlari-lari kepohon itu, dipanjatnya sekali, diambilnya layang-layang itu dan dibawanya kebawah. Mereka itupun pergilah pula ketiganya ketanah lapang dimuka rumah Tuan Kentyo akan melepas layang-layang itu. Tetapi layang-layang itu tak mau lagi naik tinggi-tinggi, takut akan disambar pula oleh raja angin itu.

(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)




Tidak ada komentar: