Rabu, 15 Februari 2012

Daun Surga (3)

III.Daun Emas

Dengan selamat sampailah kafilah itu dengan pengiringnya ketempat yang ditujunya. Amatlah besar hati Khalifah melihat anaknya sudah datang itu. Maka diceriterakanlah oleh tuan puteri itu hal perjalanannya dari awalnya sampai kesudahannya. Tuan puteri itu dikawinkanlah oleh Khalifah dengan Abdullah, karena ia merasa berhutang budi kepadanya. Lagi pula tuan puteri suka kepadanya, karena adat dan tabiatnya yang tak ada celanya itu. Abdullah hiduplah dengan isterinya yang dicintainya beberapa bulan lamanya.

Akan Umar amat sakitlah hatinya melihat Abdullah, anak pengiring Unta, didudukkan dengan tuan putri itu. Mengapa bukan dia yang diambil oleh Khalifah menjadi menantunya.

Pada suatu hari dipanggilnyalah Singa Durjana datang kerumahnya. Rupanya tiadalah ia mati ditembak oleh Hafiz dipadang pasir dahulu itu. Diberinyalah raja perampok itu harta amat banyaknya, serta katanya : “Sekalian harta ini ambillah olehmu. Tetapi haruslah kamu bunuh Abdullah. Kalau dapat engkau membunuhnya, akan kuberi lagi kamu harta dua kali sebanyak ini”.

Dengan berbesar hati, karena belum pernah melihat harta sebanyak itu, iapun menganggukkan kepalanya dan memasukkan uang yang beratus-ratus itu kedalam puranya, lalu bermohon pergi.

Pada suatu petang duduklah Abdullah dengan isterinya dibawah pohon kayu yang rimbun dihalaman, dimuka rumahnya. Kafur duduk bersimpuh ditanah. Dipandangnya tuannya keduanya itu berganti-ganti. Tak puas-puasnya ia melihat burung dua sejoli itu; yang seorang tegap dan gagah dan yang seorang lagi cantik molek dipandang mata.

Tiba-tiba anjing Abdullah menyalak. Abdullahpun berdirilah akan melihat kalau-kalau ada orang datang. Dekat pintu masuk kehalaman rumahnya tampak olehnya seorang-orang turun dari kudanya. Abdullah datang mendapatkannya, lalu berkata, katanya : “Selamat datang tuan, silahkan masuk.”

“Saya takkan masuk kerumah tuan, sebelum tuan berjanji, bahwa tuan akan menolong saya”, jawab orang itu. “Tuan ialah jamu saya, permintaan tuan berarti perintah bagi saya”, jawab Abdullah. Mendengar itu barulah orang itu mau masuk kedalam. Iapun mulailah berceritera : “Saya ini seorang saudagar biasa saja. Maksud saya hendak pergi ke Medinah. Tadi dalam suatu perbantahan saya sudah membunuh orang. Tentulah kaum kerabatnya sekarang akan menuntutkan balas. Itulah sebabnya saya datang kemari ini akan meminta kepada tuan, supaya tuan suka mengantarkan saya ke Madinah.”

“Duduklah tuan dahulu”, kata Abdullah, saya hendak masuk kedalam menyiapkan apa yang perlu dibawa, sebentar lagi saya datang.” Sudah itu masuklah ia. Kafur yang memperhatikan jamu itu sejak ia datang, berlari-lari mendapatkan tuannya, lalu katanya : “Tuan, orang itu bukannya saudagar, melainkan seorang-orang jahat. Tidakkah kelihatan oleh tuan pestol beserta pelornya yang ada dipinggangnya? Janganlah tuan pergi.” “Penjahat atau saudagar, itu saya tak perduli, ia tamu saya, harus saya hormati. Lekaslah kamu sediakan makanan!” kata Abdullah dengan pendek.

Kafurpun pergilah dengan segera. Tiap-tiap ia datang ketempat saudagar duduk itu, diperhatikannya juga orang itu, makin rasa-rasa teringat olehnya, bahwa ia dahulu sudah pernah bertemu dengan dia. Tetapi dimana, sudah lupa ia. Duduklah ia termenung memikirkannya. Abdullah sudah kembali dari dalam dan duduk bercakap-cakap dengan jamunya. Sekonyong-konyong datanglah Kafur mendapatkannya. Sambil menunjuk kepada saudagar itu berkatalah ia, katanya : “Singa Durjana!”
“Diam!” kata Abdullah “Pergi dari hadapanku.”

Setelah mereka itu selesai makan, bersiaplah ia hendak berangkat. Waktu Abdullah terpisah sebentar dari jamunya, datanglah Kafur kepadanya, lalu katanya: “Tuan usir saya, sebab saya beritahukan kepada tuan bahaya yang akan datang menimpa tuan. Musuh yang sebesar-besarnya, tuan hormati dan tuan terima dengan baik.”

“Kita tidak boleh syak kepada orang yang minta tolong dan yang sudah menyerahkan dirinya kepada kita”, jawab Abdullah. Kafurpun melompat pula kedalam. Waktu ia kembali, ia membawa pestol dan bedil Abdullah, lalu katanya. “Bawalah pestol dan bedil tuan ini.”

“Tak baik kita mengiringkan tamu kita dengan bersenjata”, jawab Abdullah, “Bawalah kembali kedalam!” Sesudah berkata itu pergilah ia mendapatkan ibu dan isterinya serta pamannya, Hafiz akan memberi selamat tinggal.

Sekalian percakapan Kafur dan Abdullah itu terdengar semuanya oleh saudagar itu. Heran ia memikirkan ketulusan hati serta tawakkal Abdullah kepada Tuhan.

Tiada berapa lamanya Abdullah dan jamunya sudah diatas kudanya menuju padang pasir. “Saya harap, tuan akan memaafkan akan kesalahan Kafur tadi itu”, kata Abdullah. Jika ia budak saya”, kata jamu itu, “Saya pukul ia benar-benar.” “Bukankah itu tidak baik”, jawab Abdullah, “Kita harus sayang kepada orang yang menyayangi kita. Pada pikiranya saya dalam bahaya, sebab itulah saya diberitahunya. Tetapi perkataannya itu tak saya dengarkan. Kewajiban saya ialah menolong tuan, mengantarkan tuan sampai Medinah!”

Tepekur jamunya mendengar perkataannya itu. Dengan tak berkata sepatah juapun mereka itupun meneruskan perjalanannya.. “Bagaimana saya akan membunuhnya?” pikir jamu itu dalam hatinya, “Ia percaya betul kepada saya.” Tetapi sebentar lagi teringat pula olehnya harta yang banyak, yang dijanjikan Umar kepadanya. Dikeluarkannyalah pestolnya lalu dibidikkannya kepada Abdullah yang terdahulu sedikit dari padanya. Ketika ia akan memetik pestol itu, Abdullah berkata : “Saudara, berhentilah kita sebentar disini dahulu, karena waktu ashar sudah datang”, lalu ia turun dari kudanya dan tikar sembahyang dibentangkannya sekali. “Saya tak pernah sembahyang” jawab jamunya. “Heran saya melihat tuan” jawab Abdullah dengan lemah lembut. “Tak saya sangka sedikit juga tuan tidak akan takut kepada Tuhan Yang Maha Besar, Tuhan seru sekalian alam.” ‘Saya tidak takut kepadaNya”, jawab saudagar itu, “Kepada inilah saya yang takut”, sambil memperlihatkan sebuah jimat kepada Abdullah. “Jimat inilah yang selalu menolong saya dan melepaskan saya dari beberapa bahaya.”

“Lupakah tuan akan Tuhan dan RasulNya, yang memberikan kekuatan kepada jimat tuan itu?” ujar Abdullah. “Bukanlah jimat, melainkan Tuhanlah yang memelihara kita dari segala kejahatan.”

“Tidakkah takut tuan akan mati?” Tanya orang itu pula. “Tidak”, jawab Abdullah, “Karena segala yang hidup akan mati. Hanyalah bekal untuk mati itu yang harus kita sediakan, yaitu amalan dan kebaikan kita semasa kita hidup. Tuhan itu berbuat sekehendakNya. Sekarang kita bersenang-senang, tak kurang suatu apa. Tetapi kalau Tuhan hendak mengambil kita kembali kepadaNya, dengan sebentar saja kita akan mati, meninggalkan dunia yang fana ini, yang penuh dengan dengan segala bencana. Baru saja tuan datang kerumah saya, saya sudah tahu sekali, bahwa tuan bukannya saudagar, melainkan Singa Durjana, musuh saya yang sebesar-besarnya. Tetapi sebab tuan meminta tolong dan menyerahkan diri kepada saya, saya antarkan tuan dengan tak bersenjata sebuah juapun. Karena orang yang seperti itu tak boleh diiringkan dengan senjata. Itu memberi malu orang namanya. Itulah pekerjaan yang seburuk-buruknya. Sebab itu jikalau tuan musuh saya, Tuhan Yang Maha Kuasa akan melindungi saya; dan jikalau tuan sahabat saya, unjukkanlah tangan tuan kepada saya!”

Mendengar perkataan Abdullah, lemahlah sendi anggota Singa Durjana. Diulurkannya tangan kanannya kepada Abdullah, lalu bertanya, tanyanya : “Dari sekarang ini bersahabatlah kita selama-lamanya. Saya minta terima kasih kepada tuan, karena sudah memberi petunjuk kepada saya, membawa saya kepada jalan yang benar. Apakah yang akan saya berikan kepada tuan? Ambillah oleh tuan jimat ini, yang telah membawa saya kepada jalan yang sesat.”

Sudah itu sembahyanglah keduanya bersama-sama. Habis sembahyang, Singa Durjana berkata : “Sehingga inilah saya tuan antarkan. Biarlah saya teruskan perjalanan saya seorang diri. Percayalah tuan, bahwa saya akan mengubah penghidupan saya, tidak lagi seperti yang sudah-sudah.”

Keduanyapun bersalamanlah. Singa Durjana meneruskan perjalanannya dan Abdullah pulanglah kembali.

Ditengah jalan diperhatikannya jimat yang diberikan Singa Durjana itu. Dilihatnya berbungkus dengan kain biru. Dibukanya kain biru itu, maka kelihatan olehnya kain kuning. Waktu kain kuning itu dibukanya pula, maka kelihatanlah suatu benda kecil yang kuning warnanya.

Waktu ia melihat benda itu, berseri-serilah mukanya. “Teranglah daun surga yang ketiga”, katanya dalam hatinya. Benda itupun dibungkusnya pula, lalu disimpannya baik-baik dalam sakunya.

Dengan berbesar hati, karena mendapat daun surga yang ketiga itu teruslah ia lambat-lambat. Rindu ia hendak bertemu dengan ibu dan isterinya, dengan pamannya Hafiz. Kepada Kafurpun tak lupa-lupa ia.



(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)

Tidak ada komentar: