Selasa, 13 Desember 2011

Menemukan "Dunia"

Hari-hari yang patut dicatat ketika Sang Bayi "Menemukan Dunia" :

1. Menggenggam sebuah jari kedalam telapak tangan.
2. Mengangkat kepalanya bila diletakkan tengkurep.
3. Dengan pandangan mata mengikuti benda-benda bergerak.
4. Mulai pandai ketawa.
5. Menjerit lirih bila diajak berbicara.
6. Kepala tetap tegak bila diletakkan tengkurep.
7. Miring kekanan atau kekiri.
8. Dengan bantuan dua jari berusaha duduk.
9. Tumbuh gigi pertama.
10. Memindahkan mainan dari satu tangan ketangan yang lain.
11. Mengambil dan memegang benda dengan sebelah tangan.
12. Dengan bantuan, berusaha tegak.
13. Bermain Ci-Lu-Ba!
14. Tengkurep sambil menggerakkan kaki dan tangan.
15. Pandai mengucapkan "Ma", "Pa", dan "Da".
16. Belajar makan sendiri.
17. Merangkak dibelakang ibu.
18. Dengan bantuan tangan, belajar berjalan.
19. Melemparkan barang mainan keluar dari box.
20. Ikut membantu dalam mengenakan dan membuka pakaian.
21. Menirukan kata-kata.
22. Tumbuh gigi belakang yang pertama.

Bersumber dari media cetak.
Dan sebagai pelengkap kami sertakan beberapa lirik dari tembang2-lawas, berikut ini: Tak lela ledung, Timang-timang.








Selasa, 11 Oktober 2011

Si Bungsu dengan garam

Tersebutlah sebuah kerajaan pada jaman dahulu, yang tenteram, damai, subur, makmur, aman dan sentosa. Semua yang baik-baiklah, ada pada kerajaan ini. Rajanya mempunyai empat orang puteri yang sangat elok-elok rupa wajahnya.

Namun dari kesempurnaan itu, kiranya “tiada gading yang tak retak”. Sesuatu hal yang aneh, suatu hari sang Raja menanyakan kepada puteri2nya nan cantik itu, seberapa besarkah cinta mereka kepada ayah dan bundanya.

Si Sulung mengatakan bahwa cintanya kepada ayah-bundanya adalah seperti gunung yang tinggi, tiada yang melampaui tingginya dari semua yang ada ini. Dan sang Raja puaslah mendengar betapa tinggi cinta putrinya ini.

Puteri yang kedua mengatakan cintanya adalah bagaikan samudera yang luas, semakin kita mengarungi samudera; akan terasa bahwa sejauh kita memandang, yang tampak adalah lautan samudera belaka. Demikian juga dengan mendengar jawaban ini, menjadi puas juga sang Raja.

Puteri yang ketiga mengatakan bahwa cinta kepada orang-tuanya adalah seperti kuku hitam.

Sang Raja terkejut, dan bertanya : “Lho…, mengapa hanya sebesar kuku hitam?”

Jawabnya : “Ya ayahanda, walaupun cintaku hanya sebesar kuku-hitam; seberapa kali banyak dipotong, terus akan tumbuh cintaku, hingga sampai ajal datang menjemput kepada diri kami, ya.. sang Raja!“

Sahut sang Raja : “Yaa… ya.. ya…., aku bisa mengerti apa yang engkau maksudkan!”

“Sekarang, bagaimana dengan kamu, hai bungsu?”, lanjut sang Raja.

Si bungsu mengatakan bahwa cintanya kepada orang-tuanya adalah laksana garam, segala sesuatu tidaklah lengkap kalau tanpa ada yang namanya garam ini.

Mendengar jawaban yang demikian itu, menjadi sangatlah murka sang Raja. Dan berlanjut hingga berakhir dengan diusirnya si bungsu keluar dari kerajaan, dan tiada seorangpun diijinkan untuk menyertai kepergiannya.

Dengan sangat sedih dan pilu, namun apa yang sudah dititahkan oleh sang Raja yang juga ayahandanya itu, diterima dan dijalaninya juga olehnya, tanpa sedikitpun juga hendak menolak ataupun membantahnya.

Atas kehendak yang kuasa juga, perjalanan si Bungsu yang terlunta-lunta itu menelusuri jalan, padang ilalang, hingga masuk kehutan. Akhirnya ia bertemu dan ditolong oleh seorang nenek-nenek yang tinggal didalam hutan tersebut. Ia dipungut dan diperlakukan sebagaimana keluarga dari nenek tersebut.

Beberapa tahun kemudian, lambat laun sudah hilanglah semua percaturan tentang apa yang berkaitan dengan si Bungsu.

Suatu waktu, sang Raja bermaksud pergi berburu hewan didalam hutan, hari itu suasana langit diselimuti oleh mendung, hanya sesekali sang mentari menampakkan wajahnya. Namun hal itu tidaklah mengurangi keseriusan beliau dalam berburu. Beliau sangat menikmati kesukaannya dengan perburuan itu. Hingga sampai saatnya kembali, beliau baru menyadari bahwa ia tidak menemukan jalan untuk keluar dari hutan, kemanapun arah yang dituju yang ditemukannya hanyalah hutan belaka. Tiada suatupun petunjuk jalan yang bisa mengarahkan padanya untuk keluar dari hutan tersebut. Hingga menjelang senja haripun masih belum ditemukan juga. Akhirnya beliau mulai gelisah, kalau sampai kemalaman dihutan, dalam kegelapan tersebut sewaktu-waktu bisa jadi sasaran santapan binatang buas yang tiba-tiba menyerang tanpa diketahui darimana arahnya. Sambil terus dan terus berjalan dengan sangat hati-hati, tiba-tiba dilihatnya kelap-kelip kecil pelita dikejauhan. Segera dipercepat langkahnya untuk mendapatkan pondok yang diterangi dengan pelita kecil tersebut.

Dengan mengucap salam, beliau mengetuk pintu pondok. Tak lama kemudian ada sahutan balasan salam dari dalam, dan yang keluar seorang Nenek2.

“Siapa ya, senja kala begini datang kesini?”, Tanya Nenek tua.

“Saya Nek, sedang berburu dan tersesat , tak tahu jalan kemana akan keluar dari hutan, hingga kami temukan pondok nenek ini!”, jawab sang Raja yang menyembunyikan jatidirinya dan mengaku sebagai pemburu.

Kami mohonlah Nek, tolong diberi ijin barang semalam untuk kami bermalam disini!? Dan selanjutnya, esok hari kami segera akan meneruskan perjalanan (pulang)”

“Ya.. ya.. , sudah banyak orang yang tersesat jalan dan akhirnya menemukan pondok ini. Bermalam, dan esok harinya melanjutkan perjalanannya!”, Jelasnya.

“Saya tinggalkan dulu kebelakang, untuk menjerang air. Barangkali kami bisa buatkan sekedar minum, untuk penghangat diudara yang dingin ini”, sambung si Nenek tua.

“Terima kasih, Nek!”, jawab sang Raja.

Tak lama kemudian muncullah si Nenek dengan menyuguhkan sekedar makanan serta minum, dan segera mempersilahkan kepada tamunya untuk menikmati hidangan tersebut.

Namun apa yang dirasakan oleh sang Raja sangatlah berbeda, semua makanan yang dihidangkannya rasanya semua hambar belaka.

“Adakah Nenek punya cara lain dalam memasak makanan ini?” , Tanya Sang Raja.

“Kenapa ya, dengan sajian hidanganku?”, sahut Nenek penuh Tanya.

“Semua masakan ini rasanya kok hambar semua ya…, tanpa garam!?”

“Lho…. kok begitu, ini adalah masakan dari cucuku!” tukas Nenek, dan “Cucu..!! Cucu…!! Segera kemarilah, Cu!”

Kemudian muncullah si Cucu, dengan sambil menundukkan kepala, mendekatlah ia kepada Neneknya.

“Cucuku lagi lupa ya, semua masakan hidanganmu ini hambar semua, tanpa garam! Atau kamu lagi kehabisan garam?” , ucap si Nenek kepada cucunya.

Jawab si Cucu, dengan perlahan : “Garam kita masih banyak; Namun yang kutahu, hanyalah tamu kita ini tidaklah suka dengan garam, Nek!”

Mendengar jawaban si Cucu yang pelahan namun cukup jelas dan tegas ini, si Nenek, dan juga tetamunya itu menjadi terpaku diam.

Dengan itu sang Raja jadi teringat dengan garam/si Bungsu, puterinya yang telah diusirnya beberapa tahun dahulu. Yang aneh, kalau diperhatikan usianya kini sebayalah dengan cucu si Nenek ini.

Setelah yakin akan hal tersebut, kemudian sang Raja minta ijin kepada si Nenek untuk mendekat kepada cucunya.

Ungkap sang Raja sambil menyibak rambut si Cucu : “Engkaukah si Bungsu itu? Maafkanlah ayahmu yang telah berbuat kasar dan melupakan dirimu”

Dengan bercucuran air-mata, si bungsu sekilas memandang ayahandanya dan mengangguk; SangRaja pun tak kuasa menahan itu, segera menghampiri puterinya dan mendekapnya sambil menangis dengan penuh haru.

Si Nenek pun terbengong-bengong melihat kejadian itu, kemudian bertanya kepada teman si pemburu tersebut : “Apa artinya semua ini, kawan?”

Jawab Punggawa Kerajaan : “Beliau adalah Raja dinegeri kami yang sedang pergi berburu kehutan, dan kami sendiri adalah punggawa kerajaan yang ditugaskan mendampingi kepergian beliau. Sedangkan perempuan yang Cucu Nenek ini, sebenarnya adalah si Bungsu yang juga puteri Sang Raja sendiri. Si Bungsu yang waktu itu terusir dari Kerajaan oleh sang Raja, ya ayahandanya sendiri, sewaktu mengatakan cintanya kepada ayahbundanya adalah bagaikan garam. Dan yang waktu itu ditafsirkan keliru/lain, hingga menyebabkan kemurkaan sang Raja hingga terusirnya si Bungsu dari Istana. Dan kini menjadi cucu, dari Nenek yang baik budi ini!”

Si Nenekpun jadi terdiam, serta melelehkan air-mata. Sedih dan senang, terharu, bahagia, semuanya berpadu menyelimuti benak pikirannya.

Setelah suasananya mereda. Esok harinya, Si Bungsu beserta Neneknya diboyong ke Istana Kerajaan. Dengan panduan si Nenek dan si Bungsu, akhirnya rombongan tersebut berhasil keluar dari hutan untuk kembali kenegerinya.

Kembalinya si Bungsu, sang Permaisuri yang lama sakit sejak kepergian si Bungsu, kini berangsur baik dan sembuh seperti sedia-kala.

Dengan kedatangan si Bungsu dan Neneknya, kini kian bertambah lengkaplah kebahagiaan yang ada di Negeri tersebut.



(Sebuah saduran bebas dari artikel berbahasa jawa dari [seingat saya] buku “Waosan-Djawi”)





Senin, 10 Oktober 2011

Si Kancil terperosok kesumur

Tersebutlah si Kancil yang sedang berjalan sambil bernyanyi-nyanyi, melenggang sesuka-hatinya tanpa arah yang tertentu, dan tidak pula memperhatikan sekitarnya. Namun tiba-tiba kakinya menginjak reruntuhan dedaunan dari pepohonan dihutan tersebut yang berserakan kemana-mana. Tergelincirlah ia jatuh meluncur kedalam lubang sumur yang cukup lebar lagi dalam.

Dia berusaha keluar dari lubang tersebut. Namun tidak ada satupun akar ataupun sulur pepohonan yang menjulur jauh kedalam lobang sumur tersebut. Dicobanya berulang-ulang melompat dengan sekuat tenaga, pun tidak juga mencapai bibir sumur. Berkali-kali Ia berteriak minta tolong, namun tidak juga ada sesuatu makhluk pun yang menyahut ataupun menolongnya.

Menengadah keatas, yang nampak hanyalah kumpulan awan yang terlihat melintas sekejap diatas lobang sumur tersebut. Putus-asalah akhhirnya si Kancil, dan menggerutu “matilah aku sekarang dilobang sumur ini”; dan dalam kelelahan serta keputus-asaan itu, tertidurlah ia.

Hingga ia terbangun terperanjat, dikejutkan oleh suara gemuruh disertai gerakan tanah yang terasa semakin lama semakin keras dan mendekat kearahnya. Sejurus kemudian nampak olehnya si Gajah yang menjulurkan belalainya kedalam sumur, namun masih terlalu jauh untuk menggapai air didalamnya. Tengok sana, tengok sini kedalam keremangan lobang sumur, terlihat olehnya si Kancil lagi terbengong-bengong melihat keatas.

Seru si Gajah : “Hai… Kancil, ada apa kamu berada didalam sumur ini?”

Si Kancil tersadar dari terbengong-bengongnya, dan akalnya mulai berjalan, “Akh.., datang sebuah kesempatan emas; jangan disia-siakan!”, katanya dalam hati.

Sahut si Kancil kemudian : “ Ssstt…………!!” , sembari telunjuk disilangkan tegak dibibirnya.

Si Gajah, mulai bimbang dengan keadaan itu dan bertanya : “Memangnya ada apa, Kancil?”

“Kamu memang benar-benar tidak tahu?”, lanjut si Kancil

“Iya…, saya tidak tahu ……, ada apa dengan semua ini?”, ungkap si Gajah semakin tambah bingung.

“Cobalah menengadah melihat keatas, tidakkah engkau tahu bahwa sebentar lagi langit akan runtuh?

Gajah menengadah melihat keatas, dan tampak olehnya kumpulan awan yang bergerak terbawa angin itu layaknya seperti langit yang sudah goyah dan mau runtuh.

“Benarkah semua itu, Kancil?”

“Lihatlah sendiri, tidakkah engkau tahu aku sudah sejak tadi sudah bersembunyi disini!”, jawab si Kancil menegaskan alasannya, mengapa dia berada didalam sumur.

“Kalau begitu saya ikut bersamamu, Kancil!”, sembari berkata demikian si Gajah langsung menerjunkan dirinya kedalam sumur. Si Kancil terkejut bukan kepalang, ia hampir saja terinjak oleh kaki si Gajah. Walaupun dalam hatinya sebenarnya ia juga bergembira, karena semua rencananya akan bisa berjalan dengan mulus.

“Kak Gajah, aku hampir mati terinjak kakimu! Sebaiknya aku duduk diatas punggungmu saja, supaya tidak terinjak. Dan tolonglah merendah sedikit, agar aku bisa maik keatas punggungmu”.

Dengan tanpa ada curiga apapun, merendahlah si Gajah dilobang yang sempit untuk badan Gajah yang sebesar itu. Dan akhirnya si Kancilpun bisa menggapai punggung Gajah.

“Kak Gajah, saya sudah duduk dipunggungmu, sekarang bolehlah engkau untuk berdiri!”

Begitu Gajah berdiri, sudah cukuplah acuan bagi si Kancil untuk melompat mencapai bibir sumur itu. Dan dengan spontan segera melompatlah ia keatas.

Setibanya diatas tanah, sambil melongok kedalam sumur si Kancil berkata : “Terimakasih atas bantuannya, ya kak Gajah! Semoga baik-baiklah semuanya”.

Kemudian berlalulah ia dari tempat sumur itu.




(Saduran bebas dari sebuah Ceritera Guru)





Kamis, 06 Oktober 2011

Si Kancil berpacu lari

Kami sadur dari cerita si Kancil (Buku berbahasa Jawa). Diceriterakan bahwa sosok kancil tersebut adalah bertubuh kecil, namun dia memiliki kecerdikan yang luar biasa, serta mempunyai banyak akal.

Pada suatu hari sewaktu Kancil sedang dalam perjalanan, berjumpalah ia dengan teman lamanya si Kul (binatang sejenis Siput, yang hidup diair tawar). Tanya si Kancil : “Kul, berjalanmu itu lambat sekali, kapan bisa sampai ditempat tujuan?”

Sudah sesuai dengan kodratNya, begitulah adanya dengan si Kul tersebut. Namun, sambil berpikir dia menjawab pula : “Biarlah lambat asal selamat! Sungguhpun begitu, kalau beradu cepat berpacu denganmu, sama sekali tidaklah aku akan mundur”

Dengan agak meragukan akan kemampuannya, maka si Kancil bertanya : “Benarkah itu?”

Jawab Kul dengan mantabnya : “TENTU-lah, kawan!!”

“Kapan, dan dimana kita berlomba?”, tanya si Kancil untuk meyakinkan hal tersebut.

“Besok pagi-pagi saja, sebelum sinar mentari mulai panas. Dan tempatnya, ya… disini. Aku berjalan didalam air, sedangkan kamu dijalan setapak sepanjang parit ini!”, ungkap Kul.

Jawab Kancil: “Ya.. sudahlah, kalau begitu saya setuju!”

Sepeninggal Kancil, Kul segera memberi tahu kepada teman-temannya, untuk berbaris disepanjang parit ini dengan jarak masing-masing, antara dua meter. Dan nanti ketika si Kancil menyeru, Kul yang dihadapannya harus menjawab dengan perkataan “Kuk”.

Esok pagi tiba, si Kul memberi aba-aba dengan kata-kata “Mulai”, maka langsung berlarilah keduanya. Dengan sambil berlari secepatnya, si Kancil menyeru : “Kul..?” Kul yang didepannya menjawab dengan kata “ “Kuk!”

Begitu seterusnya, setiap seruan kancil “Kul?”, dengan spontan Kul yang didepannya menjawab dengan kata : “Kuk!”

Maka si Kancil menambah lebih cepat lagi laju larinya; namun setiap seruan “Kul?”, selalu dijawab dengan “Kuk!” oleh Kul yang berada didepan laju si Kancil.

Sampai akhirnya si Kancil capek kelelahan, hilang keseimbangan dan jatuh terjerembab masuk keparit. Segera si Kul yang didepannya, menyongsong untuk menolongnya.

“Bagaimana keadaanmu, Kancil?”

Dengan napas yang masih terengah-engah, si Kancil menjawab dengan tersengal-sengal : “Kamu memang hebat, saya mengaku kalah!”

Sembari tersenyum simpul, si Kul menjawab: “Iya,nggak apa-apa! Harapanku, semoga pertemanan kita tetaplah baik-baik saja, ya...!?”


(Saduran bebas dari Ceritera Guru)





Kamis, 22 September 2011

Hari "Kaigoen Kinen Bi"

    Sebuah diantara adat bangsa Nippon yang mulia ialah hormat dan berbakti kepada Tenno Heika. Hal inilah yang mempersatukan bangsa Nippon dalam masa yang berbahaya, yakni ketika negeri-negeri Barat mencoba menaklukkannya. Amat berbahagia rakyat Dai Nippon, karena disatukan dan dilindungi oleh Tenno Heika.

    Sebab itulah juga dalam hati pahlawan-pahlawan Dai Nippon bernyala-nyala semangat suka dan sanggup berkurban untuk tanah air dan rajanya.

    Keberanian berkorban itu tidaklah tinggal dalam angan-angan saja, melainkan dibuktikan juga oleh mereka itu, misalnya waktu peperangan antara Nippon dengan Roeslan dalam tahun 2565, kira-kira empat puluh tahun yang telah lalu.

    Waktu itu Port Arthoer yang juga dinamakan juga oleh orang Nippon Riozjoen, masuk jajahan Roeslan. Maka diadakannyalah sebuah jalan kereta api dari Harbin ke Port Arthoer. Beberapa tahun sudah itu maka benteng Port Arthoer dijadikannya benteng yang sekuat-kuatnya, yang dapat mempertahankan kota itu dari musuh yang hendak menyerangnya, baik dari laut, baik dari darat. Maksud Roeslan itu sampailah. Banyak sekarang jalan terbuka baginya. Jikalau ia hendak menaklukkan Korea, tentu akan mudah saja. Perdagangannya dengan Tiongkok dan Nippon tentu akan bertambah maju. Bahkan, akan dapat ia menjadi raja di Lautan Teduh.

    Akan tetapi Nippon sudah maklum akan maksud Roeslan itu. Tanah "Matahari Terbit" tiadalah akan mau didesak dan ditindih oleh Roeslan itu. Sebab itu disediakannyalah dengan sabar apa-apa yang perlu rasanya kelak. Sesuatu yang genting lambat laun akan putus juga. Tetapi Nippon sudah siap. Maka terjadilah peperangan yang maha hebat, yang menghalang-halangi cita-cita Roeslan itu.

    Waktu perang itu mulai pecah, alat senjata Nippon sekali-kali belum lengkap, kalau dibandingkan dengan alat senjata bala tentara Roeslan.

    Tetapi Nippon ada bersenjata yang lain, yang melebihi senjata Roeslan yang hebat itu. Apakah senjata itu? "Benteng persatuan" didalam negeri, yang terdiri dengan sekejap mata. Itulah "senjata" Nippon yang sekuat-kuatnya. Bagaimanapun lengkap dan banyaknya senjata, tetapi kalau senjata yang sebuah tadi tak ada, tak mungkin akan mendapat kemenangan dalam peperangan. "Benteng persatuan" dalam negeri Nippon itulah yang menaklukkan jenderal Alezief, yang menjadi Raja Muda Rusia di Amoer. Ia tak sedikit juga menyangka, bahwa orang Nippon dalam waktu yang amat pendek akan dapat bersatu hati dalam membela tanah airnya. Tak tahu ia, bahwa dalam dada dan jiwa rakyat Nippon hidup semangat "boesjido" yang amat dalam dan tinggi artinya. Bunyinya seperti berikut : jika kulit kita dilukai musuh, sayatlah dagingnya! Jika disayatnya daging kita, keratlah tulangnya! Boleh juga artinya : jika kita dijentik musuh, tamparlah musuh itu! Arti yang lain ialah tepuk dibalas dengan tampar, sepak dibalas dengan terajang.

    Mengingat kepentingan tanah airnya, menjaga nama raja dan didorong oleh semangat "boesjido" itu, maka Bulan II, tahun 2564 Nippon memaklumkan perang kepada Rusia.

    Dengan secepat-cepatnya didudukinyalah Korea. Sudah itu Nippon membuat jalan dari sungai Yaloe ke Mansjoeria untuk balatentara darat. Pada ketika itu juga pasukan-pasukan yang diangkut dengan kapal, mendaratlah dijazirah Liautoeng, lalu mengepung benteng pertahanan Port Arthoer. Karena tak tertahan lagi oleh balatentara Rusia maka pada tanggal 2, Bulan I, tahun 2565, Stotszel jenderal Roes menyerahkan Port Arthoer kepada jenderal Nogi didalam sebuah rumah kecil dilembah Sjoesjein. Dalam Bulan III, pada tahun itu juga pasukan kelapa Rusia dimusnahkan dalam peperangan besar di Moekden.

    Setelah Moekden jatuh, maka Rusia mengirimkan Angkatan lautnya yang sebesar-besarnya dari Eropa. Zinovy Petrovich Rojestvensky nama nachkodanya.

    Angkatan laut Nippon yang waktu itu dipimpin oleh yang mulia Laksamana Togo almarhum, yang dikumpulkan diselat Toesjima menyambut kedatangan musuh itu dengan tidak gentar sedikit juga. Setelah kelihatan olehnya musuh datang, maka yang mulia Laksamana Togo almarhum meneruskan perintah dari "kapal bendera Mikasa" akan memusnahkan angkatan laut musuh itu.

    "Berusaha, berjuang dan bertempurlah kamu dengan segala kebijaksanaanmu untuk kemenangan dan kemuliaan Tenno Heika dan tanah air", teriak yang mulia Laksamana Togo menggerakkan balatentara.

    Perkataan pemimpin yang pendek itu menambah semangat laskarnya. Dengan keberanian dan ketetapan hati disongsongnyalah musuh yang lebih kuat daripadanya itu. Pada ketika itu semua kapal perang Nippon menembakkan meriamnya kekapal perang Rusia. Seperti hujan jatuhnya pelor meriam Nippon dikapal musuh itu. Angkatan Rusia mendapat kekalahan yang sebesar-besarnya. Laksamana Rojestvensky dan kira-kira 4600 orang anak buahnya ditawan oleh Laksamana Heihatjiro Togo. Ada 14000 orang Rusia mati tenggelam. Hanya 3000 orang saja yang lepas dari bahaya maut atau yang tiada tertawan, karena dapat melarikan diri ke Wladiwostok dan Manilla. dalam perjuangan itu Rusia kerugian enam belas kapal perang besar, sebahagian ditenggelamkan dan sebahagian lagi dirampas oleh tentara laut Nippon. Hanya empat buah kapal perang yang kecil-kecil, yang masih tinggal ditangan Rusia. Yang sebuah lari ke Wladiwostock dan yang tiga buah lagi ke Manila.

     Dalam Bulan VIII, tahun 2565 bertemulah utusan-utusan Nippon dengan utusan-utusan Rusia di Port Smouth, New Hamsphire, untuk memperbincangkan perdamaian.

    Pada tanggal 5, Bulan IX, tahun 2565 kedua kerajaan itupun berdamailah.

    Kemenangan Nippon di Tsoesjima itu membangunkan dan menginsyafkan rakyat Asia.

    Jasa yang mulia Laksamana Togo dan Jeneral Nogi bukanlah untuk Seri Baginda Yang Mulia Meidzi Tenno dan rakyat Nippon saja, melainkan untuk seluruh negeri dan rakyat Asia juga.

    "Kapal bendera Mikasa" tempat Laksamana Togo memerintahkan bala tentaranya menyerang angkatan laut Roeslan dijaga orang di Yokosoeka dengan sebaik-baiknya untuk peringatan. Demikian juga Kuil Togo di "Meidzi Dzingoe" di Tokio, yang didirikan untuk memperingati jasa yang mulia Laksamana Togo itu.

    Lain dari Kuil Togo didirikan pula di Tokyo Kuil Nogi untuk memperingati jasa-jasanya.

    Boleh dikatakan hampir diseluruh Asia yang luas ini diadakan pada tanggal 27, Bulan V tiap-tiap tahun upacara yang besar untuk memperingati kemenangan angkatan laut Nippon dilaut Tsoesjima itu.

    Hari itulah yang dinamakan hari "Kaigoen Kinen Bi".



( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )




     
  

Senin, 19 September 2011

Cerita perjalanan "Si Imut"

Sebuah cerita perjalanan si Semut kecil, ke Surabaya. Yang didesanya, ia lebih dikenal dengan sebutan "Si Imut".

    Ketenangan dan keharmonisan desa itu agak terusik, setelah hampir dua hari Si Imut tidak pulang kerumahnya. Tiada sepatah katapun kabar beritanya. Orang tua dan juga keluarga yang lain pun ikut disibukkan guna mecari dan mengetahui keberadaan Si Imut.
Begitu kedatangan kembali Si Imut pulang kerumahnya, menjadi gembiralah seluruh keluarganya. Pertanyaan demi pertanyaan bertubi-tubi diajukan kepadanya : "Kemana saja kamu Imut, selama dua hari ini nggak pulang? Tanpa ada kabar beritanya. Jangankan menelpon, SMSpun juga tidak"

    "Nggak sempat, Mama! Handphone aku ketinggalan dirumah, sedang saya charge."

    "Memangnya kamu pergi kemana?"

    "Jalan-jalan ke Surabaya, Ma!"

    "Haa ....? Naik apa kamu kesana, bersama dengan siapa, dapat sangu dari mana?
    Jangan-jangan, kamu mengambil uangnya Mama, ya?"

    "Ya..... Mama !? Dar-der-dor, seperti senapan mesin saja pertanyaannya. Saya ke Surabaya naik mobil, Serta tidaklah mengambil uang Mama. Dan......, yang paling penting adalah ....., gratis.. tis.. tanpa keluar uang sepeserpun juga!"

    "Dan.. tolonglah Ma, beri saya kesempatan terlebih dulu untuk berceritera tentang perjalananku ke Surabaya. Setelah itu bolehlah Mama memarahi saya sepuasnya!"

    Mamanyapun menjadi terdiam, dan menunggu, serta memperhatikan apa yang akan diceriterakan oleh Si Imut, anaknya.   
"Ketika aku sedang bermain-main, waktu itu aku ada memanjat pada pohon rambutan. Datanglah pedagang, mengunduh buah rambutan tersebut dan serta merta memasukkannya kedalam keranjangnya. Aku yang sedang disitu, tanpa bisa menghindar lagi, langsung ikut masuk kekeranjang dan tertimbun pula dengan buah-buah rambutan yang lain. Kemudian dengan susah payah aku berusaha keluar dari timbunan itu.
Saat aku bisa terbebas dari timbunan itu, ternyata aku sudah berada diatas mobil yang sedang melaju ke arah kota Surabaya.
Ketika melongok keluar, udaranya panas dan terasa sedikit bau gas; tidaklah sejuk seperti ketika berada didesaku. Ternyata saat itu mobil yang aku tumpangi sedang melintasi kemacetan Jalan Raya Porong, dekat dengan Area Tanggul Banjir Lumpur.
Sesampai di Surabaya, aku sempat juga melihat Jalan Tunjungan yang ramai banget, Jembatan Suramadu yang indah sekali, Tugu Pahlawan yang anggun, Stasiun Gubeng yang menawan, dan....... juga Mall lho Ma!"

    Segera, Mamanya menyela dengan pertanyaannya :  "Waktu di Mall, kamu ingat Mama atau enggak?"

    "Ya... tentu ingatlah, tapi memangnya kenapa Mama bertanya begitu ?"

    "Mestinya, kamu belikan untuk Mama sepasang Sepatu atau Parfum, begitu!"

    "Ikh.... Mama, geniit banget. Ukuran sepatunya besar-besar lho Ma. Yang ada hanya antara nomor 40, sedangkan untuk Mama kan nomornya 0,40!"

    Dalam perjalanan pulang, Si Imut kelelahan dan tertidur pulas. Begitu terbangun, didapatinya dirinya sudah berada ditumpukan keranjang dipasar yang berada tidak jauh dari rumahnya.

    Ucap Mamanya : "Si Imut! Jadikan semua itu sebagai pengalaman hidup kamu, dan untuk yang lain kali kamu harus lebih berhati-hati!"

    Jawab Si Imut : "Iya Mama! saya perhatikan semua nasehat dan pesan Mama."



( Sebuah saduran bebas dari "Ceritera Guru" )




Terik Tahu

Bahan :
    Tahu.

Rempah-rempah :
    Bawang merah, Bawang putih, Ketumbar, Kemiri, Asam, Trasi, Lengkuas, Garam, Gula, Sereh, Salam, Kelapa, Minyak.

Cara membuatnya :
    Tahu diiris-iris agak besar, lalu digoreng.
Rempah-rempah ditumbuk halus-halus, dan ditumis dalam minyak sedikit setengah matang.
Santan dimasukkan, diaduk sebentar sampai mendidih, baru Tahunya dimasukkan.
Jika akan membuat terik kering, kuahnya dimasak terus sampai hampir kering.
Jangan banyak-banyak memakai Garam.



( bersumber dari buku masakan untuk masyarakat pedesaan )



     

Selasa, 13 September 2011

Mula-bukanipun wonten pantun

   Kacariyos ing jaman kina Betara Guru karsa nitahaken Widadari, kaparingan nama Retna Dumilah. Sareng Retna Dumilah sampun diwasa, saking karsanipun Betara Guru bade dipun pundut garwa. Retna Dumilah inggih purun dipun pundut garwa, ananging gadah panuwun tigang perkawis :
1. Nyuwun teda, ingkang boten mboseni ing selami-laminipun.
2. Nyuwun pengangge ingkang boten kenging ing risak.
3. Nyuwun gangsa serancak, ingkang saged mungel piyambak.

    Sareng Betara Guru tampi pepanggilipun Retna Dumilah ingkang mekaten punika, sanget kaweken ing galih. Milanipun lajeng utusan Kala Gumarang tumedak dateng Marcapada, pados ingkang dados panuwunipun Retna Dumilah.

    Wonten ing marcapada Kala Gumarang dilalah sumerep Dewi Sri, garwanipun Betara Wisnu. Kala Gumarang salah damel, asring njawat dateng Dewi Sri; milanipun Dewi Sri sanget sekelipun ing penggalih. Jalaran saking punika Kala Gumarang dipun sotaken malih dados celeng. Pangajeng-ajengipun Berata Guru dateng wangsulipun Kala Gumarang tanpa wasana. Milanipun Retna Dumilah lajeng dipun dawuhi : purun boten purun meksa bade dipun pundut garwa. Retna Dumilah puguh enggenipun mopo, lajeng nganyut tuwuh. Miturut rembagipun para dewa ing suralaya layonipun Retna Dumilah dipun petak wonten ing negari Mendang-Kamulan; namanipun dipun pindah Dewi Tisna-Wati. Prabu Makukuwan, ratu ing Mendang-Kamulan, kapatah rumeksa pasareanipun Tisna-Wati wau.

    Sang Prabu Makukuwan ngestoaken timbalanipun Betara Guru. Sareng dumugi kawan dasa dintenipun, Sang Prabu sumerep ing pasareanipun Dewi Tisna-Wati wonten cahya gumebyar; ing salebeting cahya punika wonten tetukulanipun aeng. Sanalika Sang Prabu ngaturi uninga dateng Betara Guru. Betara Guru lajeng paring uninga, yen tetukulan punika kepanjingan sukmanipun Dewi Tisna-Wati; milanipun kedah dipun openi ingkang sae-sae. Wiwit nalika punika salajengipun menungsa bade angsal teda saking ing tetukulan wau, mantun neda pamedaling wana. Sirahipun Dewi Tisna-Wati dados kelapa, puseripun dados pantun, tanganipun dados pala gumantung; dene sukunipun dados pala kapendem.

    Prabu Makukuwan ngestokaken sadawuhipun Betara Guru; tetukulan wau dipun openi sae-sae sarta dipun edum dateng kawulanipun sadaya. Wonten tiyang tani awasta Jaka Puring kaliyan Kyai Tuwa, sanget enggenipun ngaji-aji dateng tetukulan wau; milanipun ngantos sapunika taksih sami dipun leluri sarta dipun wastani bapa tani kaliyan biyang tani.

    Kala Gumarang senajan sampun dados celeng, ewa dene boten mantun-mantun enggenipun bade ngresahi dateng Dewi Sri, ndadosaken sekelipun. Milanipun Dewi Sri lajeng nenuwun ing Dewa, mugi-mugi enggal dipun punduta. Panuwunipun kasembadan. Layonipun inggih dipun sarekaken ing Medang-Kamulan. Sareng nyandak kawan dasa dintenipun, saliranipun Dewi Sri inggih tukul tanemanipun kados dene Dewi Tisna-Wati. Ananging wonten bedanipun; pantun ingkang asalipun saking saliranipun Dewi Sri kedah dipun tanem wonten ing sabin; ingkang saking Dewi Tisna-Wati wonten ing tegil utawi pegagan.

    Kala Gumarang sumerep Dewi Sri seda, boten kendo kajengipun, malah sansaya nganja-anja manahipun. Milanipun lajeng bade ngrisak taneman pantun; ananging tumunten dipun pejahi Betara Wisnu, dipun tumbak ing granggang. Kala Gumarang, senadyan sampun pejah, enggenipun ngresahi taneman boten mantun-mantun. Bangkenipun medal kewanipun, ingkang dados ama warni-warni.

    Mekaten ugi anak-anakipun Putut Jantaka inggih sami dados satrunipun pantun, asring sami ngrisak pesabinan, asipat liman, warak, kidang, sangsam, ketek, tikus, sapenunggilanipun, sami dipun kepalani Kala Gumarang; sanget ndadosaken ing gemesipun Jaka Puring kaliyan Kyai Tuwa. Sang Prabu Makukuwan karsa tetulung nyirnakaken ama-ama wau. Ingkang mekaten punika inggih kelampahan; namung mahesa kaliyan lembu sami dipun tawan, boten dipun pejahi, dipun dadosaken rencangipun tiyang tani.

    Wiwit ing nalika semanten taneman pantun saged wilujeng, tukulipun subur, lami-lami lajeng sangsaya ngreda.

    Wasana Dewi Sri lajeng nitis dateng Prameswari ing Medang-Kamulan. Betara Wisnu nitis dateng Prabu Makukuwan. Jalaran saking punika Prabu Makukuwan sagarwanipun sami saged paring piwulang dateng kawulanipun ing bab pangupakaranipun pantun. Makaten ugi ing bab lampah-lampahipun tiyang panen sarta wilujenganipun, supados tulusa tanemanipun pantun. Inggih punika mula-bukanipun wonten pantun, sarta mula-bukanipun wilujenganipun tiyang nanem pantun, ingkang tumindak ngantos ing jaman sapunika, enggenipun sami memule dateng Dewi Sri.



( bersumber dari buku "Kembang Setaman" )




  

Kamis, 08 September 2011

Semur Tahu atau Terong

Bahan :
    Tahu atau Terong.

Rempah-rempah :
    Kecap, Bawang-merah, Lada, Minyak, Garam (Cengkeh).

Cara membuatnya :
    Tahu diiris-iris besar-besar.
    Jika terong yang dipakai : Terong dibelah panjang, tidak usah dikupas, lalu digoreng seperti Tahu juga. Kuahnya dibuat dari Air atau Kaldu, Kecap, Lada, dan Bawang-merah goreng (cengkeh).
    Lebih enak lagi, jika masakan ini ditambah dengan santan sedikit.


( bersumber dari buku masakan  untuk masyarakat pedesaan )







Mawar merah dan perempuan sihir

    Dikaki sebuah gunung yang tinggi, ditepi sebuah hutan yang lebat, diam dua orang peladang laki-bini. Mereka itu ada mempunyai seorang anak perempuan umurnya kira-kira dua belas tahun. Sangat elok paras anak itu. Pipinya merah seperti bunga mawar, matanya bulat sebagai bintang timur, mukanya penuh seperti bulan empat belas hari. Kulitnya putih seperti umbut muda. Tak ada yang menyangka, bahwa ia hanya anak peladang miskin. "Boleh jadi turunan dewa-dewa juga, yang bertempat diatas gunung itu", kata mereka itu.

    Karena sangat elok parasnya, orang sekampungnya menamainya Mawar Merah. Ibu bapaknya amat kasih sayang kepadanya. Sekejappun tak pernah ditinggalkannya. Kemana mereka itu pergi, Mawar Merah selalu dibawanya. Mereka itu takut kalau-kalau buah hatinya itu dapat bencana.

    Pada suatu hari ibu bapa Mawar Merah pergi kehutan mencari buah berangan. Mawar Merahpun serta pergi. Alangkah girangnya hatinya dalam hutan itu! Bunga-bungaan banyak berkembangan dan kupu-kupu banyak berterbangan. Dengan gembira ia berlari kesana kemari mengejar kupu-kupu itu. Sementara itu ibu-bapanya memungut buah berangan (semacam padi, buahnya kecil-kecil).

    Tiba-tiba terbang seekor kupu-kupu yang amat elok sayapnya, lalu dikejar oleh Mawar Merah. Kemana ia terbang dikejarnya juga. Mawar Merah lupa, bahwa ia telah jauh dari ibu-bapanya. Akhirnya iapun tersesat didalam hutan besar itu. Mawar Merah menangislah, karena jalan pulang tak tentu lagi olehnya.

    Hari telah senja dan mulai gelap. Mawar Merah berjalan sambil menangis. Dari jauh tampak olehnya sebuah pondok buruk. didalamnya duduk seorang perempuan tua.

    "Nenek, beri tumpanglah saya malam ini disini!" kata Mawar Merah.

    "Siapakah engkau ini?" tanya perempuan tua itu.

    "Nama saja Mawar Merah, nenek. Saya sesat ketika ibu-bapa saya mencari buah berangan didalam hutan.

    "Kalau begitu, masuklah!"

    Mawar Merah masuk kedalam pondok itu. Ia heran melihat pondok itu sangat kotor, penuh sampah dan abu. Tetapi yang lebih mengherankan hatinya, ialah banyak benar tikus berjalan disana. Rupanya binatang itu jinak-jinak, karena ia tidak lari didekati.

    "Nenek tidak bercucu akan membersihkan pondok buruk ini", kata perempuan tua itu. "Lihatlah kotornya, macam kandang kambing! Kawan nenek hanyalah tikus-tikus itu saja. Kalau engkau suka menolong, sapukanlah sampah-sampah itu"

    Mawar Merah memang anak yang rajin dan bersih. Dengan segera dicarinya sapu, lalu pondok itu disapunya.

    Sesudah makan malam, Mawar Merah tidur. Tetapi hatinya tak senang. Ngeri saja ia melihat muka perempuan tua itu.

    Memang perempuan tua itu bukan perempuan biasa. Dia seorang pandai sihir yang kejam. Siapa yang sesat kepondoknya disihirnya jadi tikus. Sekalian tikus-tikus itu dahulunya manusia yang telah disihirkannya. Kemudian binatang-binatang itu tiada diberinya makan, sehingga banyak yang mati kelaparan.

    Mulanya Mawar Merah tak tahu akan hal itu, tetapi kemudian tahu juga ia. Seekor tikus jatuh dari atas pagu lalu patah kakinya. Tikus itu berceritalah kepada Mawar Merah bahwa ia putera seorang raja, telah disihir oleh perempuan tua itu. Mawar Merah amat kasihan melihat tikus itu, lalu dipeliharanya baik-baik.

    Keesokan harinya dikabarkannya cerita tikus itu kepada perempuan tua itu. Perempuan tua itu sangat marah, karena rahasianya terbuka. Karena sangat marahnya, ia jatuh sakit. Mawar Merah menyesal mengabarkan cerita tikus itu. Maka dicarikannyalah orang tua itu obat dari daun-daun.

    Ketika Mawar Merah mencari obat itu, ia bertemu dengan seorang tua. "Apa yang engkau cari, nak?" tanya orang tua itu.

    "Saya mencarikan nenek saya obat", jawab Mawar Merah, lalu diceriterakannya sebab neneknya jatuh sakit itu.

    "O.., inilah obatnya yang mujarrab. Bawalah!" kata orang tua itu pula, sambil memberikan sebuah kendi berisi air.

    Dengan segera obat itu dibawa Mawar Merah pulang, lalu disuruhnya minum oleh perempuan tua itu. Tetapi obat itu dibuangkan perempuan itu, dan dengan amarah berkata ia, katanya : "Tidak, itu racun akan membunuh aku."

    Untunglah air itu dapat juga sedikit dicedok oleh Mawar Merah. Dengan bujukan yang halus diminumnya juga obat itu. Tak lama antaranya perempuan sihir itupun sembuhlah.

    Sesudah sembuh sifatnya sangat berubah. Sambil menangis ia berkata kepada Mawar Merah, ujarnya : "Cucuku, nenek ini orang durhaka, orang jahanam. Jika tidak karena engkau, tidaklah nenek dapat lepas dari perbuatan yang terkutuk itu. Engkau tahu, bahwa segala tikus itu manusia belaka, yang telah nenek sihirkan. Engkau sendiri hampir pula menjadi tikus. Sekarang tikus-tikus itu hendak nenek kembalikan semuanya kepada asalnya, dan kemudian akan nenek buang segala ilmu nenek yang buruk itu.

    Sesudah ia berkata itu, dimaterakannyalah sekalian tikus-tikus itu dan sebentar itu juga jadi manusialah semuanya kembali. Bermacam-macam yang kelihatan, ada pemburu, ada gembala, ada seorang gadis, ada seorang putera raja, dll.

    Maka amatlah sukacita mereka itu dan minta terima kasih banyak-banyak kepada Mawar Merah. Tetapi yang terlebih bersukacita ialah putera raja itu, karena Mawar Merahpun telah memeliharanya ketika kecelakaan. Maka dibawanyalah gadis kecil itu kenegerinya bersama-sama ibu-bapa Mawar Merah yang telah bertemu kembali dan dipeliharanya sebaik-baiknya.

    Sejak itu Mawar Merah dan ibu bapanya senang dan berbahagialah hidupnya.



( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )



 

  

Siapakah yang beruntung?

Dahulu kala adalah dua orang tani bersahabat. Pada suatu hari mereka itu mengadakan perjamuan, memanggil orang-orang sekampungnya. Isteri mereka itu sama-sama melahirkan anak laki-laki. Itulah sebabnya mereka mengadakan perjamuan itu.

Jamupun datanglah, lalu duduk pada tempatnya masing-masing. Tak lama kemudian datang pula dua orang jamu perempuan. Yang seorang kecil badannya dan yang seorang lagi gemuk. Orang yang ada dirumah itu tak ada yang kenal kepada kedua perempuan itu. Tuan rumah sendiripun tidak.

Karena itu mereka itu heran semuanya memikirkan siapakah orang itu. Ketika makanan sudah tersedia dan orang akan makan lagi, kedua perempuan itu tak mau makan. Katanya ia sudah kenyang benar. Jamu yang lain makin heran melihat. Tetapi seorangpun tiada yang berani bertanya.

Sesudah selesai makan minum, masing-masing pergilah melihat kedua anak yang diperalatkan itu. Kedua jamu yang tiada dikenal itupun pergi pula melihat.

Kata yang badannya kecil kepada seorang diantara anak itu : "Anak, ibu tak dapat memberi apa-apa kepadamu. Hanyalah ada ini suling sebuah, untuk penyuka-nyukakan hatimu kelak, kalau kamu sudah besar". Suling itu dikeluarkannya dari dalam bajunya, lalu diberikannya ketangan anak itu. Kemudian katanya pula : "Kalau ibu bapakmu suka, engkau akan kunamai Justi". Sudah itu datang pula kawannya yang gemuk itu mendekati anak yang seorang lagi, lalu katanya : "Engkau kunamai Wili. Bagiku tak ada apa-apa yang dapat kuberikan padamu, hanya inilah sebuah pundi-pundi kulit, buatan tanganku sendiri. Kuharap pundi-pundi ini akan penuh nanti dengan emas dan perak, kalau engkau pergi berniaga".

Sesudah ia berkata itu, keduanya minta diri hendak pulang. Baharu saja mereka sampai dihalaman, tiba-tiba keduanya gaib, tak tentu kemana perginya. Sekalian jamu yang tinggal heran tercengang-cengang. Sekarang barulah mereka itu maklum, bahwa kedua perempuan itu bukanlah manusia biasa. Entah dewi entah perilah mereka itu.

Kedua orang tani itu amatlah sukacita hatinya. Nama anak mereka tiadalah diubah-ubah lagi, tetap sebagai diberi jamu ajaib itu.

Justi dan Wili besarlah. Justi tinggal dikampung membantu orang tuanya kesawah. Jika ia lelah sesudah bekerja, berhentilah ia sambil membunyikan sulingnya. Bukan main pandainya bersuling, sehingga banyak orang yang rindu mendengarkannya.

Wili kerjanya tiadalah bertani, melainkan berniaga. Maka banyaklah ia mendapat untung, sehingga ia menjadi orang yang kaya. Karena kekayaannya itu sipatnya jadi berubah. Ia menjadi sombong dan tekebur. Kepada Justi ia sudah lupa. tetapi Justi tidaklah melupakannya. Hanya ia tiada acap kali datang kerumah sahabatnya itu sebab ia orang miskin, takut kalau-kalau nanti tiada diterimanya.

Pada suatu hari dengan tidak disangka-sangka kampung itu diserang musuh. Maka banyaklah orang kampung itu yang ditawan dan dibawa musuh kenegerinya.

Justi dan Wili tertawan juga. Waktu akan berangkat Wili dapat juga membawa emasnya sepundi penuh.

Denegeri baru itu mereka itu dijadikan budak oleh raja. Betapa susahnya Wili tak dapat diperikan, karena ia tiada tahan bekerja berat. Akan tetapi Justi tidaklah demikian. Ia bekerja dengan girangnya seperti biasa. Waktu berlepas lelah, dibunyikannyalah sulingnya. Banyaklah orang yang senang mendengarnya bersuling itu. Sebab itu tidaklah ia diberi orang kerja yang berat benar.

Wili iri hatinya, sebab ia selalu mengerjakan pekerjaan yang berat. Maka terbitlah niatnya hendak memberi orang yang jaga mereka itu uang suap, supaya ia diberi pekerjaan yang ringan-ringan. Akan tetapi malang, emasnya dirampas orang dan ia tertuduh pula mencuri. Kemudian ia dihukum dera seratus kali. Bukan main pedih hati Wili mengenangkan nasibnya itu.

Pada suatu hari puteri dalam negeri itu jatuh sakit. Makin lama penyakitnya makin berat. Seorangpun tak dapat mengobatinya. Hati ayah bundanya amatlah susahnya.

Ketika puteri itu terbaring ditempat tidurnya, terdengarlah olehnya bunyi suling amat merdunya. Hatinya sangat girang dan gembira mendengar bunyi suling itu. Pada malamnya terasa olehnya penyakitnya ada berangsur. Sudah dapat ia bercakap-cakap dengan orang tuanya. Maka diceriterakannya, bahwa yang menyembuhkannya ialah bunyi suling tawanan itu.

Maka amat senanglah hati ayah bundanya mendengar itu. Semenjak itu diperintahkan baginda tiap-tiap hari Justi bersuling dihadapan tuan puteri itu.

Setelah tuan puteri itu sembuh benar, bertitahlah baginda : "Hai Justi, sekarang engkau aku merdekakan untuk pembalas jasamu yang besar itu. Lain dari pada itu cobalah katakan kepadaku, apakah lagi kehendakmu?"

Justi berdatang sembah : "Ya, tuanku Syah 'alam, patik mengucap syukur atas kemurahan duli tuanku. Lain dari itu jika ada kurnia tuanku, patik pohonkan segala orang tawanan dari negeri patik itu tuanku merdekakan."

Setelah baginda berpikir seketika, lalu baginda bertitah, sabdanya : "Baik, Justi, orang senegerimu itu aku merdekakan semuanya, kecuali seorang, yakni si Wili."

Justi memohonkan juga dengan sangat, supaya Wilipun dimerdekakan; tetapi permintaannya tiada diluluskan oleh baginda.

Justi pulanglah dengan orang sekampungnya, kira-kira 30 orang banyaknya. Sedih hatinya memikirkan nasib sahabatnya Wili itu.

Sudah tujuh tahun ia dikampung.

Pada suatu hari datanglah utusan raja yang menawannya dahulu kerumah Justi. Utusan itu datang menjemput Justi karena puteri baginda sakit pula.

Dengan segera Justi berangkat kesana. Setelah tiba, ia menghadap. Maka diceriterakanlah oleh baginda maksud Justi dipanggil itu.

Justi bersulinglah dengan amat merdu bunyinya. Mendengar bunyi suling itu, penyakit tuan puteri berangsur baik. Setelah penyakit tuan puteri itu sembuh benar, bertitah baginda, sabdanya : "Hai Justi, apakah kehendakmu, cobalah katakan, karena tuan puteri sudah baik."

Sembah Justi : "Harap diampun tuanku, tidak lain harapan patik, jika ada kurnia tuanku, merdekakanlah sahabat patik Wili itu."

Mendengar itu baginda tersenyum, lalu bertitah, sabdanya : "Sungguh engkau seorang sahabat yang susah dicari, jarang didapat."

Maka dimerdekakan bagindalah Wili, lalu keduanya pulang dengan bersukacita kekampungnya.

Ditengah jalan Wili mengeluarkan pundi-pundi kulitnya yang sudah kosong, lalu dilemparkannya dengan marah : "Enyahlah engkau selama-lamanya dari padaku, hai pundi-pundi celaka! Tujuh tahun aku menjadi budak karena engkau."
Kemudian ia berpaling kepada Justi laku berkata, katanya : "Dahulu aku mentertawakan engkau dengan sulingmu. Tetapi sekarang nyata padaku, bahwa sulingmu itu lebih berharga dari kekayaanku. Kekayaan itu telah mencelakakan aku, tetapi sulingmu dapat memerdekakan seisi kampung kita dari tawanan seorang raja yang bengis."

"Karena engkau salah memakai kekayaan itu", jawab Justi.

"Boleh jadi", kata Wili. "Dan dari sini keatas akan tahulah aku."

Keduanya teruslah pulang dengan bersukacita. Sampai mati keduanya bersahabat karib.



( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )


Senin, 05 September 2011

Buah dari kebaikan !


Jauh dari gegap-gempita, riuh-rendah dan gemerlap cemerlangnya nuansa perkotaan. Tersebutlah pak Tua yang lagi dipadang-pasir kering lagi tandus, sedang berpenat lelah menggali lubang, dibawah terpaan sinar matahari yang menyengat. Siapa yang peduli dengan keberadaannya disa’at itu? Binatang melata pun akan berlari pergi mencari perlindungan ketempat yang lebih teduh.

Namun kiranya, atas kehendak Yang Kuasa juga, ada beberapa sosok mata yang begitu seksama mengamati ulah pak Tua sejak dari tadi. Yang kemudian Beliau beserta pengawal datang mendekati untuk melihat apa gerangan yang terjadi.

“Hai pak Tua, apa yang kamu lakukan dipadang tandus nan gersang ini?, Tanya Baginda Raja.

“Ampun Baginda, hamba sedang menanam biji kurma!”, jawab pak Tua.

“Sesuatu yang mustahil!! Tentu kamu menanam hasil curian, yang kamu ambil dari mencuri hartaku?”

“Ampun, beribu-ribu ampun Baginda! Benarlah adanya, hamba lagi menanam biji kurma!

“Kalaupun tumbuh, berapa tahun lagi kamu bisa menunggu untuk memetik buah2 kurma itu?

“Ampun Baginda! InsyaAllah antara 10-20 tahun kemudian, baharu kami bisa memetik buahnya”, jawab pak Tua.

“Ha.. ha.. ha.., apa untungnya menanam kurma, di usiamu yang sudah mendekati udzur ini? Yang kamu tentu tidak akan bisa menuai hasil dari jerih-payahmu itu sendiri!”, Tanya Baginda Raja.

“Usia kami memang sudah udzur Tuanku! Kami menanam ini adalah untuk anak-cucu, untuk bekal mereka kelak dikemudian hari!”, jawab pak Tua.

Sang Baginda Raja tertegun sejenak, lalu katanya : “Luhur sekali budimu pak Tua!”

Sebagai tanda terimakasih akan kebaikan budi pak Tua, Baginda Raja memberikan hadiah kepadanya sekantung emas.

Kemudian, dengan tersenyum pak Tua berkata : “Ampun Baginda! Belum genap sehari aku tanam biji kurma, ternyata sekarang sudah memberikan buahnya!!”

Sembari tersenyum juga, Baginda Raja berkata : “Engkau benar pak Tua! Itu untuk bekal anak cucumu, didik dan jagalah baik-baik mereka!!”





( disarikan dari ceritera Guru, yang bersumber dari [seingat kami] buku Membaca dan Mengerti )