Namun dari kesempurnaan itu, kiranya “tiada gading yang tak retak”. Sesuatu hal yang aneh, suatu hari sang Raja menanyakan kepada puteri2nya nan cantik itu, seberapa besarkah cinta mereka kepada ayah dan bundanya.
Si Sulung mengatakan bahwa cintanya kepada ayah-bundanya adalah seperti gunung yang tinggi, tiada yang melampaui tingginya dari semua yang ada ini. Dan sang Raja puaslah mendengar betapa tinggi cinta putrinya ini.
Puteri yang kedua mengatakan cintanya adalah bagaikan samudera yang luas, semakin kita mengarungi samudera; akan terasa bahwa sejauh kita memandang, yang tampak adalah lautan samudera belaka. Demikian juga dengan mendengar jawaban ini, menjadi puas juga sang Raja.
Puteri yang ketiga mengatakan bahwa cinta kepada orang-tuanya adalah seperti kuku hitam.
Sang Raja terkejut, dan bertanya : “Lho…, mengapa hanya sebesar kuku hitam?”
Jawabnya : “Ya ayahanda, walaupun cintaku hanya sebesar kuku-hitam; seberapa kali banyak dipotong, terus akan tumbuh cintaku, hingga sampai ajal datang menjemput kepada diri kami, ya.. sang Raja!“
Sahut sang Raja : “Yaa… ya.. ya…., aku bisa mengerti apa yang engkau maksudkan!”
“Sekarang, bagaimana dengan kamu, hai bungsu?”, lanjut sang Raja.
Si bungsu mengatakan bahwa cintanya kepada orang-tuanya adalah laksana garam, segala sesuatu tidaklah lengkap kalau tanpa ada yang namanya garam ini.
Mendengar jawaban yang demikian itu, menjadi sangatlah murka sang Raja. Dan berlanjut hingga berakhir dengan diusirnya si bungsu keluar dari kerajaan, dan tiada seorangpun diijinkan untuk menyertai kepergiannya.
Dengan sangat sedih dan pilu, namun apa yang sudah dititahkan oleh sang Raja yang juga ayahandanya itu, diterima dan dijalaninya juga olehnya, tanpa sedikitpun juga hendak menolak ataupun membantahnya.
Atas kehendak yang kuasa juga, perjalanan si Bungsu yang terlunta-lunta itu menelusuri jalan, padang ilalang, hingga masuk kehutan. Akhirnya ia bertemu dan ditolong oleh seorang nenek-nenek yang tinggal didalam hutan tersebut. Ia dipungut dan diperlakukan sebagaimana keluarga dari nenek tersebut.
Beberapa tahun kemudian, lambat laun sudah hilanglah semua percaturan tentang apa yang berkaitan dengan si Bungsu.
Suatu waktu, sang Raja bermaksud pergi berburu hewan didalam hutan, hari itu suasana langit diselimuti oleh mendung, hanya sesekali sang mentari menampakkan wajahnya. Namun hal itu tidaklah mengurangi keseriusan beliau dalam berburu. Beliau sangat menikmati kesukaannya dengan perburuan itu. Hingga sampai saatnya kembali, beliau baru menyadari bahwa ia tidak menemukan jalan untuk keluar dari hutan, kemanapun arah yang dituju yang ditemukannya hanyalah hutan belaka. Tiada suatupun petunjuk jalan yang bisa mengarahkan padanya untuk keluar dari hutan tersebut. Hingga menjelang senja haripun masih belum ditemukan juga. Akhirnya beliau mulai gelisah, kalau sampai kemalaman dihutan, dalam kegelapan tersebut sewaktu-waktu bisa jadi sasaran santapan binatang buas yang tiba-tiba menyerang tanpa diketahui darimana arahnya. Sambil terus dan terus berjalan dengan sangat hati-hati, tiba-tiba dilihatnya kelap-kelip kecil pelita dikejauhan. Segera dipercepat langkahnya untuk mendapatkan pondok yang diterangi dengan pelita kecil tersebut.
Dengan mengucap salam, beliau mengetuk pintu pondok. Tak lama kemudian ada sahutan balasan salam dari dalam, dan yang keluar seorang Nenek2.
“Siapa ya, senja kala begini datang kesini?”, Tanya Nenek tua.
“Saya Nek, sedang berburu dan tersesat , tak tahu jalan kemana akan keluar dari hutan, hingga kami temukan pondok nenek ini!”, jawab sang Raja yang menyembunyikan jatidirinya dan mengaku sebagai pemburu.
Kami mohonlah Nek, tolong diberi ijin barang semalam untuk kami bermalam disini!? Dan selanjutnya, esok hari kami segera akan meneruskan perjalanan (pulang)”
“Ya.. ya.. , sudah banyak orang yang tersesat jalan dan akhirnya menemukan pondok ini. Bermalam, dan esok harinya melanjutkan perjalanannya!”, Jelasnya.
“Saya tinggalkan dulu kebelakang, untuk menjerang air. Barangkali kami bisa buatkan sekedar minum, untuk penghangat diudara yang dingin ini”, sambung si Nenek tua.
“Terima kasih, Nek!”, jawab sang Raja.
Tak lama kemudian muncullah si Nenek dengan menyuguhkan sekedar makanan serta minum, dan segera mempersilahkan kepada tamunya untuk menikmati hidangan tersebut.
Namun apa yang dirasakan oleh sang Raja sangatlah berbeda, semua makanan yang dihidangkannya rasanya semua hambar belaka.
“Adakah Nenek punya cara lain dalam memasak makanan ini?” , Tanya Sang Raja.
“Kenapa ya, dengan sajian hidanganku?”, sahut Nenek penuh Tanya.
“Semua masakan ini rasanya kok hambar semua ya…, tanpa garam!?”
“Lho…. kok begitu, ini adalah masakan dari cucuku!” tukas Nenek, dan “Cucu..!! Cucu…!! Segera kemarilah, Cu!”
Kemudian muncullah si Cucu, dengan sambil menundukkan kepala, mendekatlah ia kepada Neneknya.
“Cucuku lagi lupa ya, semua masakan hidanganmu ini hambar semua, tanpa garam! Atau kamu lagi kehabisan garam?” , ucap si Nenek kepada cucunya.
Jawab si Cucu, dengan perlahan : “Garam kita masih banyak; Namun yang kutahu, hanyalah tamu kita ini tidaklah suka dengan garam, Nek!”
Mendengar jawaban si Cucu yang pelahan namun cukup jelas dan tegas ini, si Nenek, dan juga tetamunya itu menjadi terpaku diam.
Dengan itu sang Raja jadi teringat dengan garam/si Bungsu, puterinya yang telah diusirnya beberapa tahun dahulu. Yang aneh, kalau diperhatikan usianya kini sebayalah dengan cucu si Nenek ini.
Setelah yakin akan hal tersebut, kemudian sang Raja minta ijin kepada si Nenek untuk mendekat kepada cucunya.
Ungkap sang Raja sambil menyibak rambut si Cucu : “Engkaukah si Bungsu itu? Maafkanlah ayahmu yang telah berbuat kasar dan melupakan dirimu”
Dengan bercucuran air-mata, si bungsu sekilas memandang ayahandanya dan mengangguk; SangRaja pun tak kuasa menahan itu, segera menghampiri puterinya dan mendekapnya sambil menangis dengan penuh haru.
Si Nenek pun terbengong-bengong melihat kejadian itu, kemudian bertanya kepada teman si pemburu tersebut : “Apa artinya semua ini, kawan?”
Jawab Punggawa Kerajaan : “Beliau adalah Raja dinegeri kami yang sedang pergi berburu kehutan, dan kami sendiri adalah punggawa kerajaan yang ditugaskan mendampingi kepergian beliau. Sedangkan perempuan yang Cucu Nenek ini, sebenarnya adalah si Bungsu yang juga puteri Sang Raja sendiri. Si Bungsu yang waktu itu terusir dari Kerajaan oleh sang Raja, ya ayahandanya sendiri, sewaktu mengatakan cintanya kepada ayahbundanya adalah bagaikan garam. Dan yang waktu itu ditafsirkan keliru/lain, hingga menyebabkan kemurkaan sang Raja hingga terusirnya si Bungsu dari Istana. Dan kini menjadi cucu, dari Nenek yang baik budi ini!”
Si Nenekpun jadi terdiam, serta melelehkan air-mata. Sedih dan senang, terharu, bahagia, semuanya berpadu menyelimuti benak pikirannya.
Setelah suasananya mereda. Esok harinya, Si Bungsu beserta Neneknya diboyong ke Istana Kerajaan. Dengan panduan si Nenek dan si Bungsu, akhirnya rombongan tersebut berhasil keluar dari hutan untuk kembali kenegerinya.
Kembalinya si Bungsu, sang Permaisuri yang lama sakit sejak kepergian si Bungsu, kini berangsur baik dan sembuh seperti sedia-kala.
Dengan kedatangan si Bungsu dan Neneknya, kini kian bertambah lengkaplah kebahagiaan yang ada di Negeri tersebut.
(Sebuah saduran bebas dari artikel berbahasa jawa dari [seingat saya] buku “Waosan-Djawi”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar