Kamis, 21 Juli 2011

Harimau dengan pelanduk

    Didalam sebuah hutan adalah seekor harimau yang amat buas. Binatang-binatang dalam hutan itu tak ada yang senang hidupnya. Selalu diburu oleh harimau itu. kadang-kadang sampai sepuluh ekor sehari yang dibunuhnya. Dalam yang sepuluh ekor itu hanya seekor saja yang dimakannya, yang lain terbuang saja. Sebab bengisnya itu banyak diantara binatang dalam hutan itu yang tak berani keluar dari tempatnya. Akan tetapi kalau lama tinggal dalam sarang saja, tentu akan mati kelaparan.

    Pada suatu hari bermupakatan segala binatang itu akan mencari akal supaya terhindar dari bahaya itu. Seekorpun tak ada yang dapat mengeluarkan pikiran itu.

    Tiba-tiba berkatalah seekor kancil katanya : "Hai kawan-kawan semuanya! Saya tahu akal. Marilah kita pergi semuanya menghadap harimau, raja hutan itu. Kita berjanji kepadanya, akan datang sendiri tiap-tiap hari kesarangnya seekor-seekor untuk jadi santapannya. Siapa tiap-tiap hari yang akan pergi itu, harus kita undi lebih dahulu. Yang dibawah umur tak perlu ikut berundi. Jadi anak-anak kita terpelihara semuanya. Kita tentu tak akan diburunya lagi. Tak perlu kita takut-takut keluar dari sarang kita berjalan-jalan dalam hutan lebat ini akan mencari makan."

    Perkataan kancil itu disetujui oleh segala binatang itu. Bersama-sama pergilah mereka itu kesarang harimau itu. Setiba disana berdatang sembahlah kancil, sembahnya : Ya tuanku harimau, raja segala binatang dalam hutan ini. Kami lihat tuanku tiap-tiap hari keluar dari sarang tuanku akan mencari makan. Alangkah payahnya tuanku memburu kami, apalagi tuanku sudah tua. Anak-anak kami tak berani bermain-main keluar, sebab takut kepada tuanku. Sebab itu kami berjanji akan datang tiap-tiap pagi pukul sembilan kemari berganti-ganti akan menyerahkan diri kepada tuanku untuk ayapan tuanku."

    Mendengar perkataan kancil itu, harimau itu berpikir dalam hatinya, pikirnya : "baik juga permintaan kancil itu. Tak perlu lagi aku bersusah payah pergi keluar akan memburu binatang untuk makananku. Tiap-tiap pagi sudah datang saja seekor untuk menjadi ayapanku. Baiklah kuterima permintaannya itu." Sesudah berpikir itu berkatalah ia, "Kancil, saya setuju sekali dengan permintaanmu itu. Tetapi, katanya pula sambil menoleh kepada binatang-binatang yang lain, kalau sekalian mungkirkan janji, tentu tak ada ampunnya lagi. Sekarang pergilah kamu semuanya! Saya tunggu tiap-tiap pagi pukul sembilan akan kedatanganmu."

    Sekalian binatang itupun bermohonlah, lalu pulang ketempatnya masing-masing.

    Besok paginya berkumpullah pula semuanya akan berundi, siapa yang harus menyerahkan dirinya kepada harimau itu. Kenetulan malang kancil sehari itu. Undian yang pertama itu jatuh kepadanya.

    Kancilpun susahlah hatinya, tetapi akalnya tidak hilang. "Bagaimana juapun, kuperdayakan juga harimau itu?" katanya dalam hatinya. "Tak mau aku menyerahkan nyawa saja, sebelum akalku kupergunakan."

    Pukul delapan pagi-pagi harimau sudah duduk dimuka liangnya menantikan santapannya. Sampai pukul sembilan dinantikannya; seekor binatangpun tak ada kelihatan datang. "Biarlah kutunggu sebentar lagi, sampai pukul setengah sepuluh", katanya dalam hatinya. laparnya makin lama makin sangat, tak tertahan lagi olehnya. Bukan kepalang marahnya waktu itu. Sebab hari sudah pukul setengah sepuluh dan tak ada seekor juga yang datang keliang harimau itu, raja hutan itupun amatlah marahnya, lalu bersiap hendak berangkat pergi memburu binatang dalam hutan itu akan melepaskan sakit hatinya.

    Tiba-tiba datanglah kancil itu mendapatkannya. Badannya penuh dengan lumpur. Baru saja sampai dihadapan harimau itu, iapun menyembah, sembahnya: "Ya tuanku syah alam. Bukanlah salah patik terlambat datang ini. Pukul enam pagi patik sudah berangkat dari rumah. Tetapi ditengah jalan patik bertemu dengan seekor harimau yang amat gagah dan galak. Patik dikejarnya, tuanku. Sebab itu patik lari berputar-putar, sehingga patik jatuh kedalam lumpur. Lihatlah badan patik sudah penuh dengan lumpur. Tetapi untunglah patik dapat juga melepaskan diri untuk menyerahkan diri patik kepada tuanku."

    Mendengar perkataan kancil itu, harimau itupun terbitlah marahnya, lalu katanya : "Hai kancil! Ada pula lagi harimau dalam hutan ini yang hendak melebihi aku? Rupanya ia hendak menjadi raja juga disini. Dimana tempatnya? Tunjukkanlah kepadaku, supaya boleh kubunuh dia!"

    "Tuanku", kata kancil dengan girang, "ia sekarang ada dalam perigi, sedang minum. Pergilah tuanku kesana melihatnya." dengan tiada berpikir panjang lagi, raja hutan itupun pergilah keperigi yang ditunjukkan kancil itu. Setelah ia sampai disana, berkatalah kancil itu sambil menunjuk kedalam air, katanya : "Itu dia tuanku, lihatlah, rupanya ia mengajak tuanku berkelahi."

    Harimau itu melihat kedalam air. Karena air dalam periggi itu amat jernih, nyata benar kelihatan bayang-bayangnya. Pada pikirannya bayang-bayangnya itulah harimau yang dikatakan oleh kancil itu.

    Iapun melompat kedalam sumur itu akan menerkamnya. Tetapi harimau itu terbenamlah lalu mati.

    Setelah sekalian binatang mendengar kabar itu, mereka itu amat bersukacita, lalu pergi bersama-sama mendapatkan kancil akan minta terima kasih kepadanya dan akan menunjukkan keriangannya, sebab tidak akan dapat gangguan lagi dari harimau yang galak itu.

    Kancil diangkat mereka itu menjadi raja menggantikan harimau yang sudah mati itu.




( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )


 

Sayur Bobor


Bahan :
    Bayam, Kangkung, Ojong, Daun Katuk, dll.

Rempah-rempah :
    Bawang Merah, Bawang Putih, Kemiri, Ketumbar, Jinten, Kencur, Trasi, Asam, Garam, Santan, Daun Salam.

Cara membuat : (Seperti sayur lodeh)
Sayuran diiris-iris dan dibersihkan.
Bumbu ditumbuk halus-halus, kecuali Daun Salam.
Dicampur dengan sayuran dan air sedikit, lalu dimasak sampai setengah matang.
Santan dimasukkan dan dimasak sampai matang.





( bersumber dari buku masakan untuk masyarakat pedesaan )



Selasa, 19 Juli 2011

Lara Jonggrang

Dongenge Mantri Guru

    Ing jaman kuna Prambanan kuwi ana kratone, jenenge iya kraton Prambanan. Sing dadi ratu : buta; rosane ngleluwihi, jejuluk Prabu Baka; kagungan putra putri, arane Lara Jonggrang. Bareng perang karo ratu ing Pengging, Prabu Baka kalah, mati ana ing peprangan, sabab ratu ing Pengging direwangi dening wong kang luwih dening rosa, arane Bandawasa, karo sedulure lanang loro. Mulane Bandawasa bisa menang, sabab diwenehi gegaman marang bapakne. Bapakne kuwi gentur tapane, jenenge Damarmaya. gegamane mau embuh panah, embuh bedil, nanging ampuhe ngleluwihi; dene jenenge bandung; mulane Bandawasa banjur karan Bandung Bandawasa.

    Sang ratu ing pengging, saking bungahe bisa menang karo Prabu Baka, Bandung Bandawasa banjur diparingi tanah ing Prambanan, didadekake Adipati. Bandung banjur mangkat menyang Prambanan. Satekane ing kono, arep manggon ana ing kedatone Prabu Baka pekewuh, sabab Lara Jonggrang, putrane Prabu Baka, banget ewa marang Bandung, dene ramane dipateni; malah tetemon bae ora sotah. Mangka Bandung, bareng weruh marang Lara Jonggrang, banget kepencute. Mulane banjur dilamar arep dipek bojo.

    Lara Jonggrang nampik ora wani, kuwatir mbok menawa diguna-gawe, amesti nemoni ora kepenak. Mulane banjur duwe pepanggil : yen Bandung bisa nggawekake candi sewu lan sumur loro sing jero-jero,, bisa dadi pada sawengi, iya gelem dirabeni.

    Bandung nggraita yen penjaluke Lara Jonggrang iku ora majat; ewa semono iya arep ditandangi sabisa-bisane; mbok menawa bisa nekani penjaluke bakal bojone. Banjur njaluk tulung marang bapakne, Sang Damarmaya, lan marang sedulure, apa maneh nyuwun tulung marang Sang Ratu ing Pengging. Sang Damarmaya saguh mitulungi sarana cipta sasmita lan kasektene; apa maneh bakal njaluk tulung marang para lelembut.

    Bandung banjur nyaguhi apa kang dadi penjaluke Lara Jonggrang.

    Bareng tekan ing semayane, Sang Damarmaya lan sedulure Bandung, apa maneh Sang Ratu ing Pengging, pada teka ing Prambanan. Nuli pada muja semedi marang dewa, nenuwun bisaa mujudake kang dadi pepanggile Lara Jonggrang. Panuwune kasembadan; jam setengah papat esuk candi sing dadi wis ana 995.

    Patih ing Prambanan, bareng weruh yen wangune pepanggile Lara Jonggrang arep ketekan, atine panas banget. Wong putrane gustine kok arep dirabeni marang tilas mungsuhe; mangka mungsuhe iku sing mateni gustine. Mulane banjur golek reka murih aja nganti Bandung bisa nekani penjaluke Lara Jonggrang. Nuli prentah nggugahi sarupane wong wadon ing Prambanan, dikon nutu; karo maneh ing lesung dikon nyebari kembang boreh sing wangi-wangi.

    Bareng para lelembut sing ngrewangi Bandung mambu gandaning kembang, sarta ngrungu wong nutu, banjur mandeg olehe nyambut gawe, sabab ngira yen wis rahina; banjur pada bali menyang kayangane dewe-dewe. Dadi candine durung rampung kabeh, isih kurang.

Bareng Bandung weruh kang mengkono iku, banget nepsune, banjur nyupatani bocah-bocah wadon ing Prambanan, aja oleh-oleh bojo yen durung dadi prawan tuwa. Lara Jonggrang takon marang jaka Bandung semu ngerang-ngerang apa penjaluke wis ditekani apa durung. Jaka Bandung banget nepsune. Lara Jonggrang disebdakake dadi watu, banjur malih dadi reca nganti seprene iki. Wong-wong Jawa ngira, yen recane Sang Kali Durga iku kedadeane Lara Jonggrang; mulane nganti seprene reca mau diarani Lara Jonggrang.

    Candi-candi gaweane lelembut mau saiki isih ana, jenenge Candi Sewu; sing pada dideleng dek menyang Prambanan kae; nanging akeh sing wis rusak.



( bersumber dari buku : " Kembang Setaman" )


Senin, 18 Juli 2011

Sambal Trasi


Bahan :
    Lombok, Trasi, Bawang-Merah, Garam.

Cara membuatnya :
    Trasi dibakar setengah matang.
Lombok dibuang isinya, dicuci bersih-bersih.
Semuanya ditumbuk atau diuleg halus.





( bersumber dari buku masakan untuk masyarakat pedesaan )



  

Seorang laki-laki yang cerdik

    Dipinggir sebuah sungai ada sebuah kota yang amat besar lagi ramai. Tidak jauh dari kota itu ada sebuah hutan. Dihutan itu tinggal seorang raksasa, yang amat bengis. Orang yang diam dikampung-kampung, yang letaknya tak jauh dari kota itu selalu diusik dan diganggunya. Sebab itu tak aman sedikit juga mereka itu tinggal disana.

    Dikota itu ada seorang pencuri, yang amat jahat. Pada suatu malam pergilah ia keistana raja. Dilihatnya penjaga istana itu sedang tidur nyenyak. Sebab itu dengan mudah saja ia dapat masuk kedalam, lalu dicurinya gung yang tergantung dipendopo istana itu. Gung itu dilarikannya; maksudnya akan dijualnya kenegeri lain. Jalannya melalui hutan yang tidak jauh letaknya dari kota itu. Waktu ia sampai dihutan itu, ia diterkam oleh seekor harimau yang amat buas, lalu dimakannya. Gung yang dibawanya terpelanting kebawah sepohon kayu.

    Pada suatu hari raja beruk dihutan itu berjalan-jalan akan mencari tempat yang banyak buah-buahan, akan menjaga supaya rakyatnya dalam musim panas yang akan datang jangan mati kelaparan.

    Tiba-tiba terlihat olehnya gung yang terletak dibawah pohon kayu itu. Dicobanya mengangkat gung itu akan dibawanya ketempatnya, tetapi tak kuasa ia, karena terlampau berat. Sebab itu dipanggillah rakyatnya yang ada dihutan itu. Bersama-sama diangkatlah gung itu kepohon tempatnya tinggal. Tak berhenti-henti mereka itu memukul gung itu berganti-ganti. Bunyinya kedengaran sampai kekota.

    Sangka orang, raksasa yang tinggal dihutan itulah yang memukul gung itu dengan tidak berhenti-henti, sehingga mereka itu tak dapat tertidur sekejap juapun. Sebab itu bermaksudlah mereka itu akan pindah dari kota itu.

    Raja negeri itu amat susah hatinya. Pada suatu hari berkatalah ia, katanya : 'Siapa yang dapat membawa gung itu kembali, saya beri hadiah amat banyak."

    Kabar itu sampai keluar kota. Seorang laki-laki yang mengetahui, apa sebabnya gung itu selalu saja berbunyi, pergi menghadap raja, lalu berkata, katanya : "Tuanku, biarlah hamba coba mengambil gung itu".

    Raja sangat bersuka hati mendengar perkataan itu, lalu titahnya : "Pergilah kamu ambil gung itu. Kalau dapat, ambillah olehmu harta ini semuanya". Raja membuka sebuah pundi-pundi yang penuh berisi emas dan permata yang mahal harganya. Laki-laki itu girang hatinya, lalu bermohon akan berangkat.

    Waktu ia akan pergi kehutan itu, singgah ia kepasar akan membeli buah-buahan, yang disukai beruk.

    Setelah ia sampai dihutan, dicarilah tempat beruk itu. Tiada berapa lamanya kemudian, kelihatanlah olehnya beratus-ratus ekor beruk diatas pohon sedang memukul gung yang dicarinya.

    Dengan tiada berpikir panjang lagi, diserakkannya sekalian buah-buahan yang dibawanya,, jauh sedikit dari pohon itu. Waktu sekalian beruk melihat buah-buahan itu, melompatlah semuanya kebawah, berebut-rebutan akan memakannya.

    Waktu dilihat oleh laki-laki itu tak seekor juga beruk lagi diatas pohon itu, dipanjatnyalah pohon itu, lalu diambilnya gung itu, dilarikannya kekota.

    Waktu raja melihat gungnya sudah dapat kembali, amat besar hati baginda. Hadiah yang sudah dijanjikan, diberikan baginda kepada laki-laki itu.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



 

Minggu, 17 Juli 2011

Awas! Krisis Daya Tahan

Krisis daya tahan, tanpa kita sadari sering kita alami sehari-hari. Hal ini mengakibatkan kelesuan, tidak bergairah yang menghambat kelancaran prestasi.

Inilah penyebabnya :

1. Stress : Kerja keras sepanjang waktu menimbulkan stress fisik maupun mental.

2. Banyak persoalan : Persoalan rumit yang sering kita hadapi memakan pikiran dan tenaga.

3. Olah-Raga : Terlalu banyak olah-raga, menghabiskan tenaga dan kekuatan.

4. Diet : Diet sering menyebabkan tidak dipenuhinya kebutuhan vitamin.

5. Banyak konsentrasi : Berpikir keras untuk waktu yang lama menyita energi.

6. Kerja keras : Kerja fisik terlalu keras, menguras banyak tenaga, kekuatan dan energi.

7. Polusi : Polusi terjadi dilingkungan sehari-hari, zat-zat yang merugikan tubuh semakin banyak masuk.

8. Sembuh dari sakit : Setelah sembuh dari sakit, tubuh masih merasa lemah dan lesu.

9. Kurang tidur : Bergadang diwaktu malam banyak menguras energi dan menimbulkan kelelahan.

10. Banyak Aktivitas : Terlalu banyak aktivitas sepanjang hari akan menguras banyak tenaga dan kekuatan.

--> Akibat semuanya itu, adalah penurunan daya tahan.


Yuuk ....., Nikmati hidup sehat .... penuh semangat !



( referensi, dari sebuah lembaran tentang kesehatan )



Sabtu, 16 Juli 2011

Kolak

Bahan :
    Ubi, Tales, Singkong, Kacang Hijau.

Rempah-rempah :
    Santan, Garam, Gula-Pasir, atau Gula-Jawa, Daun-Pandan atau Kayu-Manis.

Cara membuatnya :
    Kacang-Hijau direbus dulu sampai empuk.
Santan kental dimasukkan ditambahai Gula, Garam, Kayu-Manis dan dimasak sampai matang. Sebentar-sebentar diaduk supaya santannya tidak pecah.
Membuat Kolak-Ubi, dll, seperti membuat Kolak-Kacang-Hijau juga.
Terlebih dahulu Ubi itu atau yang lain dikupas dan diiris-iris.
Ubinya direbus setengah matang dulu dengan santan encer dan bumbunya, baru ditambahi santan kental.


( bersumber dari buku masakan untuk masyarakat pedesaan )



Jumat, 15 Juli 2011

Jahat dibalas dengan baik

    Adalah seorang tua tinggal dengan isterinya disebuah dusun. Kerjanya ialah berkebun. Hasil kebun itu dijualnya. Itulah yang menjadi penghidupannya.

    Peladang itu mempunyai seekor kucing. Kucing itu dari kecil dipeliharanya. Peladang itu amat sayang kepadanya. Kucing itupun sayang pula kepadanya. Kemana saja ia pergi, kucing itu tetap mengikut. Kalau ia sedang mencangkul dikebunnya, kucing itu bermain-main dekat disana.

    Pada suatu hari orang tua itu bekerja pula dikebunnya. Tiba-tiba berhenti ia bekerja. Dilihatnya kucingnya mencium-cium dan mencakar-cakar dengan kakinya dekat pagar. "Apakah yang dicarinya?" katanya dalam hatinya. Sebab ingin akan mengetahui, pergilah ia kesana akan melihat. Kucing itu selalu juga mencakar-cakar.

    Diambilnya cangkul, lalu digalinya tanah tempat kucing itu mencakar. Tiba-tiba berhamburanlah dari lubang itu uang emas amat banyaknya. Orang tua laki-bini yang miskin itupun kayalah. Tetapi kekayaannya itu tidak dimakannya sendiri saja, melainkan dibagi-bagikannya pula kepada orang miskin.

    Orang yang tinggal berdekatan rumah dengan dia, iri hati melihat orang tua itu telah kaya.

    Pada suatu hari dibujuknya kucing itu dengan makanan yang enak-enak datang kekebunnya. Dahulu kucing itu selalu dipukul dan disakitinya.

    Kucing itu mencakar-cakar pula dekat pagar dikebunnya.

    Digalinya pula tanah tempat kucing itu mencakar-cakar. Tetapi apakah yang keluar? Bukanlah uang emas, melainkan sampah-sampah dan kotoran saja.

    Orang itupun amat marah. Diambilnya palu, lalu dipukulnya kucing itu. Kucing itupun matilah.

    Orang tua yang empunya kucing itu pergilah kepada kucingnya yang sudah mati itu. dibungkusnya dengan kain putih bersih, lalu dikuburkannya. Diatas kuburan itu ditaburkannya bunga rampai.

    Keesokan harinya tumbuhlah diatas kuburan kucing itu sebatang kayu.

    Pada suatu pagi, waktu orang tua itu sedang membersihkan kebunnya, terdengar olehnya suara dari dalam batang kayu itu : "Tebanglah saya, dan buatlah sebuah lesung kecil!"

    Orang tua itu mengerjakan seperti yang dikatakan suara itu. Tiada lama keluarlah dari lumpang itu harta amat banyaknya dan makanan yang enak-enak. Oleh orang tua itu harta dan makanan enak-enak itu dibagi-bagikannya kepada orang miskin.

    Hal itu ketahuan pula oleh orang yang tinggal dekat rumahnya dahulu.

    Lesung itu dicurinya dan dibawanya kerumahnya.

    Dari dalam lumpang itu berhamburanlah sampah-sampah dan kotoran yang lain. iapun amat marah. Diambilnya kapak, lalu dikapaknya lesung itu. Sesudah itu dilantingkannya kekebun orang tua itu.

    Esok paginya, waktu orang tua itu pergi kekebunnya, dilihatnya lesungnya sudah pecah. Amat iba hatinya melihat lesung yang pecah itu.

    Dirabanya lesung itu. Pada waktu itu terdengarlah olehnya suara dari dalam lesung itu : "Bakarlah aku ini! Kalau abunya nanti kamu taburkan sedikit saja dipohon yang sudah mati, pohon itu akan hidup kembali."

    Lesung itupun dibakarnyalah. Sesudah itu pergilah ia berjalan-jalan membawa abu lesung itu keliling kampungnya. Pohon-pohon kayu yang sudah mati diberinya abu sedikit. Pohon itu hidup kembali, berbunga amat bagusnya dan buahnya sedap-sedap.

    Kemudian sampailah ia kedalam kota. Waktu raja dikota itu mendengar akan hal itu, dipanggilnya orang tua itu datang keistana. Sekalian tumbuh-tumbuhnan yang sudah mati, disuruhnya hidupkan kembali.

     Tumbuh-tumbuhan itu diberinya abu sedikit. Tiada berapa lamanya keluarlah bunga-bunga yang amat harumnya. Kemudian bergantunganlah pada dahannya buah yang amat lazat.

    Raja amat girang melihat tumbuh-tumbuhannya yang sudah mati, sekarang berbunga dan berbuah. Orang tua itu diberinya hadiah amat banyaknya. Harta yang banyak itu tidak dihabiskannya sendiri saja. Orang miskin diberinya pula.

    Waktu orang setangganya yang iri hati dahulu mendengar hal itu, dicurinya pula abu orang tua itu.

    Iapun pergilah keistana raja akan memperlihatkan kepandaiannya. Pohon-pohon dikebun raja ditaburinya dengan abu yang dicurinya itu. tetapi pohon-pohon itu mati semuanya.

    Melihat itu raja amat marah, lalu disuruhnya pukul orang itu.

    Setelah ia sampai kekampungnya, diberikannyalah sisa abu itu kepada orang tua itu, lalu ia meminta ampun.

    Orang tua itu tak marah kepadanya, karena ia sudah mengaku kesalahannya. Diberinya pula orang itu lagi uang untuk pokok berniaga.

    Kemudian bersahabat kariblah mereka itu keduanya selama-lamanya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



   

Kamis, 14 Juli 2011

Sarinah dengan anak-anakannya

    Si Sarinah baru berumur lima tahun. Ia tinggal jauh dikampung bersama-sama dengan ibunya. Rumahnya jauh pula terpencil. Sunyi benar rasanya disitu. Teman bermain-main tak ada. Tetapi untunglah ada-ada saja yang akan dikerjakannya. Pagi-pagi diambilnya sapu akan menolong ibunya membersihkan rumah. Sapunya kecil, dibelikan oleh bapaknya yang bekerja dikota. Remah-remah yang jatuh ketikar dan lebih-lebih nasi dikumpulkannya. Diserakkannya kehalaman. Berpuluh-puluh ekor burung datang tiap-tiap pagi kehalaman rumahnya menunggu dia datang. Senang benar hatinya melihat burung-burung itu mencotok nasi yang diserakkannya. Kadang-kadang bertengger burung-burung itu dijendela biliknya, kalau terlambat ia datang. Karena hampir tiap-tiap hari ia memberi makanan itu, ada beberapa ekor yang dikenalnya betul-betul.

    Si Sarinah ada pula memelihara seekor kucing. Kucing itu belang tiga. Sebab itu dinamakannya si Belang. Ia amat sayang kepadanya. Selamanya si Belang tidur bersama-sama dengan dia. Pagi-pagi, kalau ibunya sembahyang subuh, kucing itu mengeong-ngeong, seolah-olah membangunkannya. Kalau kerjanya tak ada lagi, bermain-mainlah ia dengan kucing itu. Kalau ia pergi kekebun melihat ibunya kerja, si Belang selalu mengikut.

    Pada suatu hari si Sarinah dibawakan bapaknya sebuah anak-anakan. Amat bagus anak-anakan itu. Matanya bulat dan berkilat-kilat. Bajunya cita biru dan berenda pula tepinya. Besar benar hati si Sarinah mendapat permainan itu. Maklumlah, dikampung jarang permainan dilihatnya. Diambilnya selendang, dipangkunya anak-anakan itu dan dinyanyikannya. Sehari-harian tak lepas anak-anakan itu dari tangannya.

    Kucingnya, si Belang, tak diindah-indahkannya lagi. Sebab itu kucing itu merengut-rengut saja sepanjang hari. Dengki ia rupanya melihat si Sarinah selalu bermain-main dengan anak-anakannya dan tak mempedulikannya lagi.

    Pada suatu pagi ia tak mengeong seperti biasa membangunkan si Sarinah. Dengan perlahan-lahan pergilah ia ketempat anak-anakan si Sarinah terletak. Digigitnya baju anak-anakan itu, lalu digonggongnya, dibawanya lari entah kemana.

    Waktu si Sarinah bangun, dilihatnya anak-anakannya tak ada lagi. Begitu juga si Belang. Dicarinya dalam biliknya, tetapi tak bersua. Ditanyakannya kepada ibunya, tetapi ia tak tahu. Dibelakang, didapur, dikebun tak ada juga. Si Sarinahpun menangislah. Kasihan awak melihatnya!

    Sesudah makan dikumpulkannya pula remah-remah dan lebih-lebih nasi untuk diberikannya kepada burung-burung dihalaman. Sedang burung-burung mencotok nasi-nasi yang diserakkannya itu, si Sarinah berkata, katanya : "Hai burung-burungku. Anak-anakanku sudah hilang. Entah siapa yang mencurinya, tak tahulah aku".

    Seakan-akan mengerti burung-burung itu akan perkataan si Sarinah. Dengan cepat-cepat, tidak seperti biasa, dicotoknya nasi-nasi itu. Sudah itu terbanglah ia. Heran si sarinah melihat kelakuannya, berlainan benar dengan yang sudah-sudah.

    Keesokan harinya, pagi-pagi begitu pula. Tetapi setelah selesai makan burung-burung itu tidak terbang sesuka hatinya, melainkan terbang kesebuah pohon yang dekat dari situ. Disana ia berbunyi dengan amat rianya. Si Sarinah bertambah heran. Diturutnya kepohon itu. Hampir sampai ia disana, segala burung itu berbunyi-bunyi pula. Si Sarinah terus saja menurutkan. Bagitulah selanjutnya, sehingga sampai ketepi kebun sayur, jauh sedikit dari rumah si Sarinah.

    Disana burung-burung itu tidak hinggap pada pohon kayu, melainkan turun ketanah.

    Apakah yang dilihat si Sarinah waktu itu ia sampai disana? Anak-anakannya terkubur sehingga pinggang. Tahu sekali ia siapa yang mengerjakannya, yaitu si Belang, yang selalu saja cemburu, sejak bapak si Sarinah membawakannya anak-anakan dari kota.

    Amat besar hatinya melihat anak-anakannya sudah dapat kembali. Tetapi bukan main marahnya kepada si Belang. "Awaslah kamu nanti, Belang", katanya dalam hatinya. Kepada burung-burung itu ia minta terima kasih dan berkata, katanya : "Terima kasih banyak, burung-burung yang baik budi. Besok banyak-banyak kamu kubawakan nasi".

    Burung itu berbunyi, lalu terbang.

    Sampai dirumah, datang si Belang mendekati si Sarinah. Merengut saja si Sarinah melihatnya, lalu berkata, katanya : "Enyahlah engkau, pencuri!"

    Tetapi kucing itu tak mau pergi. Ditentangnya saja si Sarinah dengan kedua matanya yang seperti kelereng kaca itu. Sesudah itu merangkak ia ketempat si Sarinah duduk, lalu dijilat-jilatnya tangannya.

    Tak sampai hati hati si Sarinah melihat kelakuan kucingnya itu. Diurut-urutnya belakang si Belang dan dibujuknya dengan perkataan yang lemah lembut.

    Si Belang mengeong-ngeong perlahan-lahan dengan sukacitanya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



Selasa, 12 Juli 2011

Gunung Merapi

    Beratus-ratus tahun yang lalu, tinggallah dipuncak gunung merapi, --- sebuah gunung sebelah selatan Bukit Tinggi --- seorang Dewi. Ialah yang menjadi raja digunung itu. Mahligainya, yang letaknya tak jauh dari puncak gunung itu terbuat dari pada emas dan pasir dihalamannya intan berlian belaka, berkilau-kilauan ditimpa cahaya matahari. Tiap-tiap pagi pergilah Dewi itu kepuncak gunung itu akan berpanas-panas, karena diatas gunung itu bukan main dinginnya. Segar rasa badannya kena panas pagi itu.

    Dilereng gunung itu, didalam sebuah pondok kecil, diatas kampung Sungaipuar tinggal seorang pertapa. Orang itu amat baik hatinya. Banyak orang kampung yang tinggal dikaki gunung itu datang kesana akan minta petuah kepadanya. Kalau ada yang minta obat, maka dicarikannyalah daun-daun kayu untuk obat orang sakit itu dan dimanterakannya sekali. Amat banyak orang yang sudah berhutang budi kepadanya. Pendeknya ia disegani benar oleh orang yang tinggal dekat disitu.

    Pada suatu hari adalah beberapa orang serdadu mendaki gunung itu hendak pergi berburu. Seorang diantara mereka itu terpencil dari teman-temannya. Waktu itu tak tahu lagi ia jalan mana yang akan diturutnya; iapun membunyikan terompetnya akan memberi tahu teman-temannya. Pekerjaannya itu sia-sia belaka, karena mereka itu sudah amat jauh terdahulu rupanya. Bunyi terompet itu tak kedengaran lagi olehnya. Apakah akalnya lagi? Jalan pulangpun tak tahu pula ia. Sebab itu terus juga ia berjalan, tak keruan tujunya, melainkan menurutkan kemana dibawa kakinya saja. Sesudah kira-kira lima jam lamanya ia mengembara dalam hutan yang lebat itu, terbitlah laparnya. Kemanakah ia akan minta nasi? Rumah sebuahpun tak kelihatan dan haripun makin petang juga. Jikalau matahari sudah terbenam dan ia belum juga mendapat tempat bermalam, tentulah ia akan menjadi mangsa binatang buas yang ada dalam rimba raya itu. Dengan hati yang amat susah berjalan jugalah ia dan tiada berapa lama antaranya kelihatanlah olehnya pokok kayu yang besar-besar sebuah rumah kecil. Cepat-cepat pergilah ia menuju rumah itu. Kiranya rumah itu pondok orang tua pertapa padi. Waktu ia sampai kesana, kebetulan orang pertapa itu baharu saja sudah memuja. Orang tua yang baik hati itu mempersilahkan serdadu itu masuk kedalam dan dijamunyalah makan dengan sekedarnya. Sungguhpun makanan itu bersahaja, tetapi oleh serdadu itu bukan main enak rasanya, barangkali karena sangat laparnya.Sesudah makan, bercakap-cakaplah kedua orang itu. Kemudian sampailah percakapan mereka itu kepada kisah gunung Merapi itu.

    Orang tua pertapa itu memulai ceriteranya, katanya : "Dipuncak gunung Merapi ini tinggal seorang Dewi yang amat kaya. mahligainya terbuat dari pada emas dan pasir dihalamannya intan berlian belaka yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari. Waktu serdadu itu mendengar ceritera orang itu, iapun membelalakkan matanya. Terbayang-bayang dimukanya mahligai yang bagus itu dan intan berlian yang bertaburan dihalamannya. "Besok pagi-pagi benar saya akan pergi kepuncak gunung ini", kata serdadu itu, "akan saya ambil emas-intan Dewi itu semuanya. Tentu senang hidup kami anak beranak, tak usah lagi memikul bedil sehari-hari".

    Orang tua pertapa itu berkata. "Janganlah tuan pergi kesana, karena Dewi itu tak suka dilihat orang dan tentulah tuan akan mendapat celaka nanti."

    "Selama bedil ini masih ada padaku, aku tak takut kepada barang siapa juapun", kata serdadu itu. Bermacam-macamlah nasihat orang tua pertapa itu kepadanya, supaya jangan disampaikannya maksudnya pergi ketempat Dewi itu. Tetapi tidak diindahkannya sedikit juga.

    Besoknya pergilah serdadu yang tamak dan sombong itu mendaki puncak gunung itu. Kita-kira 50m akan sampai kepuncak gunung itu, melihatlah ia keatas, maka tampaklah olehnya Dewi itu sedang berpanas-panas. Diangkatnyalah lengannya, bedilnya diacukannya kepada Dewi itu akan menembaknya. Waktu itu Dewi itu melihat kepadanya. Ketika itu juga serdadu itu merasa dingin seluruh badannya dan tiada berapa lama sudah itu iapun menjadi batu.

    Kalau kita sekarang ini kira-kira pukul sepuluh pagi, waktu matahari sedang bersinar, melihat kearah puncak gunung Merapi itu, maka akan kelihatanlah oleh kita bayang-bayang hitam tak ubahnya seperti orang yang sedang mengacukan bedilnya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



 

Amane wit krambil

    Tak bedek kowe mesti wis weruh kewan sing arep tak critakake iki; gedene wetara sapongge, rupane sawo mateng, meleng-meleng kaya beling. Ing endase ana sungune nyrapang kaya eri mawar, sikile nenem. Yen digegem, mengkang-mengkang ora gelem, kudu metu bae. Menyang tangan rada lara, sabab sikile ana erine, ngrendet-ngrendet. Jenenge kwangwung utawa wangwung.

    Apa kowe wis tau namatake elare? Pira elare? Papat; iya apa ora? Sing ana njaba loro, rupane sawo mateng, sarta wuled akandel, dadi tutupe elar loro sing ana ing njerone. Sing ana ing jero tipis ngramyang, kena dilempit-lempit. Iku sing pancen dienggo miber. dadi kaya dene ampal lan katimumul.

    Yen awan njintel ana ing pucuking wit krambil; mung yen sore utawa bengi bae miber separan-paran. Olehe jintel iku nganggo ngrikiti blarak. Cangkeme rosa banget; sikile sing dianggo mitulungi yen memangan, iku iya kuwat. Apa maneh yen oleh janur sing durung megar. Yen janur mau megar, katon krewek kabeh. Sing sok ndadekake bilahine wit krambil, yen pondohe katut dipangan; banjur ora bisa modot-modot; lawas-lawas mati. Pancene iya ora memper, wong wit semono gedene kok mati mung jalaran diguna-gawe marang kewan sing semono cilike. Nanging wong wis meh mrantah, apese samubarang sing gede, sing kuwat iku yen mungsuh karo sing cilik-cilik mengkono iku.

    Kwangwung iku kerep bae manggon ana ing pondohe wit krambil. Ana ing kono banjur ngenak-enak kaya priyayi gede sing ora duwe pegawean; gawene mung mangan karo turu. Sing wadon banjur ngendog; ananging olehe ngendog ora ana ing kono, ana ing tletongan utawa ana ing kekayon kang wis bosok; sabab weruh, yen anake sing bakal netes, pangane ora kaya wong tuwane. Yen wis sawetara dina, endog mau banjur netes, metu anake. Dapure geseh karo bapa biyunge, rupane kaya uler, nanging putih, cilik-cilik; ora ana swiwine sarta ora ana matane. Yen mata, pancen ora perlu duwe, sabab ora kanggo; panggonane peteng ana sajroning lemah utawa sajroning kayu-kayu sing growong; Mung cangkeme sing nggegirisi. Yen wis sawetara minggu umure, banjur dadi lemu aginuk-ginuk; dawane wetara 7 cm; banjur gawe clowokan dienggoni, kanggo ngentung. Yen wis tutug mangsa kalane, banjur salin rupa dadi kwangwung. Dadi wiwitane endog banjur dadi embug-embugan; banjur ngentung; wekasane dadi kwangwung.

    Embug-embugan iku ora gawe pituna marang menungsa. Pangane mung tletong bae utawa bosokan kayu; nanging kwangwunge kerep gawe rusaking tanduran krambil. Mulane sabisa-bisa, sakecandake becik dipateni. Embug-embuge ya becik dipateni pisan, sabab bisa dadi kwangwung sarta banjur bisa ngendog. Mung emane, kwangwung iku yen awan ora gelem miber, dadi angel olehe nyekel. Bocah-bocah dadi baud menek, mestine iya bisa marani panggonane kwangwung ana ing pucuking wit krambil. Yen akeh sing gelem nggoleki kwangwung menyang sajroning pondoh, wit krambil mesti bisa luwar saka satrune sing mbebayani.



( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )



   

Senin, 11 Juli 2011

Pandai emas yang loba

    Dahulu kala adalah seorang desa, Musa namanya. Kerjanya ialah menebang kayu yang besar-besar dalam hutan. Kayu itu dipotong-potong dan dibelah-belahnya. Kemudian dibawanya kepasar akan dijualnya. Demikianlah pekerjaannya bertahun-tahun lamanya.

    Pada suatu hari ia pergi pula kehutan. Waktu tengah hari duduklah ia ditepi sebuah lubuk berhentikan lelah. Kapaknya diletakkannya diatas lututnya. Tiba-tiba kapaknya itu meluncur dan jatuh kedalam air. Musa sangat terkejut melihat kapaknya jatuh itu. Ia berdiri hendak terjun menyelaminya. Tetapi akhirnya terpikir olehnya, bahwa pekerjaan itu sia-sia saja. Lubuk itu sangat dalamnya. Maka duduklah ia termenung dengan sangat bersedih hati. Akan dibelinya yang baru uang tak ada. Akan berhutang orang tak akan percaya.

    Tiba-tiba tampaklah olehnya air lubuk itu beriak-riak. Seorang Dewi berenang menuju kepadanya. Alangkah elok parasnya. Rambutnya panjang sampai ketumitnya. Sambil tersenyum diangkatnya sebuah kapak, lalu berkata kepada Musa : "Inikah kapakmu?"

    Musa bertambah herannya, karena kapak yang diunjukkannya itu berkilat-kilat sebagai emas.

    "Bukan, itu bukan kapak saya", jawab Musa. "Kapak saya dari pada besi."

    Dewi itu hilang menyelam kedalam lubuk itu, lalu timbul membawa sebuah kapak lain.

    "Inikah kapakmu? tanyanya pula.

    "Bukan," jawab Musa. Kapak saya tidak sebagus itu, hanya dari besi biasa saja."

    Sekali lagi ia hilang masuk lubuk. Setelah ia timbul, diunjukkannya pula sebuah kapak kepada si Musa.

    "Ya, itulah kapak saya," kata Musa sambil menerima kapaknya itu. Ketika Musa hendak minta terima kasih kepadanya, Dewi itu hilang pula masuk air. Hanya tertawanya saja yang terdengar bersama-sama dengan gelembung-gelembung air dari dalam lubuk itu.

    "Anak jin air!" kata Musa, lalu berangkat meninggalkan tempat itu.

    Maka dimulainyalah pula menebang kayu. Tiba-tiba kapaknya terbenam masuk kayu itu. Ketika dihelakannya tercurahlah emas dari dalamnya amat banyaknya. Musa tegak ternganga sebagai patung. Kapaknya terlepas dari tangannya.

    Setelah emas itu habis keluar semuanya, barulah ia ingat akan dirinya. Dengan tangan gemetar dikumpulkannyalah emas itu dan dibungkusnya baik-baik. Kemudian dibawanya pulang dengan amat sukacitanya.

    Betapa girang anak isteri Musa melihat harta yang tak terpermanai banyaknya itu. Sebentar itu juga pecahlah kabar seluruh desanya. Orang memuji-muji untung Musa yang baik itu. Tetapi seorang tukang emas amat iri hatinya. Chizit dan dengki ia melihat Musa dapat harta itu.

    "Biarlah besok kucoba pula meminta emas kepada anak jin air itu", katanya seorang diri.

    Keesokan harinya berangkatlah ia dengan diam-diam masuk hutan menuju tempat Musa kehilangan kapaknya. Setelah tiba ia disana dibuangkannyalah kapaknya kedalam air. Kemudian duduklah ia menangis diatas batu.

    Tak lama antaranya timbullah Dewi air itu memegang sebuah kapak emas.

    "Inikah kapakmu?" tanyanya.

    Ketika pandai emas itu melihat kapak itu bersinar-sinar kena cahaya matahari, iapun berseru dengan girang : "Benarlah itu kapakku", lalu diambilnya dengan segera. Dengan tidak minta terima kasih lagi ia masuk kedalam hutan dan mulai menebang sepohon kayu yang besar. Tiba-tiba kapaknya terbenam kepangkal pohon itu. Pandai emas yang loba itu berdebar-debarlah hatinya, karena sangat harapnya. Akan tetapi ketika kapaknya dihelakannya, bukanlah emas yang mengalir dari dalamnya, melainkan getah pohon itu menyembur-nyembur serupa mata air.

    Pandai emas itu terdiri tercengang-cengang. Kakinya mulai terendam. Ia tak dapat bergerak lagi, karena kakinya amat keras melekat. Bagaimanapun dicobanya, kakinya tak lepas juga. Maka berteriaklah ia melolong-lolong minta tolong. Tak lama antaranya tampaklah Dewi air itu datang.

    "Tolonglah saya, kata pandai emas itu beriba-iba."

    "Mau saya menolong engkau", kata Dewi air itu, "tetapi kembalikanlah dahulu kapak emas saya."

    "Kalau itu yang engkau minta, tak mau saya", kata pandai emas itu, "sebab kapak ini saya yang punya."

    Dewi yang baik itu tidak berkata lagi, ia terjun kembali kedalam air.

     Maka tinggallah pandai emas itu seorang diri. Kapak emas itu dipegangnya erat-erat. Akan tetapi tubuhnya makin dalam juga terendam. Getah mengalir dengan tak henti-hentinya. Orang yang tamak itu melolong-lolong ketakutan. Ketika ia hampir tenggelam dalam getah itu, dibuangnyalah kapak emas itu kedalam air. Sebentar itu juga getah yang kental itu cairlah. Perlahan-lahan terlepaslah ia. Tetapi lama juga ia tersiksa itu. Ketika matahari sudah masuk, baharu ia dapat pulang dan tengah malam baharu sampai kerumahnya.

    Orang kampungnya bertanyalah dari mana ia datang dan apa yang telah terjadi atas dirinya, karena pakaiannya penuh getah. tentu saja pandai emas itu tak mau menceritakan halnya. Hanya dalam hatinya terpikirlah olehnya bahwa dengki dan iri hati kepada orang lain sungguh tak baik balasannya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



 


Kamis, 07 Juli 2011

Kalau janji tak ditepati

    Palakia banyak pohon kelapanya. Kalau ia hendak memetik buahnya, selalu diupahkannya, sebab ia sendiri tak pandai memanjat. Karena ia orang yang sangat kikir, maka selalu dipikirkannya bagaimana akal hendaknya, supaya ia jangan mengupah lagi. Karena itu belajarlah ia memanjat dengan rajin.

    Pada suatu hari dicobakannya ilmunya itu. Tetapi baharu beberapa hasta ia dari tanah, lalu jatuhlah ia. Dicobanya sekali lagi, terjatuh juga ia. Sungguhpun begitu, ia tak putus asa. Dicarinya tali untuk sengkelit. Dengan sengkelit itu sampai ia kepuncaknya.

    Tiba-tiba angin berhembus dengan kencangnya. Pohon kelapa itu meliuk-liuk bagaikan hendak patah. Palakia hampir jatuh kebumi.

    "Ya Allah!" serunya, "Kalau aku selamat sampai kebawah, aku berjanji akan memotong seekor sapiku penjamu orang-orang yang miskin dan sengsara."

    Tetapi setelah ia sampai ditengah-tengah, menyesal ia karena membuat janji itu. Maka katanya : "Ah, kambing saja aku sembelih rasanya sudah cukup".

    Setelah makin dekat kebawah, katanya pula : "Ah, apa perlunya kambing aku sembelih, ayam saja sudah cukup".

    Sesampai ditanah ia berlari-lari kerumahnya. Angin topan yang kencang itu tak dipedulikannya lagi. "Apa perlunya aku rugi-rugi menyembelih ayam; aku sudah turun dengan selamat."

    "Menyembelih ayam bagaimana?" tanya bininya.

    "Ah, tak apa-apa, marilah kita makan!" jawab palakia.

    Tiba-tiba terdengar orang berseru dihalaman : 'Tuan haji! tuan haji! Induk sapi tuan haji yang besar itu ditimpa pohon kelapa dikebun tuan, patah kakinya."

    "Astaga, terpaksa juga!" kata Palakia dengan pucat mukanya.

    "Terpaksa bagaimana?" tanya bininya, karena ia tak mengerti maksud perkataan lakinya.

    "Terpaksa memotong sapi."

    "Berjanjikah kakanda akan memotong sapi?"

    Palakia menceriterakan kisahnya memanjat pohon kelapa itu.

    Tetapi bukan sapi yang besar itu yang hendak kusembelih, melainkan anaknya," kata Palakia dengan sangat iba hatinya.

    "Bukankah tak ada kita menyembelih apa-apa?" kata bininya.

    "Ayampun tidak! Kalau kakanda tepati janji tadi, biarpun ayam saja, agaknya kita tak ditimpa kemalangan ini."

    Palakia menggoyang-goyangkan kepalanya saja.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Rabu, 06 Juli 2011

Dua orang anak dengan raksasa


    Adalah dua orang anak diam bersama-sama dengan orang tuanya didalam sebuah pondok, dipinggir hutan. Yang tua, si Rahman namanya, sudah berumur 9 tahun dan adiknya si Salim baru 7 tahun.

    Pada suatu hari ibu-bapanya hendak pergi keladang mengambil sayur-sayuran dan buah-buahan yang akan dibawanya kepasar akan dijualnya. Sebelum mereka itu pergi, ibunya berkata kepada kedua anak itu, katanya : “Sepeninggal kami, kamu harus tinggal dirumah saja atau bermain-main dihalaman. Tak boleh pergi jauh-jauh, nanti sesat”. Sesudah berkata itu berangkatlah kedua mereka itu.

    Tetapi kedua anak itu tak mengindahkan perkataan ornag tuanya. Baru saja mereka itu pergi, turunlah mereka itu kehalaman lalu pergi bermain-main dibawah pohon kayu diluar pagar.

    Tiba-tiba berkata si Rahman, katanya : Marilah kita pergi ketepi anak sungai itu! “Takut saya”, kata adiknya, “Nanti ibu marah”. “Apa sebab engkau takut?”, jawab kakaknya. “Ayah dan ibu tak ada dirumah. Kalau kita lihat nanti beliau dari jauh datang, lekas-lekas kita pulang”. Keduanya pergi kesungai itu. Disana mereka itu bermain-main air. Kalau sudah lelah bermain, maka duduklah ia dipinggir sungai itu, sambil melihat baying-bayangnya didalam air. Tiba-tiba dilihatnya seekor rama-rama besar lagi bagus terbang dihadapannya, lalu hinggap dikuntum bunga melati, yang tumbuh disitu. Dikejarnya rama-rama itu hendak ditangkapnya. Tetapi baru saja hampir2 dapat, rama-rama itu terbang kekuntum bunga yang lain. Dicobanya sekali lagi, tetapi tak juga dapat. Begitulah dicobanya beberapa kali, tetapi sia-sia saja. Karena asyiknya mengejar itu, tidak diketahuinya ia sudah masuk kedalam hutan. Tiba-tiba rama-rama itu terbang jauh sekali, sehingga tak terturutkan lagi olehnya. Karena tak ada harapannya lagi akan memperolehnya, bermaksudlah ia hendak pulang.

    Tetapi jalan pulang, tak tahu lagi mereka itu. Hari sudah bertambah tinggi juga. Tiba-tiba adiknya berkata, katanya : “Abang, apa akal kita sekarang, rupanya kita sudah sesat. Dari tadi  kukatakan jangan pergi dari rumah. Sekarang beginilah jadinya. Tentulah kita akan mati dimakan binatang buas dalam rimba ini”. Iapun teringatlah akan ibu-bapanya, lalu menangis dengan amat sangatnya. Si Rahman membujuk adiknya, lalu katanya : “Janganlah engkau menangis, marilah kita coba-coba juga mencari jalan pulang.” Adiknya menurut saja akan kata abangnya. Tetapi mereka itu makin lama makin jauh masuk kedalam hutan. Tak tentu lagi kemana tujuannya.”

    Tiba-tiba kelihatan oleh mereka itu terung bulat-bulat, sebesar bola dibalik belukar. “Ambillah terung itu, Lim!” kata si Rahman. “Apa gunanya abang?” Tanya si Salim. “Ambil sajalah! Nanti ada-ada saja gunanya”. Si Salim mengambil terung itu dua buah, lalu diberikannya kepada kakaknya. Sesudah itu mereka meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah kapak. Rupanya kapak seorang peladang, yang bercecer disitu. Kapak itu diambil oleh si Rahman, lalu mereka itu berjalan pula.

    Kira-kira pukul lima petang kelihatanlah olehnya sebuah rumah diantara pohon-pohon besar. Dengan segera pergilah keduanya menuju rumah itu. Waktu ia sampai disana, dilihatnya atap rumah itu terbuat dari rambut manusia. Bukan main takutnya mereka itu waktu itu. Si Salim pun menangislah, karena teringatlah pula olehnya orang tuanya, yang ditinggalkannya.

    “Jangan takut, dik”, kata si Rahman membujuk adiknya. “Marilah kita naik kerumah ini!” Keduanyapun naiklah.  Didalam rumah itu dilihatnya amat banyak harta. Emas berbongkah-bongkah dan pelbagai permata, yang gemerlapan cahayanya, berserak-serak dilantai.

    Waktu mereka itu melihat keluar, maka tampaklah olehnya dari jauh seorang-orang datang menuju rumah itu. Alangkah besarnya orang itu! Lebih tiga kali orang biasa. Si Salim menangis pula, karena amat takutnya melihat orang besar itu, lalu katanya : “Inilah barangkali yang dikatakan orang raksasa. Tentulah kita akan mati dimakannya.” Si Rahman menutup mulut adiknya, lalu katanya : “Jangan menangis, Salim! Sekarang mesti kita pergunakan akal kita. Marilah kita memanjat keloteng itu! Disana kita bersembunyi.” Sekalian perkataan si Rahman diturut saja oleh adiknya.

    Raksasa itu sampailah kerumahnya, lalu masuk sekali kedalam. “Hm, hm, bau manusia!” katanya. “Manusia manakah pula yang berani datang kemari? Kalau bertemu, tentu kumakan sekali. Saya sudah lama tak memakan daging manusia”.

    Si Rahman membesarkan suaranya, lalu berkata, katanya: “Ini kami diatas loteng. Lihatlah kemari! Tetapi kami bukan manusia; kami raja dari segala raksasa. Kami datang ini akan membunuhmu”. Raksasa itu melihat keatas. Waktu itu si Rahman memperlihatkan terung yang dibawanya.

    “Wah, besar matanya!” pikir raksasa itu. “Benarlah ia ini raja raksasa?” Iapun mulai takut. Si Rahman mengambil kapak yang dibawanya tadi, lalu dilontarkannya kepada raksasa itu. Kebetulan kena kakinya. Dua buah jarinya putus. “Alangkah besarnya gigi raja raksasa itu?” Kata raksasa itu dalam hatinya dengan gemetar. “Giginya saja dapat memutus jari kaki.

    Dengan tiada berpikir panjang lagi, larilah ia secepat-cepatnya dengan tak tentu tujuannya lagi. Tak kelihatan olehnya dihadapannya sebuah jurang yang amat dalam. Iapun jatuhlah kedalam jurang itu, lalu mati.

    Malam itu si Rahman dan adiknya bermalam dirumah raksasa itu. Mereka tak takut lagi.

    Keesokan harinya pagi-pagi benar dikumpulkannyalah sekalian emas dan intan berlian yang ada disitu, dimasukkannya kedalam sebuah karung, lalu ditinggalkannyalah rumah raksasa itu.

Tiada berapa lamanya mereka itu berjalan, bertemulah ia dengan seorang orang peladang. Orang itu bertanya, katanya : “Hai hendak kemanakah kamu keduanya ini? Adakah kamu bertemu dengan kapak saya?”

Si Rahman mengeluarkan kapak, yang didapatnya dahulu, lalu diberikannya kepada orang itu. Sesudah itu katanya : “Tahukah tuan jalan kerumah kami? Kami ini sudah sesat, tak tahu jalan pulang lagi”. Diceriterakannya halnya kepada orang peladang itu dari mulanya sampai kesudahannya.

Kedua anak itu lalu diantarkan orang peladang itu kerumahnya.

Alangkah besarnya hati orang tuanya melihat anaknya sudah kembali dengan selamat!

Sejak itu hiduplah mereka itu dengan senang, karena harta yang dibawa si Rahman dan si Salim amat banyaknya.

Orang peladang yang menunjukkan jalan kepadanya itu, diberinya pula sebahagian harta itu.




( bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe” )





Senin, 04 Juli 2011

Satrunipun tiyang tani

    Taneman pantun katah amanipun, kadosta tikus. damelipun asring ngrikiti uwiting pantun, lajeng neda pantunipun ingkang sampun sepuh. Walang-sangit damelipun nedani woh pantun ingkang taksih enem. Kejawi punika taksih wonten kewan alit sanesipun, ingkang sanget enggenipun damel risak, ananging patrapipun sanes.

    Kinten kula sampeyan inggih sampun nate sumerep werninipun. Lepatipun wonten ing sabin inggih wonten ing sacelakipun lampu, jalaran kewan wau remen murugi pepadang. Kewan punika agengipun boten sepintena. Yen laripun kiwa tengen dipun egaraken, wiyaripun namung 3 cm. Dene panjanging badanipun saking sirahipun wetawis 2 cm. Laripun sekawan; ing tengah-tengahipun lar ingkang ngajeng wonten cemeng-cemengipun sekedik. Namanipun kewan wau pijer.

    Menawi nigan, tiganipun lajeng dipun tutupi ngangge tutup abrit kados wulu. Tigan ingkang mekaten punika wonten ing gedeg, wonten ing tembok utawi ing meja. langkung malih wonten ing wit pantun.

    Sayektosipun pijer punika enggenipun bade nigan inggih wonten ing ron pantun, ananging asring kelentu. Menawi ing wanci sonten murugi lampu, paniganipun mesti lajeng sadawah-dawahipun kemawon; kadosta wonten ing tembok. Menawi netes, anakipun mesti enggal pejah, sabab kekirangan teda.

    Dene menawi enggenipun nigan wonten ing panggenan ingkang sae, mesti boten mekaten. Let 6 utawi 7 dinten netes; boten dangu lajeng damel lamat, gumantung wonten ingriku kados dene anak kemangga. Menawi wonten angin lajeng kabur, saged dumugi ing panggenan ingkang dipun senengi.

    Mara, ingkang dipun senengi dumawah ing punapa?

    Sampun mesti kemawon senenganipun dumawah ing pupus. Lajeng dipun teda; ingkang empuk-empuk telas sedaya. Ingkang mekaten punika sayektosipun boten dados punapa. Ananging kewan wau nyengitipun boten namung semanten kemawon. Wetawis 3 dinten malih, yen sampun mindak rosa, sarta yen cangkemipun sampun mindak sentosa, lajeng manjing ing uwit. Tumunten damel mergi ngantos dumugi ing ngandap. Wonten ingriku sampun boten muwatosi punapa-punapa; boten wonten kewan ingkang saged nyepeng; malah dumunung wonten ing satengah-tengahing uwit sarta nyolongi tedanipun pun uwit. Wit pantun ingkang mekaten punika mesti kerisakan. Ronipun ingkang wonten inginggil, ingkang taksih enem, lajeng dados jene, ngruwel, wusana garing. Kewan wau lajeng manggen wonten ing salebeting uwit ingkang ngandap. Boten antawis lami lajeng dados ageng alema, sarta enggal dados entung. Ananging saderengipun dados entung, damel bolongan rumiyin wonten salebeting uwit. Menawi sampun rampung, lajeng dipun tutup ngangge lamat.

    Punapa sampeyan sumerep damelipun bolongan punika? boten? Kula criyosi inggih. Sasampunipun nutup bolongan wau, lajeng dados entung. Menawi sampun let wetawis 10 dinten, entung wau medal kupunipun alit, namanipun pijer. Pijer punika wonten ing salebeting wit pantun boten seneng, jalaran rupek sanget. Mekaten malih sarehning gadah lar, dados kepingin miber. Wiwitanipun nggremet, medal saking ing bolongan wau, lajeng miber. Sapunika ngertos punapa dereng damelipun bolongan?

    Ananging pantunipun, sarehning dipun teda ing kewan wau, dados kerisakan ngantos sami pejah. Sampun mesti kemawon lajeng boten saged medal wohipun.

    Lha pijer wau lajeng kados pundi? Ingkang estri lajeng nigan, boten lami jaler-estri sami pejah. Dados ama pantun wau umuripun boten panjang, lami-laminipun enggenipun gesang namung enem minggu.

    Terkadang ama pantun wau datengipun ing sabin sesarengan pinten-pinten. Sampun mesti kemawon ingkang mekaten punika adamel kapitunan ageng. Ewon kapitunan tiyang tani.

    Jalaran saking punika, wontena ing pundi-pundi, kewan wau kedah dipun pejahi. Sawenehing tiyang tani wonten ingkang gadah akal mekaten : ing wanci dalu mubeng wonten ing sabin kambi mbekta obor. Pijer ingkang wonten ing sabin katah ingkang sami murugi obor, tumunten pejah kebesmi. Ananging kula sampun sumerep panggenan, ingkang tiyangipun tani langkung pinter. Tiyang tani ing panggenan wau sami semadosan kaliyan kancanipun : enggenipun nanem pantun dipun ajak sesarengan. Sampun mesti kemawon ama pijer wau ingriku inggih lajeng katah. Ananging pijer ingkang medal saking ing entungipun, ing sakiwa tengenipun ingrika boten saged angsal wit pantun enem, ingkang ronipun utawi witipun taksih empuk. Ingkang estri inggih sami nigan; ananging anakipun ingkang taksih enem boten sami angsal teda; dados lajeng sami pejah. Let setengah tahun, yen tiyang tani wau nanem pantun malih, amanipun pijer namung sekedik. Akalipun tiyang tani ingkang mekaten punika rak sae ta?



( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )



 

Muslihat labah-labah membayar hutang


    Musim kemarau panjang sudah tiba pula. Sekalian binatang habis kelaparan. Begitu pula labah-labah dengan anak-anaknya. Tetapi binatang kecil itu tiada hilang akalnya. Ia pergi meminjam makanan kepada setangganya.

    Mula-mula ia pergi meminjam kepada lipas. Dijanjikannya esok harinya waktu lohor akan dibayarnya. Kemudian ia pergi meminjam kepada ayam betina. Dijanjikannya esoknya pula lepas lohor akan dibayarnya. Sesudah itu ia meminjam kepada musang, anjing hutan, harimau dan akhirnya kepada seorang pemburu. Semuanya dijanjikannya esok harinya juga akan dibayarnya. Akan tetapi waktunya bertikaian sedikit-sedikit.

    Keesokan harinya labah-labah tidak keluar dari sarangnya. Ia tiada pergi membayar utangnya. Memang ia tidak akan pergi. Dengan apa utangnya itu akan dibayarnya, karena ia tak mempunyai barang sedikit jugapun?

    Lipan sudah menunggu-nunggu kedatangan labah-labah. Karena tak datang juga, ia pergi menagih piutangnya itu.

    Baru saja dilihat labah-labah lipan itu datang,  lalu disongsongnya kepintu, sambil berkata manis, katanya : “O.., engkau lipan, selamat datang! Akan panjang juga rupanya umurmu, serbentar ini baru kusebut-sebut namamu. Aku akan pergi juga kerumahmu mengantarkan utangku itu. Duduklah, jangan malu-malu! Ini rumahmu juga. Aku hendak menyudahkan kerjaku didapur sebentar!”

    Labah-labah pergi kedapur. Lipan duduk menanti didepan. Tiba-tiba terdengar lipan berseru ketakutan, ujarnya : “Sahabat, sahabat, tolonglah aku! Itu ada ayam datang kemari. Matilah aku dimakannya!”

    “Ah, tak usah takut!” jawab labah-labah. “Dia kawanku juga. Tetapi kalau engkau kuatir, bersembunyilah dibelakang dapur ini!”

    Lipan pergi bersembunyi dan ayampun masuk.

    Selamat datang sahabatku yang baik!” tegur labah-labah dengan manisnya kepada ayam. “Adakah sehat saja anak-anak dirumah?”

    “Aku datang hendak meminta piutangku!” jawab ayam dengan pendek.

    “O.., akupun sudah bermaksud hendak mengantarkannya juga kerumahmu. Tetapi duduklah sebentar, aku sudahkan menggoreng ikan.”:

    Belum lama labah-labah pergi kedapur, ayam betina berseru-seru ketakutan : “Tolong sahabat, tolong! Matilkah aku dimakan musang itu! Itu dia datang kemari!”

    “Tak usah takut!” jawab labah-labah dari dapur, “bersembunyilah dibelakang dapur ini!”

    Ayam pergi bersembunyi. Dilihatnya disana ada seekor lipan, lalu dipatuknya dan dimakannya lipan itu.

    “Wah, untung benar sahabat datang!” tegur labah-labah dengan ramah-tamahnya kepada musang. “Akupun hendak datang juga mengantarkan utangku. Masuklah! Silahkan duduk!”

    Baru saja musang duduk, ia terpekik : Tolong sahabat, tolong! Lihatlah anjing hutan itu datang kemari. Mati aku diterkamnya!”

    “Bersembunyilah dibelakang dapur itu!” kata labah-labah.

    Musang lari kebelakang. Dilihatnya disana ada ayam betina, lalu diterkam dan dimakannya.

    Sedang anjing bercakap-cakap dengan labah-labah, anjing itu terpekik pula, karena dilihatnya seekor harimau datang. Anjing hutan disuruh labah-labah pula bersembunyi dibelakang dapur. Ketika dilihatnya ada seekor musang, lalu diterkam dan dimakannya.

    Demikian pula harimau itu. Baru saja ia meminta piutangnya, ia terkejut. Dilihatnya seorang pemburu datang, lemgkap dengan bedil dan pisaunya.

    “Bersembunyilah kebelakang!” kata labah-labah. Harimau pergi kebelakang. Dilihatnya ada anjing hutan, lalu dimakannya pula.

    “Disini tak aman aku bersembunyi,” kata harimau kemudian.

    Kalau begitu bersembunyilah keatas pohon kayu itu!” kata labah-labah.

    Harimau melompat keatas pohon kayu yang tiada tinggi benar dan pemburupun masuk. Labah-labah menerima pemburu dengan manis dan hormatnya. Karena lemah lembut tutur katanya, pemburu itu dapat dibujuknya, supaya berhenti melepaskan lelah dahulu dibawah pohon kayu.

    Ketika pemburu melihat kedalam perigi yang ada dibawah pohon itu, tampak olehnya harimau bersembunyi diatas. Dengan tiada menanti lagi, lalu ditembaknya. Harimau itu jatuhlah, lalu mati.

    Labah-labah berlari mendapatkan pemburu, lalu berseru-seru, katanya : “Hai tuanhamba! Celaka tuanhamba! Harimau, raja dalam negeri ini tuanhamba tembak. Tentu tuanhamba digantungnya.”

    Pemburu sangat cemas, lalu berkata kepada labah-labah, katanya : ‘Utangmu tak usah dibayar lagi. Tetapi mulutmu mesti kau tutup rapat-rapat! Jangan kau kabarkan kepada siapapun!”

    Sepeninggal pemburu itu, labah-labah itu tertawa-tawa. “Utangku sudah lunas. Tak kusangka semuanya itu bebal belaka!”




( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



 

Iwak wendra

    Ing segara sekubenge tanah Jawa iki akeh iwake rupa-rupa; dapure iya geseh-geseh. Ana sing gilig dawa, ana sing gepeng, ana sing tipis, kayata iwak wendra utawa iwak lendra, iwak layur, teri lan sapenunggalane.

    Iwak wendra iku, yen isih cilik, iya kaya iwak liya-liyane. Awake sing sisih kiwa karo sisih tengen rupane pada bae. Matane loro : ing sisih kiwa siji, ing sisih tengen siji. Yen nglangi iya lumrah kaya iwak liya-liyane.

    Yen mundak gede, banjur gepeng atipis. Senengane nggletak ana sadasaring banyu. Awake sing kiwa ana ing ngisor. dadi matane sing kiwa ora kena dianggo ndedeleng, sabab kependhem ing weden. Iku lawas-lawas mingsed-mingsed munggah, nyedaki mata sijine. karo maneh sisike sing sisih kiwa rupane banjur malih bawuk. Matane kiwa lawas-lawas banjur jejer ana sandinge mata tengen. dadi mata loro, sing siji manggon ing isih tengen, sijine ana ing ngarep, ing duwur endas, Karo maneh awake sing sisih tengen rupane iya malih dadi kaya lemah : abang semu ireng utawa klawu; ana plenik-plenike bunder kuning utawa abang, plek kaya rupane wedi utawa krikil kang mblasah ana ing weden. Ana ing weden iku siripe ing geger sarta ing weteng lan kepete, dianggo ngeduki wedi; banjur mendem; sing ora kependem mung sawetara. Prelune kareben aja katon marang iwak sing gede-gede; sabab kuwatir mbok menawa diuntal; sarta maneh aja nganti kawruhan iwak-iwak cilik sing arep dicaplok, sabab panganane iwak cilik-cilik. Sarehne nglangi ora pati pinter, pangan sing disenengi banget mung kewan-kewan kang ana cangkoke lan bangsa cacing;  iku gampang cekel-cekelane ana ing sadasaring banyu.

    Pengrasaku saiki wis genah banget, apa sababe dene awake sing sisih kiwa meh ora ana daginge. Daginge nglumpuk ana ing sisih tengen.

    Ewa dene keh-kehe uwong ana sing duwe pengira sing nganeh-anehi, yaiku wong kang ora weruh marang uripe iwak wendra mau. Kandane, mulane iwak wendra dadi lemu sisih mengkono, sabab kasektene Panembahan Senapati ing Mataram kang sumare ing Pasar-Gede ing Ngayogyakarta. Mengkene critane :

    Anuju sawijining dina Sang Panembahan dahar, lawuhe panggang pitik wutuhan karo iwak lele, karo iwak wendra. Adune cokak karo lombok karo ana liyane maneh. Olah-olahan mengkono iku jenenge "urip-urip". Bareng wiwit dahar, sing dicuwil disik brutune pitik; nuli mundut daginge iwak lele, nuli daginge iwak wendra sesisih; kraos enak banget, sabab panuju luwe, mentas nyambut damel. Nuli mundut priksa marang garwane : "Iki kok enak temen; jenenge diolah apa iki?" Garwane matur : "Menika dipun urip-urip!" Sang Panembahan ngandika maneh : "Kepriye? Diurip-urip?"

    Saking sektine sang Panembahan, pitik karo iwak lele lan iwak wendra kena sabdane sang Panembahan, banjur urip pada sanalika. Pitike kekablak banjur njruntul metu. Iwak lele, iwak wendra pating klepek ana ing wadah. Iwake lele banjur ndikakake nyemplungake ana ing blumbang kalangenane. Iwake wendra ndikakake nyemplungake menyang segara. Nganti seprene ing blumbang ing pasarean Pasar-Gede isih ana iwak lele sing mung eri tok-tok bae, ora ana daginge, nglangi slira-sliri ana ing blumbang. Dene iwake wendra, ing segara sakubenge tanah Jawa isih akeh; iya kerep dijupuki uwong. Pitike dadi pitik tukung utawa bukung, nak kumanak, ing ngendi-endi ana.



( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )



 

Sabtu, 02 Juli 2011

Sayur Lodeh

Bahan :
    Macam-macam sayuran, seperti : Kacang Panjang, Terong, Labu Siam, Tempe, Cabai Merah, Oncom, Cabai Ijo, dll.

Rempah-rempah :
    Bawang Merah, Bawang Putih, Trasi, Asam, Cabai, Kemiri, Lengkuas, Daun Salam, Gula, Garam, Santan.

Cara membuat :
    Sayuran diiris-iris dan dibersihkan.
Tempe atau oncom diiris-iris juga.
Bumbu ditumbuk halus-halus, kecuali Lengkuas dan Daun Salam.
Dicampur dengan sayuran dan air sedikit, lalu dimasak sampai setengah matang.
Santan dimasukkan dan dimasak sampai matang.




( bersumber dari buku masakan untuk masyarakat pedesaan )


 

Si Dayang Malas jadi anak angkat Raja


    Adalah seorang perempuan yang miskin. Ia diam bersama-sama dengan seorang anaknya perempuan yang amat cantik rupanya. Anak itu si Dayang namanya dan umurnya sudah 12 tahun. Ia sangat pemalas. Karena itu ia digelari orang si Dayang Malas.

    “Dayang, Dayang!” ujar ibunya pada suatu pagi. “Hidupkanlah api!”

    Jawab si Dayang Malas : "Hidupkanlah oleh ibu, biarlah saya mencuci beras!"

    Ibunya menghidupkan api, tetapi si Dayang Malas tak bergerak dari tempat duduknya.

    "Dayang, Dayang!" seru ibunya pula, "Mana beras! Api telah nyala!"

    Jawab si Dayang Malas : "Ibu sajalah mencuci beras, biarlah nanti saya menjerangkan periuk!"

    Ibunya pergi kepancuran mencuci beras. Tetapi si Dayang jangankan berdiri, beringsutpun tidak ia dari tempat duduknya.

    "Dayang, Dayang!" ujar ibunya pula, "Beras sudah ibu cuci, jerangkanlah periuk!"

    Jawab si Dayang Malas : "Ibu sajalah menjerangkan periuk, biarlah saya bertanak."

    Demikianlah tabi'at si Dayang Malas itu, ia selalu bertangguh-tangguh saja. Dari bertanak sampai mencuci beras, dari mencuci beras sampai menghidupkan api, sampai pula mencenduk nasi, mencuci piring dan menyimpannya. Sekalian itu dikerjakan ibunya. Si Dayang duduk saja dengan malasnya.
    Pada suatu hari kesallah hati ibunya. Si Dayang Malas dibuangnya kesuatu hutan pandan. Tak dibiarkannya pulang kerumah, sebelum tabi'atnya yang malas itu diubahnya.

    Habis hari berganti hari si Dayang Malas duduk dibawah rumpun pandan. Perutnya sangat lapar, karena tak makan; akan pulang ia tak berani..

    Karena itu tumbuhlah pikirannya. Diambilnya daun pandan, dibelah-belahnya lalu dijemurnya. Kemudian diambilnya sumpit dan tikar. Sumpit dan tikar itu dijualnya kepekan. Uangnya dibelikannya untuk makanan dan sisanya disimpannya.

    Tersebutlah raja dalam negeri itu. Pada suatu hari baginda berjalan-jalan kepekan, lalu membeli sehelai tikar, buatan si Dayang Malas. Sampai dirumah, permaisuri raja amat heran melihat buatan tikar itu, karena sangat bagusnya. Maka inginlah baginda hendak melihat anak yang membuat tikar itu. Raja menitahkan kepada hulubalang memukul canang akan mencari dimana rumahnya orang yang menganyam tikar itu.

    Akhirnya bertemulah si Dayang Malas dirumpun pandan. Maka dibawa oranglah ia menghadap raja. Melihat gadis itu raja dua laki-isteri amat sukanya. Lalu dititahkan baginda mencari ibunya.

    Setelah ibu si Dayang Malas datang, raja lalu bertitah: "Apakah sebabnya anakmu engkau buang kedalam hutan pandan?"

    Sembah ibu si Dayang Malas : "Sebabnya dia patik buang, karena dia sangat pemalas, tuanku."

    Titah raja : "Tetapi kami lihat dia seorang anak yang rajin sekali. Lagi ia sangat pandai menganyam tikar dan sumpit. Sukakah engkau, jika dia kami ambil jadi anak angkat kami?"

    Ibu si Dayang Malas sangat bersukacita mendengar titah raja itu. Bertambah pula sukacitanya, karena anaknya sekarang tidak pemalas lagi. Ia telah jadi seorang gadis yang rajin dan elok.

    Si Dayang Malas dijadikan baginda anak angkat sebagai putera baginda sendiri. Ibunyapun diperkenankan diam diistana. Sejak itu si Dayang Malas dan ibunya senanglah hidupnya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )