Selasa, 31 Mei 2011

Anjing yang loba

    Seekor anjing kurus pergi masuk-masuk kampung akan mencari makan. Badannya penuh kurap. Rupanya anjing itu tak ada yang memeliharanya lagi. Sebab itulah ia bertualang saja sepanjang hari.

    Pada suatu hari ia bertualang pula mencari makan. Sejak pagi ia belum mendapat apa juapun. Lidahnya terjulur panjang-panjang keluar, karena kepayahan dan kepanasan. Kalau ia lalu dimuka rumah orang, maka dilempar oranglah ia dengan batu atau disiram dengan air. Terkengkeng-kengkeng pergilah pula ia kerumah yang lain. Disanapun begitu juga. Begitulah nasibnya anjing yang malang itu.

    Dirumah tuan Tan ada peralatan besar, karena anaknya yang sudah lama ditunggu-tunggu telah datang serta selamat dalam pelayaran. Sebab itulah tuan Tan mengadakan perjamuan itu dan lagi supaya anak saudaranya dapat bertemu muka dengan anaknya yang baru datang itu.

    Anjing yang kurus itupun sampai pula kesana. Dengan tidak diketahui seorang juapun, pergilah ia kebawah rumah tuan Tan itu. Dicarinya makanan kesana sini, tetapi tak dapat.

    Tiba-tiba dapatlah olehnya sepotong tulang. Masih ada lagi daging sedikit melekat pada tulang itu. Beruntung benar rasanya ia mendapat tulang itu. Digonggongnya dan dibawanya lari sekali dengan tidak melihat kekiri kekanan.

    Jalan kekampungnya melalui sebuah titian. Waktu ia melihat kebawah, tampak olehnya dalam air seekor anjing lain. Dimulutnya ada pula sepotong tulang. Ingin pula ia hendak merampas tulang yang ada pada anjing lain itu. Kalau dapat pula tulang itu olehnya, tentu dalam dua hari tak perlu ia keluar mencari makan. Dua kerat tulang besar-besar yang masih ada berdaging tentu cukup baginya untuk dua hari.

    Dengan tidak berpikir panjang lagi, dingangakannyalah mulutnya hendak menerkam lawannya itu, lalu melompat kedalam air.

    Baru saja ia mengangakan mulutnya, tulang itupun jatuhlah kedalam air dan lawannya tadi hilang lenyap, tak ketahuan kemana perginya.

    Dicarinya tulang tadi kembali, tetapi tak dapat lagi, karena sudah terbenam kedalam sungai.

    Anjing yang loba itu meneruskan perjalanannya pula dengan kelaparan yang amat sangat.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Paedahnya berkata benar


    Si Amin bermain bola dengan kawan-kawannya didepan sebuah toko. Malang akan tiba kaca jendela itu kena bola, lalu pecah.

    “Min, lekas lari, Min!” seru kawan-kawannya, lalu lari semuanya.

    “Saya tak akan lari”, Jawab si Amin dengan kuma pucat.

    “Alangkah bodohnya engkau ini! Nanti engkau ditangkap oleh yang punya toko. Boleh jadi juga engkau ditamparnya atau dibawa kekantor polisi”.

    “Kalau kita bersalah, kemana juga lari, akan dapat dicarinya”, jawab si Amin. Tetapi ketika itu ia amat takut.

    Tiba-tiba pintu toko terbuka dan yang punya keluar. Mukanya merah padam karena marah.

    “Siapa yang melempar?” katanya dengan suara keras, sambil menunjuk kaca jendela yang pecah itu. “Siapa yang punya perbuatan ini?” serunya lagi. “Kemana kawan-kawanmu?”

    Si Amin berkata dengan suara gemetar, katanya : “Bukan perbuatan kawan-kawan saya, tuan! Itu kesalahan saya”.

    “Jadi engkau yang memecahkan? Berani benar engkau berkata demikian dihadapanku”. Yang punya toko makin marah.

    “Betul perbuatan saya, tuan, tetapi tidak saya sengaja. Saya tak mau berdusta.”

    Yang punya toko amat takjub mendengar jawab si Amin itu.

    Sungguh berani anak itu mengakui kesalahannya! Biasanya anak-anak, kalau ia bersalah, berdusta. Sedapat-dapat dicarinya akal, supaya ia jangan dimarahi. Tetapi si Amin lain halnya. Kesalahannya diakuinya semuanya.

    “Mari engkau” kata yang punya toko.

    “Akan tuan apakan saya ini?” Kata si Amin sambil menangis, “Saya suka tuan hukum, atau mengerjakan apa-apa disini, tetapi jangan tuan minta ganti harga kaca itu kepada bapak saya, sebab ia tidak beruang.”

    “Tidak akan saya minta ganti kepada bapakmu, melainkan kepadamu. Kaca jendela tokoku yang pecah itu mesti engkau ganti dengan tenagamu. Kuatkah engkau membersihkan dan membuang sampah-sampah setiap pagi dari dalam tokoku ini?

    Muka si Amin berseri-seri mendengar perkataan yang punya toko itu. Dengan cepat ia menjawab “ Saya kuat mengerjakannya tiap-tiap pagi, tuan!”

    “Baik! Tiga hari saja cukup untuk pengganti kacaku yang pecah itu. Tetapi tahukah engkau, apa sebabnya yang semudah itu kupilih untuk hukumanmu?”

    Si Amin diam, ia tak menjawab.

    “Sebab engkau berani berkata benar”, kata yang punya toko pula. “Saya suka sekali kepada orang yang lurus hati. Nah, jangan lupa besok pagi, ya! Sekarang boleh engkau pulang!”

    “Baiklah, tuan!” jawab si Amin, lalu ia pergi.

    Keesokan harinya pagi-pagi benar si Amin sudah ada dimuka toko. Ketika yang punya toko datang, dilihatnya si Amin sudah ada. Anak itu ditepuk-tepuknya belakangnya, menyatakan senang hatinya. Pagi itu si Amin bekerja sebaik-baiknya membuangkan sampah-sampah dan menyapu keliling toko itu. Setelah habis kerjanya, iapun disuruh pulang oleh yang empunya toko itu. Demikianlah sampai tiga hari si Amin bekerja disana.

    Pada hari yang ketiga si Amin dipanggil oleh yang punya toko lalu katanya : “Amin, mau engkau saya suruh mengantarkan barang ini kepada tuan Bakar dikampung Baru? Pembantu saya sakit,dia tak datang.

    "Mau, tuan!" jawab si Amin, lalu ia pergi. Tak lama antaranya ia kembali.

    "Mau engkau pergi sekali lagi?" kata tuan itu pula. "Ini alamatnya! Engkaupun tahu juga membaca sedikit-sedikit, bukan?"

    "Baiklah tuan!" jawab si Amin, lalu pergi.

    Demikianlah kerja si Amin sehari-harian itu dengan tidak henti-hentinya.

    Yang punya toko itu makin tertarik hatinya kepada si Amin. Ia perlu mempunyai pembantu yang sebagai anak itu. Akhirnya si Amin diambilnya jadi pembantunya.

    Si Amin bekerjalah disana dengan rajin dan sungguh-sungguh. Yang dijaganya benar ialah, supaya tuan itu selalu bersenang hati melihat pekerjaannya.

    Ketika kawan-kawan si Amin bertanya, bagaimana ia dapat pekerjaan yang baik itu, si Amin menjawab : "Karena saya berani berkata benar!"



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )





Senin, 30 Mei 2011

Gajah dengan Raja Bulan

    Dalam sebuah hutan tinggal berpuluh-puluh ekor gajah. Seekor diantaranya, yaitu yang sebesar-besar dan sekuat-kuatnya, diangkat oleh gajah yang banyak itu menjadi rajanya.  Gajah itulah yang memimpin dan menjaga sekalian gajah itu.

    Pada suatu hari, waktu musim kemarau, telaga dan sungai dihutan itu habis kering semuanya. Hilanglah akal sekalian gajah itu mencari air untuk minum. Dicarinya kesana kemari dalam hutan itu, tetapi tak juga dapat.

    Tiba-tiba kelihatan olehnya sebuah telaga, yang masih berair ditengah-tengah padang yang dikelilingi oleh pohon yang besar-besar dan tinggi-tinggi. Pergilah sekaliannya ketempat itu akan melepaskan dahaganya. Dalam telaga itu ada beratus-ratus ekor katak. Gajah amat susah mendapat air, tetapi katak yang banyak itu berenang bersuka-suka saja dalam telaga itu.

    Waktu gajah itu masuk kedalamnya hendak minum, terpijak olehnya beberapa ekor katak, sehingga mati.

    Raja Katak berkata kepada katak yang lain, katanya : "Kalau kita biarkan saja yang seperti ini, tentulah kita akan mati semuanya. Apa akal kita akan menghindarkan bahaya ini? Akan kita lawan, tentu tak mungkin". Katak itu diam semuanya.  Tiba-tiba berkata seekor diantaranya, katanya : "Sebab kita kecil, haruslah kita pergunakan akal kita. Biarlah saja coba menipu raja gajah itu."

    Iapun pergilah mendapatkan raja gajah itu, lalu berkata, katanya : "Didalam telaga itu tinggal raja bulan. kami disuruh baginda menunggui telaga itu. Waktu tuan dan gajah yang lain masuk kedalam telaga itu hendak minum, berpuluh anak kami mati terpijak. Sebab itu kami adukan hal itu kepada raja bulan. Baginda amat marah mendengar hal itu, Lalu baginda mengutus saya datang kemari akan mengusir tuanku dan gajah yang lain pergi dari sini. Kalau tuanku tidak percaya,datanglah tuanku malam nanti, kira-kira pukul sebelas. Biasanya raja bulan waktu itu keluar dari istananya akan bercengkerama."

    "Baiklah", jawab raja gajah itu. "Nanti malam saya datang kesana."

    Pada waktu yang telah ditentukan raja gajah itupun pergilah ketelaga. Malam itu bulan purnama. Langit sangat bersihnya, tidak berawan sedikit juga.

    Waktu gajah melihat kedalam telaga itu, terang benar tampak olehnya bayang-bayang bulan.

    Bukan main takutnya waktu itu, lalu ia berlutut dan berkata, katanya : "Ampuni kami semuanya, karena sudah memijak-mijak penjaga istana tuanku. Yang akan datang tidak akan kami buat lagi.

    Seekor katak besar mengubah suaranya, lalu berkata dengan besar suaranya, ujarnya : "Pergilah dengan lekas dari sini! Saya tak mau melihatmu lagi".

    Dengan ketakutan raja gajah itu mundur perlahan-lahan, lalu mengerahkan rakyatnya pergi dari situ.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Tidak mau berbohong lagi

    Si Maryam berumur tujuh tahun. Pada suatu hari ia disuruh ibunya pergi kerumah bibinya mengantarkan surat. Rumah bibinya itu ada kira-kira setengah jam berjalam kaki jauhnya dari rumahnya.

    Waktu si Maryam akan pulang, ia diberi oleh bibinya mangga enam buah yang masak-masak. Kata bibinya : "Ini mangga enam buah. Dua buah untukmu! Dua buah berikan kepada adikmu si Kasim dan yang dua lagi kepada si Ramali".

    Si Maryam minta terima kasih kepada bibinya, lalu minta izin hendak pulang. Waktu itu hari amat panas. Karena sangat lelah, si Maryam berhenti dibawah sepohon kayu yang rindang lagi rimbun. Bungkusannya yang berisi mangga itu diletakkannya disisinya. Tiba-tiba terlihat olehnya mangga dalam bungkusan itu. Terbit seleranya melihatnya. Diambilnya sebuah, lalu dimakannya. "Manis benar", katanya dalam hatinya. Mangga itu pun habislah dimakannya. "Manggaku kasih ada sebuah lagi", pikirnya. "Biarlah kuhabiskan kedua-duanya". Dengan tidak berpikir panjang lagi dimakannya mangganya yang sebuah lagi.

    Sudah itu berdirilah ia hendak berangkat.

    Baru sepuluh menit ia berjalan, keringat sudah meleleh dipipinya. Dicarinya pula tempat berhenti. Ditepi jalan ada sebuah toko kecil yang sudah ditinggalkan orang. Tergesa-gesa pergilah ia kesitu. Hausnyapun terbit pula, tetapi apa akal mangganya tak ada lagi.

    Melihat saja ia kedalam bungkusan yang masih berisi mangga itu. Akan diambilnya mangga itu? Tidak mau ia, sebab mangga itu bukan untuknya.

    Tetapi matanya tak lepas dari bungkusan itu. "Biarlah kumakan dua buah lagi", katanya dalam hatinya. "Yang dua lagi kuberikan kepada si Kasim dan si Ramali sebuah seorang. Nanti kukatakan, dia hanya sebuah seorang diberi bibi, Mereka itu tentu tak kan tahu. Siapa yang akan mengatakannya?"

    Diambilnya mangga itu sebuah, lalu dimakannya. Sudah itu sebuah lagi.

    Setelah lepas lelahnya,  berangkatlah ia. Tiada berapa lamanya sampailah si Maryam kerumahnya. Mangga yang dua buah itu diberikannya kepada si Kasim dan si Ramali. "Untukmu mana?" tanya si Ramali. "Punyaku sudah kumakan", kata si Maryam dengan pendek, lalu pergi dari situ.

    Keesokan harinya bibi datang bertandang kerumah anak-anak itu. Waktu si Kasim dan si Ramali melihat bibi datang, pergilah mereka itu keduanya mendapatkannya. "Aduh, enak betul mangga yang kemarin, bibi", kata si Ramali. "Tetapi sayang hanya sebuah saja". Bibi heran mendengar perkataan si Ramali. "Tentu si Maryam yang memakan yang dua buah lagi", pikirnya dalam hatinya. "Biarlah nanti kumarahi dia!" Tetapi perkara itu didiamkannya saja kepada kedua anak itu.

    Sesudah mereka itu pergi, dipanggilnyalah si Maryam. Dipegangnya bahu si Maryam lambat-lambat, lalu katanya : "Itu tak baik, Maryam. Yang akan datang jangan dibuat lagi!" Si Maryam tunduk kemalu-maluan, karena ia tahu salahnya, sungguhpun bibi belum menceriterakan sampai habis kepadanya.

    Sepekan sudah itu si Maryam disuruh pula oleh ibunya pergi kerumah bibinya. Waktu ia akan kembali pulang, ia diberi bibinya sebungkus gula-gula. Gula-gula itu harus dibaginya tiga dengan adiknya si Kasim dan si Ramali, Panas waktu itu sangat teriknya. Dua kali si Maryam berhenti dijalan akan menghentikan lelahnya. Bagaimana juga hausnya, tak mau ia mengambil gula-gula itu barang sebuah.

    Sampai dirumah dipanggilnya si Kasim dan si Ramali. Gula-gula itu dibaginya tiga, lalu dimakannya bersama-sama dengan tertawa-tawa.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Peladang dengan harimau

    Dipinggir sebuah hutan yang lebat tinggal seorang peladang bersama-sama isterinya dan seorang anak angkatnya, si Bahri namanya. Orang peladang itu mempunyai tujuh ekor kambing. Lagi pula ada dirumahnya seekor anjing dan seekor kucing.

    Pada suatu hari orang peladang itu menyuruh si Bahri pergi kekaki bukit, jauh sedikit dari tempat itu menggembalakan kambing-kambing itu, karena disitu banyak rumput muda.

    Si Bahri pergilah kesitu membawa kambing yang tujuh ekor itu serta nasi sebungkus, ikan kering sekerat dan sambal lada.

    Pukul dua terbitlah laparnya. Diambilnya nasinya, lalu iapun makanlah. Karena enak makannya, tiada diketahuinya, bahwa seekor harimau sudah dekat kepadanya.

    Harimau itu berkata: "Hai Bahri, saya lapar benar, berilah saya nasimu itu." "Tak mau saya memberimu," jawab si Bahri. Untuk sayapun tak cukup". Harimau itu menjawab : "Kalau tak mau engkau memberiku, kumakan kambingmu ini seekor". Harimau itu menangkap kambing itu seekor, lalu ditelannya. Si Bahri amat berdukacita, karena kambingnya sudah kurang seekor.

    Petang-petang pulanglah ia membawa kambing yang enam ekor lagi. Dirumah diceriterakannyalah apa yang telah terjadi kepada bapak angkatnya.

    Peladang itu amat susah hatinya, karena kambingnya hilang seekor itu. "Besok pagi-pagi pergilah pula kamu kebukit itu", katanya kepada si Bahri, "dan jagalah kambing itu baik-baik."

    Keesokan harinya pergi pulalah si Bahri kebukit itu. Pukul dua, waktu si Bahri makan, datanglah harimau yang kemarin. Dimintanya pula nasi si Bahri. Sebab si Bahri tak mau memberi, ditangkapnya pulalah kambing seekor lagi, lalu ditelannya.

    Begitulah berturut-turut tujuh hari lamanya. Ketujuh kambing itupun habislah.

    Orang peladang itu amatlah marahnya kepada si Bahri, lalu katanya : "Pergilah kamu  kebukit itu. Carilah kambing yang tujuh ekor itu sampai dapat. Kalau tak dapat janganlah engkau kembali."

    Si Bahri itupun pergilah mendaki bukit itu. Disana bertemu pula ia dengan harimau yang dahulu.

    "Kak harimau, kembalikanlah kambing yang sudah kak telan dahulu", kata si Bahri.

    "Kembalikan katamu?" jawab harimau itu. "Diperutku masih ada tempat untukmu." Si Bahri ditangkapnya, lalu ditelannya.

    Haripun malamlah. Si Bahri belum juga pulang.Hati peladang itupun susah.

    Keesokan harinya pergilah ia kebukit itu akan mencari si Bahri. Pukul dua melompatlah seekor harimau dihadapannya.

    Peladang itu bertanya, ujarnya: "Hai harimau adakah engkau melihat si Bahri kemarin disini?" "Siapa" jawab harimau. "Dia ada dalam perutku. Tempat masih ada diperutku untukmu". Lalu ditelannya pula peladang itu.

    Haripun malamlah. Isteri peladang itu duduk dengan bersusah hati dirumah menunggu suaminya. Tetapi suaminya tak juga datang.

    Besok paginya pergilah ia mencari suaminya kebukit itu. Iapun ditelan oleh harimau itu.

    Anjing peladang yang setia tak senang hatinya lagi dirumah karena tuannya kedua-duanya tak ada lagi.

    Ia pun pergi pula mendaki bukit itu. Kira-kira pukul dua datanglah pula harimau mendapatkannya. Anjing itu berkata, katanya : "Kak harimau, adakah kakak bertemu dengan tuan hamba, peladang yang tinggal dikaki bukit ini."

    "Apa katamu, peladang, dia ada dalam perutku. Dan untukmu masih ada tempat". Lalu ditelannya anjing itu.

    Kucing tak senang hatinya tinggal seorang diri lagi. Didakinya pula bukit itu. Kira-kira pukul dua datanglah pula harimau kepadanya.

    Kucing berkata : "Nenek harimau, adakah nenek bertemu dengan teman hamba anjing". "Anjing" jawab harimau, "Dia sekarang dalam perutku, Untukmu masih ada tempat dalamnya".

    Kucing itu ditelannya pula.

    Rupanya sudah penuh betul perut harimau itu. Kucing dan Anjing sudah payah bernapas.

    Sebab itu dicarinya akal. Anjing menggigit daging harimau itu dari dalam dan kucing menggaruk-garuk dengan kukunya yang runcing.

    Tiada berapa lamanya tembuslah perut harimau itu. Peladang beserta isterinya, ketujuh ekor kambing, anjing dan kucing keluarlah dengan selamat dari dalam perut harimau itu.

    Hanya harimau itulah yang payah kesakitan.

    Harimau itu dideretnya bersama-sama ketepi sungai, lalu dilemparkannya kedalamnya.

    Iapun matilah.




( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )






Sabtu, 28 Mei 2011

Candi Prambanan (II)

    Olehe ngaso ana ing sangisore wit ketapang kepenak banget; ya adem, ya isis; akeh sing pada ngudari buntelane sangu, olehe menehi biyunge; pating kecamuk, karo pada guyon. Katone pada seneng-seneng; dadi sapa-sapa sing weruh, iya melu seneng. Ana sing mangan jadah; ana sing mangan enting-enting; ana sing mangan geti; ana sing mangan gethuk.

    Bareng wetenge wis pada isi, sarta wis ilang sayahe, banjur dikon ngadeg karo gurune, sarta dikon ngrungokake kandane. Bocah-bocah banjur enggal pada menyat; kiwa tengene ana candi pating jenggeleg.

    Mantri guru banjur wiwit kanda : "Kene iki kabeh ana candine wolu, kulon telu, wetan telu, lor siji, kidul siji. Sing arep dideleng disik kulon kuwi; ayo ta, melua."

    Bocah-bocah banjur pada munggah, ana sing karo mlayu bae, balapan karo kancane. Sing diunggahi Candi Brahma; ing duwur ngedag-edag bae, ana sentongane watu cilik. Ing kono ana recane Sang Brahma becik banget; raine papat. enggone gawe pepetaning makuta lan sandangan, apa maneh sirah, iku kabeh mratandani, yen wong Jawa ing jaman biyen, pada pinter-pinter gegawean. Bareng wis tanek olehe pada namatake, banjur diajak mudun marang gurune : "Wis, ayo mudun, le! endang ngalih menyang sejene kae! Kae luwih becik, karo luwih prelu."

    Bocah-bocah banjur pada mudun krumitig, nuli ngalih menyang sijine; munggah undak-undakan watu rada duwur, ngungkuli sing disik. Karo maneh unggah-unggahane rada rekasa; nanging dedelengan ing duwur kono iya nyata luwih becik; disike tekan ing recane Sang Hyang Siwah, jumeneng Sang Mahadewa. Makutane sungsun telu, ana pepetaning rembulan tanggal sepisan lan cumplung uwong. Ing satengahing batuk ana mripate siji; dadi mripate kabeh telu; pupune kaya tinutupan ing welulang macan tutul. Tangane papat; sing siji nyekeli cemara; sijine nyekeli akshamala, utawa tesbeh; sijine nyekeli kendi banyu penguripan; sijine nyekeli trisula.

    Dene ing sentongan-sentongan liya-liyane iya ana recane. Ana sing isi recane Sang Hyang Siwah jumeneng Guru, ana jenggote. Ana sing isi recane Sang Hyang Ganesa utawa Betara Gana, putrane Sang Hyang Siwah; ana tlalene nyerot kawicaksanan saka ing cumplunging menungsa, kang dicekeli ing tangan kiwa. Ana maneh recane Sang Kali Durga, garwane Sang Hyang Siwah; tangane wolu, ngidaki kebo titisane Mahesasura.

    Mantri guru kanda marang bocah-bocah mengkene : "Le, wong Jawa isih akeh sing nyadran mrene iki, sabab reca iki diarani dadehane Lara Jonggrang. Emben buri kowe tak critani dongengane Lara Jonggrang. Saikine ayo pada mlaku urut tembok watu iki, karo ndelok-ndelok gambare. Lha kuwi gambare Betara Rama karo Lesmana, adine, lagi mlaku nggoleki Dewi Shinta, dicolong Prabu Rahwana. Dewi Shinta kuwi apane Betara Rama? Bojone; iya apa ora? Sing ngrewangi, ratu ketek, jenenge Prabu Sugriwa, karo ngawa bala ketek ora karuwan cacahe. Gegeduge : Anoman."

    Bocah-bocah pada namatake ukir-ukiran sing ana ing tembok watu; ana sing ngelokake mengkene : "Iya, lho, lha iki Betara Rama, lha iki Lesmana; nanging kok ora memper karo wayang kae."

    Bareng wis kemput olehe pada ndeleng, banjur mudun kumritig mayar bae, ora kangelan kaya dek munggahe. Satekane ing ngisor, banjur gegancangan mengetan menyang candi sijine, nuli munggah undak-undakan watu maneh. Ing duwur ana recane sapi. Gurune celatu : "Kuwi recane sapi kang aran Nandi; yen ing wayang, jenenge Lembu Andini, titihane Sang Hyang Siwah utawa Betara Guru. Wong-wong iya isih akeh sing nyadran mrene, njaluk slamet."

    Ana ing kono ora suwe; nuli mudun maneh menyang candine Sang Hyang Wisnu; ananging ing kono ora pati ana apa-apane sing kena dideleng, sabab wis akeh sing rusak, marga lindu utawa perang dek jaman kuna.

    Mantri guru celatu : "Yen ndeleng wujude saiki, mestine kowe ora ngira, yen kene iki ing biyen ana kraton gede. Ananging para pinter bisa namtokake, yen kene iki tilas kraton gede; malah iya ana kedatone barang. Dene penggawene candi-candi iki, prelune kanggo memuja marang dewa, kaya dene wong saiki menyang mesjid utawa menyang gereja. Ana sing ngarani, yen sawiji-wijining candi iki kuburane ratu dek jaman kuna utawa pendita sing pinunjul.

Biyen sakiwa tengene candi iki ana candine cilik-cilik luwih saka satus, nanging wis akeh sing rusak, ilang larine; mbok menawa marga saka lindu. Awit saka pangruktine Negara, rusake ora kebanjur-banjur, isih rada akeh sing apik. Karo maneh akeh sing didandani ora nganggo ngetung kehing wragad lan kangelane. Kejaba ini cedak-cedak kene, isih ana candi cilik-cilik akeh. Nek kowe durung pada sayah, arep takjak nonton mrana pisan. Sapa sing wis poprok?"

    Bocah-bocah ngaku yen durung sayah, sabab kepingin ndeleng candi sing liya-liyane. Banjur diajak ndeleng, ana candi pirang-pirang; wiwitane Candi Lumbung, banjur Candi Bubrah, banjur Candi Sewu. Reca sing ngarepan, gambar buta nganggo nyekeli gada gede nggegirisi; tujune ora urip. Yen uripa, mesti medeni banget. Emane dene candi iku wis akeh banget sing rusak pating blengkrah.

    "Wis le, saikine wis entek sing apik-apik; ayo pada mulih. Saiki kowe pada weruh, yen wong Jawa dek biyen bisa gegawean sing apik-apik lan nggumunake; bisa gawe candi sing kaya mengkono rupane; wis umur luwih 1000 tahun, meksa isih gawe erame wong sing ndeleng. Wong Jawa, wong sabrang, yen ndeleng candi-candi, gumune pada bae."

    Nuli pada mangkat bali; ana ing dalan ora pati cikrak-cikrak kaya dek mangkate, sebab rada sayah, sarta ora mikir-mikir bab candi sing mentas dideleng iku mau. Ewa dene lakune iya isih tata, ora ana sing nggrendel. Tekane ing setatsiyun bareng.

    Satekane ing omahe dewe-dewe, gupruk olehe kanda marang bapa biyunge lan sanak sedulure, ngandakake senenge olehe dolan lan apa-apa sing mentas dideleng.



( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )



Candi Prambanan (I)

    Ing sawijining dina wayah esuk Mantri guru Ngabean Ngayoja nunggang sepur karo murid-muride ing pangkat kang duwur dewe, arep menyang Kalasan. Prelune arep pada ndeleng candi. Satekane ing Kalasan pada mudun, nuli pada mlaku darat.

    Ora suwe tekan ing Candi Kalasan. Candi iku kinubeng ing pager kawat; wangune olehe mageri durung lawas, sabab kawate katon isih anyar. Mantri guru nuli kanda : "Le, candi iki umure wis luwih 1000 tahun; rupane isih mengkene; mendah dek anyare. Mara ta delengen apike; watune pada diukir-ukir nganggo gambaran becik-becik. Man, kowe bisa, Man, nggambar mengkoko?" Sarman mangsuli : "Boten! Mbok menawi emben wingking saged."

    "Candi iki biyen, jare-jarene sing digawekake widadari, arane Dewi Tara."

    Bocah-bocah pada kedemenen ndeleng ukir-ukiran sing ana ing watu nono. Apa maneh sing ndadekake gawoke, ndeleng gambar naga pirang-pirang; ora wareg-wareg olehe ndeleng; nanging banjur diajak munggah, tekan ing sentongan. Mantri guru banjur kanda : "Ing sentongan kene iki biyen ana recane Dewi Tara; sentongan kono kuwi biyen iya ana recane. Ing legok-legokan kono-kono kuwi kuwi biyen iya ana; saikine wis pada ilang. Sangisore sentongan kene iki, kira-kira ana awune wong Indu(Hindu) jaman biyen sing diaji-aji ing wong akeh."

    Ora suwe nuli pada mudun, ngubengi candi, banjur pada menyang Candi Sari. Saka ing kono mung lakon limang menit kurang luwih.

    Bareng wis tekan, bocah-bocah pada ngelokake : "Kok ora pati duwur!"

    Bocah-bocah nuli pada munggah, kepingin weruh rupane ing nduwur. Ing kono ana sentongane sawetara, sarta ana segogane cilik-cilik; watune iya diukir-ukir becik.

     Bareng wis tutug olehe pada ndeleng, banjur mudun, nutugake lakune. Mantri guru celatu : "Iki mau durung sepira becike; sing becik temenan mengko sedela engkas. Olehmu mlaku pada sengkakna, kareben enggal tekan."

    Olehe mlaku nurut dalan gede, ngliwati kali Opak. Ing kono ana kretege becik banget. Ana bocah siji sing ngelokake: "Becik temen kreteg iki!" Sijine nyambungi: "Karo dawane kok eram aku!" Gurune numpangi : "Pancen becik kreteg iki, tur sentosa banget; ewa dene durung karuwan kelar nyembadani budine banyu. Sing disik-disik ya mengkene apike, pada larut ketrajang ing banjir. Delengen, ta, iline yen ora banjir, wangune anteng; yen banjir santere kok ora jamak. Mulane dek jaman kejawan ora tau digawekake kreteg sing temenan, sabab wong nalika iku ora keduga."

    Ora suwe olehe lumaku pada tekan ing pasar Prambanan; nuli menggok ngalor; candine katon ngregunuk saka ing kadohan. Satekane ing candi, Mantri guru tuku karcis kanggo murid-muride lan kanggo awake dewe; banjur pada mlebu menyang cepurining candi. Sarehne wis pada krasa rada sayah, dadi ora banjur munggah menyang candi; ngaso disik ana sangisoring wit ketapang.


bersambung ke Candi Prambanan (II)
( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )




Kamis, 26 Mei 2011

Janganlah berniat buruk kepada kawan.

    Disekolah si Martunus lah yang terpandai. Kalau guru menyuruh membuat hitungan, ialah yang sudah lebih dahulu. Lagi pula bagus tulisannya dan betul semuanya. Membaca pun pandai ia. Menggambar jangan dikatakan lagi. Selalu saja ia dapat delapan, kadang-kadang sembilan. Kerap kali ia mendapat hadiah dari guru.

    Orang-orang pun sayang kepadanya. Pakaiannya selalu bersih. Lakunya pun baik. Lagi pula ia lurus hati.

    Dirumah pun ia disayangai orang tuanya. Apa yang disuruhkan kepadanya, lekas dikerjakannya. Tak ada yang salah.

    Lain benar dengan si Yusuf. Ia seorang anak yang amat malas lagi bodoh. Lain dari pada itu ia nakal pula. Kalau ada anak-anak salah sedikit kepadanya, ditinjunya saja. Ayam yang diam-diam dilontarnya dengan batu. Kalau ada orang buta atau pincang dilihatnya, ditertawa-tawakannya. Sebab itulah guru amat marah kepadanya. Acap kali ia kena hukum. Waktu kawan-kawannya bermain-main, ia ditahan guru dalam kelas. Waktu pulang pun, ia tiada boleh bersama-sama dengan kawan-kawannya.

    Pada suatu hari guru memberi hadiah pula kepada si Martunus, sebab hitungannya lekas sudah dan lagi pula betul semuanya. Hadiah itu amat bagusnya. Sebuah kotak-kotak anak batu, cukup dengan isinya dan sekotak pensil dua belas macam.

    Si Yusuf terbit marah dan iri hati, melihat si Martunus dapat hadiah itu. "Ia selalu saja dapat hadiah" katanya dalam hatinya, "tetapi aku selalu saja dapat marah. Jagalah nanti. Kuaniaya juga ia".

    Petang-petang dilihatnya si Martunus pergi kepasar membawa botol. Rupanya ia disuruh ibunya membeli minyak. Alangkah cepat jalannya si Martunus itu! Barangkali minyak itu untuk lekas dipakai. Rupanya ibunya kedatangan tamu.

    "Ha," kata si Yusuf seorang diri, "awaslah, sekali ini rasa olehmu."

    Dijalan tempat si Martunus lalu pulang, ditahannya beberapa pecahan kaca yang tajam-tajam. Sesudah itu ditaburnya tanah sedikit dan sarap-sarap diatasnya. Tentulah tak kelihatan oleh si Martunus, apabila ia lalu disitu. Si Yusuf tentulah akan melompat-lompat keriangan, kalau dilihatnya si Martunus mengaduh-aduh kesakitan.

    Tiba-tiba datang se-ekor anjing mengejarnya. Si Yusuf larilah secepat-cepatnya, karena takut akan anjing itu. Karena terburu-buru dan takut, tak tentu lagi kemana larinya. Larinya menuju rumah si Martunus. Tiba-tiba terinjaklah olehnya pecahan kaca yang ditahannya. Meraunglah ia kesakitan.

    Waktu itu si Martunus pulang dari pasar. Dilihatnya Yusuf menangis. Kasihan ia melihatnya. Dibawanya si Yusuf kerumahnya. Luka dikakinya dicucinya bersih-bersih. Sudah itu dibalutnya dengan kain yang bersih.

    Malu benar ia rasanya kepada si Martunus yang sudah menolongnya.

    Sejak itu bersahabatlah kedua mereka itu.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Dua orang anak yang cerdik

    Dua orang anak berjalan-jalan dipinggir hutan. Kedua anak itu bersaudara. Yang tua namanya si Salim. Umurnya kira-kira tujuh tahun. Yang kecil adiknya. Namanya si Kadir. Umurnya kira-kira lima tahun. Keduanya berjalan juga sampai hampir masuk matahari.

    Karena lamanya berjalan itu, mereka itupun sesatlah masuk rimba. Tak tahu jalan pulang lagi. Merekapun terus juga berjalan. Haripun mulai senja. Senja berganti dengan malam. Takutnyapun datanglah. Kepada siapa mereka itu akan minta tolong? Dihutan itu tak ada seorang juga tinggal.

    Tiba-tiba kelihatan api dari jauh. Disitu ada orang agaknya. Keduanya pergi kesana. Betullah, cahaya itu keluar dari sebuah rumah. Siapakah gerangan tinggal dalam rumah itu? Diketuknya pintu rumah itu.

    Dari dalam rumah itu keluar seorang perempuan yang amat besar. Ada dua kali sebesar orang biasa.

    Si Salim berkata, katanya: "Bolehkah kami bermalam disini? Kami ini sesat. Tak tahu jalan pulang lagi. Kalau tak boleh kami bermalam disini, dimana lagi? Tentulah kami akan dimakan binatang buas."

    Perempuan besar itu ialah isteri seorang raksasa. Ia menjawab katanya : "Tentulah boleh kamu bermalam disini. Masuklah lekas."

    Kedua anak itupun masuklah kedalam. Isteri raksasa itu pergi kepada suaminya. Ia berkata, katanya : "Ada dua orang anak manusia minta bermalam dirumah kita.: Suaminya menjawab: "Bagus, berilah ia makan! Sediakan tempat tidurnya! Besok pagi kita bunuh dia dan kita makan. Saya sudah lama betul tak makan daging manusia."

    Perkataan raksasa itu kedengaran oleh kedua anak itu.

    Si Salim berkata, katanya : "Kadir, ini bukan manusia rupanya. Inilah barangkali yang dikatakan raksasa."

    Isteri raksasa itu keluar pula. Disediakannyalah nasi serta laup-pauknya untuk mereka itu.

    Sesudah makan pergilah kedua anak itu tidur. Sebelum tertidur berkata si Kadir, katanya : "Abang, saya takut akan orang itu. Kalau kita tertidur nanti, tentulah kita dimakannya. Apa akal kita sekarang? Kakaknya berpikir. Tiada berapa lamanya dapatlah olehnya akal. "Kalau hari sudah hampir pagi", katanya kepada adiknya, "kita lari dari sini. Bantal guling ini kita selimuti. Tentu ia akan menyangka bahwa kita masih tidur."

    Pukul lima pagi kedua anak itupun larilah. Kira-kira pukul sembilan raksasa itupun bangun, lalu pergi melihat anak-anak itu. Dilihatnya masih tidur. Marilah kita mandi dahulu" katanya kepada isterinya. "Sesudah mandi kita bunuh dan kita makan dia."

    Sesudah mandi mereka itupun pergilah pula melihat kedua anak itu. Dicabutnya pisau belatinya. Ditikamnya keperut anak itu. "Ha, sekarang sudah mati ia, tetapi mengapa ia tidak menjerit?" tanya raksasa itu kepada isterinya. Dibukanya selimut itu. Apa yang dilihatnya? Ialah bantal guling yang sudah koyak. Iapun amat marah.

    Kedua raksasa itu berlari keluar. Dihalaman dilihatnya jejak kaki anak yang lari itu. Diikutnyalah jejak kaki kedua anak itu. Karena langkahnya panjang, hampirlah dapat mereka itu.
 
    Si Salim dan adiknya melihat kebelakang. Kelihatan kepadanya raksasa itu sudah dekat benar. Mereka itupun larilah sekencang-kencangnya. Sampailah mereka itu kepinggir sebuah sungai yang deras airnya. Disitu ada sebuah titian saja, yaitu sebatang pohon kelapa.

    "Pohon kelapa inilah yang dapat menolong kita", kata si Salim kepada adiknya. Kedua saudara itu meniti titian itu. Waktu sampai ditengah-tengah, Si Salim mengeluarkan goloknya. Ditetaknya pohon kelapa itu sebelah bawah: dari atas kelihatannya masih baik dan kuat. Anak itupun teruslah meniti sampai keseberang.

    Mereka itu berteriak: Hai, ini kami, datanglah kemari, tangkaplah kami."

    Raksasa itu meniti titian itu.Mereka itu tak tahu, bahwa titian itu ditengah-tengahnya sudah bertakuk. Waktu mereka itu sampai disana, titian itu patah dualah.

    Kedua raksasa itupun jatuh kebawah, lalu mati.

    Si Salim dan si Kadir senanglah hatinya, karena musuhnya yang berbahaya itu sudah mati. Mereka itupun meneruskan perjalanannya.

    Tiada berapa lamanya berjalan, mereka itu bertemu dengan seorang peladang. Orang itu rupanya hendak pergi kekampung si Salim dan si Kadir akan menjual hasil ladangnya dipasar.

    Kedua anak itu menumpanglah dengan orang peladang itu.

    Orang tua si Salim dan si Kadir amat besar hatinya bertemu jauhnya dari rumahnya.


( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )






   

Rabu, 25 Mei 2011

Menang

    Si Jalin dan si Musa berdekatan rumah. Acap kali kedua anak itu berjalan-jalan bersama-sama.

    Pada suatu hari Jalin mengajak si Musa pergi kerumah pamannya. Jalan kerumah paman itu melalui kebun Pak Sidin. Didalam kebun itu amat banyak pohon, buah-buahan, durian, rambutan, mangga, manggis dan banyak lagi. Buahnya sedang masak-masak.

    Dekat pagar kebun itu ada sebatang pohon mangga. Sebuah dahannya terbelintang keluar pagar. Pada dahan itu bergantungan buahnya yang masak-masak. Kedua anak itu melihat keatas. Titik seleranya melihat buah kuning-kuning itu.

    Si Musa berkata, katanya : "Jalin, lihatlah mangga itu. Besar-besar, lagi kuning. Tentulah amat manisnya. Biarlah kita ambil sebuah. Marilah kita lempar". Sambil berkata itu dicarinya batu lalu diambilnya sebuah.

    Si Jalin menjawab: "Itu mencuri namanya. Apakah kata guru kepada kita disekolah?" Bukankah dilarangnya kita mencuri? Guru mengaji disurau mengatakan : Berdosa orang yang mencuri. Sebab itu saya tak mau mengambil mangga itu."

    "Kalau kita ambil sebuah dua, itu bukan mencuri namanya. Tentu yang empunya tak kan rugi karena mangga dua buah itu," kata si Musa.

    "Apa katamu?" tanya si Jalin. "Tak rugi? Kalau dijualnya laku sebenggol sebuah. Kalau kita ambil dua buah, dia rugi lima sen."

    Si Musa tak senang hatinya mendengar kata si Jalin itu. Dengan bersungut dilemparkannya batu yang dipegangnya. "Baiklah, marilah kita terus berjalan", katanya pula.

    Baru saja mereka itu hendak pergi dari situ, keluarlah Pak Sidin dari balik pagar. Ia membawa anjing seekor. Anjing itu besar lagi galak. Ditangannya yang sebelah ada sekeranjang kecil mangga. Kira-kira sepuluh buah isinya.

    "Besar benar hatiku", katanya "kamu tak jadi melempar mangga itu. Kalau kamu lempar tadi, tentu anjing yang galak ini kulepaskan. Untunglah nafsumu dapat kamu tahan. Sebab itu sekarang aku akan memberi apa-apa kepadamu. Inilah mangga sekeranjang. Ambillah olehmu!"

    Si Jalin dan si Musa amat besar hatinya. Mereka itu minta terimakasih kepada Pak Sidin, lalu meneruskan perjalannannya kerumah paman.


 ( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )






Selasa, 24 Mei 2011

Orang dalam bulan

    "Ibu", kata si Idris, "Terang benar malam sekali ini. Awan tak sedikit juga kelihatan. Lihatlah bulan dilangit! Bulat seperti ringgit. Kuning bersih seperti emas. Alangkah bagusnya!"

    Si Idris mengajak adiknya si Latifah yang baru berumur lima tahun pergi keluar, lalu duduk ditangga. Tiada berapa lamanya datanglah ibunya. Sebentar lagi neneknya. Keempat empatnya melihat kebulan itu.

    "Apakah yang kamu lihat dibulan itu, Pah?" tanya Neneknya. Si Latifah memperhatikan bulan itu benar-benar. "Seperti ada orang dalamnya, Nek", jawab si Latifah.

    "Ya, seperti orang duduk diatas suatu benda", kata si Idris. "Tetapi tiada terang kelihatan. Siapakah itu Nek?"

    "Dengarkanlah kuceriterakan", kata Nenek. Si Idris dan si Latifah duduk mendekati Nenek, karena mereka itu suka betul mendengarkan Nenek berceritera.

    Nenek berceritera:
    Dahulu kala adalah seorang-orang kaya lagi bangsawan, Pakaiannya amat bagusnya. Penuh dengan intan berlian. Cincinnya gemerlapan dijarinya.

    Pada suatu hari ia pergi keluar kota mengendarai kuda. Kuda itu putih dan tangkas. Amat gagah orang bangsawan itu kelihatannya, duduk diatas kuda yang putih seperti perak itu.

    Ditengah jalan bertemu ia dengan seorang perempuan tua. Dibelakangnya ada sebuah keranjang, penuh dengan sayur-sayuran yang dibelinya dipasar. Ditangan kanannya ia memegangi sebuah botol berisi minyak. Dekat orang tua itu betul kuda orang bangsawan tadi terkejut, mendengar bunyi menggeresek dalam semak. Kuda itu meringkik-ringkik dan melompat-lompat serta menaikkkan kakinya. Botol yang dipegang perempuan itu kena oleh kaki kuda itu, lalu jatuh. Minyak yang didalamnya tertumpah semuanya. Orang tua itu menangis melihat minyaknya tertumpah itu. Ia tidak beruang lagi akan membelinya. Apalagi pasar amat jauh.

    Orang bangsawan itu terbit kasihannya melihat perempuan tua itu. Iapun turun dari kudanya. Dimasukkannya tangannya kedalam sakunya akan mencari-cari uang untuk pengganti minyak yang tertumpah itu. Tetapi rupanya lupa ia membawa uangnya. Dengan apa akan digantinya minyak perempuan itu?" Ia tahu perempuan tua itu miskin.

    Tiba-tiba dapatlah olehnya akal. Digalinya tanah tempat minyak itu tertumpah, lalu diperasnya. karena kuatnya memeras itu, sekalian minyak yang didalam tanah itu keluar semuanya. Minyak itu disaringnya, lalu dimasukkannya kembali kedalam botol itu. Botol itupun penuh pula kembali sebagai semula. sedikitpun tiada kurang. Sesudah itu ia naik pula keatas kudanya.

    Waktu ia memeras tadi, kedengaran olehnya tanah yang diperasnya itu menangis dan berteriak: "Aduh, aduh sakitnya saya kau peras. Aku tak bersalah, tetapi engkau sendiri. Tak patut engkau tinggal diatas belakangku. Tentu engkau akan mendapat kukuman atas kelakuanmu yang bengis itu!"

    Setelah ia berkata itu, terjadilah suatu kejadian yang amat aneh.

    Kuda itu bersayap dengan tiba-tiba. Perlahan-lahan kuda itu naik keatas. Tiada berapa lamanya ia sampai kebulan.

    Nenek menunjuk kebulan dan berkata, katanya: "Itu yang hitam itu, itulah kuda itu. Yang duduk diatas punggungnya, orang bangsawan yang kuceriterakan tadi."

    Si Idris dan si Latifah menentang kebulan itu. Makin lama ia melihat, makin terang kelihatannya kuda dan bangsawan itu.

    Kalau bulan terang, kedua mereka itu melihat kebulan. Maka teringatlah oleh mereka itu akan neneknya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )






Anak yang nakal

    Si Chalik belum sekali juga naik kereta api. Ingin benar ia hendak mencoba sekali, tetapi ia tak beruang. Ibu bapaknya tak ada lagi tempat meminta. Sesudah lama berpikir dapatlah olehnya suatu akal. Biarpun pekerjan itu agak berbahaya tetapi hendak dicobanya juga.

    Dengan diam-diam naiklah ia masuk kereta api bersama-sama dengan penumpang-penumpang yang lain.

    Tak lama antaranya kereta itupun berangkatlah. Kondektur datang akan memeriksa dan menggunting karcis.

    Setelah tiba giliran kepada si Chalik, kondektur itu bertanya : "Mana Karcismu?"

    "Tak ada, Tuan", jawab si Chalik.

    "Kalau begitu engkau mesti didenda."

    "Saya tak beruang, tuan."

    "Kalau tak beruang mengapa engkau naik?"

    Si Chalik tak dapat menjawab. Akan dikatakannya ia sangat ingin hendak naik kereta api, tentu tak ada gunanya. Ia termenung sambil berpikir.

    "Mengapa engkau naik, kalau tak beruang?" hardik kondektur lagi.

    "Sebetulnya ada suatu rahasia yang hendak saya katakan kepada tuan", kata si Chalik dengan sungguh-sungguh.

    "Rahasia apa?"

    "Kesini-sinilah tuan sedikit, supaya jangan terdengar oleh orang lain. Ada dua orang tadi yang naik kereta ini tidak mempunyai karcis."

    "Dimana orang itu?" tanya kondektur, sambil melihat kekiri dan kekanan.

    "Saya takut mengatakannya sekarang, tuan, kalau-kalau ia marah pada saya. Nantilah kalau kereta sudah berhenti saya tunjukkan orang itu kepada tuan!"

    Ketika kereta sudah berhenti, kondektur itu datang mendapatkan Si Chalik dan bertanya: "Manakah kedua orang itu?"

    Sambil turun si Chalik berkata, katanya : "Saya seorang dan tuan seorang ................" lalu ia lari sekencang-kencangnya.


( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )






Gerhana Matahari. *)

    Dahulu kala tinggal dilangit dua orang raksasa, Lembu Culing dan Lembu Culung namanya.

    Lembu Culing itu hijau seperti rumput. Sebab itu dinamai Buta Ijo (raksasa hijau).

    Buta Ijo itu amat bengis. Orang-orang peladang amat takut kepadanya. Kalau Buta Ijo melayang-layang diudara, mereka itu lari ketakutan, karena Buta Ijo itu selalu mengganggu mereka itu. Sawah-sawah dan rumah-rumah orang habis dirusaknya.

    Sebab itu orang itu bermohon kepada Lembu Culung akan menghukumnya.
Keduanya sama-sama kuat. Tetapi kemudian kalah juga Lembu Culing. Lehernya putus. Badannya jatuh kebumi menjedi lesung. Kepalanya tidak jatuh, melainkan melayang-layang juga diudara.

    Sebab itu ia amat marah. Akan dibunuh dan ditelannya segala yang ada dilangit. Bintang-bintang tak berani lagi keluar. Mataharipun tak mau keluar dari rumahnya.

    Orang-orang pun menjadi susahlah, karena hari selalu gelap saja.

    Untunglah ada seorang pertapa. Orang pertapa itu meminta kepada matahari, supaya ia suka keluar pula seperti biasa. Ia bersumpah akan menolongnya, apabila Lembu Culing datang akan menelannya.

    Matahari amat baik hatinya. Suka menolong orang. Sebab itu keluarlah ia dari rumahnya akan menerangi bumi. Orang-orang bersorak-sorak keriangan.

    Tiba-tiba datanglah dengan kencangnya Lembu Culing dari jauh mendapatkan matahari akan menelannya. Mulutnya dingangakannya seluas-luasnya. Lalu ditelannya matahari itu. Haripun gelaplah.

    Seorang-orang tua menyuruh orang memukul lesung. Orang-orangpun berlarianlah kesana-kemari mencari bambu atau kayu. Maka dipukulnyalah lesung sekuat-kuat tulangnya.

    Bukan kepalang sakitnya terasa oleh Lembu Culing, karena badannya dipukul itu.

    Sebab itu matahari yang dimulutnya itu dimuntahkannya keluar.

    Haripun teranglah pula. Orang-orang berbesar hati.



*) Habis berceritera, perlu diterangkan, bahwa ceritera ini ceritera tahayul.

( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe )




Rabu, 18 Mei 2011

Melanggar pesan ibu

    Dihadapan sebuah rumah yang kecil kelihatan si Alimah menggendong adiknya, si Titi namanya. Si Titi baharu berumur beberapa bulan. Ketika itu ibunya pergi kepasar menjual hasil ladangnya. Bapaknya bekerja diladang. Si Alimah tinggal dirumah menjaga si Titi. Si Alimah seorang anak yang baik laku. Ia memakai baju putih dan sarung batik. Kepada si Titi ia amat sayang. Dicarikannya bunga-bungaan, supaya si Titi jangan menangis. Dibawanya bermain-main dan tertawa-tawa. Girang benar si Titi bermain dengan si Alimah.

    Si Alimah pandai menjaga adiknya. Sebab itulah ibunya meninggalkannya. Waktu akan berangkat kepasar ibunya berpesan, katanya : "Alimah, jaga si Titi baik-baik, ya! Jangan bermain jauh-jauh dan sekali-kali jangan ditinggal-tinggalkan! Ibu tak lama dipasar; lekas ibu pulang."

    "Ya, ibu!" jawab si Alimah, sambil menggendong si Titi dan membawanya bermain-main.

    Hari sudah pukul 10.00.  Si Titi sudah mengantuk. Dengan suara yang merdu dan lemah-lembut, si Alimah mendendangkan adiknya :
          "Boook-bobok, Titikuu boboook,
          Boboklah bobok nan maniiis bobok!
          Tiduruur-tidur adikkuu tidur,
          Tidurlah tidur  Titiku tidur!"

    Sambil berdendang-dendang si Alimah berjalan juga hilir mudik perlahan-lahan.

    Makin lama mata si Titi makin ruyup. Kepalanya disandarkannya kedada si Alimah. Tangannya disembunyikannya dalam selendang.

    Si Alimah memandang dengan sayang kepada adiknya.

    "Sudah hampir tidur!" katanya dalam hatinya.

    Si Alimah mendendangkan pula, sambil menepuk-nepuk belakang si Titi perlahan-lahan.

    Si Titi menguap beberapa kali. Dan tak lama kemudian iapun tertidurlah.

    Si Alimah kembali kehalaman rumahnya, lalu duduk dibawah pohon cempedak yang rindang. Penat juga ia menggendong si Titi.

    Dengan tersenyum disiahkannya rambut si Titi yang terurai kemukanya. Kemudian ditiup-tiupnya, supaya kering keringat yang didahinya.

    Sedang ia membela-belai adiknya, terdengar orang berseru dari seberang : "Alimaaah!"

    Alimah memandang keseberang jalan. Suara itu dikenalnya, suara kawannya Saleha, yang tinggal dihadapan rumahnya. Si Saleha anak yang manja dan suka bermain-main saja.

    Tak lama antaranya tersembul kepala si Saleha diantara daun-daun dipagar.
    "Mari kita bermain, Alimah!" kata si Saleha.
    "Saya mengasuh adik saya", jawab si Alimah.
    "Antarkan saja dia kepada ibumu!" kata si Saleha pula.
    "Ibu pergi kepekan", jawab Alimah.
    "Ah", kata si Saleha dengan kurang senang hatinya. "Saya ada mempunyai anak-anakan, baru dibawakan bapak dari kota. Baguus, mari lihat!"

    "Bawa saja kesini, saya lihat!" kata si Alimah.
    "Engkau saja datang kesini!" kata si Saleha pula.

    Hati si Alimah sangat ingin hendak melihat anak-anakan itu. Anak-anakan yang dibeli dikota, tentu bagus. Tetapi ibunya berpesan, jangan bermain jauh-jauh. Karena itu si Alimah diam, ia tiada menjawab lagi.

    Kemudian terdengar pula si Saleha berkata, katanya : "Tidurkah adikmu?"

    "Ya", jawab si Alimah sambil mengangguk.

    "Tidurkan saja dia keatas rumah! Dan datang kemari sebentar."

    Si Alimah tahu, ia tak boleh berbuat begitu. Tetapi karena hatinya sangat ingin hendak melihat anak-anakan itu, ia jadi bimbang. Kalau ditinggalkannya sebentar saja, tentu si Titi belum akan bangun. Sebentar saja, dan lekas kembali.

    "Baik, saya tidurkan dia sebentar", kata si Alimah. Ia naik keatas rumah. Si Titi dibaringkannya perlahan-lahan diatas balai-balai. Seketika lamanya dipandangnya si Titi, yang sedang tidur dengan senang. Diciumnya dahinya, lalu berjalan ia lambat-lambat keluar. Dihalaman ia berlari menuju rumah si Saleha.

    "Mana anak-anakanmu itu?" tanyanya.

    "Marilah!" kata si Saleha. "Saya tidurkan dalam tempat tidurnya". Kedua anak perempuan itu masuk kerumah.

    "Lihatlah!" kata si Saleha dengan angkuhnya. "Itu dia sedang tidur!"

    "O.., alangkah bagusnya!" kata si Alimah. "Boleh saya gendong sebentar?"

    Si Saleha memberikan anak-anakannya itu, lalu digendong-gendong oleh si Alimah.

    "O.., alangkah manisnya!" kata si Alimah pula. Semacam anak orang benar-benar. Matanya berkilat-kilat. Kalau bapak pergi kekota, saya suruh belikan pula nanti. Saya buatkan pula tempat tidurnya semacam ini dan ayunannya juga."

    Tiba-tiba kedua anak itu terkejut. Dari seberang terdengar pekik anak kecil menangis. Si Alimah melompat turun, lalu berlari kerumahnya. Dari pintu si Alimah menengok kedalam. Aduh, alangkah terkejutnya. Si Titi terbaring dilantai menangis memekik-mekik.

    Dengan kaki gemetar si Alimah melompat naik. Si Titi diambil dan didukungnya, dibujuk-bujuknya dengan perkataan yang manis-manis. Tak lama antaranya anak itu berhanti menangis dan tertawa melihat kakaknya. Aduh bukan main girang hati si Alimah. Rupanya si Titi tidak apa-apa, lalu dibawanya bermain-main. Tetapi anak itu tidak seriang biasa.

    Tidak lama kemudian, ibu pulang dari pekan. Dilihatnya air muka si Alimah agak lain. Hatinya merasa syak, apakah yang terjadi? Alimah ditanyainya mengapa ia semacam orang susah. Si Alimah lalu menceriterakan perkara si Titi jatuh itu.

    Si Alimah dimarahi ibunya dan dicubitnya juga beberapa kali. Tetapi hukuman yang berat bagi si Alimah bukanlah itu. Pada malamnya si Titi demam. Tiga hari tiga malam ia tidak bangun-bangun. Alangkah cemas Si Alimah ketika itu. Sekejappun si Titi tak ditinggalkannya. Mau ia sendiri sakit rasanya, asal si Titi sembuh kembali. Sepekan baru si Titi baik benar.

    Sejak itu si Alimah berjanji dalam hatinya, tidak akan meninggalkan si Titi waktu tidur.


( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )   




Piala Emas

    Pak Sumo tinggal dalam sebuah kampung di Mataram. Tidak jauh dari rumahnya ada sebuah candi, yaitu Candi Sari.

    Pada suatu malam pergilah Pak Sumo kecandi itu. Disana dilihatnya sebuah piala emas. Amat bagusnya piala itu. Letaknya dekat kaki sebuah patung yang amat besar. Ingin benar hati Pak Sumo hendak mempunyai piala itu. dengan perlahan-lahan pergilah ia kesana. Ia melihat kekiri dan kekanan, kedepan dan kebelakang. Tidak ada seorang juga waktu itu kelihatan olehnya.

    Setelah ia sampai ditempat piala itu, lalu diambilnya, disembunyikannya dalam bajunya. Sesudah itu pergilah ia pulang kerumahnya.

    Sesampainya dirumah, digalinyalah sebuah lubang dibawah balai-balai, tempatnya tidur. Piala itu dimasukkannya kedalam, lalu ditimbuninya. Sesudah itu pergilah ia tidur.

    Semalam-malam itu tak dapat ia tidur. Rasa-rasa ada saja orang yang mengintai kelakuannya dari celah-celah dinding rumahnya. Kemudian orang-orang itu masuk kedalam dan mencari piala itu kesana kemari dalam rumah itu. Bukan main takutnya waktu itu. Karena tak dapat tidur itu, iapun sakitlah. Sakitnya itu makin keras juga. Sebab itu pergilah ia kepada seorang dukun akan minta tolong. Lalu diceritakannyalah kepada dukun itu dengan sebenar-benarnya, apa yang sudah dikerjakannya malam tadi.

    Dukun itu membuka bukunya, menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata, katanya : "Penyakitmu ini payah benar. Piala emas yang kamu curi itu haruslah kamu kembalikan dengan selekas-lekasnya. Dewa yang menjaga Candi Sari itu amat marah kepadamu. Sebab itu pergilah kamu kesana. Bawalah kesana bunga rampai beserta kemenyan. Kemenyan itu kamu bakar dan piala itu kamu asapi. Sesudah itu letakkanlah kembali pada tempatnya."

    Pak Sumo minta terima kasih kepada dukun itu, lalu pulanglah ia kerumahnya.

    Apa kata dukun itu diturutnya semuanya.

    Sesudah Pak Sumo meletakkan pila itu kembali ditempatnya, terasa olehnya badannya berangsur baik dan tiada berapa lamanya hilanglah penyakitnya itu sama sekali.


( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



Bebas

    Ketika si Dullah pulang dari sekolah, ia singgah sebentar melihat jeratnya. Alangkah girang hatinya melihat seekor burung murai tergantung pada tali jeratnya itu. Dengan segera murai itu dibawanya pulang.

    "Apa gunanya burung murai itu padamu, Dullah?" ujar bapaknya. "Dagingnya tak dapat dimakan, dipelihara susah, sebab makanannya capung dan ulat. Lepaskan sajalah!"

    "Ah, jangan pak!" jawab si Dullah. "Nanti makanannya saya carikan disawah. Kalau sudah jinak, ia mau berbunyi, pak. Pagi-pagi kita sudah dibangunkannya, jadi tak akan terlambat saya pergi kesekolah."

    Bapak si Dullah tidak berkata lagi. Si Dullah memasukkan burungnya kedalam sangkar. Sebentar itu juga dicarikannya capung dan belalang. Tetapi burung itu tak mau makan. Ia menggelepar-gelepar saja dalam sangkar, sehingga bulunya banyak yang patah dan kepalanya berdarah.

    "Biarlah dahulu, sehari dua hari ini", kata si Dullah menyenangkan hatinya. "Nanti tentu ia jinak juga". tetapi beberapa hari kemudian tak juga jinak ia. Jangankan berbunyi, didekatipun tak mau.

    Pada suatu pagi si Dullah terburu-buru pergi kesekolah, karena hari sudah tinggi. Iapun berlari-larilah, supaya jangan terlambat datang. Tiba-tiba terpijak olehnya kaca, lalu luka dan darahnya mengalir. Si Dullah dibawa orang kerumah ibunya. Ia tidak dapat lagi berjalan, sebab lukanya parah.

    Berpekan-pekan si Dullah terkurung didalam rumahnya, karena kakinya masih sakit. Bukan main kesal hatinya. Diluar terdengar kawan-kawannya bermain-main bersuka-sukaan; ia terkurung tidak dapat keluar.

    Pada suatu pagi amat sedih hati si Dullah, melihat kawan-kawannya pergi berjalan-jalan kegunung dengan gurunya. Ia hanya dapat melihat dari jendela saja. Dalam bersedih hati, tampak olehnya burungnya sedang meromok pula. Matanya sedih benar memandang kepada si Dullah. Maka terasa dalam hati si Dullah, bahwa nasibnya sama benar dengan burungnya itu. Makin dipikirkannya, makin terasa olehnya. Rupanya itulah sebabnya burungnya itu meromok saja, tak mau makan dan berbunyi.

    Tiba-tiba berkata ia kepada ibunya, katanya : "Ibu, lepaskanlah murai itu!"

    Ujar ibunya dengan heran : "Mengapa dilepaskan, Dullah? Bukankah engkau sudah susah payah-payah menjeratnya?"

    "Biarlah, ibu. Rupanya ia bersedih hati saja terkurung dalam sangkar itu."

    Ibunya tersenyum dan murai itu dilepaskannya. Baru saja sangkarnya terbuka, burung itu terbang sambil berbunyi "Kicau, kicau!"

    "Nah, lihatlah girangnya, ibu. Baru saja ia terlepas, ia sudah berbunyi."

    "Engkau tentu begitu pula kalau kakimu sudah baik", ujar ibunya. "Sesa'atpun tak kan tertahan olehmu terkurung dalam rumah ini."

    Si Dullah diam saja. Dalam hatinya ia membenarkan betul perkataan ibunya itu. Sungguh sangat kesal hatinya terkurung semacam itu. Karena itu ia berjanji, tiada lagi akan menangkap-nangkap dan mengurung burung.

    Tiap-tiap pagi terdengar oleh si Dullah murainya dahulu berkicau-kicau dipohon dihadapan rumahnya.

    "Kicau, kicau, kicau!" Seolah-olah ia berseru : "Bangunlah Dullah, hari sudah siang!"


( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Rabu, 11 Mei 2011

Kong-Foe-Tze (Confucius)

    Dimana-mana saja didunia ini, nama Confucius lebih diketahui orang dari Kong-Foe-Tze. hanya orang Tionghoa sajalah yang menyebutkan Kong-Foe-Tze. Apakah sebabnya demikian? Orang Portugis, yang datang kenegeri Tiongkok dahulu, tak pandai atau amat susah menyebutkan nama Kong-Foe-Tze itu. Sebab itulah nama itu ditukarnya dengan nama Latin, yaitu Confucius. Kemudian termasyhurlah nama itu sekeliling dunia sebagai nama seorang filsuf besar di Tiongkok.

    Kong-Foe-Tze itu sebenarnya nama kehormatan, yang diberikan oleh orang Tiongkok kepadanya, yang artinya : mahaguru Kong. Namanya yang sebenarnya ialah Kong Tsying Ni.

    Ia dilahirkan 551 tahun sebelum Nabi Isa a.s., di Tsyu-Su, sebuah kota dalam kerajaan Lu. Waktu itu Tiongkok terbagi atas tiga belas buah kerajaan. Bertahun-tahun lamanya kerajaan-kerajaan itu bermusuh-musuhan. Itulah yang amat menyusahkan hati Kong-Foe-Tze. Sesudah tammat pelajarannya dicarinyalah ikhtiar akan menyelamatkan negerinya. Tak ada jalan yang lain kepadanya akan mencapai maksudnya itu, lain dari pada mendidik pemuda-pemuda Tiongkok dengan jalan memperbaiki budi pekerti mereka itu. Diajarkannya kepada mereka itu menghormati orang tuanya dan kaum kerabatnya, baik yang masih hidup, baik yang sudah lama meninggal dunia. Lain dari pada itu tiap-tiap orang wajib berbuat kebajikan.

    Makin lama makin banyaklah muridnya. Bersama-sama dengan murid-muridnya itu pergilah ia dari sebuah negeri kesebuah negeri akan mengembangkan ilmunya itu. Berjuta-juta orang yang menjadi pengikutnya. Iapun menjadi mahagurulah di Tiongkok.

    Banyak raja-raja di Tiongkok yang tunduk dan hormat kepadanya. Begitulah besarnya pengaruh Kong-Foe-Tze waktu itu. Sesudah wafatnyapun ia masih dihormati orang.

    Raja Mong Tze yang memerintah 200 tahun sesudah Confucius wafat, mengatakan, bahwa Kong-Foe-Tze itu seorang yang keramat. Makin lama percayalah orang, bahwa Kong-Foe-Tze itu pesuruh dari langit yang membawa kebaikan kedunia ini. Dimana-mana dibuat oranglah kuil untuk penghormatinya. Banyak pula ceritera-ceritera orang dahulu, tentangan Kong-Foe-Tze itu. Bukunya sampai sekarang masih ada.

    Sebuah diantara ceritera-ceritera itu adalah seperti dibawah ini.

    Malam Kong-Foe-Tse dilahirkan kedunia, datanglah seekor binatang Ki-Lin namanya. Lain benar rupa binatang itu dari binatang-binatang biasa. Tubuhnya seperti rusa, tetapi bersisik seperti ikan; kukunya seperti kuku kuda. Dikeningnya ada sebuah tanduk yang besar. Binatang itu hanya kelihatan, jikalau ada orang lahir, yang kemudian hari akan menjadi orang yang berpengaruh besar didunia. Itulah juga sebabnya tampak binatang itu, waktu Kong-Foe-Tse lahir. Binatang ajaib itu memuntahkan batu sebuah dari mulutnya, lalu berkata kepada Kong-Foe-Tze, katanya: "Putera Air sejati, kelak kamu akan menjadi orang yang amat berpengaruh."

    Ibu Confucius heran melihat binatang yang bagus dan ajaib itu. Tetapi ia berbesar hati karena ia tahu, apa artinya kedatangan Ki-Lin itu. Tak takut sedikit juga ia kepada binatang itu. Diikatkannya sebuah pita merah ditanduk, yang ada pada kening Ki-Lin itu. Sesudah itu lenyaplah binatang itu dari pemandangannya; tak tahu kemana perginya.

    Waktu Kong-Foe-Tse akan mangkat, yaitu 479 tahun sebelum Nabi Isa a.s., datanglah pula Ki-Lin. Dengan segera dapat orang mengenalnya, bahwa ia binatang yang dahulu, yang datang waktu filsuf besar itu lahir. Pita merah pada tanduknya masih jelas kelihatan.

    Waktu Kong-Foe-Tse melihat Ki-Lin datang, tahulah ia, bahwa ia tak lama lagi akan meninggalkan dunia yang fana ini. Maka berkatalah ia, katanya:
    "Gunung yang besar dan tinggi akan runtuh,
    "Balok yang besar akan patah,
    "Sayapun akan layu juga, seperti daun dan bunga".
    Sesudah berkata itu, iapun wafatlah.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Sesudah wafatnyapun ada lagi ceritera-ceritera yang menerangkan, bahwa Kong-Foe-Tse semasa hidupnya seorang keramat, yang ditakuti dan dimuliakan orang.

     Adalah seorang raja di Tiongkok, Tsin Tsyie Huong namanya. Enam buah negeri yang sudah ditaklukkannya. Sudah menjadi kebiasaan bagi baginda berjalan-jalan, melihat dan memeriksa negeri dan kota-kota yang masuk jajahannya. Negeri, tempat Kong-Foe-Tze dilahirkanpun sudah jatuh pula ketangan baginda.

    Pada suatu hari pergilah ia kenegeri yang baru dialahkannya itu akan melihat keadaan disitu. Tak lupa ia mengunjungi makam Kong-Foe-Tse. Makam itu disuruh bongkarnya, karena ingin ia hendak mengetahui keadaan didalamnya. Banyak orang yang memberi nasihat kepadanya jangan merusakkan makam keramat itu, tapi tak diindahkannya. Maka digali oranglah jalan dalam tanah, sampai ketempat Kong-Foe-Tse dikuburkan itu. Bagindapun masuklah kedalam. Kayu-kayu didalamnya masih baik dan kuat seperti dahulu. Sebuahpun tak ada yang rusak. Disebelah tempat jenazah Kong-Foe-Tse itu ada pula sebuah bilik. Disitu diletakkan orang tempat tidur, yang dipakai Kong-Foe-Tse ketika ia hidup. Dihadapan tempat tidur itu ada pula sebuah meja beserta empat buah kursinya. dekat meja itu ada pula sebuah lemari, penuh berisi buku-buku yang dibaca dan dikarang oleh Kong-Foe-Tse sendiri.

    Raja itupun masuklah kedalam bilik itu. Waktu dilihatnya tempat tidur yang bagus dan bersih itu, direbahkannya dirinya disitu akan melepaskan lelahnya. Tiada berapa lamanya kemudian bangunlah ia; sepatu Kong-Foe-Tse yang terletak dibawah tempat tidur itu diambilnya,lalu dipakainya. Dengan memakai sepatu itu berjalanlah ia hilir mudik dibilik itu.

    Tiba-tiba amatlah terperanjatnya melihat sebuah papan tulis terdiri saja dihadapannya. Tak tahu ia siapa yang membawanya kesana dan dari mana datangnya. Dipapan tulis itu tertulis dengan terang dan nyata :
    "Tsin Tsyie Huang sudah menaklukkan enam buah negeri.
    "Digalinya makam saya dan bertemu olehnya tempat tidur saya,
    "Tidur ia disitu dan dicurinya sepatu saya.
    "Tetapi, jikalau ia kembali ke Tsya Kiou, ia akan mati disitu."

    Waktu ia membaca yang tertulis itu, terbitlah takutnya, lalu diperintahkannya menutup kubur itu kembali dengan lekas. Tetapi itu tak ada gunanya lagi. kesalahan sudah dibuatnya; hukuman akan diterimanya.

    Apa yang dibacanya dipapan tulis dahulu terbukti semuanya. Setibanya dinegerinya, iapun sakitlah. Beberapa doktor dipanggilnya akan mengobatinya, tetapi tak menolong. Penyakitnya makin lama makin keras. Akhirnya mangkatlah ia.

    Banyak lagi ceritera-ceritera yang dapat kita baca dalam buku-buku tentang keramat dan kesaktian Kong-Foe-Tse itu.


( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )






Selasa, 10 Mei 2011

Dateng Ngayogyakarta [Ing jaman rumiyin] (2)

    Dalu boten kacriyos; enjingipun pun Sardiman bade ningali tedakipun Kanjeng Sinuwun.

    Sareng sampun jam sekawan, lajeng dipun ajak ningali dateng margi ageng. Ingriku tiyang-tiyang sampun jejel. Sapinggiring margi kiwa tengen, wiwit saking alun-alun sapengaler dumugi pacinan, tiyang sampun boten kenging dipun piyak. Ewa dene saking ngudinipun, lare kalih wau saged angsal enggen radi sekeca.

    Boten dangu mriyem (meriam, Ind.) mungel, gleger! pratanda Kanjeng Sinuwun wiwit tedak. Nunten ketingal perajurit abayak-bayak sabregada; panganggenipun sami sedaya; namung dedamelipun, ingkang sepalih senjata, sepalih waos. Lajeng sabregada malih; penganggenipun geseh kaliyan ingkang rumiyin; dedamelipun inggih palihan. Jayus nyariyosaken namanipun prajurit wau sagolongan-sagolongan. Urut-urutanipun mekaten : Ingkang wonten ngajeng piyambak prajurit Wirabraja; tiyang katah mastani prajurit Irabraja. Nunten prajurit Ketanggung, Daeng, Jagakarya, Prajurit Kawandasa, lajeng prajurit Prawiratama. Sawingkingipun punika lajeng abdi dalem priyantun Miji Soma-atmaja, lajeng Bupati nayaka sekawan. Sawingkingipun Prajurit Kawandasa wonten kreta sae sanget; kapalipun tigang rakit, Punika titihanipun Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.

    Lajeng ketingal kapal rakitan malih; ingkang ngajeng dipun tumpaki tiyang, penganggennipun kados saradadu ngangge bulu-bulu. Sardiman sumlengeren ningali. Kapalipun kawan rakit, ulesipun sami sedaya, tur ageng-ageng lan bagus-bagus; dandosanipun inggih sae-sae. Setunggal-setunggalipun kapal dipun cepengi ing tiyang setunggal; penganggenipun inggih bregas.

    Nunten ketingal kreta ageng gumebyar; kusiripun ngedangkrang nyepengi lis; penganggenipun bregas sanget. Sardiman sangsaya sanget gumunipun; dereng nate sumerep tetingalan ingkang kados mekaten. Criyosipun Jayus, kreta punika namanipun Kyai Garuda Yeksa. Dene ingkang nitihi Kanjeng Sinuwun; milanipun songsongipun mekrok.

    Ing sakiwa tengening kreta titihan dalem, para priyantun abdi dalem ingkang sami ngurung-urung; ing wingkingipun lajeng priyantun Suranata; ing wingkingipun malih, priyantun Ngampil; dene ingkang dipun ampil, waos.

    Sawingkingipun punika lajeng kreta titihanipun para pangeran; kapalipun kalih rakit ageng-ageng inggih sae-sae; dandosanipun sarwi endah. Kretanipun inggih ageng-ageng, ngungkuli kreta ingkang limrah-limrah punika.

    Nunten wonten malih prajurit sabregada, dedamelipun werni-werni, nanging boten wor-suh; sagolongan mbekta jemparing kaliyan gendewa sarta tameng; sagolongan dedamelipun senjata; sagolongan towok; sagolongan malih waos. Criyosipun Jayus, punika namanipun prajurit Nyutra.

    Ing wingkingipun punika wonten prajurit malih, taksih kalih bregada; ingkang sabregada nama prajurit Langenastra, setunggalipun nama Mantri-Jero.

    Boten antawis dangu, tiyang-tiyang ingkang ningali lajeng sami bibar; lampahipun pating blulung. Wonten ingkang ngupadosi kancanipun, wonten ingkang ngupadosi anakipun; mergi-mergi dalah ingkang tengah barang kebak tiyang. Kreta sewan lajeng wiwit kenging mlampah malih wonten ing mergi ngriku; sempritanipun pating cruwit, sambukipun pating cletor.

    Sardiman kaliyan Jayus lajeng sami mantuk. Sardiman, saking enggenipun ngangen-angen apiking tetingalan wau, ngantos blangkemen. Dumugi ing griya saweg saged gineman urut. Benjingipun Sardiman mantuk dateng Banyumas; wonten ingriku gupruk enggenipun nyariyosaken samukawis ingkang dipun tingali.


( bersumber dari buku "Kembang Setaman" )





Kamis, 05 Mei 2011

Dateng Ngayogyakarta [Ing jaman rumiyin] (I)

    Sardiman griyanipun ing Banyumas, pinuju tuwi saderekipun misan nama Jayus ing Ngayoja. Satunggaling dinten dipun jak ningali dateng Taman-Sari. Enggenipun bade mlebet ngangge minggah inginggiling gapura.

    Sareng sampun dumugi inginggilipun gapura, Sardiman sumlengeren, sumerep griya kina pating jenggeleg, payonipun kados sirap; ingkang dipun damel sedaya banon. Lajeng sami mandap, nunten nglangkungi mesri menggak-menggok anjog ing blumbangan ageng. Jayus criyos, yen punika tilas bale kambang, kangge pasiramanipun para putri. Ing pinggiring bale kambang wonten griyanan alit, inggih sarwa tembok dalah payonipun. Criyosipun ingriku ing rumiyin panggenanipun Kanjeng Sinuwun, menawi lenggah mriksani lelangen ing salebeting toya.

    Nunten dipun jak mubeng-mubeng mengidul, lajeng mengaler. Ingriku nglangkungi mergi ing salebeting siti, radi peteng kaliyan jenes; inginggilipun inggih wonten marginipun; margi wau kalih-kalihipun anjog dateng sumur gumuling. Sardiman sampun boten sumerep ler kidul, boten telas-telas gumunipun. Ingkang dipun gagas, kala enggalipun mendah apikipun.

Taman Sari
    Sareng enggenipun mubeng-mubeng sampun wetawis sajam dangunipun, meksa dereng kemput, lajeng ngajak medal, sabab kuwatos, mbok menawi kejugrugan. Jayus inggih nuruti, sabab Sardiman ketawis yen ajrih yektosan. Lajeng dipun jak dateng alun-alun kidul. Lampahipun anjog ing gajahan. Ingriku wonten gajahipun kalih dipun cancang ing wantilan. Ingkang nama wantilan punika : saka ageng gilig. Menawi gajah kemawon, Sardiman sampun nate sumerep, wonten kemidi kapal; ing Banyumas inggih asring wonten. Ananging wonten ing gajahan ngriku dipun tedahi rekanipun gajah yen neda klapa. Jayus tumbas klapa kalih dateng tiyang ingkang ngleresi dasar wonten ingriku, dipun sukakaken dateng sratinipun, kapurih makakaken gajah satunggal-satunggal. Klapa lajeng dipun uncalaken dumawah ing ngajenging gajah; nunten dipun candak ngangge tlale, dipun kepruk ing mester. sareng toyanipun wonten ingkang mancur, lajeng dipun langga. Kok pinter! Sareng sampun asat, lajeng dipun selehaken ing mester, dipun ulig-ulig ngangge suku; batokipun katah ingkang nglokop, nunten dipun emplok. Wonten batok sekedik-sekedik ingkang taksih nemplek ing klapa, katut dateng lebet cangkem, dipun lepeh, namung kantun batok kemawon, klapanipun sampun dipun teda. Sardiman enggenipun ngingetaken njomblong. saweg punika sumerep gajah neda klapa. Kok kados neda beton kemawon.


( bersumber dari buku "Kembang Setaman" )




Sahabat yang setia

    Dahulu kala dinegeri Hindustan adalah dua orang muda bersahabat. Sangatlah karib persahabatan keduanya. Yang seorang bernama Aria dan yang seorang lagi Satia namanya.

    Adapun raja dalam negeri itu sangat keras hukum baginda. Siapa bersalah, biar sedikit, berat sekali hukumannya.

    Pada suatu hari Aria tertuduh berbuat suatu kejahatan. Maka kepadanya dijatuhkan hukum mati oleh raja.

    Hukuman itu diterima oleh Aria. Tetapi ia bermohon kepada raja, supaya ia diberi izin dahulu menemui ibu-bapanya, sebelum ia menjalankan hukuman.

    Titah raja: "Boleh engkau pergi, tetapi mesti ada orang yang akan pengganti engkau. Jika engkau tidak kembali, orang itulah yang akan dihukum mati."

    Aria sangat susah hatinya. Siapakah yang akan suka menggantikannya? Ia telah lupa kepada sahabatnya Satia, yang ada juga hadir dalam pengadilan itu.

    Tiba-tiba Satia maju kemuka, lalu berdatang sembah: "Patiklah yang akan menggantikannya, tuanku."

    Raja heran melihat anak muda itu. Titah raja: "Hai orang muda, percayakah engkau ia akan kembali kelak?"

    Sembah Satia: "Patik percaya, tuanku! Ia akan kembali pada waktu yang dijanjikannya."

    Pada sa'at itu juga Aria berangkat kenegerinya dan Satia dimasukkan orang kedalam penjara akan menggantikan sahabatnya.

    Hari akan menjalankan hukuman bertambah dekat jua. Tetapi Aria belum juga kembali. Dari sa'at kesa'at waktu itu makin dekat. Akhirnya sampailah ketikanya hukum mati itu akan dijalankan. Ketika itu Aria belum juga datang.

    Keliling tanah lapang, tempat menjalankan hukuman itu, sudah penuh sesak oleh manusia. Mereka itu menyesali perbuatan Satia. Mengapa ia percaya saja janji sahabatnya itu? Sekarang ia sendiri yang mesti mati karena kebodohannya itu. Perempuan banyak yang menangis mengenang nasib anak muda yang malang itu.

    Akan tetapi Satia sabar dan tenang saja. Tak ada gentar dan takutnya. "Kalau sahabat saya itu tidak datang pada waktunya bukanlah karena salahnya", kata Satia kepada orang-orang yang menyesalinya. "Saya tetap percaya padanya."

    Satia berjalan menuju tiang gantungan. Langkahnya tetap dan air mukanya tenang. Hanya orang yang melihat sangat gelisah dan hatinya berdebar-debar.

    Ketika algojo mengenakan tali keleher anak muda itu, tiba-tiba dari dalam orang banyak itu berlari seorang orang anak muda. Orang banyak itu didorongnya kekiri dan kekanan, lalu ia masuk ketengah gelanggang.

    Dengan napas terengah-engah dipeluknya Satia. Anak muda itu ialah Aria. Ia terlambat datang, karena dijalan hari hujan besar. Sungai yang akan diseberanginya sedang sebak airnya, jambatannya hanyut oleh bah. Lain dari pada itu ia ditahan oleh sekawan penyamun. Karena keberaniannya, ia dapat melepaskan dirinya. Dengan secepat-cepatnya ia berlari, supaya ia jangan terlambat tiba menjalankan hukumannya.

    Mendengar cerita Aria itu hati raja sangat terharu. Terasa benar oleh baginda, betapa kokohnya kesetiaan kedua sahabat itu.

    Dengan muka berseri-seri raja bertitah, sabdanya: "Hai Aria, karena kesetiaanmu itu, kita ampuni engkau dari hukumanmu. Persahabatanmu kedua susah didapat, mahal dicari. Sebab itu mulai dari sekarang, jadikanlah kita sahabatmu yang ketiga!"

    Kedua sahabat itu mengucap syukur mendapat ampun itu, apalagi rajapun telah menjadi sahabatnya pula.


( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )

Pemberian orang jangan dihinakan

    Pada suatu hari si Saleh, si Samat dan si Samsi pergi keladang. Setelah selesai kerjanya duduklah mereka itu akan makan. Ketika itu tampak oleh mereka itu seorang orang-tua. Rupanya ia baru datang dari berjalan jauh, karena kelihatannya sangat lelah dan lapar.

    Kata si Saleh: "Hai kawan, marilah kita berikan nasi kita ini sedikit kepada orang tua itu!"

    Jawab keduanya: "Ah, segala orang lalu akan diberi makan. Untuk awak saja tidak akan cukup."

    Kata si Saleh: "Tidak baik seperti itu! Kita dirumah nanti akan dapat juga makan kenyang. tetapi ia belum tentu. Boleh jadi ia orang yang sengsara, sudah beberapa hari tiada makan."

    Akhirnya Samat dan Samsi menurut. Orang tua itu makan dengan kenyangnya. Ketiganya amat senang melihatnya. Setelah sudah ia makan, orang tua itu berkata: "Beruntung benar saya bertemu dengan engkau ketiganya. Sekarang saya merasa sudah hidup kembali, karena kemurahan hatimu. Dengan apalah akan saya balas budimu itu? Saya ini orang melarat dan sengsara, tak mempunyai suatu apa. Tetapi saya ada mendapat tiga buah biji dijalanan. Ambillah biji ini, tanam diladangmu. Barangkali ada juga hasilnya." Sesudah berkata itu iapun pergilah.

    Ketika mereka itu tinggal bertiga saja lagi, Samat dan Samsi berkata sambil tertawa-tawa: "Cis.., biji ini untuk pembalas budi? Dihalaman rumahku bagai kersik dipantai. Biarlah ia tumbuh dalam hutan itu!" Biji itu dilantingkannya jauh-jauh kedalam semak.

    Kata si Saleh: "Tidak baik seperti itu. Betapapun macamnya pemberian orang, tak baik dihinakan. Biarpun barang yang tak berharga, harus diterima juga dengan baik. Siapa tahu orang itu orang keramat! Biji yang diberikannya itu menjadi pohon yang berbuah emas."

    Mendengar itu Samat dan Samsi makin tertawa-tawa. "Hai buyung!" katanya: "Bukan begitu macamnya orang keramat; pakaiannya saja macam dimanah anjing rupanya. Kalau orang keramat masakan ia hampir mati kelaparan. Belum tahu juga engkau membedakan orang minta-minta dengan orang keramat."

    Si Saleh tak menjawab lagi. Tetapi dalam hatinya sudah tetap tak kan membuangkan biji pemberian orang tua itu. Biarpun tidak akan berbuah apa-apa, akan ditanamnya juga sebaik-baiknya.

    Beberapa pekan sudah itu biji yang ditanam si Saleh sudah tumbuh. Hatinya sangat girang dan dipeliharanya baik-baik. Kedua kawannya makin mentertawakannya, tetapi tidak dipedulikannya.

    Pohon si Saleh sudah besar, tumbuhnya subur dan daunnya rimbun.

    Pada suatu malam ia bermimpi. Rasanya pohonnya itu betul-betul berbuah emas. Maka kaya rayalah ia serta dihormati orang. Ia diam dalam sebuah istana yang indah. Setelah ia terbangun hatinya berdebar-debar. Benarkah pohonnya itu berbuah emas nanti? Kalau benar, betapalah sukacitanya! Mimpi itu diceritakannya kepada kedua kawannya. Mula-mula Samat dan Samsi mentertawa-tawakannya. Tetapi kemudian bimbang ia, kalau-kalau benar mimpi si Saleh itu. Keduanya mulai menyesal karena membuangkan bijinya dahulu.

    Pada suatu hari berbungalah pohon si Saleh dan tiada berapa lama antaranya berputik. Alangkah kecewa si Saleh, karena putiknya bukanlah emas, melainkan putik mangga biasa saja.

     Samat dan Samsi memperolok-olokkan kawannya pula, katanya: "hai Saleh, kami lihat pohonmu berputik mangga, tidak berputik emas. Bagaimanakah pemberian orang keramatmu itu?"

    Tetapi Saleh diam saja. Hatinya disenangkannya dengan pohon mangga yang berbuah lebat itu.

    Buah itu makin lama makin besar dan kuning-kuning. Setelah masak benar, maka dipetiklah oleh si Saleh lalu dibawanya kepasar. Laris benar mangganya, karena manis dan elok warnanya. Banyak ia mendapat uang dari harga mangganya itu. Biarpun tidak cukup untuk pembeli sebuah istana, tetapi baginya sudah banyak.

    Ketika sampai dirumah, dipanggilnyalah kedua kawannya itu. Kata Saleh: "Lihatlah, pohonku itu benar tidak berbuah emas, tetapi ada berbuah perak dan tembaga. Inilah dia!"

    Saleh menuangkan isi pundi-pundinya keatas tikar, berdencing-dencing bunyinya. Samat dan Samsi tercengang-cengang melihat. Sesalnya timbul pula kembali, karena membuangkan biji yang diberikan orang tua itu.


( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )

Rabu, 04 Mei 2011

Pisang Emas

    Tersebutlah pada zaman dahulu seorang raja ditanah Mesir, yang amat adil dan murah. Baginda amat dicintai dan disayangi oleh segala rakyat.

    Pada suatu hari terniatlah oleh baginda hendak mendirikan sebuah istana baru, karena istana baginda sudah tua. Sudah jadi kebiasaan pada zaman itu, jika hendak melakukan suatu pekerjaan besar, maka dipanggillah ahlunujum akan menentukan bila waktunya yang baik akan memulai pekerjaan itu. Demikianlah baginda meyuruh panggil seorang ahlunujum yang mashur.

    Setelah datang, raja itu bertitah sabdanya : "Hai ahlunujum, cobalah lihat nujummu, bilakah waktu yang baik mendirikan sebuah istana yang besar!"

    Sembah ahlunujum : "Harap diampun tuanku, dengan titah yang mahamulia akan patik tilik didalam nujum patik. Maka dibukanyalah kitab nujumnya, lalu dibilang -bilang dan diramalkannya.

    Setelah sejurus lamanya, sembahnya: "Harap diampun tuanku, pada tilik patik, tiga kali tujuh hari lagi, pada petang Kamis malam Jum'at, pukul dua belas tengah malam. Ketika itulah masa yang sebaik-baiknya tuanku mendirikan istana itu. Bukan tuanku saja akan berbahagia olehnya, istana tuanku pun akan menjadi emas."

    Titah raja dengan sukacitanya: "Apa katamu, istana kita akan menjadi emas?"

    "Begitulah menurut nujum patik, jika istana itu dikerjakan betul-betul pada waktu dan sa'atnya."

    Titah baginda pula: "Hai ahlunujum, inilah hadiah kita, terimalah!" Lalu baginda memberikan sebuah pundi-pundi berisi emas. Sudah itu raja menitahkan kepada segala menterinya akan menyediakan ramuan-ramuan yang perlu untuk mendirikan istananya itu.

    Didalam tiga pekan itu orang bekerja siang malam menyediakan apa-apa yang perlu. Diistanapun orang hampir tak dapat tidur, karena memikirkan kejadian yang ajaib itu.

    Akhirnya sampailah kepada hari akan mendirikan istana itu. Sekalian ramuan sudah sedia. Tetapi semua mereka itu letih lesu, sebab tiada tidur-tidurnya.

    Hari telah malam. Beribu-ribu tukang menantikan sa'at yang penting itu. Makin jauh malam, makin letih dan lesu sekaliannya serta sangat mengantuk. hampir sampai tengah malam tertidurlah sekaliannya; demikian juga orang dalam istana. Waktu hari akan siang, barulah mereka terjaga. Lekas-lekas dimulainya mendirikan istana itu.

    Tetapi apakah jadinya? Istana itu tidak menjadi emas, melainkan sebagai istana biasa saja.

    Demi raja mendengar kabar itu, bagindapun sangat sedih. "Apakah sebabnya seperti ini?" pikir baginda. "Berdustakah ahlunujum itu atau yang mengerjakankah yang salah?" Dalam baginda berpikir-pikir demikian, seorang menteri datang menghadap, lalu sembahnya: "Tuanku, diluar kota orang gempar, karena diladang si Hasan ada pisang berbuah emas."

    Titah baginda dengan tercengang: "Hai menteriku, sebenarnyakah perkataanmu itu?"

    "Sebenarnya tuanku, banyak orang yang telah melihat."

    Titah raja: "Kalau begitu suruh panggil peladang itu kemari!"

    Maka dipanggil oranglah si Hasan. Setelah ia sampai keistana, raja bertitah; sabdanya: "Hai Hasan, benarkah pisangmu berbuah emas?"

    Sembah si Hasan : "Dengan kehendak Yang Mahakuasa, sebenarnyalah pisang patik berbuah emas, tuanku."

    Titah raja: "Bagaimanakah jalannya maka demikian?"

    Sembah si Hasan: "Tiga pekan yang lalu patik mendengar kabar, bahwa ahlunujum telah meramalkan istana tuanku akan menjadi emas, jika didirikan tengah malam petang Kamis malam Jum'at. Malam itu patik berjaga-jaga pula. Waktu tengah malam tepat, patik tanamkan pisang patik itu. Keesokan harinya patik lihat, pisang itu telah berbuah emas."

   Demi raja mendengar perkataan si Hasan, bagindapun maklum apa sebabnya istana baginda tak menjadi emas. Tentu terlalai orang yang mendirikannya, tidak pada waktu yang telah disebutkan ahlunujum itu. Kelalaian itulah yang telah merugikan baginda. Baginda sangat murka, lalu menyuruh hukum mereka yang lalai itu.

    Adapun si Hasan peladang kayalah. tetapi tiada sombong dan kikir ia karena kekayaan itu. Ia selalu suka menolong orang yang miskin dan sengsara.

    Setelah peladang itu mati, pisangnya tiadalah berbuah emas lagi, melainkan berbuah sebagai biasa. Kata empunya cerita, pisang itulah asalnya pisang emas kita sekarang ini.


( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )



Majeng (II)

Ing ngajeng sampun kula cariyosaken, menawi tiyang betah yatra, adatipun inggih saged angsal sambutan. Nanging yatra punika wonten anakanipun; mangka anakanipun asring boten mekakat katahipun. Sarehning kepeped, inggih dipun tempah, boten etang pawingkingipun bade karisakan. Prelunipun namung nyekap betahipun ing sanalika punika, kadosta dipun angge ngragadi sabinipun.

Tiyang ingkang nyambeti wau wonten ingkang tegelan, wonten ingkang boten. Ingkang tegelan punika, sampun boten sanak tiyang, sanakipun namung yatra kemawon. Senajan ingkang nyambut enggenipun nyaur utawi nganaki ngantos megap-megap, inggih boten dipun preduli, janji tampi yatra kemawon. Tiyang ingkang tegelan mekaten punika inggih pancen adamel tiwasipun sesami-saminipun tiyang; nanging tiyang ingkang nyambut, saleresipun inggih awasta kainan. Tiyang sampun sumerep yen boten gadah yatra, kok asring gumaib tumbas punapa-punapa ingkang pancenipun kenging dipun endakaken. Tiyang ingkang mekaten punika inggih boten patut dipun pasrahi punapa-punapa. Dene tiyang ingkang nyambuti punika, sarehne kuwatos menawi kapitunan, dados enggenipun neda anakan inggih dipun katahi kemawon.

    Ingkang punika milanipun sampun asring nyambut, menawi kinten-kinten bade boten saged nyaur. Tetumbas punapa-punapa sae kenceng kemawon. menawi boten gadah yatra, inggih sampun tetumbas. Tiyang punika boten kenging; menawi njagekaken panenan, mangke pantunipun rak gabug! Tiyang-tiyang tani inggih sampun sami sumerep, menawi tiyang nyambut pantun dipun angge bibit, panyauripun asring tikel tinimbang kaliyan menawi kenceng. Ewa semanten kok taksih pinten-pinten ingkang boten ngatos-atos.

    Mestenipun wonten ingkang batosipun mekaten: "Menging nyambut punika gampil kemawon, angger tiyang inggih saged." Boten mekaten; inggih pancen angel tiyang nyandet manahipun, enggenipun bade nyambut; nanging yen dipun udi, inggih saged. Rekanipun mekaten: menawi ngleresi gadah yatra, mangka kepengin tumbas barang ingkang boten patos prelu, punika dipun candeta. Punapa malih menawi bade dipun angge ropyan-ropyan, sampun pisan-pisan dipun turuti. Sabab menawi emben wingking kekirangan yatra, susahing dipun sangga piyambak. Kaliyan malih menawi ngleresi panenan punapa-punapa, sampun enggal-enggal dipun sade sadaya, sabab regenipun taksih mirah; sampeyan ngentosi menawi regenipun sampun mindak. Menawi gadah kajeng punapa-punapa, inggih dipun candeta rumiyin.

    Menawi lebar panen jenggleng, pantun lajeng byuk-byukan dipun ujangaken, regenipun mesti mirah sanget. Sangsaya katah ingkang ngujangaken, regenipun sangsaya mlorod.

    Menawi sadangunipun dereng panen, betah yatra sawetawis, inggih sae pados sambutan ingkang anakanipun mirah-mirahan kemawon. dene penyauripun sampun ngantos lebar panen plek; sageda let kalih wulan utawi tigang wulan kaliyan panen.

    Anggenipun pados sambutan ingkang mirah anakanipun dateng pundi? Dateng bang negari utawi bang dusun (Bank Negara atau Bank Desa). Menawi ing dusun boten wonten bang, dateng lumbung dusun inggih saged. Ing jaman sapunika Pamarintah sampun ngedegaken bang pinten-pinten, prelunipun kangge mitulungi tiyang alit ingkang sami betah yatra; anakanipun mirah. Dene bang wau, sagedipun angsal pawitan yatra ingkang dipun lampahaken punika, saking tiyang-tiyang ingkang sami nyelengi yatra ngriku: ingkang nyelengi punika inggih angsal anakan sekedik.

    Ingkang nglampahaken bang punika kedah dipun bayar. Bang wau kedah gadah celengan piyambak kangge jagi-jagi menawi manggih bilai utawi dipun kemplang ing tiyang ingkang sami nyambut. Milanipun enggenipun neda anakan, katahipun ngungkuli enggenipun nyukani anakan dateng ingkang nyelengi. Kaliyam malih tiyang kedah tumbas dlancang, mangsi lan pirantos sanes-sanesipun, kangge kabetahanipun nglampahaken bang wau.

    Dados genahipun prelunipun bang punika mekaten :
1. Kadosta menawi prelu teda ing mangsa awis teda. Utawi kangge ngragadi penggarapipun sabin, lan sapinunggilanipun.
2. Bang ing dusun kangge njageni bakul alit-alit, supados sampun nyambut dateng tiyang ingkang damelipun nglampahaken yatra. Sabab tiyang wau yen neda anakan, asring boten dugi-dugi; terkadang ngantos sedasa persen sedinten.
3. Bang ing negari, prelunipun kangge mitulungi tiyang ingkang betah yatra katah. kadosta kangge tumbas raja-kaya, kangge nyewa siti ingkang bade dipun tanemi sata utawi rosan. Utawi kangge ngragadi penggarapipun pasiten wau. Dados tiyang tani lajeng asring pados-pados sambutan dateng tiyang ingkang nganakaken  yatra. Kaliyan malih damelipun kangge ngrimati yatranipun bang ing dusun ingkang tumando. Dene bang ing negari-negari ingkang celak pesisir, mitulungi tiyang ingkang damelipun pados ulam. Kangge tumbas baita utawi payang lan sapinunggilanipun.

    Wonten malih bang ingkang mkitulungi para kriya, kadosta: Pande, Tukang Kajeng, Tukang Sela, Kemasan, Sayang lan Sapenunggilanipun.

    Dados adegipun bang ing dusun lan negari, prelunipun kangge mitulungi tiyang-tiyang, sampun ngantos mbayar anakan katah-katah. Kaliyan malih kangge nuntuni dateng lampah gemi lan nyelengi. Sabab menawi tiyang boten purun nyelengi, inggih boten saged majeng-majeng.


( bersumber dari buku "Kembang Setaman" )

Selasa, 03 Mei 2011

Majeng (I)

Rumiyin ing dusun-dusun utawi ing pekampungan, menawi wonten tiyang bade mbedol griya utawi ngedegaken griya alit-alitan kemawon, tiyang wau lajeng nyambat dateng tangga tepalihipun.

    Tiyang sambatan wau boten ngangge dipun epahi, namung dipun ingahi kemawon sapantesipun. Ingkang mekaten punika adamel mayaring tiyang ingkang gadah perlu. Sarehning lampah mekaten punika gentosan, inggih boten wonten ingkang ngresula, malah enggenipun nyambut damel ketingal sengkud. Menawi ngleresi ngunjukaken empyak, swaranipun tiyang pating brengok. Kajengipun sami ngelikaken utawi nanjangi kanca-kancanipun ingkang sami sesarengan nyambut damel punika. Sarehning enggenipun nyuwara punika sesarengan, dados inggih presasat tanpa damel, sabab satunggil-tunggiling tiyang namung kepireng swaranipun piyambak kemawon. Ananging sarehning sampun kulina mekaten, kok inggih tumindak. Sedinten kemawon griya sampun saged madeg, payon sampun brukut. terkadang gedegipun inggih sampun katah ingkang dipun etrapaken. Sagedipun rikat punika margi pedamelanipun dipun bage-bage. Wonten ingkang dipun patah damel tutus, wonten ingkang dipun patah atrap payon. Wonten ingkang dipun patah atrap gedeg lan sapanunggilanipun. Ingkang mekaten punika inggih kados cara-caraning tiyang gegriya: wonten ingkang bebahanipun pados teda, wonten ingkang dipun patah olah-olah, wonten ingkang dipun patah resik-resik. Tiyang jaler pados teda, tiyang estri ngopeni kayanipun tiyang jaler lan ngrantengi tetedan. Anak estri ngrencangi biyung, anak jaler ngrencangi bapa. Menawi anak taksih alit, srabudan : jaler estri boten ajeg pedamelanipun. Asring ngrencangi bapa asring ngrencangi biyung, namung miturut sakuwawinipun kemawon, kados ta: pados kajeng bong, ngintun dateng sabin, ngangsu, nyapu, asah-asah piring lan sapenunggilanipun.

    Wau sampun kula cariyosaken, menawi caranipun ing dusun utawi pekampungan punika kados caranipun tiyang gegriya. Menawi wonten tiyang salah satunggil ingkang manggih kesusahan, tiyang sanes-sanesipun inggih tumut susah. Menawi ingkang satunggal manggih pakewed, sanes-sanesipun mitulungi. Menawi ingkang setunggil gadah damel, ingkang sanes-sanesipun tetulung utawi nyumbang wragading gadah damel wau.
Dados adamel enteng dateng tiyang ingkang gadah damel. Menawi ing dusun bade dipun damelaken mergi, lajeng gugur gunung. Sadaya sami tumandang. Mekaten ugi menawi bade damel wangan, dipun angge mergi toya dateng sabin. Menawi damel kreteg inggih mekaten. Dene ingkang  jagi utawi nganglang ing wanci dalu inggih dipun damel giliran; mekaten wau sadaya murih mayaripun. Dados tiyang punika tansah tulung-tinulung. Pancen mekaten lampahipun ing ndonya punika. Kadosta menawi tiyang bade nyerat. Ingkang ndamelaken pen piyambak; ingkang ndamelaken mangsi piyambak; ingkang ndamelaken dlancang piyambak; ingkang ndamelaken meja, kursi utawi gelaran papaning nyerat, piyambak.

    Pedamelan ingkang kawraten utawi kangelan tumrap dateng tiyang setunggil, menawi dipun garap ing tiyang katah, saged mayar.

    Tiyang tani anggenipun ngupakara dateng tetanemanipun inggih ngangge pitulunganipun tangga tepalihipun. Kadosta menawi ngleresi tanem utawi ngeneni sabinipun, inggih ngangge nyambat tiyang sanes. Terkadang enggenipun mluku inggih dipun sambataken, menawi sabinipun wiyar. Nyambut maesa lembunipun kanca-kancanipun. Mekaten punika gentosan. Menawi kekirangan pantun kangge winih, inggih lajeng nyambut dateng tiyang ingkang sugih pantun; mbenjing menawi sabinipun sampun panen, dipun wangsulaken.

    Cara ingkang mekaten punika sapunika inggih taksih tumindak. Nanging sangsaya lami sangsaya suda, sebab sapunika tiyang-tiyang wiwit kraos betah yatra. Kala rumiyin kasugihanipun tiyang tani awujud wos pantun, utawi raja-kaya; boten werni yatra. Yatra boten patos dipun prelokaken, sabab boten patos kelampah. Wos pantunipun punika sampun cekap kangge nyangga kabetahanipun sadaya, sabab kabetahanipun boten katah. Pamedaling pasitenipun boten prelu dipun sade mrika-mrika, sabab ngrika-ngrika kawontenanipun sami kemawon. kaliyan malih boten dipun sade dateng tanah sabrang, sabab pambektanipun rekaos sanget. Mergi-mergi dereng sae kados sapunika; sepur inggih dereng wonten. Dene penganggenipun tiyang-tiyang kala rumiyin namung seratan utawi tenunan ing tanah Jawi kemawon, dereng kepingin mengangge barang-barang ingkang damelan sabrang. Sapunikanipun kados pundi? Sapunikanipun klontong utawi ojagan pating slundupdateng dusun-dusun. Malah dusun-dusun ingkang wonten ing pucuking redi inggih dipun datengi. Barang dagangan saking sabrang datengipun kados dipun sokaken, dipun emot ing baita lan sepur lan trem. Barang-barang ingkang elok-elok sami dipun ideraken dateng dusun-dusun, ndamel kepenginipun tiyang dusun. Enggenipun tumbas barang-barang wau sampun mesti kemawon inggih ngangge yatra; urup-urupan sampun boten tumindak. Kaliyan malih tiyang-tiyang sami mrelokaken tumbas rerengganing griya, kadosta: pangilon, gambar-gambar lan sapenunggilanipun. Gelang kalung dedamelan saking tanah sabrang inggih adamel kepengining tiyang-tiyang dusun, sabab wernenipun apik-apik, tur regenipun mirah. Kejawi punika tiyang tani inggih wiwit kepingin gadah meja kursi kados tiyang ing negari. Punika ingkang murugaken sami kepengin tampi yatra. Sagedipun tampi yatra inggih kedah nyade pamedaling pasitenipun sawetawis. Kaliyan malih inggih murugaken sudaning sambat-sinambat ingkang tanpa epah. Dados menawi betah bau, inggih lajeng mberahaken.

    Tiyang tani menawi sade pamedaling pasitenipun asring boten dugi-dugi, keremenen tampi yatra. Yatranipun lajeng asring dipun angge ubral-ubralan; dipun tumbasaken punapa-punapa ingkang boten patos prelu. Punika ingkang mbibrahaken betah. Let sawulan kalih wulan sampun ngemut driji, boten saged tumbas sandangan, boten saged mbayari sekolahipun anakipun. Lajeng bentayangan pados yatra. Menawi wancinipun nyebar, boten gadah wiji, lumbungipun sampun kotong blong. Lajeng nyambut-nyambut, dipun angge tumbas wiji utawi dipun angge mberahi tiyang ingkang nggarap sabinipun. Menawi enggenipun pados yatra namung angsal sakedik, boten sedeng dipun angge ngragadi sabinipun. Sabinipun dipun garap namung sakecandakipun mawon; dados pamedalipun suda.

    Milanipun menawi nyade wos pantun sampun dipun telas-telasaken; kedah ngengeh sacekapipun dipun teda dan dipun sandang ngantos dumugi panen malih. Tiyang ngangge yatra sambutan punika, menawi ngantukaken kedah ngangge nganaki; mangka anakanipun asring awrat. terkadang tiyang nyambut pantun sedacin kemawon, menawi nyaur kedah kalih dacin. Punapa malih menawi ngijemaken sabin; tampi yatra sambutan sekedik kemawon, sabinipun asring larud sadaya. Wonten malih ingkang kesangeten. Sabinipun dipun sewakaken utawi dipun gadosaken sadaya, boten saged nggarap sakedik-kedika; lajeng kejendelen.

    Rekanipun tiyang bade angsal yatra, werni-werni. Wonten ingkang nggadosaken wit klapa. Wit klapa setunggal dipun gadosaken kalih tengah rupiyah utawi kalih rupiyah. Punika ngantos pinten-pinten taun, ingkang gadah boten saged ngunduh-ngunduh, menawi dereng mangsulaken yatra ingkang sampun dipun angge. Pancen tiyang nyambut punika asring adamel karisakanipun awakipun piyambak utawi anak bojonipun. Milanipun sampun asring gulang-gulang nyambut. Sinten ingkang jajal-jajal nyambut, wekasanipun mesti dados tetekan.

    Menawi sampeyan kepeksa nyambut, sampeyan manah rumiyin kados pundi rekanipun anggen sampeyan bade nyaur; punapa ingkang sampeyan jagekaken. Sampun njagekaken tiganipun pun blorok.


( bersumber dari buku "Kembang Setaman" )