Kamis, 27 Desember 2012

Membantu kerja Orang-Tua

1. Si Ali menolong bapaknya:

“Li, kau mengikut kesawah?” Tanya bapaknya kepada si Ali.
“Ya, pak,” jawab si Ali. “Masih banyak pekerjaan, pak?”
“Tidak; hari ini aku hendak menyikat; barangkali sehari ini habis.”
“Ha, menyikat! Betulkah boleh saya mengikut kesawah, pak?”
“Mengapa tidak! Marilah kita ambil kerbau kekandang!”

Keduanya berjalanlah kebelakang rumah. Disitu dilihatnya kedua ekor kerbaunya masih berbaring; ia mengunyah tidak berhenti-hentinya. Bersama-sama dibukanya pintu kandang, lalu dihalaunya kerbau itu keluar. Kemudian berjalannah mereka itu menuju sawah yang tiada berap jauh dari kampungnya. Pak Amat memikul sikat yang akan dipakai nanti. Si Ali menurut dibelakang.

Belum berapa lama berjalan, sampailah mereka itu kesawahnya yang sudah dibajak. Pak Amat memasang kerbau itu dihadapan sikat. Si Ali tegak melihat bapaknya bekerja. Tatkala sudak selesai, bertanyalah pak Amat kepada anaknya:

“Ali, suka kamu naik dibelakang?”
“Suka, pak.”

Bapaknya menolong si Ali memanjat palang sikat.

“Ssss!” kata si Ali sambil mencoba membunyikan cambuknya, tetapi tidak berbunyi, sebab tak ada talinya.

“Pa, seperti naik kereta rasanya. Hus, hah, hus,” demikianlah kedengaran si Ali menghalau kerbaunya.

 

2. Mengantarkan nasi:

“Pak, mana kak Isah, belum tiba juga?” kata si Ali.
“Kau sudah lapar?” Tanya bapaknya. “Nantilah sebentar, tentu tak lama lagi ia datang.”

Betul sekali apa yang dikatakan bapaknya itu.

Dari jauh sudah tampak si Isah menjunjung bakul dan menjinjing bungkusan menuju kesawah itu.

“Kak, kak,” seru si Ali dari jauh. “Mengapa selambat itu kakak datang?”
“Kau sudah lapar?” Tanya kakaknya. “Pak, adakah si Ali menolong bapak bekerja?”
“Ada,” sahut bapaknya.
“Kalau begitu patutlah adik lapar. Lihatlah ini, dik, apakah ini?”

“Ha, rujak kelapa muda. Ha, sedap, sedap benar,” ujar si Ali, sambil menari-nari berkeliling kakaknya.

Sesudah bapak dan anak itu mencuci kaki dan tangannya, duduklah mereka itu dibawah pohon yang rindang. Panas matahari amat terik, tetapi dibawah pohon itu tak terasa panas karena dilindungi oleh daun yang rimbun.

Sedap benar makan mereka itu! Sesudah makan, diminumnyalah rujak kelapa muda yang sejuk dan manis rasanya.

Tak kala hampir habis makan minum, si Amat tiba pula disawah. Lalu si Ali menceriterakan pekerjaannya semenjak pagi.

Dalam mangkuk masih ada rujak kelapa sedikit, lalu dihabiskan oleh si Amat.

Ketika sudah lepas penat,mulai pula mereka itu bekerja. Kerbau yang sementara itu makan rumput disawah yang belum dikerjakan, dipasang pulalah. Sekarang si Amat menggantikan bapaknya memegang tali kerbau dan si Ali duduk pula diatas palang sikat. Pak Ali memperbaiki pematang keliling sawahnya.


3. Memandikan kerbau:

Kira-kira pukul empat selesailah pekerjaan disawah.

“Amat, bawalah kerbau kita kesungai, mandikan bersih-bersih!”
“Pak, saya pergi juga kesungai bersama-sama dengan abang. Boleh pak?” Tanya si Ali.

“Boleh, pergilah dengan abangmu! Aku hendak pulang membersihkan kebun kacang dan menggali ubi kayu yang sudah tua. Besok hari pekan, jadi boleh dijual.”

Kedua anak itu ditolong bapaknya naik kepunggung kerbau; kemudian berjalanlah binatang itu menuju sungai.

Disan sudah banyak anak-anak yang lain memandikan kerbaunya. Ramai mereka itu bersorak-sorak dan bersembur-semburan.

Ketika dilihatnya kedua saudara itu datang, bertambah riuh suara mereka itu; separuhnya pergi ketepi sungai akan menyemburi.

“Tunggu, tunggu dulu,” kata si Amat. “Nanti basah pakaianku.”

Sesudah berkata demikian dibukanya kain bajunya, diletakkannya ditepi sungai diatas sebuah batu besar. Kemudian si Amat dan si Ali turun keair.

Kerbaunya sudah dahulu turun.

Ramai benar mereka itu berperang-perangan air, bersembur-semburan tiada berhenti-hentinya.
 

Tiba-tiba sekaliannya lari naik kedarat. Seorang diantara anak-anak itu yang bernama si Badu berteriak-teriak: “Buaya, buaya!” Tatkala dilihatnya teman-temannya berlari-larian dengan tergopoh-gopoh, tertawalah ia, sebab sudah kena tipunya.

Banyak diantara kawan-kawannya jatuh bangun karena kakinya terserandung.

“Mana buaya? Mana buaya?” Tanya mereka itu seorang kepada seorang. Jawab si Badu: “Buaya ada dekat laut.” Barulah mereka tahu, bahwa ia sudah dipermain-mainkan oleh si Badu.

Dimana pula ada buaya digunung? Tetapi dalam waktu terkejut tidak terpikir sampai kesitu.
Kemudian pulanglah masing-masing kerumahnya sambil mengendarai kerbaunya.

 

 

(Bersumber dari buku : “Dikampung”)



    

Sabtu, 22 Desember 2012

Bermain

1. Si Ali dengan kawannya.

Disebelah rumah si Ali tinggal pak Aziz, yang beranak seorang laki-laki; hampir seumur dengan si Ali, namanya si Aziz. Anak itu belum bersekolah sebagai si Ali juga.

Kalau si Ali tidak mengikut bapaknya dan si Aziz ada dirumah, keduanyapun bermain-mainlah. Kadang-kadang bermain dibelakang rumah si Ali; kadang-kadang dihalaman rumah si Aziz.

Ketika si Ali sudah pulang mandi, pergilah ia kesebelah. Si Azizpun ada dirumah, jadi dapatlah kedua anak itu bermain-main.

“Jis, mari kita main kuda-kudaan.”
“Ayolah,mana talinya?”
“Tali kelopak pisang saja!”

Keduanyapun pergilah kepohon pisang yang dibelakang rumah.

“Siapa jadi kuda?”
“Kau, Jis, nanti aku.”

 
Si Azizpun menggigit kekang dan si Ali memegang tali les dan cambuk.

“Ayo, Belang, larilah!”

Cyh, cyh, cyh! Kudanyapun meringkik. Beberapa lamanya berlari-lari berkeliling rumah, lelahlah mereka itu. Kemudian si Ali pulang makan.

“Nanti kau datang pula, Li?” Tanya si Aziz.
“Belum tentu,” jawab si Ali, lalu ia pulang.
 

2. Main balon-balonan.

Diantara rumah si Aziz dan si Ali ada pagar hidup. Pagar itu pagar batang jarak.

Pada suatu hari si Aziz bermain-main kerumah si Ali. Belum berapa lama bermain, berkata si Aziz kepada temannya :

“Li, mari kita main balon-balonan!”
“Dari apa kita buat?”
“Dari getah jarak.”


Keduanya pergi kepagar jarak itu; dipatahkannya ranting yang muda. Maka titiklah getahnya; ditampungnya dengan daun jarak. Sudah itu diambilnya tangkai daun yang tua akan peniupnya.

“Lihatlah, Li, balonku naik sampai kepohon pisang!”

Si Ali mengembus pula, tetapi masih ditangkai pengembus, balonnya sudah pecah. Dicobanya sekali lagi, terjadilah sebuah balon besar.

“Lihat, Jis, lihatlah! Bagus benar warna itu.”

Keduanya memandang balon si Ali. Betul bermacam-macam warna tampak disitu; ada yang kuning, ada yang hijau, ada pula yang merah.

Sudah itu diembus si Ali balonnya, lalu naiklah balon itu. Tinggi, tinggi benar; hampir sampai kebubungan rumahnya. Waktu kedua anak itu payah, pulanglah masing-masing kerumahnya.



(Bersumber dari buku : “Dikampung”)