Ketika si Dullah pulang dari sekolah, ia singgah sebentar melihat jeratnya. Alangkah girang hatinya melihat seekor burung murai tergantung pada tali jeratnya itu. Dengan segera murai itu dibawanya pulang.
"Apa gunanya burung murai itu padamu, Dullah?" ujar bapaknya. "Dagingnya tak dapat dimakan, dipelihara susah, sebab makanannya capung dan ulat. Lepaskan sajalah!"
"Ah, jangan pak!" jawab si Dullah. "Nanti makanannya saya carikan disawah. Kalau sudah jinak, ia mau berbunyi, pak. Pagi-pagi kita sudah dibangunkannya, jadi tak akan terlambat saya pergi kesekolah."
Bapak si Dullah tidak berkata lagi. Si Dullah memasukkan burungnya kedalam sangkar. Sebentar itu juga dicarikannya capung dan belalang. Tetapi burung itu tak mau makan. Ia menggelepar-gelepar saja dalam sangkar, sehingga bulunya banyak yang patah dan kepalanya berdarah.
"Biarlah dahulu, sehari dua hari ini", kata si Dullah menyenangkan hatinya. "Nanti tentu ia jinak juga". tetapi beberapa hari kemudian tak juga jinak ia. Jangankan berbunyi, didekatipun tak mau.
Pada suatu pagi si Dullah terburu-buru pergi kesekolah, karena hari sudah tinggi. Iapun berlari-larilah, supaya jangan terlambat datang. Tiba-tiba terpijak olehnya kaca, lalu luka dan darahnya mengalir. Si Dullah dibawa orang kerumah ibunya. Ia tidak dapat lagi berjalan, sebab lukanya parah.
Berpekan-pekan si Dullah terkurung didalam rumahnya, karena kakinya masih sakit. Bukan main kesal hatinya. Diluar terdengar kawan-kawannya bermain-main bersuka-sukaan; ia terkurung tidak dapat keluar.
Pada suatu pagi amat sedih hati si Dullah, melihat kawan-kawannya pergi berjalan-jalan kegunung dengan gurunya. Ia hanya dapat melihat dari jendela saja. Dalam bersedih hati, tampak olehnya burungnya sedang meromok pula. Matanya sedih benar memandang kepada si Dullah. Maka terasa dalam hati si Dullah, bahwa nasibnya sama benar dengan burungnya itu. Makin dipikirkannya, makin terasa olehnya. Rupanya itulah sebabnya burungnya itu meromok saja, tak mau makan dan berbunyi.
Tiba-tiba berkata ia kepada ibunya, katanya : "Ibu, lepaskanlah murai itu!"
Ujar ibunya dengan heran : "Mengapa dilepaskan, Dullah? Bukankah engkau sudah susah payah-payah menjeratnya?"
"Biarlah, ibu. Rupanya ia bersedih hati saja terkurung dalam sangkar itu."
Ibunya tersenyum dan murai itu dilepaskannya. Baru saja sangkarnya terbuka, burung itu terbang sambil berbunyi "Kicau, kicau!"
"Nah, lihatlah girangnya, ibu. Baru saja ia terlepas, ia sudah berbunyi."
"Engkau tentu begitu pula kalau kakimu sudah baik", ujar ibunya. "Sesa'atpun tak kan tertahan olehmu terkurung dalam rumah ini."
Si Dullah diam saja. Dalam hatinya ia membenarkan betul perkataan ibunya itu. Sungguh sangat kesal hatinya terkurung semacam itu. Karena itu ia berjanji, tiada lagi akan menangkap-nangkap dan mengurung burung.
Tiap-tiap pagi terdengar oleh si Dullah murainya dahulu berkicau-kicau dipohon dihadapan rumahnya.
"Kicau, kicau, kicau!" Seolah-olah ia berseru : "Bangunlah Dullah, hari sudah siang!"
( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar