Kamis, 08 September 2011

Siapakah yang beruntung?

Dahulu kala adalah dua orang tani bersahabat. Pada suatu hari mereka itu mengadakan perjamuan, memanggil orang-orang sekampungnya. Isteri mereka itu sama-sama melahirkan anak laki-laki. Itulah sebabnya mereka mengadakan perjamuan itu.

Jamupun datanglah, lalu duduk pada tempatnya masing-masing. Tak lama kemudian datang pula dua orang jamu perempuan. Yang seorang kecil badannya dan yang seorang lagi gemuk. Orang yang ada dirumah itu tak ada yang kenal kepada kedua perempuan itu. Tuan rumah sendiripun tidak.

Karena itu mereka itu heran semuanya memikirkan siapakah orang itu. Ketika makanan sudah tersedia dan orang akan makan lagi, kedua perempuan itu tak mau makan. Katanya ia sudah kenyang benar. Jamu yang lain makin heran melihat. Tetapi seorangpun tiada yang berani bertanya.

Sesudah selesai makan minum, masing-masing pergilah melihat kedua anak yang diperalatkan itu. Kedua jamu yang tiada dikenal itupun pergi pula melihat.

Kata yang badannya kecil kepada seorang diantara anak itu : "Anak, ibu tak dapat memberi apa-apa kepadamu. Hanyalah ada ini suling sebuah, untuk penyuka-nyukakan hatimu kelak, kalau kamu sudah besar". Suling itu dikeluarkannya dari dalam bajunya, lalu diberikannya ketangan anak itu. Kemudian katanya pula : "Kalau ibu bapakmu suka, engkau akan kunamai Justi". Sudah itu datang pula kawannya yang gemuk itu mendekati anak yang seorang lagi, lalu katanya : "Engkau kunamai Wili. Bagiku tak ada apa-apa yang dapat kuberikan padamu, hanya inilah sebuah pundi-pundi kulit, buatan tanganku sendiri. Kuharap pundi-pundi ini akan penuh nanti dengan emas dan perak, kalau engkau pergi berniaga".

Sesudah ia berkata itu, keduanya minta diri hendak pulang. Baharu saja mereka sampai dihalaman, tiba-tiba keduanya gaib, tak tentu kemana perginya. Sekalian jamu yang tinggal heran tercengang-cengang. Sekarang barulah mereka itu maklum, bahwa kedua perempuan itu bukanlah manusia biasa. Entah dewi entah perilah mereka itu.

Kedua orang tani itu amatlah sukacita hatinya. Nama anak mereka tiadalah diubah-ubah lagi, tetap sebagai diberi jamu ajaib itu.

Justi dan Wili besarlah. Justi tinggal dikampung membantu orang tuanya kesawah. Jika ia lelah sesudah bekerja, berhentilah ia sambil membunyikan sulingnya. Bukan main pandainya bersuling, sehingga banyak orang yang rindu mendengarkannya.

Wili kerjanya tiadalah bertani, melainkan berniaga. Maka banyaklah ia mendapat untung, sehingga ia menjadi orang yang kaya. Karena kekayaannya itu sipatnya jadi berubah. Ia menjadi sombong dan tekebur. Kepada Justi ia sudah lupa. tetapi Justi tidaklah melupakannya. Hanya ia tiada acap kali datang kerumah sahabatnya itu sebab ia orang miskin, takut kalau-kalau nanti tiada diterimanya.

Pada suatu hari dengan tidak disangka-sangka kampung itu diserang musuh. Maka banyaklah orang kampung itu yang ditawan dan dibawa musuh kenegerinya.

Justi dan Wili tertawan juga. Waktu akan berangkat Wili dapat juga membawa emasnya sepundi penuh.

Denegeri baru itu mereka itu dijadikan budak oleh raja. Betapa susahnya Wili tak dapat diperikan, karena ia tiada tahan bekerja berat. Akan tetapi Justi tidaklah demikian. Ia bekerja dengan girangnya seperti biasa. Waktu berlepas lelah, dibunyikannyalah sulingnya. Banyaklah orang yang senang mendengarnya bersuling itu. Sebab itu tidaklah ia diberi orang kerja yang berat benar.

Wili iri hatinya, sebab ia selalu mengerjakan pekerjaan yang berat. Maka terbitlah niatnya hendak memberi orang yang jaga mereka itu uang suap, supaya ia diberi pekerjaan yang ringan-ringan. Akan tetapi malang, emasnya dirampas orang dan ia tertuduh pula mencuri. Kemudian ia dihukum dera seratus kali. Bukan main pedih hati Wili mengenangkan nasibnya itu.

Pada suatu hari puteri dalam negeri itu jatuh sakit. Makin lama penyakitnya makin berat. Seorangpun tak dapat mengobatinya. Hati ayah bundanya amatlah susahnya.

Ketika puteri itu terbaring ditempat tidurnya, terdengarlah olehnya bunyi suling amat merdunya. Hatinya sangat girang dan gembira mendengar bunyi suling itu. Pada malamnya terasa olehnya penyakitnya ada berangsur. Sudah dapat ia bercakap-cakap dengan orang tuanya. Maka diceriterakannya, bahwa yang menyembuhkannya ialah bunyi suling tawanan itu.

Maka amat senanglah hati ayah bundanya mendengar itu. Semenjak itu diperintahkan baginda tiap-tiap hari Justi bersuling dihadapan tuan puteri itu.

Setelah tuan puteri itu sembuh benar, bertitahlah baginda : "Hai Justi, sekarang engkau aku merdekakan untuk pembalas jasamu yang besar itu. Lain dari pada itu cobalah katakan kepadaku, apakah lagi kehendakmu?"

Justi berdatang sembah : "Ya, tuanku Syah 'alam, patik mengucap syukur atas kemurahan duli tuanku. Lain dari itu jika ada kurnia tuanku, patik pohonkan segala orang tawanan dari negeri patik itu tuanku merdekakan."

Setelah baginda berpikir seketika, lalu baginda bertitah, sabdanya : "Baik, Justi, orang senegerimu itu aku merdekakan semuanya, kecuali seorang, yakni si Wili."

Justi memohonkan juga dengan sangat, supaya Wilipun dimerdekakan; tetapi permintaannya tiada diluluskan oleh baginda.

Justi pulanglah dengan orang sekampungnya, kira-kira 30 orang banyaknya. Sedih hatinya memikirkan nasib sahabatnya Wili itu.

Sudah tujuh tahun ia dikampung.

Pada suatu hari datanglah utusan raja yang menawannya dahulu kerumah Justi. Utusan itu datang menjemput Justi karena puteri baginda sakit pula.

Dengan segera Justi berangkat kesana. Setelah tiba, ia menghadap. Maka diceriterakanlah oleh baginda maksud Justi dipanggil itu.

Justi bersulinglah dengan amat merdu bunyinya. Mendengar bunyi suling itu, penyakit tuan puteri berangsur baik. Setelah penyakit tuan puteri itu sembuh benar, bertitah baginda, sabdanya : "Hai Justi, apakah kehendakmu, cobalah katakan, karena tuan puteri sudah baik."

Sembah Justi : "Harap diampun tuanku, tidak lain harapan patik, jika ada kurnia tuanku, merdekakanlah sahabat patik Wili itu."

Mendengar itu baginda tersenyum, lalu bertitah, sabdanya : "Sungguh engkau seorang sahabat yang susah dicari, jarang didapat."

Maka dimerdekakan bagindalah Wili, lalu keduanya pulang dengan bersukacita kekampungnya.

Ditengah jalan Wili mengeluarkan pundi-pundi kulitnya yang sudah kosong, lalu dilemparkannya dengan marah : "Enyahlah engkau selama-lamanya dari padaku, hai pundi-pundi celaka! Tujuh tahun aku menjadi budak karena engkau."
Kemudian ia berpaling kepada Justi laku berkata, katanya : "Dahulu aku mentertawakan engkau dengan sulingmu. Tetapi sekarang nyata padaku, bahwa sulingmu itu lebih berharga dari kekayaanku. Kekayaan itu telah mencelakakan aku, tetapi sulingmu dapat memerdekakan seisi kampung kita dari tawanan seorang raja yang bengis."

"Karena engkau salah memakai kekayaan itu", jawab Justi.

"Boleh jadi", kata Wili. "Dan dari sini keatas akan tahulah aku."

Keduanya teruslah pulang dengan bersukacita. Sampai mati keduanya bersahabat karib.



( bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe" )


Tidak ada komentar: