Kamis, 16 Februari 2012

Anak gembala yang jadi panglima perang

Dalam sebuah dusun diam seorang tani dengan bininya dan seorang anaknya laki-laki. Anak itu Ole namanya. Pekerjaan Ole tiap-tiap hari menggembalakan kuda. Setelah umurnya 16 tahun, bapaknya berkata, katanya : “Ole, pekerjaan kita bapak sendiri sajalah mengerjakannya. Tidak perlu kita berdua. Sebab itu lebih baik engkau mencari pekerjaan lain. Engkau sudah besar, sudah sanggup mencari penghidupan dinegeri lain. Pergilah, Ole, mudah-mudahan engkau beruntung. Biarlah bapak tinggal dengan ibumu disini.”

Mendengar nasihat bapaknya itu Ole termenung beberapa lamanya. Pikirnya didalam hatinya : “Benar pula kata bapakku itu. Dari kecil sampai tua aku akan jadi gembala saja. Kalau aku pergi merantau kenegeri lain, barangkali disana aku beruntung. Apalagi aku sudah besar, tak patut lagi menyusahkan orang tuaku.”

Pada suatu hari berangkatlah Ole dari rumah orang tuanya menuju arah ketimur. Karena perjalanan dalam hutan rimba saja, dibawanya seekor kudanya yang amat dikasihinya. Kuda itu ditunggangnya, supaya ia jangan payah benar dijalan.

Setelah lama berjalan, tiba-tiba tampak olehnya sehelai bulu burung terletak ditanah. Bulu itu besar dan panjang dan berkilau-kilauan warnanya sebagai emas; amat indah rupanya. Turun ia dari atas kudanya akan mengambil bulu burung itu. Tiba-tiba terdengar olehnya suara, bunyinya “Jangan diambil, Ole, nanti engkau dapat bahaya.” Ole berpaling sambil melihat berkeliling. Tetapi seorang manusiapun tak kelihatan.
“Siapa yang berkata itu?” Tanya Ole.
“Saya”, jawab kudanya.
“Hai pandaikah engkau bercakap?” Tanya Ole dengan heran.
“Bukan terdengar olehmu tadi!” kata kuda pula. “Ganjil benar binatang pandai berkata? Tetapi banyak lagi yang ajaib-ajaib didunia ini akan kau lihat. Bulu burung yang sebagai emas itu suatu keganjilan pula. Jika kau ambil, engkau akan susahan benar. Tetapi lain dari pada itu engkau akan mendapat bahagia yang besar pula nanti. Sebab itu engkau ambil atau tidak, itu kuserahkan kepadamu sendiri.”

Sesudah berdiam diri sejurus lamanya, Ole berkata, katanya : “Biarlah saya ambil bulu burung itu!” Maka diambilnya lalu disimpannya. Hari bertambah malam juga. Ole mencari tempat untuk bermalam.

Keesokan harinya diteruskannya perjalanannya. Ketika melalui sebuah rimba besar, terdengar olehnya bunyi mencicit-cicit.
“Apa yang mencicit itu”, tanya Ole.
“Saya,” terdengar suara amat halusnya. Ole melihat ketempat suara itu; tampak olehnya seekor anak burung bersembunyi dibawah daun-daun kayu kering.
“Mengapa engkau disitu?” Tanya Ole pula.

“Saya terjatuh dari sarang. Saya belum pandai terbang tinggi, sebab saya belum kuat. Karena itu saya tak dapat pulang kembali.

“O.., jangan kau susah,” kata Ole. “Mari saya pulangkan engkau kembali kesarangmu.”

“Tempatnya tinggi benar,” kata anak burung itu. “Nanti engkau terjatuh.”

“Tidak mengapa,” jawab Ole, “Saya tukang memanjat juga didusun saya.”

Dengan susah payah dapat jugalah anak burung itu dipulangkannya kembali kesarangnya. Ketika Ole hendak turun, anak burung itu berkata : “Ole, engkau seorang anak yang baik hati. Jika engkau perlu pertolongan, nanti saya datang.”

Setelah Ole sampai kebawah, ditunggangnya kudanya, lalu terus berjalan. Tujuh hari tujuh malam lamanya ia naik kuda, barulah sampai kekota. Ia terus keistana raja; kepada penjaga dipintu kota dikatakannya ia hendak menghadap raja.

Kata penjaga pintu : “Baginda sekarang tidak suka menerima orang. Baginda dalam berdukacita yang amat sangat, sebab putera baginda yang perempuan dirampas oleh seorang raksasa. Sampai sekarang puteri itu belum juga dapat kembali.”

Kata Ole : “Aku hendak mohon belas kasihan kepada baginda, barangkali ada sesuatu pekerjaan bagiku.”

“O.., kalau begitu pergilah kepintu yang sebuah lagi. Engkau boleh jadi tukang kuda, sebab tukang kuda memang kurang.”

Ole menerima pekerjaan itu dengan girang hatinya. Sejak itu Ole jadi tukang kuda raja.

Pada suatu hari Ole dipanggil raja. Setelah ia datang, raja bertitah dengan murka, sabdanya : “Ole tak tahu engkau, bahwa waktu tidur tak boleh engkau memasang lampu dibilikmu?”

Sembah Ole : “Patik tahu tuanku.”

“Mengapa engkau pasang juga?”

“Tidak ada patik memasang lampu, tuanku.”

“Engkau berdusta, banyak orang mengadukan, bahwa bilikmu sampai pagi terang benderang.”

“Ampun, tuanku, itu bukan lampu, melainkan sehelai bulu burung yang bercahaya-cahaya sebagai emas dapat oleh patik dahulu dijalan.”

“Coba perlihatkan bulu burung itu?”

Ole mengambil bulu burungnya, lalu dipersembahkannya kapada baginda.

“O.., alangkah indahnya bulu burung ini”, titah raja dengan heran. “Burung apakah yang bulunya sebagai ini? Sekarang mesti engkau pergi mencari burung itu, Ole! Sebelum dapat jangan engkau pulang kembali.”

“Baiklah tuanku”, sembah Ole.

Ole pulang ketempatnya. Setelah sampai ia kepada kudanya, katanya : “Hai kudaku, kemanakah akan kucari burung yang mempunyai bulu seperti ini?”

Jawab kudanya : “Bulu itu sebetulnya kepunyaan tuan puteri yang dirampas raksasa itu. Bulu itu tercecer dijalan ketika puteri itu dilarikannya. Naiklah keatas belakangku, supaya boleh kubawa engkau ketempat tuan puteri itu!”

Ole naik keatas kudanya. Kuda itu berlari dengan amat kencangnya. Akhirnya kaki kuda itu tidak lagi berjejak ditanah; adalah sebagai burung terbang layaknya. Seketika lamanya, sampailah mereka itu kedalam hutan besar lalu berhenti. Ole hendak bertanya kepada kudanya, tetapi tiba-tiba kuda itu hilang lenyap. Dihadapannya terletak sebilah pedang yang tajam berkilat-kilat. Pedang itu diambilnya dan ia berjalan pula. Belum lama ia berjalan, tampak olehnya dua belas ekor ular besar-besar datang kepadanya. Ole sangat terkejut, karena ular itu tampak hendak menyerang dia. Dengan segera dipegangnya pedangnya kuat-kuat akan melawan. Ketika itu terdengar olehnya bunyi burung terbang diudara; seekor burung besar melayang-layang mengelilingi sekalian ular itu. Ular itu memutar-mutarkan kepalanya menghadap kepada burung itu. Waktu itu Ole dapat menyerang ular itu seekor demi seekor, sehingga sekaliannya dibunuhnya.

Sesudah ular itu mati semuanya, burung besar itu datanglah mengelilingi Ole beberapa kali, kemudian terbanglah ia. Ketika itu teringatlah oleh Ole akan anak burung yang ditolongnya dahulu. Boleh jadi burung itulah yang telah menolongnya.

Dalam ia berpikir-pikir itu, tiba-tiba berlari-larilah seorang puteri dari dalam rimba sambil berseru : “Engkau telah menolong saya. Bawalah saya kepada raja, nanti engkau akan diberi baginda hadiah yang besar.”

“Baiklah “, jawab Ole, “Tetapi kuda saya yang tahu jalan pulang, sudah hilang.”

“Itu yang berdiri disisimu, bukan kudakah?” kata putri itu dengan tersenyum.

Amat heran Ole memandang kepada kudanya, yang telah terdiri saja disebelahnya. Dan pedang pembunuh ular tadi tak ada lagi. Puteri itu dinaikkannya keatas kuda itu dan ia sendiripun naik pula,lalu keduanya pulang keistana.

Bukan buatan sukanya hati baginda melihat puteranya kembali. Hari itu juga dimulailah berjaga-jaga bersuka-sukaan seluruh negeri.

Ole diangkat raja menjadi panglima perang dan diberi sebuah gedung yang besar dan indah. Maka dijemputnyalah ibu-bapaknya dan tinggal didalam gedungnya yang baru itu bersama-sama.




(Bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)







Tidak ada komentar: