Dalam sebuah hutan ditepi sebuah kampung tinggal seekor pelanduk. Pada suatu hari pelanduk itu berjalan tergesa-gesa. Tak lama antaranya bertemu ia dengan seekor murai sedang berkicau-kicau diatas pohon.
"Hai kak pelanduk, hendak kemana tergesa-gesa ini, macam orang dipanggil raja?" ujar murai dengan kelakarnya. Pelanduk tertegun, lalu memandang keatas. "Ah, untung benar saya ini!" ujarnya. "Maksud saya hendak mencari engkau juga. Sekarang sudah bertemu disini."
"Mencari saya?" tanya murai itu dengan herannya. "Apakah gerangan itu?"
"Engkau hendak saya bawa kerumah gadis dusun yang ditepi hutan itu."
"Hai, hendak jadi pengantinkah, kak pelanduk?"
"Ah, engkau ini pandai benar berolok-olok, murai!" Ada perlunya engkau saya bawa kesana. Tetapi ini masih rahasia; nanti saya ceritakan kepadamu!"
"Eh, ini bukan olok-olok rupanya. Coba ceritakan rahasia itu dahulu kepada saya; kalau tidak, saya tak mau pergi."
"Betul-betul engkau ini murai rimba", ujar pelanduk dengan tersenyum. "Selalu saja saya kalah bersoal-jawab dengan engkau. Kalau engkau hendak tahu juga, begini rahasianya itu. Dalam musim panas yang lalu, saya bermain-main ditepi rimba; tiba-tiba saya dengar ada orang bernyanyi-nyanyi. Merdu benar suaranya. Hati saya tertarik mendengarnya, lalu saya melompat keatas sepohon kayu yang sudah rebah hendak mengintai. Tak tahu saya kayu itu dibaji orang untuk dibelahnya. Tiba-tiba kaki saya tergelincir dan terjepit oleh belahan kayu itu. Betapapun saya usahakan, tak juga lepas. Ketika itu tampak oleh saya seorang gadis datang membawa sebilah parang. Sangka saya tentu kepala saya akan dibelahnya. Tetapi alangkah herannya saya, waktu saya lihat dia tidak membunuh saya. Baji kayu itu dipukulnya kuat-kuat, belah kayu itu renggang dan kaki saya terlepas. Saya melompat hendak lari, tetapi gadis itu tak pula mengejar saya. Alangkah manisnya kelihatan! Pulanglah saya sambil mengucap syukur, sebab terlepas dari bahaya besar. Sekarang saya dengar ia akan jadi pengantin. Bapaknya orang miskin dan tak sanggup meramaikan peralatan kawinnya itu. Itulah sebabnya maka engkau hendak saya bawa kesana untuk meramaikan peralatannya itu dengan suaramu yang merdu itu. Jadi jangan disangkanya kita binatang tak tahu membalas guna dan tak tahu berbuat baik."
"O.., perkara berbuat baik, rasanya kita bangsa binatang tidak akan kalah," ujar murai. "Saya sendiri tiap-tiap pagi pergi ketepi kampung itu membangunkan mereka itu, supaya lekas pergi keladangnya. Ulat-ulat yang ada diladangnya saya makan, supaya tanam-tanamannya jangan dirusakkannya."
"Ya, itulah sebabnya engkau saya bawa," ujar pelanduk itu pula, "supaya kebaikan kita itu makin tampak olehnya."
"Kalau begitu saya suka pergi dengan kak pelanduk. Tetapi berdua sajakah kita akan kesana?"
"Tidak, ada lagi kawan-kawan yang lain, yaitu belatuk, bayan, bubut dan pergam. Pendeknya ahli nyanyi semuanya."
"Bagus, bagus!" ujar murai itu. "Sekarang marilah kita cari dia!"
Tak lama keduanya mencari, bertemulah sekaliannya. Pelanduk menceritakan maksudnya.
"Bagus, bagus!" ujar belatuk, "Dan kak pelandukjadi kepalanya."
"Baik," ujar pelanduk. "Nanti begini kita buat: Kalau saya sebutkan : satu-dua ....... tiga, murai berkicau, belatuk memukul gendang, bayan memukul canang dan yang lain bernyanyi bersama-sama. Nah, sekarang mari kita cobakan dahulu, supaya disana nanti jangan salah-salah."
Maka dicobakannyalah "musik burung" itu beberapa kali sehingga bunyinya sesuai.
Kemudian berangkatlah sekaliannya kerumah gadis dusun itu. Didapatinya sudah banyak orang disana, tetapi sunyi saja, karena tak ada bunyi-bunyian.
Tiba-tiba pelanduk berseru menyuruh kawan-kawannya berhenti.
"Siap!" ujar pelanduk. "dari sini saja kita perdengarkan musik kita. Kalau dekat-dekat, nanti ada bahayanya. Nah, satu, dua .......... tiga!"
Burung-burung itu mengeluarkan lagunya masing-masing. Begini bunyinya :
"Creeet, Cereeet ---- tok, trok, tok, tok, tok, trok, tok, tok, ----- creeet, creeet, dang, drang, dang, drang, bots, bots, ooommm!"
Sekalian jamu gadis dusun itu heran tercengang-cengang mendengar bunyi musik yang amat ganjil itu. Apalagi melihat seekor pelanduk mengangkat-angkat tangannya mengatur bunyi musik itu.
Ketika itu teringatlah oleh gadis itu akan pelanduk yang ditolongnya dahulu. "Boleh jadi ialah yang datang itu meramaikan peralatanku dengan "musik burungnya", pikirnya. "Ia hendak membalas jasaku dahulu." Maka dari atas puadai ia tersenyum-senyum mengangguk-anggukkan kepalanya, menyatakan terima kasihnya.
Bukan main senang hati pelanduk itu melihat rupa gadis yang jelita itu. Iapun terus bermusik beberapa lamanya. Seorangpun tiada yang hendak mengganggu dan mengusiknya. Sekaliannya mendengarkan musik yang ganjil itu dengan suka-citanya.
Setelah hari petang, pulanglah pelanduk itu dengan kawan-kawannya kehutan dengan senang hatinya serta gembira.
( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar