"Suardi!" kata guru pada suatu pagi, "sudah acap kali benar saya menasihatimu. Tetapi tabiatmu tidak juga berubah; kamu masih malas juga. Pagi ini engkau terlambat pula. Apa-apa yang saya suruh kerjakan dirumah, tak pula engkau kerjakan. Apakah sebabnya, Suardi? Atau tak suka lagi engkau bersekolah ?"
"Suka, engku!" jawab si Suardi lambat-lambat.
"Nah, kalau engkau suka mengapa engkau semalas itu?" Suardi diam tunduk kemeja.
"Tidakkah engkau tahu, Suardi, orang yang malas itu bodoh akhirnya?" kata guru pula. "Orang tuamu bersusah payah mencari uang untuk belanjamu dan uang sekolahmu. Ia sangat berharap, supaya engkau jadi anak yang pandai. Tetapi berapalah akan sedih hatinya nanti, melihat engkau seorang anak yang bodoh. Badannya payah, uangnya habis dan engkau bermain-main saja. Tidakkah engkau pikirkan semuanya itu, Suardi?"
Sekali itu guru tidak marah lagi kepadanya. Lemah lembut kata-katanya. Pada pikirnya, barangkali dengan perkataan yang lemah lembut itu tabiat si Suardi dapat berubah. Sebenarnyalah, perkataan gurunya itu masuk kedalam hatinya. Ia berjanji akan mengubah sifatnya yang malas itu. Gurupun bersenang hati melihat air muka si Suardi seperti orang menyesal.
Tetapi nasihat yang baik itu hanya tiga hari tinggal dalam telinganya. Sesudah itu iapun lupa pula. Sudah acapkali pula ia tiada bersekolah. Gurupun bingung memikirkan kelakuan muridnya yang seorang itu.
Pada suatu pagi bangku si Suardi kosong pula. Si Suardi tak datang pula hari itu. Kemanakah ia?
Ditengah jalan ia menyimpang menuju sebuah anak air. Disanalah biasanya ia bermain-main sampai pukul tiga. Kalau pada pikirannya anak sekolah sudah pulang, pulang pulalah ia. Karena itu ibu bapaknya tak sedikit juga menyangka, bahwa ia tak bersekolah. Ketika si Suardi sampai keanak air, ia bertemu dengan Pak Wirio. Orang tua itu tahu akan kelakuan siSuardi. Sudah acapkali si Suardi bertemu olehnya disana. Ketika anak itu tampak olehnya, ia berkata, katanya : "Hai, Suardi, engkau sudah ada pula disini?"
"Ya, Pak", jawab si Suardi sambil tersenyum. "Jangan dikatakan kepada bapak saya, ya, pak?"
"Ah, tidak", jawab Pak Wirio. "tetapi mengapakah engkau tidak bersekolah, Suardi?"
"Malas saja hati awak, pak. Tiap-tiap hari duduk dibangku membaca buku, menulis ini dan itu. kesal hati rasanya. Betapa senang hati saja kalau menjadi kupu-kupu, pak! Sebagai kupu-kupu itu!" Sambil berkata demikian si Suardi menunjuk kepada kupu-kupu yang berterbangan mencari bunga. "Lihatlah, pak, ia dapat bermain sesuka hatinya. Dapat terbang kemana-mana."
Orang tua yang baik hati itu tersenyum, lalu berkata, katanya : "Suardi, pikiran engkau itu benar juga. Kupu-kupu itu dapat terbang kemana-mana. Tetapi janganlah kau sangka ia pergi bermain-main saja. Ia terbang kesana itu mencari makan dengan rajinnya. Kalau ia tidak berbuat demikian, tentulah ia mati kelaparan, sebab tidak ada orang lain yang memberinya makan."
Si Suardi terdiam seketika. Kemudian katanya pula : "Kalau begitu menjadi burung barangkali lebih senang, pak. Lihatlah burung merbah itu, hinggap disini hinggap disana, sambil bernyanyi dengan merdu suaranya."
Kata Pak Wirio : "Sangkamu itupun tak betul pula, Suardi. Burung merbah itu bukanlah pula bermain-main saja. Iapun sedang bekerja mencari makan. Pagi-pagi benar ia sudah keluar dari sarangnya dan petang-petang baru pulang. Bukan merbah saja, tetapi sekalian burung berbuat seperti itu, Suardi. Engkau lihat merbah yang agak kecil itu? Itulah anaknya sedang diajar oleh induknya mencari makan. Jika ia telah besar sedikit, nanti akan disuruh pergi oleh induknya, supaya mencari makan sendiri. Induknya tak akan mau lagi memberinya makan biarpun sedikit."
Si Suardi termenung pula.
Kemudian Pak Wirio berkata : "Suardi, lihatlah keatas batu itu! Tampak olehmu semut itu berbaris serupa serdadu? Tentu kau sangka ia bermain-main pula, bukan? Sekali-kali tidaklah demikian, Suardi. Semut itu, ialah binatang yang sangat rajin. Barangkali tak adalah binatang yang serajin semut. Ia tak takut lelah, tak takut payah. Tiap-tiap hari ia selalu bekerja berat. Tak pernah ia lalai atau malas. Begitu pula bangsa lebah. Kelihatankah olehmu ia berkerumun pada bunga itu? Ia sedang merngisap madu akan disimpannya disarangnya. Dalam musim susah, madu itu dapat dimakannya. Manusia begitu pula hendaknya, Suardi. Malah lebih rajin hendaknya dari pada binatang-binatang itu, sebab kita lebih cerdik dan lebih berakal. Selagi kecil kita menuntut ilmu, bersekolah atau mengaji. Nanti kalau sudah besar tidak susah kita mencari penghidupan. Kalau waktu kecil kita malas, sudah besar tentu jadi orang bodoh. Tidakkah engkau lihat Pak Salui itu? Ketika kami kecil-kecil ia sangat pemalas. Sesudah besar ia tak tahu apa-apa. Dan sampai tua ia jadi gembala kerbau saja. Hendaknya engkau jangan begitu. kalau sudah besar, engkau hendaknya jadi orang yang pintar dan kaya, supaya senang hidupmu." Pak Wirio berhenti berkata. Si Suardi berdiam diri saja. Tak lama kemudian, keduanya berpisah. Pak Wirio pergi keladang dan si Suardi pulang kerumahnya.
Beberapa hari sudah itu, guru heran melihat tingkah laku si Suardi. Anak itu sudah pendiam. Tetapi segala pelajaran sangat diperhatikannya. Rajinnya melebihi kawan-kawannya yang lain. Bukan main senang hati gurunya melihat. Siapakah yang telah memberinya nasihat? Guru tak tahu dan si Suardi tak pula menceritakannya.
Jika ia ditanya guru, apakah sebabnya kelakuannya tiba-tiba sangat berubah itu, si Suardi hanya menjawab : "Saya telah merasa, engku!"
( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar