Dalam sebuah desa, ditepi pantai tinggal Bahran dengan ibunya. Bapaknya tidak dikampung, ia pergi merantau kenegeri lain. Bahran telah tamat sekolah Pertama. Tetapi ia tidak meneruskan sekolahnya lagi ke Sekolah Rakyat, sebab tempatnya jauh. Hanya malam hari Bahran mengaji disurau. Siang hari tak ada kerjanya, hanya bermain-main saja. Bahran memang anak yang pemalas.
Pada suatu hari ibunya berkata, katanya : "Bahran, anakku! Yang sudah-sudah tak pernah ibu berkata kepadamu. Sebabnya, ialah karena bapakmu ada dirumah. Sekarang ia tak ada dan menurut katanya ia tak kan pulang dalam enam bulan ini. Engkau tahu, bahwa tiga bulan lagi bulan puasa. Sudah itu Hari Raya pula. Dengan apa pakaianmu akan ibu beli? Mencari untuk akan dimakan saja, tak kuat ibu rasanya. Kiriman bapakmu belum dapat kita harapkan. Sebab itu baiklah engkau mulai belajar bekerja. Besok pergilah kelaut dengan Pak Hasan, setangga kita yang disebelah ini. Jika ada rezeki sedikit-sedikit boleh kita kumpulkan pembeli pakaianmu untuk Hari Raya nanti."
Seketika lamanya Bahran tiada berkata apa-apa. Hatinya sangat malas pergi kelaut itu. Disana sehari-harian berpanas, berangin dan kadang-kadang kehujanan. Lebih senang ia dirumah bermain-main. Kemudian katanya : "Hamba tak kuat melaut ibu".
Kata ibunya : "Itulah salahnya engkau ini; belum kau coba sudah kau katakan tak kuat. Seperti makanan, belum kau makan sudah kau katakan tak enak. Bagaimana engkau akan jadi orang yang beruntung nanti? Cobalah dahulu kerjakan, nanti baru katakan kepada ibu, kuat atau tidak."
Keesokan harinya pergilah Bahran menumpang dengan Pak Hasan kelaut. Ada juga rezekinya sedikit-sedikit dan diberikannya kepada ibunya. Tetapi pada suatu hari, hari buruk benar. Karena itu Bahran tak kelaut lagi. Ibunyapun kuatir melepasnya dengan Pak Hasan.
Pada suatu pagi ibu Bahran pergi kekota. Sesampai dikota ia pergi ketoko kelontong. Disana dibelinya bermacam-macam barang lelang yang murah-murah harganya, seperti sisir, peniti, sapu tangan, sabun harum, minyak harum dan lain-lainnya. Barang-barang itu dibawanya pulang dan diberikannya kepada Bahran.
Bahran tercengang-cengang melihat barang itu bertumpuk-tumpuk dihadapannya.
"Untuk siapa ibu beli barang-barang ini? tanya Bahran.
"Untuk engkau", jawab ibunya dengan tersenyum. "Susunlah sekaliannya baik-baik kedalam peti sabun itu, beri bertali kiri-kanannya, kemudian gantungkan dilehermu."
Bahran makin heran mendengar kata ibunya. Karena itu ia bertanya lagi : "Apa gunanya digantungkan dileher, ibu? Nanti dikatakan orang hamba gila".
"Tidak! Orang takkan mengatakan engkau gila, melainkan akan memuji-muji engkau. Besok pergilah engkau kepekan dan bawalah barang-barang itu! Tentu engkau sudah tahu apa maksud ibu, bukan? Nah, sisir ini boleh kau jual lima sen sebuah; kalau laku enam sen tentu lebih baik. Sapu tangan lima sen sehelai, sabun sebenggol, minyak harum lima sen, peniti, cincin, gelang boleh engkau kira-kira saja, asal jangan merugi. Nah, cobalah besok, nanti akan kita lihat hasil usahamu itu."
Mula-mula agak segan Bahran mengerjakan apa yang disuruhkan ibunya itu. Ia belum pernah berdagang seperti itu; apalagi ia sangat pemalu. Tetapi kemudian ia teringat akan kata ibunya yang dahulu. Sebelum dikerjakan, jangan dikatakan susah lebih dahulu. Karena itu hendak dicobanya juga jadi saudagar kecil itu.
Keesokan harinya tampaklah Bahran dipekan. Ia berjalan berkeliling-keliling dengan petinya. Didalamnya tersusun dagangannya elok-elok. Sambil berjalan ia berseru-seru juga, menyerukan dagangannya itu satu-satu. Segala pekan-pekan yang dekat dari kampungnya dijelangnya.
Makin sehari makin terasa enaknya oleh Bahran jadi saudagar kecil itu. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh. Karena itu dagangannya lekas lakunya dan banyak juga untung didapatnya.
Jika barang-barang dagangannya habis, maka dibawalah Bahran oleh ibunya kekota. Disana ditunjukkannya dimana membeli barang-barang dan bagaimana membelinya, supaya jangan tertipu. Tak berapa lamanya, Bahran pandai pula membeli sendiri.
Hari Raya tinggal dua hari lagi.
"Marilah kita pergi kekota, Bahran!" kata ibunya pada suatu pagi. "Kita membeli pakaian yang baik untukmu akan dipakai Hari Raya."
Bahran pergilah dengan ibunya kekota. Sepanjang jalan Bahran tak habis-habisnya berpikir. Ada suatu barang yang sangat diingininya. Tetapi ia takut mengatakan kepada ibunya, sebab barang itu mahal harganya.
Ketika mereka lalu didepan sebuah toko kereta angin, Bahran berhenti. Ia memandang kedalam.
"Ada apa Bahran?" tanya ibunya.
"Ah, ibu," kata Bahran lambat-lambat, "kalau cukup uang hamba, hamba ingin benar hendak mempunyai sebuah kereta-angin."
Ibu si Bahran terdiam seketika. "Kereta Angin?" tanyanya dengan heran.
"Ya, ibu"
Ibu Bahran diam pula.
"Baiklah, mari kita lihat kedalam", kata ibu Bahran kemudian.
Amat suka hati Bahran mendengar kata ibunya itu. Tak disangkanya ibunya akan mengabulkan permintaannya.
Kata ibunya : "Lebih baik kita beli yang kuat, Bahran. Biarlah tidak baru benar, asal dapat dipakai lama."
Sesudah lama memilih dapatlah sebuah kereta angin yang setengah tua. Besinya bagus dan kuat; karena itu harganya hampir sama juga dengan yang baru.
"Ini sajalah kita beli", kata ibu Bahran. "Ini lebih baik dari yang baru itu. Yang baru itu rupanya saja yang bagus, besinya kurang kuat."
Dihitung-hitung uang simpanan Bahran, kurang sedikit. kekurangan itu ditambah oleh ibunya.
Setelah harganya dibayar, kereta angin itu dibawanya pulang. Tak terperikan sikacita hatinya. Entah diawan, entah dilangit yang ketujuh ia rasanya. Sudah bertahun-tahun barang itu diimpikannya; baru sekarang didapatnya. Yang lebih membesarkan hatinya, ialah karena kereta angin itu dapat dibelinya dengan uangnya sendiri pula.
"Bahran, tak iba hatimu nanti, Hari Raya tak mempunyai pakaian baru? tanya ibunya waktu mereka itu pulang.
"Tidak ibu! Kereta angin ini akan menggirangkan hati hamba. Untuk Hari Raya bukankah ada baju hamba yang sepasang lagi? Itu boleh hamba pakai, karena belum usang benar. Lagi pula besar benar hati hamba mendapat kereta angin ini, bu. Hamba ada suatu pikiran, bu. Kereta angin ini dapat hamba pakai untuk ........
Ya, itulah maksud ibu membelikan engkau", kata ibu Bahran menyambung. "Kalau untuk akan pelesir-pelesir saja tak akan ibu belikan. Sesudah Hari Raya dapat engkau pakai dia kepekan-pekan yang jauh dari kampung kita akan pembawa daganganmu. Tentu engkau tak payah benar memikulnya."
"Dan tak perlu disangkutkan lagi dileher, ya bu?"
"Ya, boleh engkau jajakan dengan kereta angin itu."
Ketika mereka itu sampai kedusunnya, datanglah seorang orang membawa sebuah bungkusan.
"Kiriman bapak Bahran, dari rantau," katanya. Ketika dibukanya nyatalah isinya pakaian.
"Lihat, Bahran!" kata ibunya dengan girang. "Kalau engkau menurut nasihat ibu, mujur itu datangnya bertimpa-timpa saja. Kereta angin sudah dapat dan sekarang pakaian baru dapat pula. Pada Hari Raya yang sekali ini engkau tak kurang dari anak-anak yang lain."
"Ya, ibu, nasihat ibu selamanya akan hamba turut!"
( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar