Senin, 27 Juni 2011

Kelurusan hati juga yang kekal

    Si Yusuf seorang anak yang miskin. Ia baru berumur tujuh tahun. Orang tuanya sudah kira-kira dua tahun meninggal dunia. Semenjak itu ia dipelihara oleh seorang tukang penjual kue! Setelah si Yusuf besar sedikit, disuruhnya tiap hari berjaja kue masuk kampung keluar kampung. Jarang benar jualannya kembali pulang. Selalu habis semuanya. Sayang sekali induk semangnya itu seorang yang tamak. Kerajinan si Yusuf tak dihargainya.

    Kalau ia pulang dari berjaja, selalu saja ada yang akan disuruh kerjakannya; menimba air, mencuci piring, menolong membuat kue dan sebagainya. Tak ada sedikit juga waktu baginya untukbermain-main. Kadang-kadang tengah malam ia baru tidur.

    Pada suatu hari keluar pula ia, menjajakan jualannya. "Goreng Pisaaaang! Goreng pisang! Lepat Bugiiis! Lepat Bugis! Kue mangkuk ........ hangat hangat!"

    Sungguhpun ia serajin itu, tak kurang juga ia kena pukul, tampar dan tempeleng. Rasa tak akan tertahan olehnya lagi tinggal disana. Tetapi akan lari dari situ, takut pula ia. Induk semangnya acapkali berkata, bahwa ia akan ditangkap polisi, kalau ia lari. Si Yusuf takut benar kepada polisi. Takut ia akan dipukul dan dimasukkan penjara.

    Pada suatu hari si Yusuf menjual kue-kuenya dekat sebuah sekolah. Setelah kue-kuenya habis terjual, duduklah ia ditepi jalan, melihat kepada anak-anak yang sedang bermain-main dengan riangnya dihalaman sekolah. Makin lama dipandangnya makin iba hatinya.

    "Ah, alangkah senangnya hati anak-anak itu!", katanya seorang diri. "Bermain bersuka-sukaan, tak ada yang memaki atau memukul. Pakaiannya bersih, rupanya elok, ilmupun dapat pula ..... Jika saja ....." Tiada berapa lama kemudian, iapun pulanglah.

    Pada suatu pagi, ketika si Yusuf lalu dihadapan rumah tuanku Demang menjunjung jualannya, tampaklah olehnya suatu benda terletak ditepi jalan. Benda itu didekatinya. Kiranya sebuah dompet. Waktu dibukanya dompet itu, dilihatnya berlipat-lipat uang kertas didalamnya. Siapakah yang punya? Akan diambilnyakah, atau akan dikembalikannya? "Kalau saya ambil, tentulah itu mencuri namanya", pikirnya dalam hatinya. Dalam ia termenung memikirkan hal itu tiba-tiba dilihatnya seorang polisi. Polisi itu dikejarnya dan setelah dapat, diberikannya dompet itu, Polisi itu terbelalak matanya melihat dompet yang penuh berisi uang kertas itu. Maka ditanyakannya nama dan tempat tinggal si Yusuf. Setelah diceriterakan si Yusuf dengan jelas semuanya, polisi itu masuk kekantor tuanku Demang dan si Yusuf terus berjalan menjajakan kue-kuenya.

    Pada petangnya si Yusuf dipanggil oleh pembesar negeri itu. Alangkah takutnya si Yusuf, waktu mendengar kabar itu! Akan dimengapakan dia? Akan dihukum atau dikurung, karena mendapat uang itu?

    Setelah ia sampai, tuanku Demang bertanya : "Betulkah engkau yang mendapat uang ini?

    Si Yusuf memandang kepada dompet itu, lalu jawabnya : "Benar, tuanku". Si Yusuf menceriterakan kejadian itu. Setelah didengar oleh tuanku Demang, ia tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk, lalu katanya : "Engkau anak yang lurus hati, Yusuf. sebab itu engkau patut dapat balasan yang baik. Nah, terimalah pemberianku ini, sebab akulah yang punya uang itu".

    Si Yusuf diam saja. Tak mau ia mengambil uang itu. Tuanku Demang heran, lalu katanya : "Apakah sebabnya engkau tak mau mengambil uang itu? Atau tak cukup banyaknya?"

    "Bukan tak cukup, tuan," jawab si Yusuf. "Tetapi paedahnya tak ada kepada hamba. Uang itu tentu akan diambil oleh induk semang hamba. Dan boleh jadi pula disangkanya hamba menerima lebih banyak lagi dari ini; tentu hamba akan dipaksa dan dipukulinya menyuruh memberikan yang lain itu. Induk semang hamba itu pemarah benar, tuan. Hamba tiada lagi beribu bapa. Keduanya sudah meninggal, waktu hamba berumur lima tahun.

    Tuanku Demang kasihan melihat si Yusuf, lalu dijadikannya anak angkatnya.

    Ketika tuanku Demang mengetahui, bahwa siYusuf ingin benar hendak bersekolah, maka dimasukkanlah ia kesekolah bersama-sama dengan anaknya.

    Si Yusuf memperlihatkan kerajinannya, sehingga akhirnya ia jadi murid yang terpandai dikelasnya.

    Keluar dari sekolah ia dapat pekerjaan yang baik.

    Kebaikan tuanku Demang itu tak dilupakannya selama-lamanya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



   

Kamis, 23 Juni 2011

Saya sudah merasa

    "Suardi!" kata guru pada suatu pagi, "sudah acap kali benar saya menasihatimu. Tetapi tabiatmu tidak juga berubah; kamu masih malas juga. Pagi ini engkau terlambat pula. Apa-apa yang saya suruh kerjakan dirumah, tak pula engkau kerjakan. Apakah sebabnya, Suardi? Atau tak suka lagi engkau bersekolah ?"

    "Suka, engku!" jawab si Suardi lambat-lambat.

    "Nah, kalau engkau suka mengapa engkau semalas itu?" Suardi diam tunduk kemeja.

    "Tidakkah engkau tahu, Suardi, orang yang malas itu bodoh akhirnya?" kata guru pula. "Orang tuamu bersusah payah mencari uang untuk belanjamu dan uang sekolahmu. Ia sangat berharap, supaya engkau jadi anak yang pandai. Tetapi berapalah akan sedih hatinya nanti, melihat engkau seorang anak yang bodoh. Badannya payah, uangnya habis dan engkau bermain-main saja. Tidakkah engkau pikirkan semuanya itu, Suardi?"

    Sekali itu guru tidak marah lagi kepadanya. Lemah lembut kata-katanya. Pada pikirnya, barangkali dengan perkataan yang lemah lembut itu tabiat si Suardi dapat berubah. Sebenarnyalah, perkataan gurunya itu masuk kedalam hatinya. Ia berjanji akan mengubah sifatnya yang malas itu. Gurupun bersenang hati melihat air muka si Suardi seperti orang menyesal.

    Tetapi nasihat yang baik itu hanya tiga hari tinggal dalam telinganya. Sesudah itu iapun lupa pula. Sudah acapkali pula ia tiada bersekolah. Gurupun bingung memikirkan kelakuan muridnya yang seorang itu.

    Pada suatu pagi bangku si Suardi kosong pula. Si Suardi tak datang pula hari itu. Kemanakah ia?

    Ditengah jalan ia menyimpang menuju sebuah anak air. Disanalah biasanya ia bermain-main sampai pukul tiga. Kalau pada pikirannya anak sekolah sudah pulang, pulang pulalah ia. Karena itu ibu bapaknya tak sedikit juga menyangka, bahwa ia tak bersekolah. Ketika si Suardi sampai keanak air, ia bertemu dengan Pak Wirio. Orang tua itu tahu akan kelakuan siSuardi. Sudah acapkali si Suardi bertemu olehnya disana. Ketika anak itu tampak olehnya, ia berkata, katanya : "Hai, Suardi, engkau sudah ada pula disini?"

    "Ya, Pak", jawab si Suardi sambil tersenyum. "Jangan dikatakan kepada bapak saya, ya, pak?"

    "Ah, tidak", jawab Pak Wirio. "tetapi mengapakah engkau tidak bersekolah, Suardi?"

    "Malas saja hati awak, pak. Tiap-tiap hari duduk dibangku membaca buku, menulis ini dan itu. kesal hati rasanya. Betapa senang hati saja kalau menjadi kupu-kupu, pak! Sebagai kupu-kupu itu!" Sambil berkata demikian si Suardi menunjuk kepada kupu-kupu yang berterbangan mencari bunga. "Lihatlah, pak, ia dapat bermain sesuka hatinya. Dapat terbang kemana-mana."

    Orang tua yang baik hati itu tersenyum, lalu berkata, katanya : "Suardi, pikiran engkau itu benar juga. Kupu-kupu itu dapat terbang kemana-mana. Tetapi janganlah kau sangka ia pergi bermain-main saja. Ia terbang kesana itu mencari makan dengan rajinnya. Kalau ia tidak berbuat demikian, tentulah ia mati kelaparan, sebab tidak ada orang lain yang memberinya makan."

    Si Suardi terdiam seketika. Kemudian katanya pula : "Kalau begitu menjadi burung barangkali lebih senang, pak. Lihatlah burung merbah itu, hinggap disini hinggap disana, sambil bernyanyi dengan merdu suaranya."

  Kata Pak Wirio : "Sangkamu itupun tak betul pula, Suardi. Burung merbah itu bukanlah pula bermain-main saja. Iapun sedang bekerja mencari makan. Pagi-pagi benar ia sudah keluar dari sarangnya dan petang-petang baru pulang. Bukan merbah saja, tetapi sekalian burung berbuat seperti itu, Suardi. Engkau lihat merbah yang agak kecil itu? Itulah anaknya sedang diajar oleh induknya mencari makan. Jika ia telah besar sedikit, nanti akan disuruh pergi oleh induknya, supaya mencari makan sendiri. Induknya tak akan mau lagi memberinya makan biarpun sedikit."

    Si Suardi termenung pula.

    Kemudian Pak Wirio berkata : "Suardi, lihatlah keatas batu itu! Tampak olehmu semut itu berbaris serupa serdadu? Tentu kau sangka ia bermain-main pula, bukan? Sekali-kali tidaklah demikian, Suardi. Semut itu, ialah binatang yang sangat rajin. Barangkali tak adalah binatang yang serajin semut. Ia tak takut lelah, tak takut payah. Tiap-tiap hari ia selalu bekerja berat. Tak pernah ia lalai atau malas. Begitu pula bangsa lebah. Kelihatankah olehmu ia berkerumun pada bunga itu? Ia sedang merngisap madu akan disimpannya disarangnya. Dalam musim susah, madu itu dapat dimakannya. Manusia begitu pula hendaknya, Suardi. Malah lebih rajin hendaknya dari pada binatang-binatang itu, sebab kita lebih cerdik dan lebih berakal. Selagi kecil kita menuntut ilmu, bersekolah atau mengaji. Nanti kalau sudah besar tidak susah kita mencari penghidupan. Kalau waktu kecil kita malas, sudah besar tentu jadi orang bodoh. Tidakkah engkau lihat Pak Salui itu? Ketika kami kecil-kecil ia sangat pemalas. Sesudah besar ia tak tahu apa-apa. Dan sampai tua ia jadi gembala kerbau saja. Hendaknya engkau jangan begitu. kalau sudah besar, engkau hendaknya jadi orang yang pintar dan kaya, supaya senang hidupmu." Pak Wirio berhenti berkata. Si Suardi berdiam diri saja. Tak lama kemudian, keduanya berpisah. Pak Wirio pergi keladang dan si Suardi pulang kerumahnya.

    Beberapa hari sudah itu, guru heran melihat tingkah laku si Suardi. Anak itu sudah pendiam. Tetapi segala pelajaran sangat diperhatikannya. Rajinnya melebihi kawan-kawannya yang lain. Bukan main senang hati gurunya melihat. Siapakah yang telah memberinya nasihat? Guru tak tahu dan si Suardi tak pula menceritakannya.

    Jika ia ditanya guru, apakah sebabnya kelakuannya tiba-tiba sangat berubah itu, si Suardi hanya menjawab : "Saya telah merasa, engku!"



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



         
       

Wit Jatos

    Pancasemita waunipun mlarat. Griyanipun boten patos apik. Payonipun inggih gendeng, nanging balunganipun namung kajeng taun kemawon. Sareng sampun dados mandor, saged nglempakaken yatra. Griyanipun sampun ketingal rosok; gedegipun pating cromplong,dipun tedani rayap. Menawi dipun tingali saking ing njawi, rupinipun inggih kados taksih sae, nanging menawi dipun lebeti, lajeng ketawis yen griya sampun sepuh. Sakanipun lan blandar pangeretipun, pating krewek, pating crumpleng. Wonten ingkang dipun teda rayap, wonten ingkang dipun elengi kombang. Menawi wonten angin radi ageng, utawi jawah deres, sampun nguwatosi, mbok menawi ambruk. Waunipun inggih dipun reka-reka, murih sampun kelajeng-lajeng, nanging rayapipun ndadra kemawon, sabab kajeng taun punika pancen dados doyananipun rayap Kombang inggih seneng ngeleng wonten ing ngriku. Sarehning sapunika sampun gadah yatra, dados nedya dipun santuni kajeng jatos, sebab rayap boten doyan dateng kajeng jatos. Kombang inggih boten purun, sabab atos.

    Anuju satunggaling dinten pun Pancasemita dateng balokan bade tumbas kajeng jatos. Wonten punapa kok boten dateng wana kemawon, tiyang griyanipun pun Panca punika sanding wana? Menawi dateng wana rak boten susah tumbas, namung negori kemawon, bat-bet. Mangka menawi tumbas dateng balokan, 1 m3 regenipun sakiwa-tengenipun suwidak rupiyah. Inggih leres kala jaman kejawen wana punika kasebut boten wonten ingkang nggadahi, ingkang gadah tiyang katah, criyosipun; nanging sapunika dipun sengker dateng Negari. Tiyang-tiyang boten kenging negor kajeng jatos sakajeng-kajengipun kados kala jaman rumiyin. Menawi dereng angsal idi, mangka purun-purun negor wit jatos, mesti dipun cepeng ing polisi. Enggenipun mekaten punika prelu rumeksa dateng kajeng jatos. Rumiyin tiyang negori sakajeng-kajengipun piyambak, boten ngangge ngengeh-ngengeh, tur boten purun nyulami. Lha menawi namung dipun tegori kemawon, boten mawi dipun sulami, lami-lami kajeng jatos rak telas babar pisan; tanah Jawi lajeng ketelasan kajeng jatos. Anak putu yen bade damel griya ingkang sae, enggenipun pados balungan ingkang apik dateng pundi? Kejawi punika menawi taksih wonten wana, rak katah tiyang ingkang saged beberah negor-negor kajeng. Ingkang tengga wana punika sapunikanipun inggih angsal bayar saking Negari, wonten houtvester, sinder, mantri jatos, polisi wana lan mandor pinten-pinten. Wonten malih wana ingkang dipun sewakaken Negari dateng presil. Panggesangan kaliyan pamedal ingkang semanten wau, menawi wananipun telas, inggih tumut larud. Dados enggenipun ngreksa dateng wana punika, perlunipun, sampun ngantos tiyang-tiyang benjing kapitunan, margi srakahipun tiyang sapunika. Ing tanah-tanah ingkang katah wananipun jatos, kadosta : Madiun, Rembang, Semarang, wonten priyantunipun, ingkang dipun patah Pamarentah njagi wana-wana wau : pangagengipun nama houtvester. Houtvester saandahanipun punika ingkang njagi wana; menawi wonten wit jatos ingkang dipun tegori, lajeng prentah nyulami pisan. Menawi wonten wit jatos ingkang dipun tegor, tunggakipun boten dipun dongkeli, dipun togaken kemawon. Lami-lami lajeng medal trubusanipun pinten-pinten; punika dipun sempeli, namung dipun kantunaken setunggal kemawon, enggal sanget mindakipun ageng, janji dipun openi; sampun ngantos kagubed-gubed ing rerungkudan. Yen kemaru ing rerungkudan, inggih gampil pejahipun, boten saged kopen, umur 40 utawi 50 taun, inggih sampun dados wit jatos ageng sanget, kenging dipun tegor malih.

    Lha yen nanem wit jatos enggal, ingkang dipun tanem wohipun, namannipun janggleng. Sadangunipun wit jatos dereng ageng, tiyang-tiyang kenging nanemi pejatosan punika wau,boten ngangge maosi. Ingkang dipun tanem terkadang gaga; nanging ingkang kerep-kerep lombok, terong lan sapenunggilanipun; nanging inggih boten kenging dipun berakaken babar pisan. Menawi wonten rerungkudanipun kedah dipun resiki; sabab menawi tukulan jatos wau dipun rubung ing rerungkudan, lajeng kera, katah ingkang pejah.

    Menawi wonten wit jatos ingkang bade dipun tegor, dipun pejahi rumiyin. Sabab menawi lajeng dipun tegor kemawon, katah ingkang kajengipun sami  suwek utawi pecah-pecah. Rekanipun enggenipun mejahi mekaten : Kulitipun ing ngandap dipun klentek mubeng; kuwalipun ingkang petak punika dipun ulapi ngangge wadung utawi petel ngantos dumugi ing kajengipun ingkang abrit. Dados oyod, enggenipun ater teda boten saged minggah; ingkang inggil pejah, ingkang ngandap taksih gesang. Mekaten punika,menawi sampun kalih taun, saweg dipun tegor. Pangusungipun kajeng saking wana punika inggih kangelan. Wonten ingkang dipun ketok-ketok dipun gered ing tiyang; wonten ingkang dipun gered ing lembu utawi mahesa. Asring dipun damelaken ril, dipun emot ing lori, dipun bekta dateng balokan. Dene ingkang nggered lokomotip. dados tetela, yen kedah katah ingkang nyambut damel; ingkang angsal pangupa jiwa inggih katah.

    Menawi sampun dumugi balokan, lajeng dipun sade dateng pundi-pundi. Malah wonten ingkang dipun kintunaken dateng tanah sabrang barang, sabab kajeng jatos punika sampun misuwur saenipun. Wonten ingkang dipun damel baita, wonten ingkang dipun damel balungan griya, kreteg, grobag lan sanes-sanesipun. Tukang kajeng, menawi tumbas kajeng, inggih dateng balokan, dipun damel kursi,bangku, lemantun lan sapinungilanipun. Bantalanipun margi sepur punika, ingkang dipun damel inggih kajeng jatos. Menawi tiyang Jawi, wit jatos punika ingkang dipun pendet boten namung kajengipun kemawon, ronipun inggih dipun purih paedahipun.

    Yen ketiga ngerak, wetawis salebeting wulan Agustus kaliyan September, wit jatos punika brindil; menawi sampun wiwit jawah, lajeng medal ronipun enem-enem, namanipun jompong. Punika asring dipun pendeti dipun angge buntel sekul utawi tempe kaliyan sanes-sanesipun; wonten ingkang dipun angge ngudungi taneman sata ingkang taksih alit-alit. Ing tanah Madiun, menawi ngleresi katah entung jatos, entungipun punika dipun pendeti ngantos angsal pinten-pinten rinjing, dipun sade dateng peken, sami dipun angge lawuh dateng tiyang ingkang doyan.

    Ingkang mekaten dados genah, yen wit jatos punika ageng sanget paedahipun. Benjing ben menawi sampeyan keleresan saged sumerep wit jatos saking celakan, sampeyan sampun supe maspaosaken sekaripun, werninipun wungu. Wit jatos menawi sekar, pendak mangsa labuh.



( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )




 


 

Rabu, 22 Juni 2011

Tiga orang buta dengan gajah

     Adalah tiga orang buta bersahabat karib. Jika yang seorang pergi, pergilah ketiganya. Jika seorang beruntung, giranglah ketiganya. Akan tetapi sekali-sekali ada juga mereka itu berselisih. Kadang-kadang karena perkara yang kecil saja mereka itu sampai berkelahi. Tetapi sesudah itu berbaik pula.

    Pada suatu hari ada sebuah komidi kuda datang kekampung mereka itu. Semua isi kampung keluarlah pergi melihat.

    Ketiga sahabat itu amatlah inginnya hendak melihat. Mereka itupun bermupakatlah, lalu pergi. Akan tetapi apakah yang akan ditontonnya, suatupun tiada yang tampak. Mereka itu hanya dapat mendengar lagu musiknya yang merdu saja.

    Tukang jaga pintu itu kasihan melihatnya. Ketika permainan sudah habis, ketiga sahabat itu dibawanya melihat seekor gajah.

    Maksudnya akan menyenang-nyenangkan hati orang buta itu. Maka diraba-rabalah oleh mereka itu binatang yang besar itu. Setelah puas, pulanglah ketiganya. Ditengah jalan masing-masing menceritakan pendapatannya tentang binatang raksasa itu.

    Kata yang pertama : "Tentu gajah itu serupa dengan tong besar. Sebab kuraba dari muka sampai kebelakang bulat dan besar".

    Kata yang kedua : "Ah, tidak begitu perasaanku tadi. Kupikir gajah itu serupa dengan tongkat, panjang dan kecil ........"

    Belum lagi habis cerita yang kedua, sudah disambung oleh yang ketiga : "Alangkah bodohnya kamu kedua ini, Masakan gajah itu dua macam rupanya yang sangat berlainan. Aku berani bertaruh, gajah tadi serupa betul dengan kipas".

    Mendengar kata kawannya itu, yang berdua tak mau diam saja. Dengan suara yang amat keras mereka itu membantah dan mempertahankan pendapatannya masing-masing. Karena seorang pun tak ada yang hendak mengalah, maka mereka itupun berbantahlah. Akhirnya berkelahi berpukul-pukulan.

    Melihat itu banyaklah orang berkerumun memisahkan dan bertanyakan apakah sebabnya mereka itu maka sampai berkelahi itu. Masing-masing berceriteralah menurut pendapatannya. Ketika segala orang itu mendengar keterangan mereka itu, semuanya tertawa tergelak-gelak.

    Akhirnya lalu seorang tua dan berkata, katanya : "Sebenarnya kamu ketiga ini tak perlu berkelahi, sebab apa yang kamu ceritakan itu betul semuanya. Sekarang berdamailah kembali dan pulanglah!"

    Sesungguhnya tak salah kata orang tua itu, sebab menurut kata penjaga pintu, yang membawa mereka itu melihat gajah itu, orang buta yang pertama meraba-raba badan gajah, yang kedua meraba-raba ekornya dan yang ketiga memegang telinganya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



   

Balasan orang yang loba

    Adalah dua ekor anjing yang bersahabat, si Hitam dan si Putih namanya. Persahabatan keduanya amat karibnya. Jika dapat makanan, biarpun sedikit dibaginya dua juga. Jika tiada dapat makanan, sama-sama ditahannya lapar.

    Pada suatu hari keduanya dapat menangkap seekor anak rusa. Bukan main sukacita hatinya, lalu makan keduanya dengan lahapnya. Setelah kenyang, maka sisa daging itu disembunyikannya dalam sebuah lubang dalam banir kayu, supaya jangan dapat dicuri binatang lain. Kemudian pergilah keduanya ketempat tinggalnya.

    Keesokan harinya bangunlah si Hitam lebih dahulu. Si Putih masih bergelung kedinginan disudut goanya. Tiba-tiba timbullah niat si Hitam yang jahat, lalu katanya dalam hatinya : "Lebih baik aku makan sendiri saja sisa daging yang kemarin. Nanti kalau si Putih bangun dan bertanya, aku katakan saja tak tahu. Tentu disangkanya sudah dimakan oleh harimau atau binatang yang lain".

    Dengan diam-diam pergilah si Hitam ketempat ia menyembunyikan daging rusa itu. Setelah sampai, lalu ia masuk kedalam lubang kayu itu dan dimakannya cepat-cepat, supaya jangan ketahuan oleh sahabatnya. Daging itu tiada dikunyahnya lagi, melainkan dilulurnya saja. Akhirnya habislah daging itu tinggal tulang-tulangnya saja lagi.

    Kemudian bangunlah ia hendak keluar; akan tetapi ........ badannya tidak termuat lagi pada lubang itu, sebab perutnya sudah besar. Berulang-ulang dipaksanya juga hendak keluar, tetapi kepalanya juga yang terhulur, badannya tersangkut. Akhirnya karena sangat dipaksa itu, dapatlah lolos kedua kakinya yang dimuka. Itupun kulit lehernya sudah terkoyak karena tersepit. Yang lebih buruk lagi, surutpun tak dapat ia. Maka melolong-lolonglah ia kesakitan. "Matilah aku sekali ini!" katanya. "Kalau datang binatang buas atau manusia, tentu akan mati dimakannya atau dipukulnya".

    Lolong si Hitam itu terdengar oleh si Putih. Pikir si Putih : "Hai, mengapakah si Hitam itu melolong-lolong macam orang kesakitan rupanya? Barangkali ia dalam bahaya. Lebih baik kulihat sebentar".

    Maka berlarilah ia ketempat si Htam melolong itu. Ketika dilihatnya hal sahabatnya itu demikian, tiada ia terkejut, melainkan tertawa tergelak-gelak. Ia sudah maklum apa sebab seperti itu. Si Hitam didekatinya perlahan-lahan, lalu berkata dengan mengejek : "Hai, sahabat, sedap benar rupanya sisa daging anak rusa itu, sehingga gelakmu terdengar seluruh rimba ini. Engkau tak mengingat kawan sedikit juga, hendak makan sendiri saja. Jadilah .........!"

    Si Hitam bukan main malunya mendengar sindiran si Putih itu. Tetapi karena sangat kesakitan, sebab tengkuknya sudah habis luka-luka, berkata jugalah ia beriba-iba, katanya : "Hai, sahabat, beri ma'aflah aku, karena kelobaanku itu. Aku berjanji tujuh kali turunan tak akan berbuat begitu lagi. Sekarang tolonglah aku dari tersepit ini. Tidak akan kulupakan pertolonganmu itu selama-lamanya. Matilah, aku, kalau tidak sahabat tolong!"

    Si Putih tersenyum saja mendengar ratap tangis sahabatnya itu, kemudian katanya : "hai sahabat,mau juga aku menolongmu, tetapi tak dapat. Tunggulah perutmu kempis kembali. jalan lain tak ada lagi!" Sehari semalam si Hitam baru terlepas.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )


 
  

Selasa, 21 Juni 2011

Urip sajroning banyu

    Ing wayah esuk mbeneri dina Ngahad si Suji lunga mancing karo kakange. Enggone pada mancing ana kedung kang misuwur akeh iwake. Mulane sedela bae kepise wis pada kebak. Tumuli pada bungah-bungah bali mulih. Kejaba rumangsa begja olehe mancing oleh akeh, iya bungah, dene mengko yen mangan bakal nganggo lawuh iwak. Tur iwake enggone mancing dewe. Mulane sing pada dipikir ora ana maneh kejaba mung iwak oleh-olehane mancing. Si Suji takon menyang kakange. Celatune : "Kang! Iwak kuwi ana ing banyu kok ora keplepeken! Yen menungsa ana ing njero banyu rak ora betah suwe. Kuwi kepriye sebabbe.?"

    Wangsulane kakange : "Iku gampang wae. Mara rungokna, dakkandani. Wong iku pada nduweni kebuk. Iku sing dianggo ambekan; dene iwak, pirantine ambekan dudu kebuk, angsang. Mengko, dak tuduhi! Delengen, iki lo angsange, ana ing samburining endas iki. Angsange iku gawene dienggo nyerot hawa saka ing banyu."


    Si Suji celatu maneh : Elo! nyerot hawa kok saka ing banyu? Apa ing banyu iku ana hawane?" Wangsulane kakange : "Ana; ing banyu iku iya ana hawane. Mengko yen si embok nggodog wedang, kowe dak tuduhi. Yen iwak iku ana ing sajroning banyu, cangkeme diangapake, tumuli kelebon banyu. Ananging banyu iku banjur metu ing sela-selaning angsang; hawane diserot. Samangsa iwak iku dumunung ana ing daratan, angsange banjur garing, iwake mati."

    Ora antara suwe lakune tekan ing ngomah, kepise banjur disuntak. Siji-loro isih ana sing pating klepek sarta kogel-kogel. Celatune kakange : "Iya, pada kogel-kogela! Mangsa ndadak bisaa mlayu ora. Sedela engkas kowe dogoreng. Delengen, Ji, kaya mengkono kuwi enggone molahake buntute, yen pinuju nglangi. Dadi kaya dene wong molahake tangan lan sikile. Buntut iku gawene kaya dene dayung Malah ana iwak sing rosa banget, bisa nggolingake prau cilik-cilikan, disabet nganggo buntute."

    Si Suji sawise dikandani mengkono, senenge marang iwak mundak. Maune durung tau ngiling-ilingi iwak kang kaya mengkono genahe. Ewa dene isih durung marem. Enggone ngiling-ilingi isih dibanjurake. Kepingin weruh dununge kabeh.
Iwake tumuli arep diresiki marang embokne, sabab arep diolah, digawe lawuh mangan awan. Sisike pada dikeroki, banjur dibeteti. Patrape wis kaya wong mbeleh sapi kae. Wujude mula pancen nggigoni. Nanging kakange ngandani, yen satemene ora pisan-pisan nggigoni; tembunge : "Kuwi rak barang lumrah. Aku kowe iya pada duwe; iku ora liya mung jeroan : waduk, usus, ati lan getih setitik."  kakange celatu maneh : "Delengen, iki endoge. Dadi iwak iki lagi arep ngendog. Delengen kehe! Ewon! Saupama isiha urip, mesti banjur ngendog ana ing dasaring kali." Suji sumambung : "Saupama saben endong siji dadi iwak siji, kaline mesti banjur kebak iwak." Wangsulane kakange : "Bener kandamu iku, yen endoge pada slameta kabeh. Ananging tibane ora mengkono. Sabab endog iwak iku akeh kang pada dipangani ing iwak liyane utawa dipangani kodok. Mengkono uga iwak kang isih cilik-cilik iya akeh kang pada dipangani. Dadi urip ana ing banyu iku iya ora mesti seneng." Tekan semono enggone pada guneman bab iwak, tumuli kandeg.

    Bocah loro mau nuli pada dolanan ana ing njaba; biyunge ngolah iwake ana ing pawon.



( bersumber dari buku: "Kembang Setaman" )





   

Si Bungsu dengan ikan emas

    Tersebutlah pada zaman dahulu tujuh orang anak perempuan yang tiada beribu-bapak lagi. mereka itu diam dalam sebuah rumah yang besar, pusaka dari orang tuanya. Diantara ketujuhnya hanya seorang yang amat baik budi bahasanya, lagi sabar dan rajin. Anak itu ialah si Bungsu, yakni yang kecil sekali. Karena itu banyaklah orang kasih sayang kepadanya. Melihat itu saudara-saudaranya iri hatinya. Maka adiknya itu diazabnya bekerja dari pagi sampai petang tak berhenti-henti. Mereka hanya bersenda gurau saja sepanjang hari. Meskipun demikian si Bungsu tiadalah berkecil hati. Ia bekerja dengan girang dan gembira.

    Pada suatu hari si Bungsu pergi mandi kesungai, tak jauh dari rumahnya. Sedang ia mandi, berenanglah seekor ikan emas berkelilingnya. Jinak benar ikan itu. Si Bungsu sangat suka-cita melihatnya. Ikan itu ditangkapnya dengan mudah, lalu dibawanya pulang dan dilepaskannya kedalam kolam dihalaman rumahnya.

    Tiap-tiap pagi dan petang ikan itu diberinya makan dan peliharanya baik-baik. Jika pekerjaannya sudah selesai, bermain-mainlah ia dengan ikannya itu. Melihat perbuatan si Bungsu itu, keenam kakaknya iri pula hatinya. Maka bermupakatlah mereka itu hendak mencuri ikan adiknya itu.

    Keesokan harinya, ketika si Bungsu pergi kepekan membeli sayur-sayuran, ikannya ditangkap oleh keenam kakaknya, lalu dibakarnya dan kemudian dimakannya bersama-sama; tulangnya disembunyikan dibalik dapur.

    Sepulang si Bungsu dari pekan, pergilah ia kekolam hendak memberi makan ikannya. Tetapi alangkah herannya, waktu dilihatnya ikannya tak ada lagi. Maka syaklah hatinya, bahwa ikannya itu dicuri oleh kakak-kakaknya. Hatinya amatlah sedih dan pilu. Air matanya jatuh berderai-derai. Tetapi kesedihannya itu tidak diperlihatkannya kepada kakak-kakaknya.

    Ketika ia menyapu dibelakang dapur, bertemulah olehnya tulang-tulang ikannya itu. Maka makin sedihlah hatinya mengenangkannya. Tulang-tulang itu dikumpulkannya dan dikuburkannya disebelah rumahnya.

    Beberapa hari kemudian dengan kodrat Yang Mahakuasa, tumbuhlah sepohon anak kayu diatas kuburan tulang ikan itu. Anak kayu itu lekas sekali besar serta tingginya. Daunnya sangat indah rupanya, putih berkilat-kilat sebagai perak; buahnya kuning gilang-gemilang sebagai emas. Ganjilnya pula buah pohon itu tak seorang juga dapat memetiknya, lain dari si Bungsu sendiri.

    Pada suatu hari berhembuslah angin yang kencang. Maka berterbanganlah daun pohon si Bungsu itu kemana-mana ditiup angin. Beberapa helai diantaranya jatuh kedalam taman bunga putera raja dalam negeri itu. Pada ketika itu putera raja sedang berjalan-jalan dalam taman itu. Amatlah heran baginda melihat daun kayu yang sangat indah itu. Pada pikirnya : Betapalah akan indahnya pohon kayu itu dan betapa pula indahnya taman tempat tumbuhnya! Maka amatlah rindu baginda hendak mengetahui, dimanakah pohon itu tumbuh.

    Maka dititahkan baginda seorang hulubalang akan mencari pohon itu. Hulubalang itu bermohon, lalu berangkat.

    Beberapa lamanya berjalan, kembalilah ia. Maka diceriterakanyalah, bahwa pohon itu tumbuh dalam pekarangan seorang dusun.

    Mendengar itu putera raja berangkatlah kesana hendak melihat pohon itu. Alangkah tercengang baginda melihat buahnya yang berkilau-kilauan sebagai emas. Maka dititahkan baginda hulubalang itu mengambilnya, tetapi seorangpun tiada yang sanggup. Akhirnya dijanjikan baginda, barang siapa yang dapat mengambil buah itu akan diberi hadiah yang besar. Akan tetapi tak ada seorang juga yang dapat mengambilnya. Sudah habis segala isi dusun itu, baik laki-laki, maupun perempuan, baik besar atau kecil mencobakan kepandaiannya, tetapi sia-sia saja semuanya. Begitulah juga dengan keenam kakak si Bungsu. Mereka berebut-rebut hendak memanjat, tetapi sia-sia saja. Hanya tinggal si Bungsu seorang saja yang belum mencoba. Ketika ia dititahkan mengambil buah itu, maka dipanjatnyalah dengan mudahnya, lalu buah itu dipersembahkannya kepada putera raja itu. Putera raja sangatlah suka-citanya, lalu ditanyakan baginda kepada si Bungsu, apa yang dikehendakinya. Tetapi si Bungsu tiadalah berkehendak apa-apa, hanyalah minta diperlindungi rajanya saja dari pada siksa dan aniaya saudara-saudaranya.

    Melihat budi bahasa si Bungsu yang baik itu, tertariklah hati putera raja itu. Maka dimintanyalah si Bungsu tinggal diistana, supaya dipeliharanya dengan baik-baik dan jangan disiksa juga oleh saudara-saudaranya.

    Si Bungsu tinggallah diistana raja dan akhirnya ia diambil oleh putera raja akan menjadi permaisuri baginda.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Kalau susah baharu ingat

    Adalah seekor cengkerik(jangkrik) bersahabat dengan seekor lebah. Adapun cengkerik itu kerjanya siang hari tidur saja. Petang hari sesudah membersihkan diri keluarlah ia berjalan-jalan, sambil bernyanyi-nyanyi tiada berhentinya. Jauh malam baharulah ia pulang kerumahnya. Keesokan harinya, pagi-pagi benar, ia telah bangun dan bernyanyi-nyanyi pula sepanjang jalan. Begitulah saja kerjanya sepanjang hari, bersenang-senang dan bersuka-sukaan saja. Tak ada teringat olehnya bahaya yang akan menimpanya.

    Adapun lebah itu kerjanya berlainan benar dengan cengkerik. Jarang benar ia bermain-main dengan tak keruan. Tiap-tiap hari ia bekerja. Pagi-pagi benar sudah keluar ia dari sarangnya akan mencahari makan dan petang-petang baharu pulang. Malam hari tidaklah ia kemana-mana, melainkan melepaskan lelahnya. Lain dari pada itu makanan yang berlebih, disimpannya baik-baik. Gunanya ialah untuk dimakannya nanti dalam waktu susah.

    Pada suatu hari berkatalah cengkerik itu kepada sahabatnya :"Hai sahabatku lebah, engkau ini sudah jadi budak kerja. Tak  ada ingatanmu yang lain dari pada kerja. Kerja, kerja saja dari pagi sampai petang. Tak ada waktumu bersuka-suka dan bersenang-senang sedikit juga. Engkau ini hendak kaya benar rupanya. Tetapi aku, biarpun tidak kaya, senang juga hidupku. Minum-makanku tidak kurang dan kesenanganku cukup. Apakah yang kita cari diatas dunia ini, kalau tidak kesenangan ? Ayo, marilah kita bermain-main, janganlah kekayaan saja yang diingat tiap-tiap-hari!"

    "Bukan kekayaan yang teringat olehku", kata lebah itu dengan agak malu. "tetapi aku bersedia jika musim susah datang nanti."

    "Ah.., perkara nanti itu nanti pula", kata cengkerik. "Apa pula gunanya disusahkan sekarang ?"

    "Tetapi lebih baik juga kita ingat, bukan ?" kata lebah. "Lagi pula aku tak biasa bermain-main saja."

    Adapun perkataan lebah itu tiadalah masuk kedalam hati cengkerik. Iapun berjalan meninggalkan sahabatnya itu dan bernyanyi dengan nyaring suaranya. Lebah pergilah mengisap madu untuk disimpannya.

    Demikianlah beberapa bulan lamanya. Maka datanglah musim kesawah. Tiap-tiap hari hujan tiada berhenti. Sawah yang kering sudah digenangi air. Cengkerik terpaksalah melarikan diri ketempat yang tinggi. Betul disana senang rasanya, tetapi tak ada apa-apa yang akan dimakannya. Maka amat susahlah hidupnya. Makin lama makin lemahlah badannya karena tak makan. Bernyanyi-nyanyi tak berdaya ia lagi. Maka pergilah ia kepada sahabatnya, lebah, minta dikasihani.

    Kata lebah : "Nah, bukankah benar juga kataku, bahwa masa susah itu tak dapat ditentukan datangnya ? Sebab itu sebelum ia datang, sebaik-baiknya kita bersedia. Untung juga aku ada, jika tidak, apa jadinya?"

    Mendengar itu, cengkerik itu amatlah malunya. Sekarang tahu benarlah ia, bahwa hemat itu pangkal selamat.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Pulo ingkang kumambang


Pulo Nusa-Kambangan
Sanding pesisiripun kidul tanah Banyumas sakidulipun Cilacap leres, wonten pulonipun panjang nama Nusa-Kambangan. Pulo punika pasitenipun katah curinipun; watesipun ingkang wetan teluk Penyu; dene ingkang kilen teluk Penanjung. Pulo punika kenging kangge njagi plabuhan Cilacap.

    Pasisiripun kidul pulo Nusa-Kambangan punika adapur parang curi, nanging ingkang sanding kaliyang Seganten-anakan, pasisiripun andap, kebak tetukulan, pasitenipun eloh.

    Rumiyin ing pulo ngriku wonten dusunipun sawetawis, sabab pasitenipun kelebet eloh. Kaliyan malih wananipun katah kekajenganipun ingkang kajengipun sae-sae. Tiyangipun kala semanten wetawis 1500; sapunika sampun sami pindah dateng tanah Jawi.

    Ingrika wonten ugi lentera laut, sorotipun ngantos pinten-pinten pal tebihipun, dados ancer-anceripun baita ingkang sami lelayaran, sageda ngener plabuhan Cilacap. Manawi wonten ing plabuhan ngriku, baita boten ketempuh ing angin ageng. Sami-sami plabuhan pesisir kidul, plabuhan Cilacap punika sae piyambak.

    Sanding lentera laut wau wonten telukipun nama teluk Karang-Bandung. Ingriku wonten pulonipun curi sawetawis, ketetukulan ing   wit Wijaya-Kusuma. Sekaripun dipun aos-aos sanget; werninipun petak. Sampun wiwit kina-kumina, saben-saben Ingkang Sinuwun ing Surakarta utusan mrika metik sekar Wijaya Kusuma. Menawi sampun angsal, lajeng dipun wadahi ing kendagi mawi dipun payungi gilap, kaunjukaken dateng Kanjeng Sinuwun ingkang mentas jumeneng. Kala jaman kinanipun katah para ratu ing tanah Jawi ngriki ingkang utusan mekaten punika. Kanjeng Sinuwun Paku-Buwana ingkang kaping X inggih utusan tiyang suwidak mlampah darat, dateng Cilacap, prelu metik sekar Wijaya-Kusuma punika.

Wit kembang Wijaya-Kusuma
    Ing saleripun pulo Nusa-Kambangan punika wonten segantenipun alit nama Seganten-anakan. Ing satengahing Seganten-anakan ngriku wonten padusunanipun. Dene griyanipun tiyang-tiyang, yen ta sampuna wonten toyanipun ing ngandapipun, adapur panggung. Dados senajan seganten rob, toya boten saged minggah dumugi ing salebeting griya. Tiyang-tiyang wau pedamelanipun mendet ulam; enggenipun seneng manggen wonten sanginggilipun toya punika, mbok menawi melik kaliyan panggenanipun enggenipun nggaota pados teda. Angsal-angsalanipun ulam dipun saremi kaliyan dipun epe, dipun dadosaken gesek, dipun sade dateng Cilacap. Punapa prelunipun dipun saremi punika? Prelunipun supados boten bosok; inggih punapa boten?

    Kaliyan malih tiyang tiyang wau sami pados simping. Simping punika bangsanipun kijing utawi tirem, inggih kenging dipun teda kados tirem. Terkadang salebetipun cangkokipun wonten mutiyaranipun alit-alit.

 
    Saking criyosipun tiyang Jawi ing jaman rumiyin, pulo Nusa-Kambangan punika waunipun kumambang alembak-lembak. Menawi ketrajang ing angin saking ker, katut mangidul. Sareng wonten ing tengah seganten, ketempuh ing alun saking kiwa-tengen lajeng pecah-pecah. Menawi ketrajang angin saking kidul lajeng mengaler, natab pasisiring tanah Jawi, agodag-gadug, adamel jugrugipun pesisir wau.

    Anuju satunggaling dinten wonten pandita bade manggen wonten ing pulo ngriku. Nanging sarehning pulo wau tansah gonjing kemawon, dados boten saged ngedegaken griya. Pulo punika lajeng dipun cangcang ngangge penjatos angsal tanah Jawi. Ngantos sapriki pulo wau boten pindah-pindah malih. Dene pendita wau criyosipun tiyang-tiyang, pesareanipun wonten ing guwa, nama mesjid Sela (Limus buntu).



( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )




Wong desa kang busuk

    Ana wong desa busuk banget, duwe anak lanang aran si Begog. Wong mau banjur karan anak Pak Begog.

    Si Begog bareng wis uwong, dadi juru tulis toko ana ing Surabaya. Bayare ya rada akeh; terkadang sok kekirim marang bapakne utawa embokne. Adi-adine ya sok dikirimi dolanan utawa mercon, yen mbeneri ngarepake grebeg. Wong saomah pada bungah kabeh. Nuju sawiji dina lurahe Begog kanda yen arep rame-rame. Begog rada bingung, sabab klambine sing becik isih kari ana ngomah. Sing digawa ora pati apik. Iya bener ireng, nanging gagrag lawas; kurang bregase. Arep kirim layang, dikon ngirimake, wis keslepek; sabab olehe arep rame-rame wis cedak banget. Tekane ing Surabaya mesti wis kasep, wis lebar gawe. Banjur metu akale : kirim layang kawat menyang bapakne : klambine sing anyar dijaluk, dikon enggal ngirimake; sing lawas arep dikirimake mulih.

    Pak Begog mbeneri lungguh ana ngemper ngarep. Bareng ana upas kantor pos teka nunggang sepeda, pak Begog kaget. Upas ngulungake layang kawat karo dluwang selembar, dikon neken; dianggo tanda, yen layange wis ditampani. Layange banjur dibukak, diunekake. Ora ngerti, kok saka Surabaya bisa tekan kono mung sedela mengkono. Upase kanda : "Niku rak metu kawat sing urut pinggir dalan niku; mulane rikat. Sing nggawa kabar nggih kawat niku."

Nalika semana wis sore; pak Begog banjur mlebu menyang jero omah, kanda bojone. Petine anake banjur didudah, digoleki klambine putih sing anyar. Bareng wis ketemu, pak Begog banjur clatu marang bojone : "Iki becik ndang dikirimake wae, sabab kana ngarep-arep. Murih enggale teka, tak sampirne nyang kawat ndalan kana wae, ya mbokne; dadi sore iki bisa tekan kana. Klambine banjur digawa menyang ratan, disampirne ana ing kawat tlegrap; olehe nyampirake ngganggo gantar. Sarehne adem, dadi pak Begog banjur mulih bae, ora ngenteni mangkate si klambi. Bareng wis tekan ing jero ngomah, banjur omong-omongan sedela karo bojone, ngandakake rikate telegram; karo ngrasani anake, mendah bungahe yen tampa klambine.

    Bareng wis bengi, ana wong onglang-angling liwat ngarepane pak Begog; weruh ana klambi semampir ana ing kawat tlegrap, banjur dipenek nurut cagake; klambine banjur disendal. Bareng diiling-ilingi, digrayangi, ketara yen isih becik banget. Banjur cucul klambi; klambine olehe njupuk mau dianggo, kepenak, bisa sreg. Sarehne klambine dewe wis bawuk banget, banjur ora dianggo maneh, diuncalake menyang kawat. Dilalah kok bisa semampir. Wong mau banjur lunga.

    Esuke pak Begog niliki menyang ratan, bok menawa anake kirim wangsulan. Bareng nyawang kawat tlegrap, weruh ana klambi seje semampir. Enggal-enggal mulih njupuk genter; klambine disengget, karo ngundang-undang bojone : "Mbokne, iki lo, klambine anakmu sing lawas wis dikirimake mrene; ta enggal mrenea! Anakmu klambine kok jebul wis kaya ngene! Ah, memelas banget ane! Ta delengen ki lo, wis akeh sing bolong. Olehe tuku dek kapan iki. Dek mulih anyar iki pengrasaku kok durung duwe klambi ngene iki!"

    Lelakone pak Begog mau keprungu marang tangga teparone ing desa kono. Akeh sing pada teka, ngabarake kepriye genahe. Bareng wis dikandani, banjur pada gumuyu nganti kepingkel-pingkel. Pada ngerti yen Pak Begog pancen begog temenan. Nganti lawas pak Begog enggone dadi pocapan.



( bersumber dari buku : "Kembang Setaman" )




Kamis, 16 Juni 2011

Sebab butir padi jadi kecil-kecil


    Kata yang empunya ceritera, dahulu kala butir padi tidaklah kecil-kecil sebagai sekarang, tetapi besar-besar sebagai biji durian. Beberapa biji saja dimakan sudah kenyang kita. Menanamnyapun amat mudah, tidak perlu tanahnya dibajak atau dicangkul dahulu dan tidak perlu pula dipupuk. Ditebarkan saja ditanah tumbuhlah ia dan berbuah lebat.

    Adapun padi itu ada rajanya. Pada suatu hari raja padi berselisih dengan raja emas. Yang jadi pokok perselisihan ialah tentang bunyi durian jatuh. Kata raja padi bunyinya : “ras . . . . tum”. Tetapi kata raja emas sebaliknya :  “tum . . . . ras!”

    Meskipun banyak yang sesuai dengan pendapatan raja padi, tetapi raja emas tak mau mengalah. Ia merasa lebih mulia, lebih pandai dan lebih berharga dari pada raja padi. Sebab itu tak patut ia menurutkan kata raja padi.

    Akhirnya kedua raja itu meminta hukum kepada raja manusia yang bergelar Sang Sepurba Biaperi.

    Sang Sepurba Biaperi bersidanglah dengan segala orang besarnya. Maka amat susahlah raja menimbang perkara itu. Akan dikalahkan raja emas, dia orang mulia dan sangat berharga. Akan dimenangkan, dia memang salah. Akan tetapi kesudahannya dimenangkannya juga raja emas, sebab memandang mulia dan tinggi harganya.

    Maka sangatlah sedih hati raja padi menerima hukuman yang tidak adil itu. Sudah terang ia yang betul, tetapi karena harganya kurang dari emas, ia dikalahkan.

    Pada malam itu dijalaninyalah segala lumbung padi dalam negeri itu. lalu dibisikkannya kepada segala rakyatnya, bahwa raja dinegeri itu tidak adil. Hukumannya hanya menilik kekayaan dan kemuliaan orang saja, tidak memandang kesalahannya. Sebab itu semuanya diajaknya lari dari negeri itu.


    Keesokan harinya ketika seorang perempuan hendak menjemur padi, sangat tercengang ia, sebab sebutir padipun tak ada dalam lumbungnya lagi. Lumbung orang lain begitu pula, kosong kesemuanya. Maka kelaparanlah sekalian orang didalam negeri itu. Raja Sang Sepurba Biaperi sangat susah memikirkan bencana itu. Tetapi ia telah maklum apa sebabnya padi itu habis lari. Lain tidak ialah karena kesalahan hukum baginda. Bagindapun menyesal dengan sesal yang amat sangat. Lalu diutus baginda seorang menteri akan membujuk-bujuk raja padi, supaya suka kembali kepada rakyatnya. Akan tetapi raja padi menjawab : "Bukankah ada raja emas yang mulia dengan rakyatnya akan menolong baginda? Apa gunanya kami yang tidak berharga ini kembali kesana?"

    Demi Sang Sepurba Biaperi melihat menterinya kembali dengan hampa tangan, maka makin susah hati baginda sebab isi negeri sudah kelaparan. Sekarang barulah raja itu insaf benar, bahwa mereka itu tak dapat hidup dengan emas, kalau tak ada padi. Maka diutus raja sekali lagi beberapa orang menteri meminta dengan hormat dan khidmat, supaya padi itu kembali.

    Akhirnya raja padipun kasihan melihat isi negeri yang kelaparan itu. Maka katanya kepada menteri utusan itu : "Janganlah tuan-tuan harapkan kami akan kembali lagi. Hanya akan ganti badan kami, tuan bawalah miang kami ini. Khasiatnya sama juga dengan kami, hanya bulirnya jauh lebih kecil, tetapi mesti dipelihara baik-baik. Kalau kurang pemeliharaannya, ia tidak akan mendatangkan hasil."

    Menteri utusan itu pulanglah membawa miang padi itu. Itulah asalnya pada kita sekarang ini.




( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Rabu, 15 Juni 2011

Rahasia terbuka

    Dalam sebuah negeri adalah seorang hakim yang amat bijaksana dan adil. Sekalian orang yang jahat amat takut kepadanya dan orang pandai-pandai menghormatinya.

    Pada suatu hari datang seorang saudagar, Ahmad namanya. Ia hendak mengadukan halnya kepada hakim itu.

    Kata hakim : "Hai Ahmad, cobalah ceritakan bagaimanakah halmu itu!"

    Jawab Ahmad : "Ya, tuan hakim, pada tahun yang lalu seorang sahabat saya, Ali namanya, meminjam uang kepada hamba seratus dinar emas. Uang itu hamba berikan dihadapan dua orang saksi. Ali berjanji akan membayar utangnya, apabila hamba pulang dari berniaga. Pekan yang lalu hamba kembali; utang itu hamba tagih kepadanya. Akan tetapi Ali tak mau membayar. Katanya ia sekali-kali tiada berutang kepada hamba. Itulah yang hendak hamba adukan kepada tuan hakim."

    Kata hakim : "Manakah kedua saksimu itu? Suruhlah menghadap kemari!"

    Jawab Ahmad dengan sedih : "Ya tuan hakim, keduanya sudah meninggal dunia."

    Mendengar itu terasalah oleh hakim, bahwa perkara itu amat sukar. Sesudah berpikir seketika, berkatalah hakim kepada Ahmad, katanya : "Hai Ahmad, dimanakah engkau berikan uang itu kepada Ali?"

    "Dibawah sepohon kayu diluar kota, tuan hakim."

    Kata hakim : "Baik! Meskipun kedua saksimu itu Sudah mati, masih ada lagi saksi yang lain, yakni pohon kayu itu. Tunjukkanlah pohon kayu itu kepada kedua hulubalang ini, supaya dibawanya kehadapanku!"

    Sudah lama mereka itu dinantikan hulubalang itu, tetapi ia belum juga kembali membawa kayu yang akan jadi saksi itu. Maka bertanyalah hakim kepada seorang pengawal. "Belum jugakah datang orang yang membawa kayu itu?" Mendengar itu tertawalah Ali, lalu berkata, katanya : "Sampai besok tak kan sampai juga pohon itu kemari, karena amat besarnya. Sepuluh orang tak kan kuat membawanya. Lagi pula tempatnya jauh, ada kira-kira tiga jam perjalanan dari sini."

    Baharu saja habis perkataannya, ia terkejut, karena rahasianya telah dibukanya sendiri. Maka hakim yang arif bijaksana itu berkata, katanya : "Lihatlah, pohon kayu itu sekarang menyaksikan, bahwa engkau bersalah, Ali. Karena engkau mengetahui benar hal kayu itu, tentulah betul sekalian yang diceritakan Ahmad."

    Ali tak dapat mungkir lagi, lalu ia dipaksa hakim membayar utangnya, kemudian ia dihukum pula.

    Yang bengkok itu dimakan sarung juga, bukan?



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )


 

Tahu budi bahasa

    Abdurrahman anak seorang yang kaya raya. Dirumahnya ia hidup selalu dengan kemewahan. Minum-makannya dijaga oleh beberapa bujangnya. Tempat makannya itu didalam sebuah bilik yang besar dan indah. Ditengahnya ada sebuah meja yang bagus dikelilingi oleh kursi-kursi yang bagus pula. Perkakas makannya halus-halus dan mahal-mahal harganya. Biarpun ia semanja itu, Adburrahman pandai juga merendahkan hatinya. Kerendahan hatinya itu terbukti pada suatu hari.

    Pada suatu hari Abdurrahman dipanggil oleh seorang biasa saja, yang hendak berjamu sedikit akan melepaskan nazarnya. Abdurrahman pergilah kerumah orang itu.

    Maka kata adiknya : "Mengapa kakak pergi kesana? Tak ada disana, lain dari pada makanan yang biasa saja. Katakan sajalah kakak tak sempat, karena banyak urusan."

    Jawab Abdurrahman : "Salah pikiran adik itu. Panggilan yang semacam itu sedapat-dapatnya jangan kita tolak. Karena ia memanggil itu betul-betul dengan hati bersih. Bukanlah karena ia hendak melagak atau hendak memperlihatkan kemewahannya. Dan lagi rezeki itu, bagaimanapun kecilnya harus kita terima dengan syukur; karena semuanya itu kemurahan Allah jua. Sebab itu saya perlu memuliakan panggilannya itu."

    Pada waktu yang telah ditentukan, pergilah Abdurrahman kerumah orang miskin itu. Ketika akan masuk ia memberi salam, lalu duduk bersama-sama jamu yang lain. Dilihatnya perjamuan itu memang sangat sederhana sekali. Piring mangkuknya murah-murah harganya dan sudah tua-tua, tetapi bersih.

    Maka makanlah Abdurrahman bersama-sama dengan jamu yang lain. Makannya enak dan minumnya sejuk. Tak nampak sedikit juga, bahwa ia memandang rendah kepada makanan itu. Makanlah ia sehingga kenyang sebagai jamu yang lain juga. Bukan main senang hati orang miskin itu, melihat perbuatan Abdurrahman demikian itu. Sangkanya anak orang kaya itu akan makan sesuap dua suap saja, sebab makanan yang tersedia tiada yang enak-enak sebagai makanannya tiap-tiap hari. Sesudah makanpun Abdurrahman memuji-muji sambil mengucap : Alhamdulillah. Tak ada bedanya dengan jamu yang lain.

    Waktu akan pulang ia tak pula lupa minta terima kasih akan kebaikan hati orang itu.

    Melihat itu bukan main senang hatinya yang punya rumah. Pada suatu hari terkenanglah pula oleh Abdurrahman hendak menjamu sahabat-sahabatnya. Maka dipanggilnyalah mereka itu sesudah sembahyang Jum'at. Orang yang memanggilnya dahulu itu tiada pula ketinggalan. Kepada pelayannya disuruh sediakannya makanan yang sederhana saja. Tidak duduk dimeja dan kursi, tidak memakai sendok dan garpu, melainkan duduk bersila ditikar dan makan disuap dengan tangan.

    Setelah jamu pulang, adik-adik Abdurrahman lalu berkata, katanya : "Heran benar kami memikirkan, apa sebabnya jamu kakak itu kakak rendahkan? Duduk ditikar, makan dengan tangan, tidak memakai sendok dan garpu, sebagai kebiasaan tiap-tiap hari. Tak ada ubahnya sebagai perjamuan orang kampung yang biasa saja. Tidakkah nanti perbuatan kakak itu jadi ejekan orang?"

    Jawab Abdurrahman : "Adikku semuanya, sebabnya saya buat seperti tadi,ialah karena hendak memelihara hati sahabat-sahabat saya yang tidak berada. Kalau kita sediakan sebagaimana biasa, tentulah mereka itu akan canggung memakai sendok dan garpu itu. Akhirnya mereka itu malu. Memberi malu orang itu, lebih-lebih memberi malu sahabat, adalah perangai yang tak baik sekali. Orang yang tahu budi bahasa, tiadalah akan berbuat seperti itu, adik-adikku?"

    Mendengar itu adik-adik Abdurrahman tiada berkata-kata lagi. Kata kakaknya terasa olehnya semuanya.



( Bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



Selasa, 14 Juni 2011

Miskin tetapi kaya

    Pekan yang lalu saya ceriterakan kepadamu ceritera "burung tekukur" menerbangkan jerat pemburu. Sekarang ceritera itu akan saya sambung.

    "Bagaimanakah akal kita akan melepaskan diri kita dari jerat celaka ini? tanya seekor burung tekukur. Raja burung itu terdiam sebentar dan berpikir. Tiada berapa lamanya kemudian ia berkata, katanya : "Kita ini miskin. Artinya kekuatan kita tak ada. Tetapi sungguhpun miskin, kita kaya. Artinya sahabat kita banyak. Sebab itu marilah kita pergi kepada seorang diantara sahabat kita itu yaitu seekor tikus. Tentu ia suka menolong kita. Selama saya bersahabat dengan dia, tak ada kamu berkecilan hati, apalagi berbantah. Kalau kita minta tolong kepadanya, tentu tidak akan ditolaknya.

    Tentang tempat tikus itu benar, raja tekukur itu memerintahkan turun kebawah. Dimuka liang tikus itu, raja tekukur itu berseru, katanya : "Assalamualaikum". "Wa-alaikum salam, siapa itu?" sahut tikus dari dalam. "Saya sahabatmu, raja tekukur," jawabnya. Mendengar jawab raja tekukur, tikus itupun berlari-lari keluar akan melihat. Waktu dilihatnya burung-burung itu terjerat, bergesa-gesalah ia mendapatkan raja tekukur akan melepaskannya. Raja tekukur berkata, katanya : "Lepaskanlah teman-temanku yang lain itu dahulu. Jikalau sudah terlepas semuanya, barulah lepaskan aku".

    Mendengar perkataan raja tekukur itu, tikus itu pergilah menggigit jerat yang mengikat burung-burung itu. Sesudah terlepas semuanya, barulah ia datang mendapatkan raja tekukur itu.

    Sesudah raja tekukur itu terlepas, berkatalah ia, katanya : "Kami minta terima kasih banyak kepada engkau. Kalau tak engkau menolong kami, tentulah kami akan mati kelaparan".

    "Janganlah itu disebut-sebut! Saya sahabatmu, bukan? Sebagai seorang sahabat yang karib, sudah kewajiban saya menolongmu".

    Sesudah tikus itu berkata, sekalian tekukur mengucapkan selamat tinggal, lalu membubung keudara, pulang kehutan, tempatnya dahulu.





( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



Tekukur

    Dalam sebuah hutan ada seorang pemburu sedang mencari-cari tempat yang baik utuk memasang jerat. Jerat itu seperti jala, gunanya penangkap burung. Tiada berapa lamanya kemudian sampailah ia kesebuah padang; sekelilingnya ada pohon kayu yang besar-besar dan tinggi-tinggi. Amat baik tempat itu untuk memasang jerat. Rupanya dalam hutan itu padang itu sajalah yang sebaik-baiknya bagi burung untuk berpanas-panas.

    Pemburu itu memasang jerat ditengah-tengah padang itu. Sesudah ditaburnya padi, pergilah ia kesebuah dangau, jauh sedikit dari situ akan berhentikan lelah.

    Tiada berapa lamanya kemudian datang ketempat itu sekawan burung tekukur, kira-kira seratus ekor banyaknya. Waktu dilihatnya penuh padi terserak ditanah, burung-burung itu hendak turun kesana akan memakaninya. Tetapi raja burung tekukur, yang selalu menjaga keselamatan rakyatnya, berkata, katanya : "Hai, tunggu dahulu! Kita harus berhati-hati dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Apa sebabnya padi itu terserak disana? Marilah kita periksa lebih dahulu! Tak baik kita mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan terburu-buru.

    Burung yang banyak itu tak mau mendengarkan nasihat rajanya. Seekor diantaranya berkata, ujarnya : "Marilah kita turun kebawah semuanya! Kalau ada apa-apa, saya menanggung". Sekalian burung itupun merahaplah kebawah. Raja tekukur yang baik hati itu tak mau tinggal sendiri saja diatas pokok kayu. "Kalau mati, sama-sama mati", katanya dalam hatinya, lalu terbang kebawah.

    Setelah burung-burung itu sampai dibawah, dicocoknyalah padi itu sesuka hatinya. Setelah padi itu habis, mereka itupun hendak terbang pula. Tetapi kakinya terikat oleh jerat celaka itu. Sekarang terbitlah takutnya. Sekaliannya menyesali dirinya, karena tak mengindahkan kata raja dan mau mendengarkan perkataan burung yang bodoh dan tamak itu. Burung yang seekor itu dimaki-maki dan disumpah-sumpahi oleh burung yang banyak itu.

  Waktu raja tekukur melihat hal yang demikian, berkatalah ia, katanya : "Janganlah kamu sekalian berbantah lagi! Itu tak ada guna sedikit juga. Lebih baik kita cari akal akan melepaskan diri kita dari bahaya ini. Burung-burung itu diam semuanya, tak berkata sepatah juapun.

    Tiada berapa lamanya berpikir, berkatalah raja burung itu katanya : "Kawan-kawan semuanya; dengarkanlah! Saya tahu akal. Marilah kita terbangkan jerat ini bersama-sama. Tentu akan terbawa oleh kita."

    Burung-burung itupun menurut akan kata rajanya. Bersama-sama diterbangkannya jerat itu.

    Waktu pemburu sampai kepadang, tempat ia memasang jerat dahulu, dilihatnya jeratnya sudah membubung diudara, dilarikan oleh tekukur yang banyak itu.




( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




Senin, 13 Juni 2011

Aji Soko

Dahulu kala adalah seorang raja memerintah dipulau Jawa. Raja itu amat bengisnya. Orang takut benar kepadanya. Kerap kali raja itu mengendarai kuda berkeliling kota. Tetapi orang tak mau keluar melihat. Semuanya tinggal dirumah. Mereka itu takut akan dihukum raja yang lalim itu. Sebab itu kota yang besar itu lengang betul rupanya.

    Dikota itu ada seorang muda, Aji Soko namanya. Aji Soko itu seorang yang berani, lagi sakti. Amat kasihan ia melihat orang yang tidak bersalah dihukum dan disiksa oleh raja.

    Aji Soko mencari akal akan mengusir raja itu. Kalau raja itu tak ada lagi, tentu rakyat akan berbesar hati.

    Pada suatu pagi pergilah ia keistana raja. "Katakanlah kepada raja, bahwa saya mohon menghadap", katanya kepada pengawal istana itu.

    "Apa maksud tuan menghadap itu?" jawab pengawal itu.

    Aji Soko berkata : "Ada yang akan saya pohonkan kepada raja. Kalau sudah diberinya, boleh ia membunuh aku."

    Pengawal itu masuk menghadap raja. Dikatakannya apa kata Aji Soko itu.

    Raja itu amat marah. Sabdanya : "Ikat orang itu dan bawa kemari!"

    Aji Soko diikat orang, lalu dibawa menghadap raja.

    Titah raja : "Berani benar kau masuk kemari. Apa maksudmu?"

    Aji Soko menjawab : "Patik minta dibunuh. Tetapi lebih dahulu patik hendak minta barang sesuatu kehadapan Tuanku. Kalau sudah dapat barang itu, bunuhlah patik!"

    "Baiklah", titah raja, "apa permintaanmu, katakanlah!"

    "Berilah patik tanah seluas destar hamba ini", jawab Aji Soko.

    "Kembangkanlah destarmu itu!" sabda raja, "tanah yang kau minta itu akan kuberi. Tetapi sedah itu engkau kubunuh."

    Aji Soko mengembangkan destarnya. Tetapi waktu itu terjadilah sesuatu hal yang amat ganjil. Destar itu makin lama makin luas. Mula-mula seluas meja. Sudah itu seluas kamar istana. Kemudian menjadi seluas istana. Begitu terus menerus, sehingga sebesar kota. Destar itu bertambah juga besarnya, sehingga seluas pulau Jawa.

    Raja jadi ketakutan, lalu lari melompat kedalam laut. Disanalah ia menjadi seekor buaya putih.

    Kemudian Aji Soko menjadi rajalah. Sekalian orang besar hatinya, karena rajanya yang bengis dahulu tak ada lagi dan digantikan oleh Aji Soko, seorang yang baik hati dan adil.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )





     

Kamis, 09 Juni 2011

Nasihat Ibu

    Dalam sebuah desa, ditepi pantai tinggal Bahran dengan ibunya. Bapaknya tidak dikampung, ia pergi merantau kenegeri lain. Bahran telah tamat sekolah Pertama. Tetapi ia tidak meneruskan sekolahnya lagi ke Sekolah Rakyat, sebab tempatnya jauh. Hanya malam hari Bahran mengaji disurau. Siang hari tak ada kerjanya, hanya bermain-main saja. Bahran memang anak yang pemalas.

    Pada suatu hari  ibunya berkata, katanya : "Bahran, anakku! Yang sudah-sudah tak pernah ibu berkata kepadamu. Sebabnya, ialah karena bapakmu ada dirumah. Sekarang ia tak ada dan menurut katanya ia tak kan pulang dalam enam bulan ini. Engkau tahu, bahwa tiga bulan lagi bulan puasa. Sudah itu Hari Raya pula. Dengan apa pakaianmu akan ibu beli? Mencari untuk akan dimakan saja, tak kuat ibu rasanya. Kiriman bapakmu belum dapat kita harapkan. Sebab itu baiklah engkau mulai belajar bekerja. Besok pergilah kelaut dengan Pak Hasan, setangga kita yang disebelah ini. Jika ada rezeki sedikit-sedikit boleh kita kumpulkan pembeli pakaianmu untuk Hari Raya nanti."

    Seketika lamanya Bahran tiada berkata apa-apa. Hatinya sangat malas pergi kelaut itu. Disana sehari-harian berpanas, berangin dan kadang-kadang kehujanan. Lebih senang ia dirumah bermain-main. Kemudian katanya : "Hamba tak kuat melaut ibu".

    Kata ibunya : "Itulah salahnya engkau ini; belum kau coba sudah kau katakan tak kuat. Seperti makanan, belum kau makan sudah kau katakan tak enak. Bagaimana engkau akan jadi orang yang beruntung nanti? Cobalah dahulu kerjakan, nanti baru katakan kepada ibu, kuat atau tidak."

    Keesokan harinya pergilah Bahran menumpang dengan Pak Hasan kelaut. Ada juga rezekinya sedikit-sedikit dan diberikannya kepada ibunya. Tetapi pada suatu hari, hari buruk benar. Karena itu Bahran tak kelaut lagi. Ibunyapun kuatir melepasnya dengan Pak Hasan.

    Pada suatu pagi ibu Bahran pergi kekota. Sesampai dikota ia pergi ketoko kelontong. Disana dibelinya bermacam-macam barang lelang yang murah-murah harganya, seperti sisir, peniti, sapu tangan, sabun harum, minyak harum dan lain-lainnya. Barang-barang itu dibawanya pulang dan diberikannya kepada Bahran.

    Bahran tercengang-cengang melihat barang itu bertumpuk-tumpuk dihadapannya.

    "Untuk siapa ibu beli barang-barang ini? tanya Bahran.

    "Untuk engkau", jawab ibunya dengan tersenyum. "Susunlah sekaliannya baik-baik kedalam peti sabun itu, beri bertali kiri-kanannya, kemudian gantungkan dilehermu."

    Bahran makin heran mendengar kata ibunya. Karena itu ia bertanya lagi : "Apa gunanya digantungkan dileher, ibu? Nanti dikatakan orang hamba gila".

    "Tidak! Orang takkan mengatakan engkau gila, melainkan akan memuji-muji engkau. Besok pergilah engkau kepekan dan bawalah barang-barang itu! Tentu engkau sudah tahu apa maksud ibu, bukan? Nah, sisir ini boleh kau jual lima sen sebuah; kalau laku enam sen tentu lebih baik. Sapu tangan lima sen sehelai, sabun sebenggol, minyak harum lima sen, peniti, cincin, gelang boleh engkau kira-kira saja, asal jangan merugi. Nah, cobalah besok, nanti akan kita lihat hasil usahamu itu."

    Mula-mula agak segan Bahran mengerjakan apa yang disuruhkan ibunya itu. Ia belum pernah berdagang seperti itu; apalagi ia sangat pemalu. Tetapi kemudian ia teringat akan kata ibunya yang dahulu. Sebelum dikerjakan, jangan dikatakan susah lebih dahulu. Karena itu hendak dicobanya juga jadi saudagar kecil itu.

    Keesokan harinya tampaklah Bahran dipekan. Ia berjalan berkeliling-keliling dengan petinya. Didalamnya tersusun dagangannya elok-elok. Sambil berjalan ia berseru-seru juga, menyerukan dagangannya itu satu-satu. Segala pekan-pekan yang dekat dari kampungnya dijelangnya.

    Makin sehari makin terasa enaknya oleh Bahran jadi saudagar kecil itu. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh. Karena itu dagangannya lekas lakunya dan banyak juga untung didapatnya.

    Jika barang-barang dagangannya habis, maka dibawalah Bahran oleh ibunya kekota. Disana ditunjukkannya dimana membeli barang-barang dan bagaimana membelinya, supaya jangan tertipu. Tak berapa lamanya, Bahran pandai pula membeli sendiri.

    Hari Raya tinggal dua hari lagi.

    "Marilah kita pergi kekota, Bahran!" kata ibunya pada suatu pagi. "Kita membeli pakaian yang baik untukmu akan dipakai Hari Raya."

    Bahran pergilah dengan ibunya kekota. Sepanjang jalan Bahran tak habis-habisnya berpikir. Ada suatu barang yang sangat diingininya. Tetapi ia takut mengatakan kepada ibunya, sebab barang itu mahal harganya.

    Ketika mereka lalu didepan sebuah toko kereta angin, Bahran berhenti. Ia memandang kedalam.

    "Ada apa Bahran?" tanya ibunya.

    "Ah, ibu," kata Bahran lambat-lambat, "kalau cukup uang hamba, hamba ingin benar hendak mempunyai sebuah kereta-angin."

    Ibu si Bahran terdiam seketika. "Kereta Angin?" tanyanya dengan heran.

    "Ya, ibu"

    Ibu Bahran diam pula.

    "Baiklah, mari kita lihat kedalam", kata ibu Bahran kemudian.

    Amat suka hati Bahran mendengar kata ibunya itu. Tak disangkanya ibunya akan mengabulkan permintaannya.

    Kata ibunya : "Lebih baik kita beli yang kuat, Bahran. Biarlah tidak baru benar, asal dapat dipakai lama."

    Sesudah lama memilih dapatlah sebuah kereta angin yang setengah tua. Besinya bagus dan kuat; karena itu harganya hampir sama juga dengan yang baru.

    "Ini sajalah kita beli", kata ibu Bahran. "Ini lebih baik dari yang baru itu. Yang baru itu rupanya saja yang bagus, besinya kurang kuat."

    Dihitung-hitung uang simpanan Bahran, kurang sedikit. kekurangan itu ditambah oleh ibunya.

    Setelah harganya dibayar, kereta angin itu dibawanya pulang. Tak terperikan sikacita hatinya. Entah diawan, entah dilangit yang ketujuh ia rasanya. Sudah bertahun-tahun barang itu diimpikannya; baru sekarang didapatnya. Yang lebih membesarkan hatinya, ialah karena kereta angin itu dapat dibelinya dengan uangnya sendiri pula.

    "Bahran, tak iba hatimu nanti, Hari Raya tak mempunyai pakaian baru? tanya ibunya waktu mereka itu pulang.

    "Tidak ibu! Kereta angin ini akan menggirangkan hati hamba. Untuk Hari Raya bukankah ada baju hamba yang sepasang lagi? Itu boleh hamba pakai, karena belum usang benar. Lagi pula besar benar hati hamba mendapat kereta angin ini, bu. Hamba ada suatu pikiran, bu. Kereta angin ini dapat hamba pakai untuk ........

    Ya, itulah maksud ibu membelikan engkau", kata ibu Bahran menyambung. "Kalau untuk akan pelesir-pelesir saja tak akan ibu belikan. Sesudah Hari Raya dapat engkau pakai dia kepekan-pekan yang jauh dari kampung kita akan pembawa daganganmu. Tentu engkau tak payah benar memikulnya."

    "Dan tak perlu disangkutkan lagi dileher, ya bu?"

    "Ya, boleh engkau jajakan dengan kereta angin itu."

    Ketika mereka itu sampai kedusunnya, datanglah seorang orang membawa sebuah bungkusan.

    "Kiriman bapak Bahran, dari rantau," katanya. Ketika dibukanya nyatalah isinya pakaian.

    "Lihat, Bahran!" kata ibunya dengan girang. "Kalau engkau menurut nasihat ibu, mujur itu datangnya bertimpa-timpa saja. Kereta angin sudah dapat dan sekarang pakaian baru dapat pula. Pada Hari Raya yang sekali ini engkau tak kurang dari anak-anak yang lain."

    "Ya, ibu, nasihat ibu selamanya akan hamba turut!"



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )




 

Kancil dengan beruk

    Dalam sebuah hutan adalah seekor kancil membuat sarang dibawah pohon rambutan. Diatas pohon rambutan itu tinggal seekor beruk jantan. Kancil itu selalu diganggu oleh beruk jantan itu. Kalau kancil itu sedang tidur nyenyak dibawah pohon itu, ia dilempar oleh beruk itu dengan kulit rambutan dari atas. Alangkah marahnya kancil itu, karena diganggu itu. Sebab itu dicarinya akal akan memperdayakannya.

    Pada suatu hari dilumurnya muka dan kakinya dengan arang, sehingga beruk tak dapat mengenalnya lagi. Sudah itu pergilah ia kepohon itu, lalu berseru-seru katanya : "Hai beruk, saya disuruh oleh nenek kancil datang kemari menceriterakan sesuatu hal yang amat penting kepadamu. Ia amat marah kepada kancil yang tinggal dibawah pohon ini. Kancil itu kemarin sudah mati dan jantungnya ada dalam sebuah sarang lebah yang sudah kosong. Dalam sarang lebah itu ada pula sebuah gung. Ambillah olehmu jantung kancil itu dan berikan kepada saya; nanti saya berikan kepada nenek kancil itu. Gung yang ada dalamnya boleh kau ambil."

    Bersama-sama pergilah kedua binatang itu mencari sarang lebah yang dikatakan kancil itu. Tiba-tiba kancil itu berkata sambil menunjuk keatas pohon beringin, katanya : "Lihatlah, itulah sarang lebah itu. Ambillah lekas-lekas jantung kancil itu. Kalau sudah dapat berikan kepadaku!"

    Beruk itupun melompat dari dahan kedahan, sehingga sampai kepohon beringin yang dikatakan kancil itu. Sarang lebah yang besar itu dikoyak-koyaknya. Tetapi ketika itu juga keluarlah beribu-ribu lebah menggigitnya. Beruk itupun jatuh ketanah.

    Dengan cepat kancil datang mendapatkannya, lalu katanya : "Manakah gung itu?" "Gung itu sudah dipindahkan oleh lebah keladang pak tani itu," jawab beruk, sambil menunjuk keladang yang tidak jauh dari situ. Sesudah berkata itu, matilah ia.

    Mendengar perkataan beruk itu, kancil mulai percaya, lalu pergi keladang itu. Setelah ia tiba disitu terpijak olehnya jerat yang dipasang orang disitu. Bagaimana juga ia melepaskannya, sia-sia saja.

    Keesokan harinya datanglah kesitu peladang itu melihat jeratnya. Bukan main besar hatinya melihat kancil yang kena jerat itu.

    Melihat peladang itu datang, tahulah kancil itu, bahwa ada juga yang lebih cerdik dari padanya, yaitu manusia.

    Kancil itu dibawa oleh peladang itu kerumahnya, lalu disembelihnya.



( Bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )





Rabu, 08 Juni 2011

Kalau bodoh serta sombong pula ..........

    Ditepi jalan besar Brontokusuman adalah sebuah rumah. Tak jauh dari rumah itu ada sebuah danau. Airnya jernih dan kehijau-hijauan warnanya. Didalamnya tampak berpuluh-puluh ikan gurami berenang-renang kian kemari.

    Disebelah rumah itu ada dua buah kandang kecil. Sebuah kandang ayam dan sebuah kandang angsa. Tiap-tiap hari bermain-mainlah angsa itu dengan anak-anaknya didalam danau itu. Senang benar hati mereka itu bermain-main dan bersenda gurau.

    Pada suatu hari ada seekor induk ayam dengan lima ekor anaknya berjalan-jalan ditepi danau itu. Setelah dilihat oleh anak-anak ayam kepandaian anak-anak angsa itu berenang, amatlah inginnya hendak turut berenang. Diantaranya seekor yang sangat ingin benar. tetapi pada hari itu ia diam-diam saja.

    Pada waktu senja berkumpullah anak-anak ayam itu dibawah sayap induknya. Meraka itu asyik bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Yang seekor itu berkata, katanya : "Ah, lebih baik aku pergi kepada induk angsa itu. Pada pikiranku hidupnya lebih senang dari pada kita. Rupanya bagus dan tampan, lagi pandai berenang-renang dalam danau. Bangsa kita tempatnya bermain tak lain dari tempat sampah ketempat sampah".

    Mendengar cakap anaknya itu induk ayam menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu katanya : "Hai anakku, benar juga katamu itu. Angsa itu lebih besar badannya dari kita dan pandai berenang. Tetapi bangsa ayam takkan dapat jadi angsa, sebab berlainan bangsa. Laku dan tabiatnyapun berlainan. Jika kita bergaul dengan dia, susah juga kita akhirnya".

    Anak ayam itu diam saja. Tetapi dalam hatinya ia berkata : "Ah, orang tua ini tak tahu apa-apa. Ia pandai melarang saja. Yang baik itu buruk juga padanya. Kalau aku sudah masuk kaum angsa nanti, baru dia tahu".

    Keesokan harinya anak ayam seekor itu pergilah dengan diam-diam kepada angsa. Setelah bertemu diceriterakannyalah maksudnya hendak masuk jadi angsa itu.

    Induk angsa girang benar mendengar kehendak anak ayam itu. Maka diterimanyalah jadi anak angkatnya.

    "Ha, sekarang aku sudah masuk bangsa angsa", pikir anak ayam itu dalam hatinya dengan girang. Iapun pergilah kedekat saudara-saudara angkatnya bermain-main. Tetapi seekorpun anak angsa itu tak ada yang menegurnya. Mereka itu bermain besenang-senang dalam danau, ia sendiri terpencil ditepi. Makanpun tiada dicarikan oleh induknya; karena itu perutnya amat lapar. Setelah hari malam iapun turut juga bersama-sama. Malam itu ia menggigil kedinginan, maka dimintanya selimut kepada induk angkatnya, tetapi tidak diberinya.

    Maka teringatlah ia akan ibu kandungnya yang sangat sayang kepadanya. Kalau lapar dicarikannya makanan; kalau dingin diselimutinya dengan bulunya yang hangat. Iapun menangis dan pergi kesudut kandang. Kadang-kadang ia menciap-ciap karena tak tahan dinginnya.

    "Tutup mulutmu!" hardik seekor angsa dekatnya.

    Anak ayam itu diamlah dengan takutnya. Semalam-malaman itu ia tak tertidur. Seluruh badannya kaku sebab kedinginan.

    Ayam jantan mulai berkokok, murai berkicau dipohon kayu, dijalan raya kelihatan orang lalu lintas. Hari sudah siang.

    Setelah pintu kandang terbuka, dengan segera anak ayam itu meninggalkan tempat yang celaka itu. Ia pergi mencari induk kandungnya. Setelah bertemu, induknya menegur, katanya : "Ha, datang kamu anakku?"

    "Apa kabar, adikku?" tanya saudara-saudaranya pula.

    "Ampun, ibu!" tangis anak ayam itu. "Sungguh aku ini anak yang bodoh dan sombong, lagi durhaka kepada ibu. Karena hendak menjadi angsa, saya tinggalkan ibu yang baik. Sengsara dan penghinaan jugalah yang kuterima. Ampunilah aku ibu! Ciap! ciap ciap! ..........!"

    "Sudahlah anakku, jangan menangis!" bujuk induknya. "Dosamu telah ibu ampuni. Sekarang ingatlah, anak ayam tak mungkin jadi anak angsa, ia akan tinggal ayam juga. Sebab itu senangkanlah hatimu jadi anak ayam saja".




( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )