Kamis, 14 Juli 2011

Sarinah dengan anak-anakannya

    Si Sarinah baru berumur lima tahun. Ia tinggal jauh dikampung bersama-sama dengan ibunya. Rumahnya jauh pula terpencil. Sunyi benar rasanya disitu. Teman bermain-main tak ada. Tetapi untunglah ada-ada saja yang akan dikerjakannya. Pagi-pagi diambilnya sapu akan menolong ibunya membersihkan rumah. Sapunya kecil, dibelikan oleh bapaknya yang bekerja dikota. Remah-remah yang jatuh ketikar dan lebih-lebih nasi dikumpulkannya. Diserakkannya kehalaman. Berpuluh-puluh ekor burung datang tiap-tiap pagi kehalaman rumahnya menunggu dia datang. Senang benar hatinya melihat burung-burung itu mencotok nasi yang diserakkannya. Kadang-kadang bertengger burung-burung itu dijendela biliknya, kalau terlambat ia datang. Karena hampir tiap-tiap hari ia memberi makanan itu, ada beberapa ekor yang dikenalnya betul-betul.

    Si Sarinah ada pula memelihara seekor kucing. Kucing itu belang tiga. Sebab itu dinamakannya si Belang. Ia amat sayang kepadanya. Selamanya si Belang tidur bersama-sama dengan dia. Pagi-pagi, kalau ibunya sembahyang subuh, kucing itu mengeong-ngeong, seolah-olah membangunkannya. Kalau kerjanya tak ada lagi, bermain-mainlah ia dengan kucing itu. Kalau ia pergi kekebun melihat ibunya kerja, si Belang selalu mengikut.

    Pada suatu hari si Sarinah dibawakan bapaknya sebuah anak-anakan. Amat bagus anak-anakan itu. Matanya bulat dan berkilat-kilat. Bajunya cita biru dan berenda pula tepinya. Besar benar hati si Sarinah mendapat permainan itu. Maklumlah, dikampung jarang permainan dilihatnya. Diambilnya selendang, dipangkunya anak-anakan itu dan dinyanyikannya. Sehari-harian tak lepas anak-anakan itu dari tangannya.

    Kucingnya, si Belang, tak diindah-indahkannya lagi. Sebab itu kucing itu merengut-rengut saja sepanjang hari. Dengki ia rupanya melihat si Sarinah selalu bermain-main dengan anak-anakannya dan tak mempedulikannya lagi.

    Pada suatu pagi ia tak mengeong seperti biasa membangunkan si Sarinah. Dengan perlahan-lahan pergilah ia ketempat anak-anakan si Sarinah terletak. Digigitnya baju anak-anakan itu, lalu digonggongnya, dibawanya lari entah kemana.

    Waktu si Sarinah bangun, dilihatnya anak-anakannya tak ada lagi. Begitu juga si Belang. Dicarinya dalam biliknya, tetapi tak bersua. Ditanyakannya kepada ibunya, tetapi ia tak tahu. Dibelakang, didapur, dikebun tak ada juga. Si Sarinahpun menangislah. Kasihan awak melihatnya!

    Sesudah makan dikumpulkannya pula remah-remah dan lebih-lebih nasi untuk diberikannya kepada burung-burung dihalaman. Sedang burung-burung mencotok nasi-nasi yang diserakkannya itu, si Sarinah berkata, katanya : "Hai burung-burungku. Anak-anakanku sudah hilang. Entah siapa yang mencurinya, tak tahulah aku".

    Seakan-akan mengerti burung-burung itu akan perkataan si Sarinah. Dengan cepat-cepat, tidak seperti biasa, dicotoknya nasi-nasi itu. Sudah itu terbanglah ia. Heran si sarinah melihat kelakuannya, berlainan benar dengan yang sudah-sudah.

    Keesokan harinya, pagi-pagi begitu pula. Tetapi setelah selesai makan burung-burung itu tidak terbang sesuka hatinya, melainkan terbang kesebuah pohon yang dekat dari situ. Disana ia berbunyi dengan amat rianya. Si Sarinah bertambah heran. Diturutnya kepohon itu. Hampir sampai ia disana, segala burung itu berbunyi-bunyi pula. Si Sarinah terus saja menurutkan. Bagitulah selanjutnya, sehingga sampai ketepi kebun sayur, jauh sedikit dari rumah si Sarinah.

    Disana burung-burung itu tidak hinggap pada pohon kayu, melainkan turun ketanah.

    Apakah yang dilihat si Sarinah waktu itu ia sampai disana? Anak-anakannya terkubur sehingga pinggang. Tahu sekali ia siapa yang mengerjakannya, yaitu si Belang, yang selalu saja cemburu, sejak bapak si Sarinah membawakannya anak-anakan dari kota.

    Amat besar hatinya melihat anak-anakannya sudah dapat kembali. Tetapi bukan main marahnya kepada si Belang. "Awaslah kamu nanti, Belang", katanya dalam hatinya. Kepada burung-burung itu ia minta terima kasih dan berkata, katanya : "Terima kasih banyak, burung-burung yang baik budi. Besok banyak-banyak kamu kubawakan nasi".

    Burung itu berbunyi, lalu terbang.

    Sampai dirumah, datang si Belang mendekati si Sarinah. Merengut saja si Sarinah melihatnya, lalu berkata, katanya : "Enyahlah engkau, pencuri!"

    Tetapi kucing itu tak mau pergi. Ditentangnya saja si Sarinah dengan kedua matanya yang seperti kelereng kaca itu. Sesudah itu merangkak ia ketempat si Sarinah duduk, lalu dijilat-jilatnya tangannya.

    Tak sampai hati hati si Sarinah melihat kelakuan kucingnya itu. Diurut-urutnya belakang si Belang dan dibujuknya dengan perkataan yang lemah lembut.

    Si Belang mengeong-ngeong perlahan-lahan dengan sukacitanya.



( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )



Tidak ada komentar: