Dahulu kala adalah seorang desa, Musa namanya. Kerjanya ialah menebang kayu yang besar-besar dalam hutan. Kayu itu dipotong-potong dan dibelah-belahnya. Kemudian dibawanya kepasar akan dijualnya. Demikianlah pekerjaannya bertahun-tahun lamanya.
Pada suatu hari ia pergi pula kehutan. Waktu tengah hari duduklah ia ditepi sebuah lubuk berhentikan lelah. Kapaknya diletakkannya diatas lututnya. Tiba-tiba kapaknya itu meluncur dan jatuh kedalam air. Musa sangat terkejut melihat kapaknya jatuh itu. Ia berdiri hendak terjun menyelaminya. Tetapi akhirnya terpikir olehnya, bahwa pekerjaan itu sia-sia saja. Lubuk itu sangat dalamnya. Maka duduklah ia termenung dengan sangat bersedih hati. Akan dibelinya yang baru uang tak ada. Akan berhutang orang tak akan percaya.
Tiba-tiba tampaklah olehnya air lubuk itu beriak-riak. Seorang Dewi berenang menuju kepadanya. Alangkah elok parasnya. Rambutnya panjang sampai ketumitnya. Sambil tersenyum diangkatnya sebuah kapak, lalu berkata kepada Musa : "Inikah kapakmu?"
Musa bertambah herannya, karena kapak yang diunjukkannya itu berkilat-kilat sebagai emas.
"Bukan, itu bukan kapak saya", jawab Musa. "Kapak saya dari pada besi."
Dewi itu hilang menyelam kedalam lubuk itu, lalu timbul membawa sebuah kapak lain.
"Inikah kapakmu? tanyanya pula.
"Bukan," jawab Musa. Kapak saya tidak sebagus itu, hanya dari besi biasa saja."
Sekali lagi ia hilang masuk lubuk. Setelah ia timbul, diunjukkannya pula sebuah kapak kepada si Musa.
"Ya, itulah kapak saya," kata Musa sambil menerima kapaknya itu. Ketika Musa hendak minta terima kasih kepadanya, Dewi itu hilang pula masuk air. Hanya tertawanya saja yang terdengar bersama-sama dengan gelembung-gelembung air dari dalam lubuk itu.
"Anak jin air!" kata Musa, lalu berangkat meninggalkan tempat itu.
Maka dimulainyalah pula menebang kayu. Tiba-tiba kapaknya terbenam masuk kayu itu. Ketika dihelakannya tercurahlah emas dari dalamnya amat banyaknya. Musa tegak ternganga sebagai patung. Kapaknya terlepas dari tangannya.
Setelah emas itu habis keluar semuanya, barulah ia ingat akan dirinya. Dengan tangan gemetar dikumpulkannyalah emas itu dan dibungkusnya baik-baik. Kemudian dibawanya pulang dengan amat sukacitanya.
Betapa girang anak isteri Musa melihat harta yang tak terpermanai banyaknya itu. Sebentar itu juga pecahlah kabar seluruh desanya. Orang memuji-muji untung Musa yang baik itu. Tetapi seorang tukang emas amat iri hatinya. Chizit dan dengki ia melihat Musa dapat harta itu.
"Biarlah besok kucoba pula meminta emas kepada anak jin air itu", katanya seorang diri.
Keesokan harinya berangkatlah ia dengan diam-diam masuk hutan menuju tempat Musa kehilangan kapaknya. Setelah tiba ia disana dibuangkannyalah kapaknya kedalam air. Kemudian duduklah ia menangis diatas batu.
Tak lama antaranya timbullah Dewi air itu memegang sebuah kapak emas.
"Inikah kapakmu?" tanyanya.
Ketika pandai emas itu melihat kapak itu bersinar-sinar kena cahaya matahari, iapun berseru dengan girang : "Benarlah itu kapakku", lalu diambilnya dengan segera. Dengan tidak minta terima kasih lagi ia masuk kedalam hutan dan mulai menebang sepohon kayu yang besar. Tiba-tiba kapaknya terbenam kepangkal pohon itu. Pandai emas yang loba itu berdebar-debarlah hatinya, karena sangat harapnya. Akan tetapi ketika kapaknya dihelakannya, bukanlah emas yang mengalir dari dalamnya, melainkan getah pohon itu menyembur-nyembur serupa mata air.
Pandai emas itu terdiri tercengang-cengang. Kakinya mulai terendam. Ia tak dapat bergerak lagi, karena kakinya amat keras melekat. Bagaimanapun dicobanya, kakinya tak lepas juga. Maka berteriaklah ia melolong-lolong minta tolong. Tak lama antaranya tampaklah Dewi air itu datang.
"Tolonglah saya, kata pandai emas itu beriba-iba."
"Mau saya menolong engkau", kata Dewi air itu, "tetapi kembalikanlah dahulu kapak emas saya."
"Kalau itu yang engkau minta, tak mau saya", kata pandai emas itu, "sebab kapak ini saya yang punya."
Dewi yang baik itu tidak berkata lagi, ia terjun kembali kedalam air.
Maka tinggallah pandai emas itu seorang diri. Kapak emas itu dipegangnya erat-erat. Akan tetapi tubuhnya makin dalam juga terendam. Getah mengalir dengan tak henti-hentinya. Orang yang tamak itu melolong-lolong ketakutan. Ketika ia hampir tenggelam dalam getah itu, dibuangnyalah kapak emas itu kedalam air. Sebentar itu juga getah yang kental itu cairlah. Perlahan-lahan terlepaslah ia. Tetapi lama juga ia tersiksa itu. Ketika matahari sudah masuk, baharu ia dapat pulang dan tengah malam baharu sampai kerumahnya.
Orang kampungnya bertanyalah dari mana ia datang dan apa yang telah terjadi atas dirinya, karena pakaiannya penuh getah. tentu saja pandai emas itu tak mau menceritakan halnya. Hanya dalam hatinya terpikirlah olehnya bahwa dengki dan iri hati kepada orang lain sungguh tak baik balasannya.
( bersumber dari buku : "Tjeritera Goeroe" )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar