Adalah dua orang anak diam bersama-sama dengan orang tuanya
didalam sebuah pondok, dipinggir hutan. Yang tua, si Rahman namanya, sudah
berumur 9 tahun dan adiknya si Salim baru 7 tahun.
Pada suatu hari ibu-bapanya hendak pergi keladang mengambil
sayur-sayuran dan buah-buahan yang akan dibawanya kepasar akan dijualnya.
Sebelum mereka itu pergi, ibunya berkata kepada kedua anak itu, katanya : “Sepeninggal
kami, kamu harus tinggal dirumah saja atau bermain-main dihalaman. Tak boleh
pergi jauh-jauh, nanti sesat”. Sesudah berkata itu berangkatlah kedua mereka
itu.
Tetapi kedua anak itu tak mengindahkan perkataan ornag
tuanya. Baru saja mereka itu pergi, turunlah mereka itu kehalaman lalu pergi
bermain-main dibawah pohon kayu diluar pagar.
Tiba-tiba berkata si Rahman, katanya : Marilah kita pergi
ketepi anak sungai itu! “Takut saya”, kata adiknya, “Nanti ibu marah”. “Apa
sebab engkau takut?”, jawab kakaknya. “Ayah dan ibu tak ada dirumah. Kalau kita
lihat nanti beliau dari jauh datang, lekas-lekas kita pulang”. Keduanya pergi
kesungai itu. Disana mereka itu bermain-main air. Kalau sudah lelah bermain,
maka duduklah ia dipinggir sungai itu, sambil melihat baying-bayangnya didalam
air. Tiba-tiba dilihatnya seekor rama-rama besar lagi bagus terbang
dihadapannya, lalu hinggap dikuntum bunga melati, yang tumbuh disitu.
Dikejarnya rama-rama itu hendak ditangkapnya. Tetapi baru saja hampir2 dapat,
rama-rama itu terbang kekuntum bunga yang lain. Dicobanya sekali lagi, tetapi
tak juga dapat. Begitulah dicobanya beberapa kali, tetapi sia-sia saja. Karena
asyiknya mengejar itu, tidak diketahuinya ia sudah masuk kedalam hutan.
Tiba-tiba rama-rama itu terbang jauh sekali, sehingga tak terturutkan lagi
olehnya. Karena tak ada harapannya lagi akan memperolehnya, bermaksudlah ia
hendak pulang.
Tetapi jalan pulang, tak tahu lagi mereka itu. Hari sudah
bertambah tinggi juga. Tiba-tiba adiknya berkata, katanya : “Abang, apa akal
kita sekarang, rupanya kita sudah sesat. Dari tadi kukatakan jangan pergi dari rumah. Sekarang
beginilah jadinya. Tentulah kita akan mati dimakan binatang buas dalam rimba
ini”. Iapun teringatlah akan ibu-bapanya, lalu menangis dengan amat sangatnya.
Si Rahman membujuk adiknya, lalu katanya : “Janganlah engkau menangis, marilah
kita coba-coba juga mencari jalan pulang.” Adiknya menurut saja akan kata
abangnya. Tetapi mereka itu makin lama makin jauh masuk kedalam hutan. Tak
tentu lagi kemana tujuannya.”
Tiba-tiba kelihatan oleh mereka itu terung bulat-bulat,
sebesar bola dibalik belukar. “Ambillah terung itu, Lim!” kata si Rahman. “Apa
gunanya abang?” Tanya si Salim. “Ambil sajalah! Nanti ada-ada saja gunanya”. Si
Salim mengambil terung itu dua buah, lalu diberikannya kepada kakaknya. Sesudah
itu mereka meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah kapak.
Rupanya kapak seorang peladang, yang bercecer disitu. Kapak itu diambil oleh si
Rahman, lalu mereka itu berjalan pula.
Kira-kira pukul lima petang kelihatanlah olehnya sebuah
rumah diantara pohon-pohon besar. Dengan segera pergilah keduanya menuju rumah
itu. Waktu ia sampai disana, dilihatnya atap rumah itu terbuat dari rambut
manusia. Bukan main takutnya mereka itu waktu itu. Si Salim pun menangislah,
karena teringatlah pula olehnya orang tuanya, yang ditinggalkannya.
“Jangan takut, dik”, kata si Rahman membujuk adiknya. “Marilah
kita naik kerumah ini!” Keduanyapun naiklah.
Didalam rumah itu dilihatnya amat banyak harta. Emas berbongkah-bongkah
dan pelbagai permata, yang gemerlapan cahayanya, berserak-serak dilantai.
Waktu mereka itu melihat keluar, maka tampaklah olehnya dari
jauh seorang-orang datang menuju rumah itu. Alangkah besarnya orang itu! Lebih
tiga kali orang biasa. Si Salim menangis pula, karena amat takutnya melihat
orang besar itu, lalu katanya : “Inilah barangkali yang dikatakan orang
raksasa. Tentulah kita akan mati dimakannya.” Si Rahman menutup mulut adiknya,
lalu katanya : “Jangan menangis, Salim! Sekarang mesti kita pergunakan akal
kita. Marilah kita memanjat keloteng itu! Disana kita bersembunyi.” Sekalian
perkataan si Rahman diturut saja oleh adiknya.
Raksasa itu sampailah kerumahnya, lalu masuk sekali kedalam.
“Hm, hm, bau manusia!” katanya. “Manusia manakah pula yang berani datang
kemari? Kalau bertemu, tentu kumakan sekali. Saya sudah lama tak memakan daging
manusia”.
Si Rahman membesarkan suaranya, lalu berkata, katanya: “Ini
kami diatas loteng. Lihatlah kemari! Tetapi kami bukan manusia; kami raja dari
segala raksasa. Kami datang ini akan membunuhmu”. Raksasa itu melihat keatas.
Waktu itu si Rahman memperlihatkan terung yang dibawanya.
“Wah, besar matanya!” pikir raksasa itu. “Benarlah ia ini
raja raksasa?” Iapun mulai takut. Si Rahman mengambil kapak yang dibawanya
tadi, lalu dilontarkannya kepada raksasa itu. Kebetulan kena kakinya. Dua buah
jarinya putus. “Alangkah besarnya gigi raja raksasa itu?” Kata raksasa itu dalam
hatinya dengan gemetar. “Giginya saja dapat memutus jari kaki.
Dengan tiada berpikir panjang lagi, larilah ia
secepat-cepatnya dengan tak tentu tujuannya lagi. Tak kelihatan olehnya
dihadapannya sebuah jurang yang amat dalam. Iapun jatuhlah kedalam jurang itu,
lalu mati.
Malam itu si Rahman dan adiknya bermalam dirumah raksasa
itu. Mereka tak takut lagi.
Keesokan harinya pagi-pagi benar dikumpulkannyalah sekalian
emas dan intan berlian yang ada disitu, dimasukkannya kedalam sebuah karung, lalu
ditinggalkannyalah rumah raksasa itu.
Tiada berapa lamanya mereka itu berjalan, bertemulah ia
dengan seorang orang peladang. Orang itu bertanya, katanya : “Hai hendak
kemanakah kamu keduanya ini? Adakah kamu bertemu dengan kapak saya?”
Si Rahman mengeluarkan kapak, yang didapatnya dahulu, lalu
diberikannya kepada orang itu. Sesudah itu katanya : “Tahukah tuan jalan kerumah
kami? Kami ini sudah sesat, tak tahu jalan pulang lagi”. Diceriterakannya
halnya kepada orang peladang itu dari mulanya sampai kesudahannya.
Kedua anak itu lalu diantarkan orang peladang itu
kerumahnya.
Alangkah besarnya hati orang tuanya melihat anaknya sudah
kembali dengan selamat!
Sejak itu hiduplah mereka itu dengan senang, karena harta
yang dibawa si Rahman dan si Salim amat banyaknya.
Orang peladang yang menunjukkan jalan kepadanya itu,
diberinya pula sebahagian harta itu.
( bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe” )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar