Selasa, 19 April 2011

Gadis kecil yang cerdik

    Dalam sebuah dusun dekat Balikpapan diam seorang petani, Pak Jayam namanya. Pak Jayam ada mempunyai seorang isteri dan seorang anak perempuan, si Jayam namanya.

    Si Jayam sudah gadis kecil dan sudah dapat membantu-bantu ibu-bapaknya mengurus rumah tangga. Karena itu Pak Jayam dengan bininya dapatlah bekerja dengan sesukanya diladangnya.

    Si Jayam memang seorang anak yang rajin dan baik hati. Jika pekerjaannya dirumah sudah selesai, pergilah ia keladang membantu orang-tuanya. Petang-petang ia pulang.

    Pada suatu hari sesudah makan tengah hari, Pak Jayam kedatangan seorang jamu dari kampung lain. Jamu itu sahabat lamanya.

    "Telah lama kita tidak bertemu, Ban", kata Pak Jayam, setelah jamu itu dipersilahkannya duduk. "Kalau saya tak salah sejak Hari Raya yang dahulu".

    "Begitu rupanya, kak", sahut Sarban. "Maklumlah kita sama-sama mencarikan perut yang tak berisi, hanya sekali-sekali mengunjungi sahabat dan kenalan".

    "karena itu jangan engkau hendak lekas-lekas saja pulang", kata Pak Jayam. "Bercakap-cakap kita dahulu disini dan makan nasi agak sesuap dan minum air agak seteguk....... Hai Mak Jayam, pergilah kedapur!" katanya kepada bininya.

    Mak Jayam pergilah kedapur, seolah-olah hendak menyediakan apa-apa. Tetapi apakah yang hendak disediakannya, sekaliannya sudah habis? Beras tidak ada, lada garam pun tak ada, semuanya habis. Ia berdiri saja, tak tahu apa yang akan dibuatnya. Periuk sudah dicuci, sudah diisi air, sudah terjerang diatas tungku, tetapi apakah akan isinya? Akan diisi dengan pasir tentu tak mungkin.

    Sebentar ia keluar melawan jamunya bercakap-cakap, sebentar lagi kedapur. Pak Jayam mengerling dengan sudut matanya. Bininya maklum akan maksud lakinya itu dan ia menggelengkan kepala. Pak Jayam merah padam warna mukanya. Ia bangkit, lalu pergi kedapur diiringkan oleh bininya. "Coba adinda berikhtiar kepada setangga kita yang disebelah ini!" katanya. "Malu benar kita kepada si Sarban itu, sebab dia sudah kita tahan akan makan disini".

    "Tak dapat saya meminjam kepada orang disebelah ini. Karena kita tak pernah menolong dia, tentu ia tak akan mau menolong kita".

    "jadi bagaimana!" kata Pak Jayam kebingungan. "Jamu ditahan akan makan, tetapi nasi tak ada. Engkau juga yang salah, tak mau berbaik dengan tetangga. Jadi tak dapat minta tolong waktu susah".

    "Itu salah awak", kata bininya."Mengapa tak ditanyakan apa-apanya dahulu kepada saya? Jamu ditahan saja makan".

    Sedang keduanya bertengkar-tengkar itu, si Jayam pulang dari sungai. Ia heran melihat ibu bapaknya bermerah-merahan muka.

    "Mengapa, yah? Mengapa, bu?" katanya dengan cemas, sambil meletakkan bakulnya berisi udang dan ikan kecil-kecil.

    Mendengar suara anak yang dicintainya itu, Pak Jayam lalu berkata, katanya : "Jayam, mari kemari nak! Ayah hendak minta tolong". maka diceritakannyalah pertengkaran itu dan jamu yang sedang duduk menanti itu.

    Kata si Jayam: "kalau begitu pergilah ayah dan ibu keluar! Lawanlah jamu itu bercakap-cakap. nanti saya sediakan apa-apa yang dapat".

    Pak Jayam dan bininya pergilah keluar melawan jamunya bercakap-cakap. Sementara itu si Jayam bekerjalah didapur dengan cekatannya.

    Tak berapa lama antaranya tersajilah dihadapan mereka nasi putih yang mengepul-ngepul asapnya, gulai ikan dan goreng udang yang amat sedap baunya. Pak Jayam laki-bini tercengang-cengang melihat, sehingga ia hampir lupa mempersilahkan jamunya makan. Kemudian ketiganya makanlah dengan enaknya.

    Baharu saja selesai makan, pak Jayam laki-bini pergi kebelakang mendapatkan anaknya, lalu ditanyakannya dimana didapatnya sekalian itu. Dirumah tak ada beras sebutir jua pun, apa lagi minyak dan yang lain-lain itu.

    Ujar si Jayam dengan tersenyum : "Beras kita masih ada sebelik lagi, ibu. Tiap-tiap kita bertanak saya pisahkan beras segenggam, saya masukkan kedalam belik, sehingga sekarang sudah penuh sebelik. Maksud saya, kalau kita kekurangan, beras itu dapat kita pakai. Minyak dan lada garam, saya pinjam kepada setangga kita disebelah ini, karena ia acap kali juga saya pinjami dan saya tolong".

    Mendengar kata anaknya itu, ibu bapak si Jayam makin heran. Tidak disangkanya anaknya akan secerdik dan sehemat itu. Kalau tidak karena cerdiknya itu, tentulah mereka itu akan dapat malu besar. Lain dari itu pandai bertetangga, sehingga dalam kesusahan demikian dapat ia minta tolong.

     Sejak itu ibu si Jayam makin sayang kepada anaknya dan tabi'atnya pun berubah. Ia sudah suka menolong orang setangganya, sehingga orang-orang itu suka pula menolongnya.


(bersumber dari buku "Tjeritera Goeroe")


Tidak ada komentar: