Rabu, 28 November 2012

Terang Bulan


Malam ini langit jernih. Beribu-ribu bintang bergemerlapan serta bulan sebesar nyiru nampaknya. Kata orang, malam ini bulan purnama. Angin berhembus dengan lemah lembut; daun kayu bergoyang perlahan-lahan. Sedap benar waktu itu duduk diluar rumah. Hampir pada tiap-tiap halaman ada orang duduk-duduk makan angin.

Anak-anak pun banyak yang bermain-main diluar sampai jauh malam; ada yang main galah panjang, ada yang main bersembunyi-sembunyian.

Ketika si Amat dan si Ali tiada serta bermain dengan teman-temannya, sebab  si Amat akan berceritera. Emak dan bapaknya serta kedua saudaranya duduk dihalaman mendengarkan si Amat berceritera, yang didengarnya tadi siang disekolah. Kata si Amat : “Mak, ceritera ini bagus benar, tetapi panjang sedikit.”

“Biarlah”, sahut si Isah dan si Ali serempak, “Ceriterakanlah, kami dengar!”

Pak Amat duduk ditikar sambil menghisap rokok daun yang diisi dengan kemenyan, supaya harum baunya. Emak dan bapak anak-anak itu ingin juga mendengarkan ceritera si Amat.

Ceritera :
Kata orang : pada jaman dulu, yaitu ketika sekalian binatang pandai berkata-kata sebagai manusia, adalah dua orang bersaudara. Yang sulung bernama Lokek dan yang bungsu bernama dermawan. Lokek itu kaya, sawah ladangnya banyak, uangnya tiada sedikit. Tetapi ia sangat kikir, sehingga tiada pernah memberi sedekah barang sedikit juapun kepada orang miskin. Lain benar halnya dengan dermawan; meskipun nasinya sepinggan, suka ia membagi dengan orang minta-minta. Ia pengasih-penyayang kepada fakir miskin.

Pada suatu hari, pergilah Dermawan mendapatkan saudaranya akan meminta tolong, karena berasnya sudah habis dan padi disawahnya baru hampir masak.

Tatkala ia sampai kerumah abangnya, bukan pertolongan yang diperolehnya, melainkan kata yang pedih-pedih yang didengarnya, serta dimarah-marahi oleh abangnya. Akhirnya diberinya jualah oleh abangnya beras secupak dan ikan sedikit.

Dengan sedih hati, pulanglah Dermawan kerumahnya. Ditengah jalan bertemulah ia dengan seorang-orang tua yang sangat miskin. Badannya kurus, hampir tak dapat berjalan. Maka Dermawanpun lupalah akan kesusahannya. Dihampirinya orang tua itu, lalu dibawanya pulang kerumahnya. Disitu disuruhnya orang tua itu tidur diatas balai-balai tempatnya tidur. Kata Dermawan : “Pak, berbaring-baringlah disana dulu, sementara hamba memasak nasi untuk bapak.”

“Terimakasih, nak. Janganlah bersusah-susah benar! Kalau bapak dapat tidur sedikit, tentu badan bapak akan segar.”

Ceritera (sambungan) :
Sementara orang tua itu tidur-tidur, bekerjalah Dermawan didapur yang tak banyak perkakasnya. Ketika selesailah pekerjaannya, disediakannya makanan untuk orang tua yang sakit itu.

Bukan main besar hatinya melihat perbuatan Dermawan itu. Lalu makanlah ia bersama-sama dengan yang empunya rumah, sedikit seorang.

Pada malam itu Dermawan menahani orang tua itu tidur dirumahnya. Pada keesokan harinya bermohonlah orang tua itu akan meneruskan perjalanannya. Sebelum ia berangkat, berkatalah ia : “Hai orang muda, berbahagialah engkau, karena engkau baik hati benar. Bapak tiada dapat membalas budimu. Ambillah pemberian bapak ini akan jadi tanda mata.” Lalu diberikannya sebuah lesung kecil dari pada perak. Katanya pula : “Barang apa yang kau ingini katakanlah : Tumbuk, tumbuk, tumbuk! Jangan lebih , jangan kurang. Kalau menyuruh berhenti, kau tumbukkan antannya tiga kali ketanah.”

Belum lagi dapat Dermawan mengucapkan terima kasih, orang tua itu sudah lenyap dari pemandangannya, sehingga tercengang-cenganglah ia.

Pada malamnya dipanggil Dermawanlah orang-orang miskin kerumahnya; dijamunya makan minum dengan selengkapnya.Sekalian makanan dan minuman itu diperolehnya dari lesung peraknya itu.

Sekarang si Dermawan telah menjadi seorang yang berada; meskipun demikian, sekali-kali tak berubah hatinya. Tatkala kabar ini sampai kepada saudaranya, timbullah niat jahat dalam hati saudaranya itu; ia mencuri lesung adiknya .

“Wah, jahat benar hatinya,” kata si Isah dan si Ali. “Coba kalau saya ada disitu, tentu saya sorakkan ia mencuri,” kata si Ali pula. Si Amat meneruskan ceriteranya :

Pada suatu malam datanglah Lokek mendapatkan adiknya. Dengan besar hati diterima Dermawanlah abangnya bermalam dirumahnya.

Maka bertanyalah Lokek dari hal lesung bertuah itu. Oleh karena Dermawan tidak berhati jahat, tiadalah ia menyangka apa-apa yang buruk; semuanya diceriterakannya seterang-terangnya. Waktu tengah malam, ketika orang sedang tidur nyenyak, dicuri Lokeklah lesung itu, lalu dibawanya berlayar.

“Cih.., jahat benar si Lokek,” seru si Isah.

“Namanyapun si Lokek,” jawab bapaknya.

Ceritera (penutup) :
‘Sudah itu,” kata si Amat, “Berlayarlah kapal yang ditumpanginya menuju negeri yang jauh.

Pada suatu hari dikeluarkan lesung yang dicurinya. Alangkah besar hatinya melihat lesung itu! Pikirnya, apabila ia sampai kenegeri baru itu, akan disuruhnya tumbuk emas banyak-banyak; tentulah ia akan kaya.

Tengah ia berpikir demikian, didengarnya orang berkata, bahwa dikapal kekurangan garam.

“Inilah waktu yang baik akan mencoba kesaktian lesung ini,” pikir Lokek dalam hatinya. Sebentar itu juga dipanggilnya orang kapal, dikatakannya kepada mereka itu, ia sanggup mengadakan garam. Sekalian mereka itu sangat heran dan masing-masing hendak mengetahui, bagaimana jalannya. Dikeluarkan Lokek lesung itu, diletakkan diatas meja, lalu katanya : “Tumbuk, tumbuk, tumbuk garam!” Lesung itu menumbuklah, sehingga berhamburanlah garam keluar. “Sudah, sudah  cukup,” seru anak-anak kapal. Akan tetapi antan itu tak mau berhenti. Lokekpun hilanglah akalnya.  Dicarinya tanah, tak ada; karena ia tergopoh-gopoh berangkat, lupalah ia membawa tanah, jadi tak dapat ia menyuruh berhenti menumbuk.

Bertambah lama, bertambah banyak garam bertimbun dalam kapal itu, akhirnya tenggelamlah. Sampai sekarang antan itu masih menumbuk juga, sebab itu air laut asin rasanya.

“Bagaimana si Lokek, bang?” Tanya si Ali.
“Ia mati terbenam.”
“Itu bagus, itu bagus. Sudah habis ceriteranya, bang?”
“Sudah.”
“Mari kita tidur!” kata ibu anak-anak itu. “Hari sudah jauh malam.”

Mak Isah kelima beranak masuklah kedalam dan tiada berapa lamanya sunyi senyaplah dalam kampong, hanya bunyi cengkerik saja yang kedengaran.


 
(Bersumber dari buku : “Dikampung”)



Tidak ada komentar: