“Ini dia, Mat!” kata si Dahlan sambil mengunjukkan
kitabnya kepada si Amat, tatkala ia sudah kembali ketempat tadi. Si Amat
membalik-balik halamannya. Didalamnya adalah gambaran yang bagus-bagus.
“Bila kau peroleh kitab ini, Lan?” Tanya si Amat.
“Kemarin dulu. Banyak ceriteranya yang bagus bagus. Yang
sedih sekali ceritera anak dengan
burung.”
“Bacalah, Lan,” seru si Ali. Dalam hatinya ia berpikir :
“Lekaslah aku masuk sekolah, lekaslah aku pandai membaca dan menulis seperti si
Dahlan dan Abangku.”
“SENANG dan SUSAH”
Adalah seorang anak yang bernama si Mansur. Tabiatnya
kasar dan pemalas. Lebih suka berjalan-jalan dari pada menolong orang tuanya
atau menyudahkan pekerjaan sekolah.
Pada suatu hari ia tiada bersekolah. Ia berjalan kesana
kemari sambil membawa sebuah katapel atau pelanting. Sesampainya dekat kebun
pak HUsin, kelihatan olehnya seekor burung sedang memberi makan anaknya yang
masih kecil-kecil.
Pikir si Mansur : “Coba kupasang dia”. Lalu diambilnya
batu, ditembaknya, tetapi untung tidak kena. Burung itu terkejut, lalu
terbanglah kesana-kemari; anaknya mencicit-cicit memanggil induknya. Induk
burung itupun hinggap pula pada tepi sarangnya, tetapi ……….. tiba-tiba sebuah
batu mengenai dadanya. Sesa’at itu juga gugurlah ia kebumi dengan tiada
bernapas lagi. Si Mansur tertawa. Sangkanya ia sudah pandai benar menembak.
Diangkatnya burung yang telah mati itu, dicampakkannya ketepi jalan. Sudah itu
iapun meneruskan perjalanannya. Dari jauh terdengarlah cicit anak-anak burung
yang sekarang tiada beribu lagi.
“Aduh, kasihan,” kata si Amat. Si Ali berdiam diri saja;
air matanya tampak berlinang-linang.
Senang dan susah (sambungan) :
……………………………………….
“Cit, cit …,” teriak anak-anak burung yang tiada lagi berinduk itu. Perutnya lapar, badannya dingin, tetapi induknya tak ada lagi yang akan menutupinya dengan sayapnya dan memberi makan apabila lapar.
Hujan terus saja dan anginpun bertiup tak henti-hentinya.
Pada keesokan harinya lalu pula si Mansur dekat pohon tempat ia membunuh burung
kemarin. Dalam hatinya ia hendak mengambil sarang burung itu; lalu dipanjatnya
dengan segera. Tetapi tak ada gunanya; keempat anak burung itu tiada bernapas
lagi. Si Mansurpun turunlah dan meneruskan perjalanannya.
Sebuah batu kecil ditangan yang bengis sudah
menghilangkan nyawa lima ekor burung.
Belum berapa lama ia berjalan, kelihatan olehnya seekor
anjing besar, tidur ditepi jalan.
Iapun berpikir : “Baiklah aku lanting anjing itu”.
Diambilnya sebuah batu, diletakkannya pada kulit katapelnya. Sebentar lagi kedengaranlah dengking anjing
yang kesakitan.
Tetapi apakah itu?
“Aduh, aduh,” teriak si Mansur. “Aduh, aduh!”
Tak kala anjing itu melihat siapa yang menyakitinya,
sebentar itu juga dikejarnya si Mansur yang berlari sekencang-kencangnya. Oleh
karena ia melihat kebelakang, kakinya terantuk pada batu, iapun tersungkur
ketanah. Sebentar itu juga anjing itu menggigit kakinya, sehingga
nerdarah-darah.
Orang kampung datanglah menolong si Mansur yang nakal
itu; dibawa mereka itu dia pulang kerumah orang tuanya. Sebulan lamanya ia
terpaksa tinggal ditempat tidur.
Semenjak itu, apabila ia hendak mengusik binatang,
terbayanglah dimatanya burung yang dibunuhnya dahulu, anjing yang disakitinya
dan luka pada kakinya yang sampai sekarang masih berbekas.
(Bersumber dari buku : “Dikampung”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar