Minggu, 18 November 2012

Kitab si Dahlan

Sudah makan tengah hari adik si Dahlan tidur. Si Isah menolong ibunya mencuci piring mangkuk disumur,bekas makan tadi. Si Dahlan, si Amat dan si Ali pergi kehalaman muka duduk dibawah pohon asam yang rimbun daunnya. Si Aziz ada juga bersama-sama. Sejuk hawa disitu! Tiba-tiba teringatlah oleh si Dahlan kitabnya yang baru dibelikan orang tuanya. Ia berlari kerumah mengambil kitab itu yang terletak dalam bungkusan baju adiknya.

“Ini dia, Mat!” kata si Dahlan sambil mengunjukkan kitabnya kepada si Amat, tatkala ia sudah kembali ketempat tadi. Si Amat membalik-balik halamannya. Didalamnya adalah gambaran yang bagus-bagus.

“Bila kau peroleh kitab ini, Lan?” Tanya si Amat.

“Kemarin dulu. Banyak ceriteranya yang bagus bagus. Yang sedih sekali  ceritera anak dengan burung.”

“Bacalah, Lan,” seru si Ali. Dalam hatinya ia berpikir : “Lekaslah aku masuk sekolah, lekaslah aku pandai membaca dan menulis seperti si Dahlan dan Abangku.”

Si Dahlan mulai membaca :

SENANG dan SUSAH
Adalah seorang anak yang bernama si Mansur. Tabiatnya kasar dan pemalas. Lebih suka berjalan-jalan dari pada menolong orang tuanya atau menyudahkan pekerjaan sekolah.

Pada suatu hari ia tiada bersekolah. Ia berjalan kesana kemari sambil membawa sebuah katapel atau pelanting. Sesampainya dekat kebun pak HUsin, kelihatan olehnya seekor burung sedang memberi makan anaknya yang masih kecil-kecil.

Pikir si Mansur : “Coba kupasang dia”. Lalu diambilnya batu, ditembaknya, tetapi untung tidak kena. Burung itu terkejut, lalu terbanglah kesana-kemari; anaknya mencicit-cicit memanggil induknya. Induk burung itupun hinggap pula pada tepi sarangnya, tetapi ……….. tiba-tiba sebuah batu mengenai dadanya. Sesa’at itu juga gugurlah ia kebumi dengan tiada bernapas lagi. Si Mansur tertawa. Sangkanya ia sudah pandai benar menembak. Diangkatnya burung yang telah mati itu, dicampakkannya ketepi jalan. Sudah itu iapun meneruskan perjalanannya. Dari jauh terdengarlah cicit anak-anak burung yang sekarang tiada beribu lagi.

“Aduh, kasihan,” kata si Amat. Si Ali berdiam diri saja; air matanya tampak berlinang-linang.

Senang dan susah (sambungan) :
Malamnya turunlah angina rebut disertai hujan yang seperti dicurahkan dari langit. Hawa udara terasa sejuk. Makin jauh malam, makin dingin. Si Mansur tidur nyenyak benar;  badan dan kepalanya ditutupinya dengan selimut tebal, sehingga tiada terasa lagi olehnya sejuk malam itu.

……………………………………….

“Cit, cit …,” teriak anak-anak burung yang tiada lagi berinduk itu. Perutnya lapar, badannya dingin, tetapi induknya tak ada lagi yang akan menutupinya dengan sayapnya dan memberi makan apabila lapar.

Hujan terus saja dan anginpun bertiup tak henti-hentinya. Pada keesokan harinya lalu pula si Mansur dekat pohon tempat ia membunuh burung kemarin. Dalam hatinya ia hendak mengambil sarang burung itu; lalu dipanjatnya dengan segera. Tetapi tak ada gunanya; keempat anak burung itu tiada bernapas lagi. Si Mansurpun turunlah dan meneruskan perjalanannya.

Sebuah batu kecil ditangan yang bengis sudah menghilangkan nyawa lima ekor burung.

Belum berapa lama ia berjalan, kelihatan olehnya seekor anjing besar, tidur ditepi jalan.

Iapun berpikir : “Baiklah aku lanting anjing itu”. Diambilnya sebuah batu, diletakkannya pada kulit katapelnya.  Sebentar lagi kedengaranlah dengking anjing yang kesakitan.

Tetapi apakah itu?

“Aduh, aduh,” teriak si Mansur. “Aduh, aduh!”

Tak kala anjing itu melihat siapa yang menyakitinya, sebentar itu juga dikejarnya si Mansur yang berlari sekencang-kencangnya. Oleh karena ia melihat kebelakang, kakinya terantuk pada batu, iapun tersungkur ketanah. Sebentar itu juga anjing itu menggigit kakinya, sehingga nerdarah-darah.

Orang kampung datanglah menolong si Mansur yang nakal itu; dibawa mereka itu dia pulang kerumah orang tuanya. Sebulan lamanya ia terpaksa tinggal ditempat tidur.

Semenjak itu, apabila ia hendak mengusik binatang, terbayanglah dimatanya burung yang dibunuhnya dahulu, anjing yang disakitinya dan luka pada kakinya yang sampai sekarang masih berbekas.

 

(Bersumber dari buku : “Dikampung”)

 
   
 

Tidak ada komentar: