Kata
yang empunya ceritera, pada zaman dahulu kala, waktu Nabi Allah Nuh memerintah,
terjadilah air bah yang sangat besar. Dunia ini habis tenggelam. Tidak ada
setelempap tanah tempat berdiri. Sekalian manusia habis mati. Hanyalah ada
delapan puluh orang laki-laki dan perempuan yang masih hidup, yakni orang yang
beriman kepada Nabi Allah Nuh dan menjunjung tinggi perintah-perintahNYA. Lain
daripada itu adalah beberapa ekor binatang. Semuanya mengikut kemana juga Nabi
Nuh pergi.
Oleh
Nabi Allah Nuh dibuatlah sebuah kapal yang amat besar. Dengan kapal itulah Nabi
Allah Nuh membawa rakyatnya dan segala binatang-binatang itu. Entah berapa
lamanya mereka terkatung-katung ditengah laut, tak tentu arah dan tujunya. Kata
setengah cerita adalah 14 hari dan 14 malam lamanya.
Pada
suatu hari surutlah air bah yang sangat hebat itu. Tetapi daratan belumlah juga
kelihatan. Maka dititahkan oleh Nabi Allah Nuh seekor burung garuda akan
mencari daratan.
Maka
burung garuda itu terbanglah membubung keudara. Setelah berapa lamanya ia
beredar kesana kemari, tampaklah olehnya setumpak daratan. Dilihatnya disana
banyak mayat dan bangkai binatang bertimbun-timbun. Maka dimakannyalah bangkai
itu sekenyang-kenyangnya. Setelah sudah ia makan barulah ia pulang mendapatkan
Nabi Allah Nuh.
Sabda
Nabi Allah Nuh : “Hai garuda, adakah engkau bertemu dengan daratan?”
Jawab
garuda : “Ada, ya Nabi Allah, jauh tempatnya dari sini.”
Sabda
Nabi Allah Nuh pula : “Manakah tandanya engkau bertemu dengan daratan itu?”
Burung
garuda itu tak dapat menjawab. Tak ada tanda yang dibawanya.
Maka
Nabi Allah Nuh bertitahlah kepada burung dara : “Hai burung dara pergilah
engkau mencari daratan ! Dan bawalah tanda daratan itu kelak.”
Maka
burung darapun terbang pulalah mencari daratan. Sedang terbang berpikir ia
dalam hatinya, pikirnya : “Sedangkan garuda yang besar dan gagah perkasa itu
tidak dapat membawa tanda daratan itu. Apalagi aku yang lemah ini? Tetapi
biarlah kuusahakan juga.
Iapun
terbanglah menuju keudara. Dengan kehendak Allah tampaklah olehnya daratan.
Maka turunlah ia disana. Tanahnya masih lumpur dan merah warnanya. Pikir burung
dara dalam hatinya : “Bagaimanakah aku akan membawa tandanya? Sebutir tanah tak
ada yang dapat aku patuk. Sekaliannya lumpur cair sebagai air.”
Burung
dara itu termenunglah beberapa lamanya. Akhirnya dapatlah olehnya suatu akal.
Kakinya dan paruhnya direndamkannya kedalam lumpur yang sebagai darah itu.
Kemudian terbanglah ia kembali mendapatkan nabinya.
Setelah
sampai bertanyalah Nabi Allah Nuh : “Hai burung dara, adakah engkau bertemu
dengan daratan itu?”
Jawab
burung dara : “Ada, ya Nabi Allah. Inilah tandanya pada kaki dan paruh hamba.
Lumpurnya yang merah hamba patuk dan hamba pijak, sehingga kaki dan paruh hamba
menjadi merah.”
Nabi
Allah Nuh melihatlah kepada kaki dan paruh burung dara itu. Maka percayalah ia.
Nabi
Allah Nuh lalu bertitah pula, sabdanya : “Hai burung dara, untuk pembalas
jasamu itu engkau hendak kuberi suatu tanda kehormatan, yakni dokoh seuntai.”
Lalu Nabi Allah Nuh menggantungkan dokoh yang amat indah dileher burung dara
itu.”
Kata
burung dara itu : “Ya Nabi Allah, janganlah hamba diberi dokoh ini. Nanti
binatang-binatang lain iri hatinya dan hamba tentu dibunuhnya.”
Burung Dara (Merpati) (google/kaskus) |
Kata
Nabi Allah Nuh : “Hai burung dara, janganlah engkau kuatir. Dokoh itu hanya
tampak olehmu saja, sedang oleh binatang-binatang dan burung-burung yang lain hanya tampak sebagai bulu biasa.”
Mendengar
itu senanglah hati burung dara menerima pemberian nabinya. Kata yang punya ceritera,
itulah sebabnya bulu yang dileher burung dara sampai sekarang berkilat-kilat
sebagai emas, yaitu dokoh kehormatan yang diberikan Nabi Allah Nuh dahulu. Dan
itu pulalah sebabnya kaki dan paruhnya merah, yakni bekas lumpur, waktu nenek
moyangnya mencari daratan.
(Bersumber
dari buku : “Tjeritera Goeroe”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar