Malam ini langit jernih. Beribu-ribu bintang
bergemerlapan serta bulan sebesar nyiru nampaknya. Kata orang, malam ini bulan
purnama. Angin berhembus dengan lemah lembut; daun kayu bergoyang
perlahan-lahan. Sedap benar waktu itu duduk diluar rumah. Hampir pada tiap-tiap
halaman ada orang duduk-duduk makan angin.
Anak-anak
pun banyak yang bermain-main diluar sampai jauh malam; ada yang main galah
panjang, ada yang main bersembunyi-sembunyian.
Ketika si
Amat dan si Ali tiada serta bermain dengan teman-temannya, sebab si Amat akan berceritera. Emak dan bapaknya
serta kedua saudaranya duduk dihalaman mendengarkan si Amat berceritera, yang
didengarnya tadi siang disekolah. Kata si Amat : “Mak, ceritera ini bagus
benar, tetapi panjang sedikit.”
“Biarlah”,
sahut si Isah dan si Ali serempak, “Ceriterakanlah, kami dengar!”
Pak Amat
duduk ditikar sambil menghisap rokok daun yang diisi dengan kemenyan, supaya
harum baunya. Emak dan bapak anak-anak itu ingin juga mendengarkan ceritera si
Amat.
Ceritera :
Kata orang
: pada jaman dulu, yaitu ketika sekalian binatang pandai berkata-kata sebagai
manusia, adalah dua orang bersaudara. Yang sulung bernama Lokek dan yang bungsu
bernama dermawan. Lokek itu kaya, sawah ladangnya banyak, uangnya tiada sedikit.
Tetapi ia sangat kikir, sehingga tiada pernah memberi sedekah barang sedikit
juapun kepada orang miskin. Lain benar halnya dengan dermawan; meskipun nasinya
sepinggan, suka ia membagi dengan orang minta-minta. Ia pengasih-penyayang
kepada fakir miskin.
Pada suatu
hari, pergilah Dermawan mendapatkan saudaranya akan meminta tolong, karena
berasnya sudah habis dan padi disawahnya baru hampir masak.
Tatkala ia sampai kerumah abangnya, bukan pertolongan yang diperolehnya, melainkan kata yang pedih-pedih yang didengarnya, serta dimarah-marahi oleh abangnya. Akhirnya diberinya jualah oleh abangnya beras secupak dan ikan sedikit.
Dengan
sedih hati, pulanglah Dermawan kerumahnya. Ditengah jalan bertemulah ia dengan
seorang-orang tua yang sangat miskin. Badannya kurus, hampir tak dapat
berjalan. Maka Dermawanpun lupalah akan kesusahannya. Dihampirinya orang tua
itu, lalu dibawanya pulang kerumahnya. Disitu disuruhnya orang tua itu tidur
diatas balai-balai tempatnya tidur. Kata Dermawan : “Pak, berbaring-baringlah
disana dulu, sementara hamba memasak nasi untuk bapak.”
“Terimakasih,
nak. Janganlah bersusah-susah benar! Kalau bapak dapat tidur sedikit, tentu
badan bapak akan segar.”
Ceritera
(sambungan) :
Sementara
orang tua itu tidur-tidur, bekerjalah Dermawan didapur yang tak banyak
perkakasnya. Ketika selesailah pekerjaannya, disediakannya makanan untuk orang
tua yang sakit itu.
Bukan main
besar hatinya melihat perbuatan Dermawan itu. Lalu makanlah ia bersama-sama
dengan yang empunya rumah, sedikit seorang.
Pada malam
itu Dermawan menahani orang tua itu tidur dirumahnya. Pada keesokan harinya
bermohonlah orang tua itu akan meneruskan perjalanannya. Sebelum ia berangkat,
berkatalah ia : “Hai orang muda, berbahagialah engkau, karena engkau baik hati
benar. Bapak tiada dapat membalas budimu. Ambillah pemberian bapak ini akan
jadi tanda mata.” Lalu diberikannya sebuah lesung kecil dari pada perak.
Katanya pula : “Barang apa yang kau ingini katakanlah : Tumbuk, tumbuk, tumbuk!
Jangan lebih , jangan kurang. Kalau menyuruh berhenti, kau tumbukkan antannya
tiga kali ketanah.”
Belum lagi
dapat Dermawan mengucapkan terima kasih, orang tua itu sudah lenyap dari
pemandangannya, sehingga tercengang-cenganglah ia.
Pada
malamnya dipanggil Dermawanlah orang-orang miskin kerumahnya; dijamunya makan
minum dengan selengkapnya.Sekalian makanan dan minuman itu diperolehnya dari
lesung peraknya itu.
Sekarang si
Dermawan telah menjadi seorang yang berada; meskipun demikian, sekali-kali tak
berubah hatinya. Tatkala kabar ini sampai kepada saudaranya, timbullah niat
jahat dalam hati saudaranya itu; ia mencuri lesung adiknya .
“Wah, jahat
benar hatinya,” kata si Isah dan si Ali. “Coba kalau saya ada disitu, tentu
saya sorakkan ia mencuri,” kata si Ali pula. Si Amat meneruskan ceriteranya :
Pada suatu
malam datanglah Lokek mendapatkan adiknya. Dengan besar hati diterima
Dermawanlah abangnya bermalam dirumahnya.
Maka
bertanyalah Lokek dari hal lesung bertuah itu. Oleh karena Dermawan tidak
berhati jahat, tiadalah ia menyangka apa-apa yang buruk; semuanya
diceriterakannya seterang-terangnya. Waktu tengah malam, ketika orang sedang
tidur nyenyak, dicuri Lokeklah lesung itu, lalu dibawanya berlayar.
“Cih..,
jahat benar si Lokek,” seru si Isah.
“Namanyapun
si Lokek,” jawab bapaknya.
Ceritera
(penutup) :
‘Sudah
itu,” kata si Amat, “Berlayarlah kapal yang ditumpanginya menuju negeri yang
jauh.
Pada suatu
hari dikeluarkan lesung yang dicurinya. Alangkah besar hatinya melihat lesung
itu! Pikirnya, apabila ia sampai kenegeri baru itu, akan disuruhnya tumbuk emas
banyak-banyak; tentulah ia akan kaya.
Tengah ia
berpikir demikian, didengarnya orang berkata, bahwa dikapal kekurangan garam.
“Inilah
waktu yang baik akan mencoba kesaktian lesung ini,” pikir Lokek dalam hatinya.
Sebentar itu juga dipanggilnya orang kapal, dikatakannya kepada mereka itu, ia
sanggup mengadakan garam. Sekalian mereka itu sangat heran dan masing-masing
hendak mengetahui, bagaimana jalannya. Dikeluarkan Lokek lesung itu, diletakkan
diatas meja, lalu katanya : “Tumbuk, tumbuk, tumbuk garam!” Lesung itu
menumbuklah, sehingga berhamburanlah garam keluar. “Sudah, sudah cukup,” seru anak-anak kapal. Akan tetapi
antan itu tak mau berhenti. Lokekpun hilanglah akalnya. Dicarinya tanah, tak ada; karena ia
tergopoh-gopoh berangkat, lupalah ia membawa tanah, jadi tak dapat ia menyuruh
berhenti menumbuk.
Bertambah
lama, bertambah banyak garam bertimbun dalam kapal itu, akhirnya tenggelamlah.
Sampai sekarang antan itu masih menumbuk juga, sebab itu air laut asin rasanya.
“Bagaimana
si Lokek, bang?” Tanya si Ali.
“Ia mati
terbenam.”“Itu bagus, itu bagus. Sudah habis ceriteranya, bang?”
“Sudah.”
“Mari kita tidur!” kata ibu anak-anak itu. “Hari sudah jauh malam.”
Mak Isah
kelima beranak masuklah kedalam dan tiada berapa lamanya sunyi senyaplah dalam
kampong, hanya bunyi cengkerik saja yang kedengaran.