Pada
abad yang keenam sebelum Nabi Isa a.s., adalah seorang Raja duduk memerintah
dikota Kapilawastu, ibu negeri kerajaan Kosala. Negeri itu letaknya dikaki
gunung Himalaya, kira-kira 200 km sebelah utara kota Benares. Raja Kapilawastu
itu, Syodhodana namanya, keturunan raja-raja Syakiya. Isterinya, Maya namanya
keturunan orang tinggi-tinggi juga.
Pada
suatu hari permaisuri Maya bermimpi. Dalam mimpinya itu ia melihat seekor gajah
putih datang kepadanya, lalu duduk dipangkuannya. Keesokan harinya pergilah
permaisuri itu beserta suaminya kegunung Syoka. Disitu diceriterakannyalah akan
mimpinya kepada baginda. Beberapa orang berahmana dipanggil oleh baginda, lalu
ditanyakan baginda kepadanya apakah takbir mimpi itu. Sekalian berahmana itupun
membuka bukunya, menggeleng-gelengkan kepalanya, menggertakkan kakinya, lalu
berkata, katanya : “Ya tuanku syah alam, tuanku akan dikurniai seorang putera.
Kemudian hari akan menjadi seorang alim besar atau raja yang akan memerintahi
segala penjuru dunia. Mendengar keterangan brahmana yang banyak itu, bagindapun
amat besarlah hatinya. Baginda menghadiahkan harta yang amat banyaknya kepada
brahmana itu. Sekalian fakir miskin tak dilupakan oleh baginda."
Tiada
berapa bulan kemudian permaisuri Maya melahirkan seorang putera laki-laki
dengan selamat. Baru saja lahir, dinamailah oleh baginda putera baginda itu
Siddharta. Segala raja-raja dan orang-orang alim di India datanglah keistana raja
Syodhodana akan memberi selamat kepada baginda dan akan mendoakan, mudah-mudahan
putera baginda berbahagia hidupnya.
Putera
raja itu, baik tentang hal yang biasa, baik tentang badan dan budi pekertinya,
tak ada yang melebihinya. Tatkala ia berumur delapan belas tahun, bermaksudlah
ia hendak beristeri. Dengan segera dipilihnyalah puteri Josodhara, yang amat
cantik parasnya akan menjadi isterinya. Tetapi akan mengambil puteri Josodhara
itu untuk isterinya tidaklah mudah. Siddharta harus menang dalam beberapa
perlombaan yang akan diadakan oleh bapak Josodhara. Mula-mula perlombaan
memanah.
Pada
hari yang ditentukan datanglah kekota Kapilawastu segala ahli memanah kerajaan
Kosala hendak mengadu untungnya. Mereka itupun mencobalah berganti-ganti
memanah alamat yang amat jauh diletakkan, yaitu sebuah gendang yang terbuat
dari kuningan. Hampir semuanya mereka itu mengenai mata alamat itu. Sesudah
habis semuanya memanah, datanglah giliran Siddharta akan memperlihatkan
kepandaiannya. Alamat itu disuruh letakkan oleh Siddharta dua kali sejauh dari
yang tadi. Sesudah itu diambilnyalah sebuah panah. Tetapi panah itu patah tiba
ditangannya. Panah yang dipegangnya patah semuanya. Kemudian diambilnyalah
sebuah panah yang amat besar dan berat dari dalam sebuah kuil, yang amat tua.
Tak seorang juga dapat mengangkat panah itu, apalagi memanahkannya. Tetapi
dengan mudahnya juga Siddharta mengangkat panah itu, lalu alamat itupun
dibidiknyalah. Sebagai kilat, panah itupun terlepaslah dari busurnya, mengenai
alamatnya ditengah-tengah betul. Anak panah itu tidak saja menembus gendang
kuningan itu, malahan melayang pula beberapa jauhnya. Siddhartalah yang menang
dalam perlombaan memanah itu.
Dalam
perlombaan yang lainpun, seperti perlombaan berhitung, bermain pedang, berpacu
kuda, Siddhartalah selalu yang menang.
Siddhartapun
didudukkanlah dengan puteri Yosodhara. Bersama-sama dengan isterinya tinggallah
ia dalam istana ayahnya di Kapilawastu.
Akan
tetapi baginda Syodhodana sangat khawatir putera baginda Siddharta akan
dirusakkan oleh dunia yang busuk ini; kalau-kalau kejahatan, kemiskinan dan
bahaya yang lain akan merusakkan budi dan kalbu putera baginda. Oleh sebab itu
disuruh buatlah oleh baginda dinding tembok yang amat tinggi sekeliling istana,
yang dijaga oleh berpuluh-puluh orang pengawal.
Maka
putera raja itupun tinggallah dengan selamat sejahteranya bersama-sama dengan
isterinya dalam istana itu. Akan tetapi pada suatu hari terbitlah keinginan
dalam hatinya hendak mengetahui keadaan diluar negeri itu. Rajapun mengabulkan
permintaan anakanda baginda itu, akan tetapi sebelum ia meninggalkan istana,
diperintahkan oleh raja menghiasi kota, sebagai menghiasinya ketika mengadakan
perayaan besar. Segala orang yang sakit, miskin, pincang, buta, dsb. hendaklah
disembunyikan, tak boleh tampak oleh putera baginda. Setelah selesai semuanya,
maka duduklah Siddharta diatas rata(kendaraan)nya, yang dihela oleh
beberapa ekor sapi, lalu berjalan sekeliling kota.
Tiba-tiba
kelihatan olehnya seorang-orang tua, yang amat kurus, belakangnya telah bungkuk
karena tuanya. Sambil mengulurkan tangannya menyembahlah ia dengan suara yang
sayup-sayup sampai, sembahnya : Ya tuanku, berilah patik ini sedekah barang
sedikit. Tak tertahan lagi lapar oleh patik. Besok atau lusa tentulah patik
akan mati.
Putera
raja menyuruh menterinya memberi orang tua yang miskin itu sedekah
banyak-banyak. Sudah itu bertanyalah kepada menterinya itu, tanyanya : “Manusia
jugakah yang kamu beri sedekah itu? Belum pernah saya melihat orang seperti
itu?”
“Sesungguhnyalah
ia manusia, tuanku”, jawab menterinya. Sekalian manusia akan jadi tua, lemah
dan buruk seperti orang itu.
Mendengar
perkataan menterinya itu, Siddharta tak senang hatinya lagi, dan dengan sedih
serta masygulnya pulanglah keistana, sambil memikirkan hal yang dilihatnya itu.
Tiada
berapa lamanya sudah itu, maka dimintanyalah kepada ayahanda baginda, Raja
Syodhodana, akan mengijinkan melihat-lihat kota sekali lagi. Ia menyamarkan
dirinya sebagai seorang saudagar dan bersama-sama dengan menteri yang pergi
dengan dia dahulu itu, pergilah ia melihat-lihat kota masuk kedalam
lorong-lorong berjalan kaki saja. Amat senang hatinya melihat penduduk kota itu
hidup dalam kemakmuran dan kesenangan. Tetapi sekonyong-konyong terdengar
olehnya tidak jauh dari padanya orang berseru-seru, katanya : “Tolonglah aku
bawa kerumahku, sebelum aku mati.” Tangannya dilambai-lambaikannya kepada
baginda.
“Apa
pula itu?” Tanya baginda. “Belum pernah kulihat.”
Maka
sahut menteri baginda : “Ya tuanku! Orang itu sakit keras tuanku.”
“Dapatkah
penyakit itu menghinggapi segala manusia?” Tanya baginda pula.
“Dapat
tuanku”, jawab menteri. “Penyakit itu adalah sebagai harimau yang
berjalan-jalan dalam hutan mengintai mangsanya. Segala orang dapat diserangnya.
Orang yang sakit itu tentu tidak lama lagi akan mati.”
“Apa
mati? Apa pula itu?” Tanya baginda. “Cobalah ceriterakan!”
Sambil
menunjuk kepada sebuah usungan orang mati yang dipikul orang kekubur,
berkatalah menteri itu: “Lihatlah tuanku. Yang dipikul orang itu ialah usungan
orang mati. Orang yang diletakkan dalam usungan itu sudah mati, tak bernyawa
lagi. Yang mengiringkan dibelakang itu ialah kaum keluarganya yang sedang dalam
berdukacita. Orang yang sudah mati itu nanti akan diletakkan diatas unggunan
kayu yang besar dan tinggi ditepi sungai akan dibakar. Jikalau sudah dibakar
tak ada lagi yang tinggal lain daripada setumpuk abu saja.”
“Akan
matikah manusia ini semuanya?” Tanya baginda.
“Ya,
tuanku”, jawab menteri itu.
“Akupun
akan mati juga?” Tanya baginda.
“Ya,
tuanku”, jawab menteri itu dengan takutnya.
Dengan
amat bersedih hati pulanglah putera Siddharta kembali keistana. Dalam hatinya
sudah timbul maksud akan mencari daya upaya, akan menghindarkan manusia
daripada segala macam penyakit, kesusahan, kesedihan dan mati.
Pada
suatu hari, waktu ia sedang tercenung memikirkan peristiwa yang menyedihkan,
yang dilihatnya dahulu itu, terdengarlah olehnya suara membisikkan kedalam
sukmanya : “Pilihlah olehmu mahkota atau tongkat orang miskin. Kalau kamu
hendak menjadi seorang raja yang terbesar didunia ini pilihlah olehmu mahkota.
Tetapi,kalau kamu hendak melepaskan manusia dari segala malapetaka, pilihlah
olehmu tongkat orang miskin dan tempuhlah jalan yang sunyi dan tinggalkanlah
istanamu yang indah, yang penuh dengan bunyi-bunyian dan nyanyian yang
menggirangkan hati itu.”
Maka
ditetapkannyalah hatinya, lalu dipilihnya yang kedua, yaitu menempuh jalan yang
sunyi, menolong dan melepaskan manusia daripada sengsara. Dengan perlahan-lahan
pergilah ia kepada isterinya; maka tampaklah olehnya isterinya sedang tidur
diatas tilam bunga mawar,berdua dengan anaknya yang baharu lahir. Dengan sedih
yang tiada terkira-kira ditinggalkannyalah anak dan isterinya dan segala yang
dikasihi dan disayanginya di-istana itu. Sudah itu pergilah ia kepintu gerbang
kuningan yang dijaga oleh tiga orang pengawal. Waktu itu angin berhembus
sepoi-sepoi basah. Karena dihembus-hembus oleh angin itu, ketiga pengawal
itupun mengantuklah dan tiada berapa lamanya kemudian tertidurlah ia dengan
nyenyaknya. Tiada mereka itu tahu, bahwa putera raja sudah keluar, meninggalkan
istana yang bagus itu.
Setelah
tiba ia diluar istana, maka ditukarnyalah pakaiannya dengan pakaian orang
minta-minta, lalu diteruskannyalah perjalanannya seorang diri. Tiba-tiba
datanglah iblis membujuknya, katanya :”Pulanglah kamu kembali keistana,
keriangan dan kesenangan menunggumu disitu.” Tetapi bujukan iblis itu tak
diindahkannya. Diteruskannya juga perjalanannya. Maka sampailah ia kenegeri
lain. Iapun diamlah dalam sebuah gua akan bertapa, tepekur, menyiksa dan
membersihkan dirinya.
Kemudian
ditinggalkannya pulalah gua itu. Dari jauh kelihatan olehnya sebatang pohon
yang amat rimbun daunnya. Pohon itu ialah pohon “bodi” (beringin). Disitulah ia
tepekur dan menghukum dirinya pula. Dibawah pohon “bodi” itulah ia menerima
ilham, sehingga ia dapat menjawab segala macam masalah hidup.
Iapun
menjadi Buddhalah, yakni seorang yang sadar dari kejahilan.
Batang
kayu bodi, tempat Buddha tepekur itu sampai sekarang ini masih dapat
ditunjukkan orang di Hindustan.
Akhirnya
sampailah Buddha ke Benares dan disitulah ia mulai mendapat murid-murid
sehingga bertambah lama bertambah kembang juga agamanya.
Yang
diajarkannya ialah membenci segala kejahatan, mempelajari serta mengusahakan
yang baik-baik, menyucikan dan membersihkan hati. Demikianlah isi agama Buddha
itu.
Larangannya
yang Utama adalah lima perkara :
Engkau
tiada boleh membunuh;
Engkau
tiada boleh mencuri;
Engkau
tiada boleh berlaku dukana;
Engkau
tiada boleh berdusta;
Engkau
tiada boleh meminum minuman yang memabukkan.
Dalam
umur delapan puluh tahun, yaitu 480 tahun sebelum Nabi Isa a.s., meninggallah
ia.
Bersumber
dari buku “Tjeritera Goeroe”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar