Kuambil buluh
sebatang.
Kupotong sama
panjang.
Kuraut dan kutimbang
dengan benang.
Kujadikan
layang-layang.
Bermain, berlari.
Bermain
layang-layang.
Bermain kubawa
ketanah lapang.
Hati gembira dan riang.
Padi
sudah disabit dan sudah dibawa pulang kelumbung. Sawah-sawah yang seperti
ditaburi dengan emas dahulu, sekarang sudah seperti kepala gundul. Banyak itik,
ayam dan kerbau mencari makanannya disitu.
Pada
petang hari banyaklah anak-anak menaikkan layang-layangnya. Bermacam-macam
bangunnya : ada yang seperti ikan, ada yang seperti bulan dan ada pula yang
serupa burung.
Si
Amatpun ada berlayang-layang yang dibuatnya sendiri. Layang-layang itu sebagai
ular; ekornya panjang, hampir tiga depa. Susah benar menaikkannya. Kalau tak
ada angin kencang, tak mau naik, sebab itu si Alipun bersiul-siullah memanggil
angin.
Tiada
berapa lama antaranya turunlah angin kencang. Lalu si Ali disuruh abangnya
menganjungkan layang-layangnya. Tiada berapa lamanya naiklah layang-layang itu,
bagus benar, sehingga hampir tegak tali; naik layang-layang yang demikian
berpayung namanya. Ekornya selalu bergerak-gerak, tetapi tegaknya tiada
berubah, tidak seperti layang-layang Palembang yang susah dipegang tetap.
“Mari
saya pegang, bang!” ujar si Ali.
Maka
habislah benangnya diulur si Amat, sehingga layang-layang sebesar itu sekarang
kecil benar tampaknya.
Tiba-tiba
si Ali menunjuk kepada layang-layang yang putus. Beramai-ramai anak-anak itu
mengejar, tetapi tak dapat sebab terbangnya meninggi; dengan tangan hampa
kembalilah mereka itu, bermain layang-layang sebagai bermula.
(Bersumber dari buku : “Dikampung”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar