Minggu, 07 Oktober 2012

Daun Surga (4)

Karena jauhnya, tak sampai ia hari itu juga ketempatnya. Hari sudah mulai malam dan kudanya mulai letih. Sebab itu dicarinyalah tempat yang baik untuk bermalam.
 
Waktu itu bulan purnama. Setelah sudah makan, tidurlah ia ditikar yang dihamparkannya ditanah, serta melihat kebulan yang sedang bercahaya-cahaya dengan terangnya itu. Tiada berapa lamanya tertidurlah ia.
 
Dalam tidurnya itu ia bermimpi, bertemu dengan ibu dan isterinya yang dicintainya, pamannya Hafiz dan Kafur.
 
Waktu fajar menyingsing menandakan hari akan siang, bangunlah ia. Sesudah sembahyang subuh, dinaikinyalah kudanya, lalau berangkatlah ia.
 
Beberapa lamanya kemudian, tampaklah olehnya rumahnya dari jauh. Alangkah herannya, waktu dilihatnya pintu rumah masih tertutup, sungguhpun hari sudah siang.
 
Setelah ia sampai dihalaman ia bertambah heran, karena anjingnya, yang biasanya datang atau menyalak kalau ia datang tak kelihatan. Iapun berseru-serulah memanggil Kafur;  tetapi Kafurpun tidak menjawab. Dipanggilnya pula isterinya dan ibunya. Seorangpun tiada menjawab. Sekarang tumbuhlah syak dalam hatinya. “Tentulah ada yang terjadi sepeninggalku”, pikirnya.
 
Maka pergilah ia kepintu akan masuk kedalam. Waktu dibukanya pintu itu, maka kelihatanlah olehnya pamannya Hafiz terhantar dilantai. Pergi ia kebelakang akan melihat ibu dan isterinya serta Kafur, tetapi seorangpun tak kelihatan. Sesudah itu kembalilah ia ketempat Hafiz terhantar. Ditangan kanannya ada secarik sutera biru dan ditangan kirinya secarik lakan merah. Badannya penuh berlumuran darah. Dibelakangnya masih terpangcang sebuah pisau. "O, paman” katanya. “Bangunlah paman katakanlah kepada saya, siapa yang sudah membunuh paman.
 
Tahu saya, bahwa paman menyabung nyawa membela isteriku. Sutera biru yang paman pegang itu ialah secarik baju isteriku dan yang merah itu secarik baju perampok yang melarikannya. Alangkah kejamnya perampok jahanam itu! Tak berani ia rupanya menikam paman dari hadapan!”
 
Abdullahpun melompat pula keluar, naik keatas kudanya, lalu berteriak-teriak seperti orang gila lakunya. Sekalian orangpun heranlah melihat kelakuan Abdullah demikian itu. Abdullahpun berkata dari atas kudanya, sambil menunjuk kearah rumahnya, katanya : “Tak seorang juga rupanya yang dapat ditumpang. Lihatlah oleh tuan-tuan. Paman Hafiz sudah dibunuh orang. Ibu dan isteri saya serta Kafur dilarikannya.”
 
Seorang diantara mereka itu berkata, katanya : “Tak tahu kami, bahwa ada musuh yang datang. Hanyalah Umar, sahabat tuan yang datang beserta kawannya.” “Kalau begitu Umarlah yang melakukan pekerjaan yang hina itu”, kata Abdullah dalam hatinya. Muka merah padam karena marahnya, lalu berkatalah ia, katanya : “Siapa yang berani, ikutlah saya. Kalau tak ada yang mau mengikut, biarlah saya sendiri pergi”, lalu diputarnya kudanya dan dipacunya sekali. Sekalian orang laki-laki ditempat itu mengenakan pakaiannya, mengambil senjatanya, lalu menurutkan Abdullah dengan kudanya dari belakang.
 
Dengan mudahnya dapatlah diketahuinya kemana arahnya perampok itu pergi, karena jejak kuda dan unta perampok itu masih jelas kelihatan.
 
Tengah hari tepat kelihatanlah oleh Abdullah sebuah titik hitam amat jauhnya. Tahu sekali ia, bahwa itulah yang dicarinya. “Itulah dia!” katanya sambil menunjuk kearah titik hitam itu.
 
Kudanyapun dilecutnya menuju  tempat itu. Makin lama makin dekatlah ia kesitu. Rupanya kelihatan oleh Umar dan orangnya Abdullah datang itu, karena sebentar itu juga mereka itu menghalau kuda dan untanya dengan kencangnya. Ibu Abdullah dan Kafur ditinggalkan orang disitu.
 
Waktu ibunya melihat Abdullah datang, maka disongsongnyalah anaknya. Abdullahpun turunlah dari kudanya. Didakapnya ibunya dan Kafur dipegangnya dengan tangan kirinya. Sesa’at lamanya mereka itu tak berkata-kata sepatah juapun. Tiba-tiba berkatalah ibunya, katanya : "Anakku Abdullah, janganlah lama-lama, waktu sedikit; isterimu masih dalam tangan musuh. Segeralah engkau menurutinya!”
 
Mengingat perkataan ibunya itu, melompatlah sekali ia keatas kudanya. Seperti kilat, larilah kuda itu mengejar musuhnya.
 
Setelah dekat benar maka kelihatanlah olehnya seorang berjubah merah memacu kudanya dengan tangkasnya, menyimpang kekiri. Padanya ada seorang perempuan, sedang melambai-lambaikan tangannya dan berteriak-teriak : “Abdullah, Abdullah.” Mendengar teriak itu tahulah ia, bahwa yang dibawa lari oleh perampok itu yaitu isterinya. Waktu isteri Abdullah melihat suaminya itu, maka dengan tidak diketahui oleh perampok itu, ditariknyalah tali kekang kuda itu. Kuda itu berhenti sebentar. Penyamun yang ganas itu amat marahnya, lalu mencabut pisaunya. Maka ditikamnyalah dada perempuan yang tak berdosa itu, lalu diempaskannya ketanah.
 
“Pang”,  berbunyi bedil Abdullah. Perampok itupun jatuhlah, tidak jauh dari tempat itu, lalu matilah disitu juga.
 
Setelah sampai Abdullah ketempat isterinya, iapun turunlah dari kudanya. Isterinya diletakkannya keatas pangkuannya. Melihat darah memancar-mancar dari dada isterinya, maka bercucuranlah air matanya.
 
Tiba-tiba isterinya membuka matanya, menentang kepada Abdullah, lalu berkata, katanya. “Abdullah, manakah ia?” “Ia sudah mati karena peluruku”, jawab Abdullah.
 
Isterinya tersenyum mendengar perkataan suaminya, lalu katanya : “Sekarang senanglah hatiku meninggalkanmu. Selamat tinggal Abdullah selamat tinggal”, lalu ditutupnyalah matanya, tidak akan bangun-bangun lagi.
 
Abdullah melekapkan isterinya kedadanya, dan air matanya meleleh dipipinya.
 
Tiada berapa lamanya datanglah Kafur dan Ibunya ketempat itu. Sedih hatinya melihat isteri anaknya. Kafur, budak yang setia itu memagut kaki tuannya, lalu menangis dan berguling-guling ditanah. Tak tertahan olehnya bercerai dengan tuannya, yang memeliharanya dari kecil sampai besarnya.
 
Tiba-tiba berkatalah ibu Abdullah, katanya : “Abdullah, kamu seorang laki-laki, menangis pekerjaan perempuan. Umar masih hidup. Carilah ia, karena ialah asal bencana ini.”
 
Abdullah mendakap ibunya, memegang kepala Kafur, lalu naik keatas kudanya. Ditujukannyalah kudanya ketengah-tengah padang pasir mencari Umar. Kira-kira sejam lamanya kemudian, maka dilihatnya seekor kuda mati terhantar ditanah. Tidak jauh dari situ kedengaran olehnya orang mengerang.
 
Maka pergilah ia ketempat orang itu. Siapakah yang dilihatnya disitu? Ialah Umar sedang mengaduh kesakitan. Matanya  tak terbukakan lagi olehnya.
 
“Akan saya bunuhkah ia sekarang”, kata Abdullah dalam hatinya. “Tidak”, katanya pula, “Saya beri minum ia dahulu.” Maka dikeluarkannyalah tempat airnya, lalu dititikkannya air kemulut Umar. Waktu terasa oleh Umar bibirnya dingin, maka dibukanyalah matanya. Tempat air itu direbut, lalu diminum sampai habis.
 
“Sudah segarkah terasa badanmu?” Tanya Abdullah. “Mengucaplah kamu, karena hendak kupenggal lehermu.”
 
Umar terkejut mendengar perkataan Abdullah, lalu berkata katanya : “Abdullah engkau beri aku minum, sudah itu hendak kau bunuh aku. Tak ingatkah engkau lagi waktukita maish kecil, bermain bersama-sama? Ampunilah aku akan kesalahanku. Kalau aku engkau bunuh, tentulah tak dapat lagi aku membayar utangku, ta’at kepada Tuhan, akan kuhapuskan dosaku selama ini. Tuhan menghadiahkan surge kepada orang yang dapat menahan amarahnya. Tuhan menyayangi orang, yang menyayangi orang lain.”
 
“Perkataanmu itu melepaskan dirimu”, kata Abdullah, lalu berdiri. Dipangkunya Umar lalu didudukkannya keatas kudanya. Setelah terasa oleh Umar sudah seenak-enaknya ia duduk diatas kuda itu, maka dilecutnyalah kuda itu. Kuda itu melompatlah lalu lari dengan kencangnya.
 
Umar melihat sekali lagi kebelakang, lalu berkata, katanya : “Alangkah bodohnya kamu. Sekarang tentulah kamu akan mati kelaparan dan kehausan disitu.”
 
Abdullah tak menyesal sedikit juga melepaskan musuhnya yang sebesar-besarnya yang sudah ada dalam tangannya. Maka berjalan jugalah ia lambat-lambat. Panas waktu itu amat teriknya. Hausnya tak tertahan lagi olehnya. “Sekarang sampailah ajalku”, katanya dalam hatinya. Dengan pedangnya digalinyalah lubang disitu untuk kuburnya.
 
Setelah siap lubang itu, maka Abdullah mencuci muka, telinga, tangan dan kakinya dengan pasir, seperti orang mengambil air sembahyang.
 
Sudah itu direbahkanlah badannya dalam lubang itu.
………………………………………………………………  
 
Waktu ia membuka matanya, maka dilihatnya dekat kakinya sebuah jurang yang amat dalam. Didalamnya bernyala-nyala api yang amat besarnya. Bukan main panasnya waktu itu. Diseberang jurang itu dilihatnya kebun yang amat bagus. Buah-buahan yang ada disitu sedang bermasakan. Bunga-bungaan perbagai warna semerbak baunya. Alangkah senang dan sejuknya diseberang itu. Diatas jurang itu ada sebuah titian yang amat halus, lebih halus lagi dari rambut dibelah tujuh, lagi pula amat tajamnya. Waktu Abdullah melihat sekali lagi keseberang, maka kelihatanlah olehnya isterinya dan Hafiz melambai-lambainya.
 
Apakah akalnya hendak pergi keseberang itu? Akan dititinyakah titian yang halus dan tajam itu?
 
Tiba-tiba kedengaranlah olehnya suatu suara. Entah dari mana datangnya. Suara itu berkata, katanya :Abdullah, janganlah takut, titilah titian itu.” Abdullahpun menitilah. Seperti angina kencangnya ia meniti titian itu. Dengan selamat sampailah ia keseberang. Isterinya dan pamannya Hafiz yang dicintainya sudah menantinya disitu. Tak terperi, betapa besarnya hati mereka itu ketiganya, waktu bertemu kembali itu. Karena sukanya berlinang-linang air mata dimatanya. Mereka itupun duduklah bertiga menyenangkan hatinya, sambil bercakap-cakap dibawah sepohon kayu yang amat rimbun.
 
Abdullah tercengang-cengang melihat keindahan alam disitu. Tiba-tiba datanglah seorang malaikat kepadanya. Malaikat itu berkata,katanya : “Abdullah, kamu sekarang ada dalam surga. Amalan dan kebaikanmulah yang menyampaikan kamu kemari. Inilah daun surga yang keempat, yang masih kau cari-cari. AMbillah ia dan simpanlah baik-baik!”
 
Karena Abdullah berani berkorban, diperolehnya juga daun intan, daun surga yang keempat. Daun itu disimpannya baik-baik, lalu direbahkannyalah badannya ditanah. Tiada berapa lamanya tertidurlah ia ……………………………………………………………………
 
Tak seorang juga didunia ini yang sudah melihat surga, tetapi arwah Abdullah sudah melihatnya.
………………………………………………………………………
 
Anginpun bertiuplah dengan kencangnya dan tiada berapa lamanya lubang yang dibuat oleh Abdullah tadi, tertutuplah oleh pasir.
 
 
 
(bersumber dari buku : “Tjeritera Goeroe”)
 
Nb.:
Semampu kami, aku tulis ceritera ini apa adanya, dengan ejaan baru; Semoga Sobatku bisa memakluminya.
 

2 komentar:

Ferdi Gunawan mengatakan...

lama saya mencari cerita masa kecil ini, yang saya ingat hanya daun tembaga itu dapat disumur, dan daun intan di surga..

terima kasih teman,
barakallah..

Kartika Lungit mengatakan...

Tks perhatiannya.
Semoga bisa memberi manfa'at untuk kita semua.