Karena
jauhnya, tak sampai ia hari itu juga ketempatnya. Hari sudah mulai malam dan
kudanya mulai letih. Sebab itu dicarinyalah tempat yang baik untuk bermalam.
Waktu
itu bulan purnama. Setelah sudah makan, tidurlah ia ditikar yang dihamparkannya
ditanah, serta melihat kebulan yang sedang bercahaya-cahaya dengan terangnya
itu. Tiada berapa lamanya tertidurlah ia.
Dalam
tidurnya itu ia bermimpi, bertemu dengan ibu dan isterinya yang dicintainya,
pamannya Hafiz dan Kafur.
Waktu
fajar menyingsing menandakan hari akan siang, bangunlah ia. Sesudah sembahyang
subuh, dinaikinyalah kudanya, lalau berangkatlah ia.
Beberapa
lamanya kemudian, tampaklah olehnya rumahnya dari jauh. Alangkah herannya,
waktu dilihatnya pintu rumah masih tertutup, sungguhpun hari sudah siang.
Setelah
ia sampai dihalaman ia bertambah heran, karena anjingnya, yang biasanya datang
atau menyalak kalau ia datang tak kelihatan. Iapun berseru-serulah memanggil
Kafur; tetapi Kafurpun tidak menjawab.
Dipanggilnya pula isterinya dan ibunya. Seorangpun tiada menjawab. Sekarang
tumbuhlah syak dalam hatinya. “Tentulah ada yang terjadi sepeninggalku”,
pikirnya.
Maka
pergilah ia kepintu akan masuk kedalam. Waktu dibukanya pintu itu, maka
kelihatanlah olehnya pamannya Hafiz terhantar dilantai. Pergi ia kebelakang
akan melihat ibu dan isterinya serta Kafur, tetapi seorangpun tak kelihatan.
Sesudah itu kembalilah ia ketempat Hafiz terhantar. Ditangan kanannya ada
secarik sutera biru dan ditangan kirinya secarik lakan merah. Badannya penuh berlumuran
darah. Dibelakangnya masih terpangcang sebuah pisau. "O, paman” katanya.
“Bangunlah paman katakanlah kepada saya, siapa yang sudah membunuh paman.
Tahu
saya, bahwa paman menyabung nyawa membela isteriku. Sutera biru yang paman
pegang itu ialah secarik baju isteriku dan yang merah itu secarik baju perampok
yang melarikannya. Alangkah kejamnya perampok jahanam itu! Tak berani ia
rupanya menikam paman dari hadapan!”
Abdullahpun
melompat pula keluar, naik keatas kudanya, lalu berteriak-teriak seperti orang
gila lakunya. Sekalian orangpun heranlah melihat kelakuan Abdullah demikian
itu. Abdullahpun berkata dari atas kudanya, sambil menunjuk kearah rumahnya,
katanya : “Tak seorang juga rupanya yang dapat ditumpang. Lihatlah oleh
tuan-tuan. Paman Hafiz sudah dibunuh orang. Ibu dan isteri saya serta Kafur
dilarikannya.”
Seorang
diantara mereka itu berkata, katanya : “Tak tahu kami, bahwa ada musuh yang
datang. Hanyalah Umar, sahabat tuan yang datang beserta kawannya.” “Kalau
begitu Umarlah yang melakukan pekerjaan yang hina itu”, kata Abdullah dalam
hatinya. Muka merah padam karena marahnya, lalu berkatalah ia, katanya : “Siapa
yang berani, ikutlah saya. Kalau tak ada yang mau mengikut, biarlah saya
sendiri pergi”, lalu diputarnya kudanya dan dipacunya sekali. Sekalian orang
laki-laki ditempat itu mengenakan pakaiannya, mengambil senjatanya, lalu
menurutkan Abdullah dengan kudanya dari belakang.
Dengan
mudahnya dapatlah diketahuinya kemana arahnya perampok itu pergi, karena jejak
kuda dan unta perampok itu masih jelas kelihatan.
Tengah
hari tepat kelihatanlah oleh Abdullah sebuah titik hitam amat jauhnya. Tahu
sekali ia, bahwa itulah yang dicarinya. “Itulah dia!” katanya sambil menunjuk
kearah titik hitam itu.
Kudanyapun
dilecutnya menuju tempat itu. Makin lama
makin dekatlah ia kesitu. Rupanya kelihatan oleh Umar dan orangnya Abdullah
datang itu, karena sebentar itu juga mereka itu menghalau kuda dan untanya
dengan kencangnya. Ibu Abdullah dan Kafur ditinggalkan orang disitu.
Waktu
ibunya melihat Abdullah datang, maka disongsongnyalah anaknya. Abdullahpun
turunlah dari kudanya. Didakapnya ibunya dan Kafur dipegangnya dengan tangan
kirinya. Sesa’at lamanya mereka itu tak berkata-kata sepatah juapun. Tiba-tiba
berkatalah ibunya, katanya : "Anakku Abdullah, janganlah lama-lama, waktu
sedikit; isterimu masih dalam tangan musuh. Segeralah engkau menurutinya!”
Mengingat
perkataan ibunya itu, melompatlah sekali ia keatas kudanya. Seperti kilat,
larilah kuda itu mengejar musuhnya.
Setelah
dekat benar maka kelihatanlah olehnya seorang berjubah merah memacu kudanya
dengan tangkasnya, menyimpang kekiri. Padanya ada seorang perempuan, sedang
melambai-lambaikan tangannya dan berteriak-teriak : “Abdullah, Abdullah.”
Mendengar teriak itu tahulah ia, bahwa yang dibawa lari oleh perampok itu yaitu
isterinya. Waktu isteri Abdullah melihat suaminya itu, maka dengan tidak
diketahui oleh perampok itu, ditariknyalah tali kekang kuda itu. Kuda itu
berhenti sebentar. Penyamun yang ganas itu amat marahnya, lalu mencabut pisaunya.
Maka ditikamnyalah dada perempuan yang tak berdosa itu, lalu diempaskannya
ketanah.
“Pang”, berbunyi bedil Abdullah. Perampok itupun
jatuhlah, tidak jauh dari tempat itu, lalu matilah disitu juga.
Setelah
sampai Abdullah ketempat isterinya, iapun turunlah dari kudanya. Isterinya
diletakkannya keatas pangkuannya. Melihat darah memancar-mancar dari dada
isterinya, maka bercucuranlah air matanya.
Tiba-tiba
isterinya membuka matanya, menentang kepada Abdullah, lalu berkata, katanya.
“Abdullah, manakah ia?” “Ia sudah mati karena peluruku”, jawab Abdullah.
Isterinya
tersenyum mendengar perkataan suaminya, lalu katanya : “Sekarang senanglah
hatiku meninggalkanmu. Selamat tinggal Abdullah selamat tinggal”, lalu
ditutupnyalah matanya, tidak akan bangun-bangun lagi.
Abdullah
melekapkan isterinya kedadanya, dan air matanya meleleh dipipinya.
Tiada
berapa lamanya datanglah Kafur dan Ibunya ketempat itu. Sedih hatinya melihat
isteri anaknya. Kafur, budak yang setia itu memagut kaki tuannya, lalu menangis
dan berguling-guling ditanah. Tak tertahan olehnya bercerai dengan tuannya, yang
memeliharanya dari kecil sampai besarnya.
Tiba-tiba
berkatalah ibu Abdullah, katanya : “Abdullah, kamu seorang laki-laki, menangis
pekerjaan perempuan. Umar masih hidup. Carilah ia, karena ialah asal bencana
ini.”
Abdullah
mendakap ibunya, memegang kepala Kafur, lalu naik keatas kudanya.
Ditujukannyalah kudanya ketengah-tengah padang pasir mencari Umar. Kira-kira
sejam lamanya kemudian, maka dilihatnya seekor kuda mati terhantar ditanah.
Tidak jauh dari situ kedengaran olehnya orang mengerang.
Maka
pergilah ia ketempat orang itu. Siapakah yang dilihatnya disitu? Ialah Umar
sedang mengaduh kesakitan. Matanya tak
terbukakan lagi olehnya.
“Akan
saya bunuhkah ia sekarang”, kata Abdullah dalam hatinya. “Tidak”, katanya pula,
“Saya beri minum ia dahulu.” Maka dikeluarkannyalah tempat airnya, lalu
dititikkannya air kemulut Umar. Waktu terasa oleh Umar bibirnya dingin, maka
dibukanyalah matanya. Tempat air itu direbut, lalu diminum sampai habis.
“Sudah
segarkah terasa badanmu?” Tanya Abdullah. “Mengucaplah kamu, karena hendak
kupenggal lehermu.”
Umar
terkejut mendengar perkataan Abdullah, lalu berkata katanya : “Abdullah engkau
beri aku minum, sudah itu hendak kau bunuh aku. Tak ingatkah engkau lagi
waktukita maish kecil, bermain bersama-sama? Ampunilah aku akan kesalahanku.
Kalau aku engkau bunuh, tentulah tak dapat lagi aku membayar utangku, ta’at
kepada Tuhan, akan kuhapuskan dosaku selama ini. Tuhan menghadiahkan surge
kepada orang yang dapat menahan amarahnya. Tuhan menyayangi orang, yang
menyayangi orang lain.”
“Perkataanmu
itu melepaskan dirimu”, kata Abdullah, lalu berdiri. Dipangkunya Umar lalu
didudukkannya keatas kudanya. Setelah terasa oleh Umar sudah seenak-enaknya ia
duduk diatas kuda itu, maka dilecutnyalah kuda itu. Kuda itu melompatlah lalu
lari dengan kencangnya.
Umar
melihat sekali lagi kebelakang, lalu berkata, katanya : “Alangkah bodohnya
kamu. Sekarang tentulah kamu akan mati kelaparan dan kehausan disitu.”
Abdullah
tak menyesal sedikit juga melepaskan musuhnya yang sebesar-besarnya yang sudah
ada dalam tangannya. Maka berjalan jugalah ia lambat-lambat. Panas waktu itu
amat teriknya. Hausnya tak tertahan lagi olehnya. “Sekarang sampailah ajalku”,
katanya dalam hatinya. Dengan pedangnya digalinyalah lubang disitu untuk
kuburnya.
Setelah
siap lubang itu, maka Abdullah mencuci muka, telinga, tangan dan kakinya dengan
pasir, seperti orang mengambil air sembahyang.
Sudah
itu direbahkanlah badannya dalam lubang itu.
………………………………………………………………
Waktu
ia membuka matanya, maka dilihatnya dekat kakinya sebuah jurang yang amat
dalam. Didalamnya bernyala-nyala api yang amat besarnya. Bukan main panasnya
waktu itu. Diseberang jurang itu dilihatnya kebun yang amat bagus. Buah-buahan
yang ada disitu sedang bermasakan. Bunga-bungaan perbagai warna semerbak
baunya. Alangkah senang dan sejuknya diseberang itu. Diatas jurang itu ada
sebuah titian yang amat halus, lebih halus lagi dari rambut dibelah tujuh, lagi
pula amat tajamnya. Waktu Abdullah melihat sekali lagi keseberang, maka
kelihatanlah olehnya isterinya dan Hafiz melambai-lambainya.
Apakah
akalnya hendak pergi keseberang itu? Akan dititinyakah titian yang halus dan
tajam itu?
Tiba-tiba
kedengaranlah olehnya suatu suara. Entah dari mana datangnya. Suara itu
berkata, katanya :Abdullah, janganlah takut, titilah titian itu.” Abdullahpun
menitilah. Seperti angina kencangnya ia meniti titian itu. Dengan selamat
sampailah ia keseberang. Isterinya dan pamannya Hafiz yang dicintainya sudah
menantinya disitu. Tak terperi, betapa besarnya hati mereka itu ketiganya,
waktu bertemu kembali itu. Karena sukanya berlinang-linang air mata dimatanya.
Mereka itupun duduklah bertiga menyenangkan hatinya, sambil bercakap-cakap
dibawah sepohon kayu yang amat rimbun.
Abdullah
tercengang-cengang melihat keindahan alam disitu. Tiba-tiba datanglah seorang
malaikat kepadanya. Malaikat itu berkata,katanya : “Abdullah, kamu sekarang ada
dalam surga. Amalan dan kebaikanmulah yang menyampaikan kamu kemari. Inilah
daun surga yang keempat, yang masih kau cari-cari. AMbillah ia dan simpanlah
baik-baik!”
Karena
Abdullah berani berkorban, diperolehnya juga daun intan, daun surga yang
keempat. Daun itu disimpannya baik-baik, lalu direbahkannyalah badannya
ditanah. Tiada berapa lamanya tertidurlah ia
……………………………………………………………………
Tak
seorang juga didunia ini yang sudah melihat surga, tetapi arwah Abdullah sudah
melihatnya.
………………………………………………………………………
Anginpun
bertiuplah dengan kencangnya dan tiada berapa lamanya lubang yang dibuat oleh
Abdullah tadi, tertutuplah oleh pasir.
(bersumber dari buku
: “Tjeritera Goeroe”)
Nb.:
Semampu kami, aku
tulis ceritera ini apa adanya, dengan ejaan baru; Semoga Sobatku bisa
memakluminya.
2 komentar:
lama saya mencari cerita masa kecil ini, yang saya ingat hanya daun tembaga itu dapat disumur, dan daun intan di surga..
terima kasih teman,
barakallah..
Tks perhatiannya.
Semoga bisa memberi manfa'at untuk kita semua.
Posting Komentar