Kamis, 26 April 2012

Riwayat Boedha

Pada abad yang keenam sebelum Nabi Isa a.s., adalah seorang Raja duduk memerintah dikota Kapilawastu, ibu negeri kerajaan Kosala. Negeri itu letaknya dikaki gunung Himalaya, kira-kira 200 km sebelah utara kota Benares. Raja Kapilawastu itu, Syodhodana namanya, keturunan raja-raja Syakiya. Isterinya, Maya namanya keturunan orang tinggi-tinggi juga.

Pada suatu hari permaisuri Maya bermimpi. Dalam mimpinya itu ia melihat seekor gajah putih datang kepadanya, lalu duduk dipangkuannya. Keesokan harinya pergilah permaisuri itu beserta suaminya kegunung Syoka. Disitu diceriterakannyalah akan mimpinya kepada baginda. Beberapa orang berahmana dipanggil oleh baginda, lalu ditanyakan baginda kepadanya apakah takbir mimpi itu. Sekalian berahmana itupun membuka bukunya, menggeleng-gelengkan kepalanya, menggertakkan kakinya, lalu berkata, katanya : “Ya tuanku syah alam, tuanku akan dikurniai seorang putera. Kemudian hari akan menjadi seorang alim besar atau raja yang akan memerintahi segala penjuru dunia. Mendengar keterangan brahmana yang banyak itu, bagindapun amat besarlah hatinya. Baginda menghadiahkan harta yang amat banyaknya kepada brahmana itu. Sekalian fakir miskin tak dilupakan oleh baginda."

Tiada berapa bulan kemudian permaisuri Maya melahirkan seorang putera laki-laki dengan selamat. Baru saja lahir, dinamailah oleh baginda putera baginda itu Siddharta. Segala raja-raja dan orang-orang alim di India datanglah keistana raja Syodhodana akan memberi selamat kepada baginda dan akan mendoakan, mudah-mudahan putera baginda berbahagia hidupnya.

Putera raja itu, baik tentang hal yang biasa, baik tentang badan dan budi pekertinya, tak ada yang melebihinya. Tatkala ia berumur delapan belas tahun, bermaksudlah ia hendak beristeri. Dengan segera dipilihnyalah puteri Josodhara, yang amat cantik parasnya akan menjadi isterinya. Tetapi akan mengambil puteri Josodhara itu untuk isterinya tidaklah mudah. Siddharta harus menang dalam beberapa perlombaan yang akan diadakan oleh bapak Josodhara. Mula-mula perlombaan memanah.

Pada hari yang ditentukan datanglah kekota Kapilawastu segala ahli memanah kerajaan Kosala hendak mengadu untungnya. Mereka itupun mencobalah berganti-ganti memanah alamat yang amat jauh diletakkan, yaitu sebuah gendang yang terbuat dari kuningan. Hampir semuanya mereka itu mengenai mata alamat itu. Sesudah habis semuanya memanah, datanglah giliran Siddharta akan memperlihatkan kepandaiannya. Alamat itu disuruh letakkan oleh Siddharta dua kali sejauh dari yang tadi. Sesudah itu diambilnyalah sebuah panah. Tetapi panah itu patah tiba ditangannya. Panah yang dipegangnya patah semuanya. Kemudian diambilnyalah sebuah panah yang amat besar dan berat dari dalam sebuah kuil, yang amat tua. Tak seorang juga dapat mengangkat panah itu, apalagi memanahkannya. Tetapi dengan mudahnya juga Siddharta mengangkat panah itu, lalu alamat itupun dibidiknyalah. Sebagai kilat, panah itupun terlepaslah dari busurnya, mengenai alamatnya ditengah-tengah betul. Anak panah itu tidak saja menembus gendang kuningan itu, malahan melayang pula beberapa jauhnya. Siddhartalah yang menang dalam perlombaan memanah itu.

Dalam perlombaan yang lainpun, seperti perlombaan berhitung, bermain pedang, berpacu kuda, Siddhartalah selalu yang menang.

Siddhartapun didudukkanlah dengan puteri Yosodhara. Bersama-sama dengan isterinya tinggallah ia dalam istana ayahnya di Kapilawastu.

Akan tetapi baginda Syodhodana sangat khawatir putera baginda Siddharta akan dirusakkan oleh dunia yang busuk ini; kalau-kalau kejahatan, kemiskinan dan bahaya yang lain akan merusakkan budi dan kalbu putera baginda. Oleh sebab itu disuruh buatlah oleh baginda dinding tembok yang amat tinggi sekeliling istana, yang dijaga oleh berpuluh-puluh orang pengawal.

Maka putera raja itupun tinggallah dengan selamat sejahteranya bersama-sama dengan isterinya dalam istana itu. Akan tetapi pada suatu hari terbitlah keinginan dalam hatinya hendak mengetahui keadaan diluar negeri itu. Rajapun mengabulkan permintaan anakanda baginda itu, akan tetapi sebelum ia meninggalkan istana, diperintahkan oleh raja menghiasi kota, sebagai menghiasinya ketika mengadakan perayaan besar. Segala orang yang sakit, miskin, pincang, buta, dsb. hendaklah disembunyikan, tak boleh tampak oleh putera baginda. Setelah selesai semuanya, maka duduklah Siddharta diatas rata(kendaraan)nya, yang dihela oleh beberapa ekor sapi, lalu berjalan sekeliling kota.

Tiba-tiba kelihatan olehnya seorang-orang tua, yang amat kurus, belakangnya telah bungkuk karena tuanya. Sambil mengulurkan tangannya menyembahlah ia dengan suara yang sayup-sayup sampai, sembahnya : Ya tuanku, berilah patik ini sedekah barang sedikit. Tak tertahan lagi lapar oleh patik. Besok atau lusa tentulah patik akan mati.

Putera raja menyuruh menterinya memberi orang tua yang miskin itu sedekah banyak-banyak. Sudah itu bertanyalah kepada menterinya itu, tanyanya : “Manusia jugakah yang kamu beri sedekah itu? Belum pernah saya melihat orang seperti itu?”

“Sesungguhnyalah ia manusia, tuanku”, jawab menterinya. Sekalian manusia akan jadi tua, lemah dan buruk seperti orang itu.

Mendengar perkataan menterinya itu, Siddharta tak senang hatinya lagi, dan dengan sedih serta masygulnya pulanglah keistana, sambil memikirkan hal yang dilihatnya itu.

Tiada berapa lamanya sudah itu, maka dimintanyalah kepada ayahanda baginda, Raja Syodhodana, akan mengijinkan melihat-lihat kota sekali lagi. Ia menyamarkan dirinya sebagai seorang saudagar dan bersama-sama dengan menteri yang pergi dengan dia dahulu itu, pergilah ia melihat-lihat kota masuk kedalam lorong-lorong berjalan kaki saja. Amat senang hatinya melihat penduduk kota itu hidup dalam kemakmuran dan kesenangan. Tetapi sekonyong-konyong terdengar olehnya tidak jauh dari padanya orang berseru-seru, katanya : “Tolonglah aku bawa kerumahku, sebelum aku mati.” Tangannya dilambai-lambaikannya kepada baginda.

“Apa pula itu?” Tanya baginda. “Belum pernah kulihat.”
Maka sahut menteri baginda : “Ya tuanku! Orang itu sakit keras tuanku.”
“Dapatkah penyakit itu menghinggapi segala manusia?” Tanya baginda pula.
“Dapat tuanku”, jawab menteri. “Penyakit itu adalah sebagai harimau yang berjalan-jalan dalam hutan mengintai mangsanya. Segala orang dapat diserangnya. Orang yang sakit itu tentu tidak lama lagi akan mati.”

“Apa mati? Apa pula itu?” Tanya baginda. “Cobalah ceriterakan!”
Sambil menunjuk kepada sebuah usungan orang mati yang dipikul orang kekubur, berkatalah menteri itu: “Lihatlah tuanku. Yang dipikul orang itu ialah usungan orang mati. Orang yang diletakkan dalam usungan itu sudah mati, tak bernyawa lagi. Yang mengiringkan dibelakang itu ialah kaum keluarganya yang sedang dalam berdukacita. Orang yang sudah mati itu nanti akan diletakkan diatas unggunan kayu yang besar dan tinggi ditepi sungai akan dibakar. Jikalau sudah dibakar tak ada lagi yang tinggal lain daripada setumpuk abu saja.”

“Akan matikah manusia ini semuanya?” Tanya baginda.
“Ya, tuanku”, jawab menteri itu.
“Akupun akan mati juga?” Tanya baginda.
“Ya, tuanku”, jawab menteri itu dengan takutnya.

Dengan amat bersedih hati pulanglah putera Siddharta kembali keistana. Dalam hatinya sudah timbul maksud akan mencari daya upaya, akan menghindarkan manusia daripada segala macam penyakit, kesusahan, kesedihan dan mati.

Pada suatu hari, waktu ia sedang tercenung memikirkan peristiwa yang menyedihkan, yang dilihatnya dahulu itu, terdengarlah olehnya suara membisikkan kedalam sukmanya : “Pilihlah olehmu mahkota atau tongkat orang miskin. Kalau kamu hendak menjadi seorang raja yang terbesar didunia ini pilihlah olehmu mahkota. Tetapi,kalau kamu hendak melepaskan manusia dari segala malapetaka, pilihlah olehmu tongkat orang miskin dan tempuhlah jalan yang sunyi dan tinggalkanlah istanamu yang indah, yang penuh dengan bunyi-bunyian dan nyanyian yang menggirangkan hati itu.”

Maka ditetapkannyalah hatinya, lalu dipilihnya yang kedua, yaitu menempuh jalan yang sunyi, menolong dan melepaskan manusia daripada sengsara. Dengan perlahan-lahan pergilah ia kepada isterinya; maka tampaklah olehnya isterinya sedang tidur diatas tilam bunga mawar,berdua dengan anaknya yang baharu lahir. Dengan sedih yang tiada terkira-kira ditinggalkannyalah anak dan isterinya dan segala yang dikasihi dan disayanginya di-istana itu. Sudah itu pergilah ia kepintu gerbang kuningan yang dijaga oleh tiga orang pengawal. Waktu itu angin berhembus sepoi-sepoi basah. Karena dihembus-hembus oleh angin itu, ketiga pengawal itupun mengantuklah dan tiada berapa lamanya kemudian tertidurlah ia dengan nyenyaknya. Tiada mereka itu tahu, bahwa putera raja sudah keluar, meninggalkan istana yang bagus itu.

Setelah tiba ia diluar istana, maka ditukarnyalah pakaiannya dengan pakaian orang minta-minta, lalu diteruskannyalah perjalanannya seorang diri. Tiba-tiba datanglah iblis membujuknya, katanya :”Pulanglah kamu kembali keistana, keriangan dan kesenangan menunggumu disitu.” Tetapi bujukan iblis itu tak diindahkannya. Diteruskannya juga perjalanannya. Maka sampailah ia kenegeri lain. Iapun diamlah dalam sebuah gua akan bertapa, tepekur, menyiksa dan membersihkan dirinya.

Kemudian ditinggalkannya pulalah gua itu. Dari jauh kelihatan olehnya sebatang pohon yang amat rimbun daunnya. Pohon itu ialah pohon “bodi” (beringin). Disitulah ia tepekur dan menghukum dirinya pula. Dibawah pohon “bodi” itulah ia menerima ilham, sehingga ia dapat menjawab segala macam masalah hidup.

Iapun menjadi Buddhalah, yakni seorang yang sadar dari kejahilan.

Batang kayu bodi, tempat Buddha tepekur itu sampai sekarang ini masih dapat ditunjukkan orang di Hindustan.

Akhirnya sampailah Buddha ke Benares dan disitulah ia mulai mendapat murid-murid sehingga bertambah lama bertambah kembang juga agamanya.

Yang diajarkannya ialah membenci segala kejahatan, mempelajari serta mengusahakan yang baik-baik, menyucikan dan membersihkan hati. Demikianlah isi agama Buddha itu.
Larangannya yang Utama adalah lima perkara :
Engkau tiada boleh membunuh;
Engkau tiada boleh mencuri;
Engkau tiada boleh berlaku dukana;
Engkau tiada boleh berdusta;
Engkau tiada boleh meminum minuman yang memabukkan.

Dalam umur delapan puluh tahun, yaitu 480 tahun sebelum Nabi Isa a.s., meninggallah ia.



Bersumber dari buku “Tjeritera Goeroe”

Selasa, 24 April 2012

Beruk dan Kura-kura

Tersebutlah ditepian sebuah sungai , hiduplah seekor kura-kura.
Ia juga mempunyai teman seekor Beruk. Tetapi persahabatan keduanya tidaklah berjalan mulus sebagaimana umumnya. Diantara keduanya ada tumbuh rasa saling tidak percaya.

Suatu hari si Kura-kura menemukan sebuah pohon pisang yang lagi berbuah, dan sudah kelihatan beberapa diantaranya sudah mulai masak. Hatinya sangat ingin sekali untuk memetiknya, namun apa daya keberadaan dirinya tidaklah memungkinkan untuk hal tersebut. Dicarinya akal, sampai akhirnya ia teringat bahwa dirinya mempunyai seorang teman, yakni si Beruk. Maka pergilah ia untuk mencari keberadaan si Beruk, ketempat dimana dia sering bertemu, bermain-main dan duduk-duduk disitu.

Akhirnya ia bertemu juga dengan si Beruk, dan serunya : “Beruk! aku tahu ada pohon pisang yang lagi masak. Ayo sekarang kesana, kita ambil buahnya dan kita bagi bersama!”

Begitu tiba ketempat yang ditunjukkan si Kura-kura, maka segera meloncat dan memanjatlah Beruk ketas pohon pisang, dengan membawa sebuah buntil. Sedangkan Kura-kura menunggu dibawah, sambil melihat menengadah keatas, memperhatikan pekerjaan si Beruk.

Hampir habis dan dirasa sudah cukup banyak buah pisang yang dimasukkan kebuntil tersebut, namun buntil tersebut tidak juga kunjung penuh. Akhirnya si Beruk mengetahui bahwa pada buntil tersebut sudah dilobangi dibagian bawahnya, dan si Kura-kura dibawah sedari tadi sudah bersiap menangkap pisang yang lolos dari buntil tersebut, dan langsung menyantapnya. Mengetahui itu, Beruk jadi marah sekali; melihat hal itu, si Kura-kura pun segera melarikan diri dan meluncur menghilang kedalam sungai.

Beberapa waktu kemudian , mereka berdua sudah melupakan kejadian yang lalu. Dan Kura-kura mengutarakan lagi, bahwa ia mengetahui ada pohon pisang yang lagi berbuah masak. Namun kini Beruk memeriksa keutuhan buntil yang hendak dipakainya. Setelah yakin baik, barulah ia mulai memanjat keatas batang pisang. Kali ini si Beruk lama sekali dalam memetik pisang. Ia berputar-putar melihat pisang tersebut, sambil memetik, dan memasukkannya kedalam buntil. Hingga Kura-kura yang sedari tadi menengadah keatas kemudian bertanya : “Kok…, lama sekali memetiknya, wahai Beruk?”
“Oo.. iya, agak sulit memetiknya!” jawab si Beruk.

Setelah dirasa perutnya kenyang, maka Beruk pun lalu menurunkan buntil yang berisi kulit pisang melulu dan hanya beberapa buah pisang saja yang disertakannya. Mengetahui hal itu, Kura-kura pun menjadi  marah pula, dan langsung melempari Beruk berulang-ulang, dengan kulit buah pisang.
Secepat itu pula,  Beruk pun segera melompat dari dahan ke dahan yang lain, sambil mengucapkan : “Terimakasih, ya Kura-kura!”

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia bergumam sendiri : “Aku mendapat balasan yang setimpal, atas perbuatanku. Skornya, satu lawan satu”.
“Aku tidak boleh terus-menerus berperilaku begini”.
“Ya….., aku harus merubah pola pikirku. Dari saling curiga, kepada…… saling percaya.
Ya….., harus aku mulai dari sekarang.
Tuhan ………, tunjukkanlah kami kepada jalanMu yang lurus!” . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


Sebuah saduran bebas dan ringkasan, dari (seingat kami) buku  “Nasehat Ibu”

Rabu, 18 April 2012

Siapa yang lemah harus cerdik.


Disebuah hutan ditepi pantai, diantara penghuninya, terdapatlah juga seekor kera. Dalam mencari makanan dihutan tersebut, ia haruslah beradu nyali, bersaing dengan penghuni-penghuni hutan yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa pada kehidupan binatang-binatang dihutan, hukum-rimba lah yang berlaku, siapa yang kuat maka dialah yang akan menang.

Tak kala musim buah mendekati usai, si Kera itupun mulai kesulitan juga untuk mendapatkan makanannya. Melongok kepantai kelihatan sepi-sepi saja. Menoleh keseberang, nampaklah sebuah pulau kecil yang tidak begitu jauh letaknya, pantainya landai, disitu terdapat juga hutan kecil yang banyak ditumbuhi juga oleh beberapa jenis pepohonan buah-buahan. Hampir tidaklah ada binatang-binatang sejenis Kera, Harimau, Singa, Gajah, Banteng, Jerapah, dan semacamnya yang tinggal disitu. Penghuninya hanyalah buaya-buaya, yang sesekali tampak berjemur disepanjang pantai tersebut, dan beberapa kelompok burung-burung kecil yang hanya terkadang saja singgah hanya sebentar.

Namun keberadaan buah-buahan masak yang merah merona tersebut, dan tidak pernah terjamah itu, selalu mengusik hati si Kera itu berbuat nekad untuk menyeberang kesana.

Mau berenang tidaklah mungkin, karena perairan disitu banyak dihuni oleh buaya. Kalau pun memaksakan diri , tentulah akan menjadi sasaran empuk untuk dimangsa oleh buaya-buaya itu.

“Seandainya punya sayap, tentu aku sudah terbang kesana!”, gerutu dari si Kera itu.

“Yaa……, bagai pungguk merindukan bulan”, bergumam ia. Tapi aku tidaklah boleh begitu, karena orang tuaku pernah memberikan nasehat, bahwa “Siapa yang lemah, harus cerdik”. Aku harus berusaha : “Jangan menyerah …….., SEMANGAT-SEMANGAT!!”; sambil mengepalkan kedua tinjunya, dan tangannya diacung-acungkan keatas.

Sebegitu seriusnya, hingga ia tidak menyadari keadaan disekitarnya. Kemudian...., ia dikejutkan ketika terasa pundaknya ada yang menepuk dari belakang, dan terdengar seruan : “Hai Kawanku, kelihatannya serius sekali, sampai aku yang datangpun tidak dipedulikannya lagi!”

“Hai kak Garuda!, kiranya engkau yang datang, tinggal dimana engkau sekarang?”

“Aku rindu teman2ku disini, teringat ketika masa kecilku dahulu bermain-main denganmu. Sekarang aku berada tinggal di Pulau seberang yang cukup jauh letaknya dari sini. Dan…, ada apa dengan dirimu?” Tanya si Garuda.

Maka diceriterakannyalah apa yang sedang dirasakan olehnya, kepada si garuda.

“Aku bermaksud, mau pindah kesana!” jawab Kera.

“Ayo naiklah kepunggungku, akan kuantar kamu kepulau itu sekarang juga” timpal si Garuda.

Setelah sampai keduanya keseberang, dan berbincang-bincanglah mereka menceriterakan pengalamannya masing-masing, sebagai pelepas rindu kepada sahabatnya. Setelah dirasa cukup, maka si Garuda mohon pamit untuk meneruskan perjalanannya.

Si Kera senang bukan kepalang dipulau itu, menjadi raja kecil laiknya. Ia melompat kesana kemari, sesuka hati, memilih buah-buahan masak yang disukainya. Tiada sesuatu pun yang mencegahnya.

Namun segala sesuatu yang ada didunia itu juga tidak bisa lepas sebagai apa yang sudah digariskan olehNya, tidaklah kekal. Setelah beberapa bulan tinggal disitu, lambat-laun buah-buahnya mulai menipis juga. Dan musim (buah) pun juga sudah mulai berganti.

Rasa gelisah dan takut pun mulai datang menghantui kepadanya. Buah-buahan tinggal sedikit, tak ada pilihan makanan lagi, jauh dari teman dan sanak saudara, dan …., dan… seterusnya. Bayangan-bayangan dan rasa kuatir datang dan datang menggelayuti benak pikirannya. Mau kembali ketempat pulau asal, tapi bagaimana lagi caranya?!

Pesan orang tuanya kembali terbayang olehnya, “Siapa yang lemah, harus cerdik.”

“SEMANGAT-SEMANGAT!!”; Dan dengan mengepalkan tinjunya, kedua tangannya diacung-acungkannya keatas.

Dengan langkah gontai, digerakkannyalah juga kakinya menuju kearah kepantai. Ketika dilihatnya banyak Buaya-buaya yang berjemur ditepian pantai, lalu ia mulai naik keatas pohon, dan melompat dari dahan ke dahan hingga kesebuah dahan besar yang menjulur kepantai. Dan tepat dibawahnya, nampaklah disitu buaya-buaya itu berada.

“Hai Sang Buaya, anda sekarang kok terlihat lemah dan tidak berdaya begitu?” sapa si Kera.

“Apa yang kamu katakan? Bukankah kamu tahu, bahwa akulah penguasa, dan raja dipulau ini!” jawab Buaya.

Kera : “Iya, kan hanya dipulau ini saja? bukan dipulau besar yang diseberang itu.”

Buaya : “Disini, dan diseberang itu juga! Kamu belum tahu seberapa kekuatanku dan banyaknya rakyatku. Besok akan aku kumpulkan mereka semua dipulau ini, agar kamu ketahui!”

Jawab Kera : “Baiklah, akan aku hitung seberapa banyak kekuatannya.”

Esok harinya mulai berdatanganlah para buaya-buaya itu memenuhi pesisir pantai pulau itu.

Ungkap si Kera : “Lho…, kok begini…..; bagaimana bisa aku menghitung jumlahnya?”

Lanjut si Kera: “Sebaiknya kesemuanya berbaris berjajar, dari pinggir pulau ini hingga kesana, di pulau seberang! Agar supaya aku bisa mudah untuk menghitung jumlah Buaya kesemuanya”

Tanpa ada prasangka apapun, segera mulailah mereka berbaris berjajar hingga kepulau seberang sana itu. Dan kemudian turunlah si Kera dari atas dahan, dan mulai melompat kepunggung buaya satu persatu, serta dengan suara lantang mengucapkan hitungan : “Satu….., dua….., tiga…., empat…., lima…., enam…., tujuh….., delapan…., sembilan…., sepuluh…., sebelas…., dua belas…………..” dst., hingga akhirnya sampailah ia kepada hitungan terakhir keseberang pulau itu.

“Wah, ternyata banyak sekali rakyatnya, hingga aku menjadi kehabisan napas dan suara untuk menghitungnya!”

Sembari melompat keatas dahan ditepi pantai itu, si Kera berucap :

“Sekarang, sebaiknya beristirahatlah dulu teman-teman Buaya; dan aku akan menyampaikan hal ini kepada sang Raja Rimba!”

Kemudian, berlalulah si Kera melompat kedahan-dahan berikutnya, masuk ketengah hutan.



Sebuah saduran bebas, dari tjeritera Guru.



Sabtu, 14 April 2012

Bagaimana mendidik anak

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah

Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian

Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri

Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan

Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan

Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan

Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran


Dorothy Law Nolte.


oleh Setitik Embun Inspirasi pada 12 Oktober 2010 pukul 19:23 ·

http://www.facebook.com/notes/setitik-embun-inspirasi/bagaimana-mendidik-anak/441255701217