Di Genua, sebuah Bandar dipinggir Laut Tengah, dia seorang tukang
tenun, Columbus namanya. Ia tinggal dalam sebuah rumah kecil yang amat
bersahaja, bersama-sama dengan isterinya dan seorang anaknya laki-laki yang
baru berumur delapan tahun. Rumah yang besar dan bagus tak tersewa olehnya,
karena hasil kain dan lakan yang ditenunnya tidaklah banyak, hanya cukup
untuknya hidup bertiga beranak saja. Sebab itu mereka itu terpaksa bekerja
dengan rajin. Kalau anaknya, Christoforus namanya, pulang dari sekolah,
duduklah ia dekat tempat bapaknya bekerja dan menolongnya. Dirumah tak ada
waktunya lagi untuk menghapalkan pelajaran sekolahnya. Yang dapat olehnya
hanyalah membaca, menulis dan berhitung saja. Tetapi ketiga pengetahuan itu
cukuplah untuk memperluas pengetahuannya.
Kalau ada waktunya terluang, pergilah ia dengan kawan-kawannya
ketepi pantai akan mandi dan berenang-renang dengan riangnya. Acapkali terdiri
saja ia melihat kelaut yang luas dan biru itu. Ingin melihat keadaan
negeri-negeri dan orang yang ada disitu. Kalau ia duduk bekerja dihadapan
perkakas tenunnya, acap kali ia dimarahi oleh bapaknya, karena salah
pekerjaannya, sehingga banyak benang yang kusut. Pikirannya melayang-layang
jauh keseberang lautan. Entah bilamana maksudnya akan dapat disampaikannya.
Sampai berumur dua puluh tahun ia bekerja bertenun itu membantu
bapaknya. Ketika itu ia seorang muda yang besar tegap dan berani. Bertenun
kurang suka ia lagi.
Pada suatu hari termenung pula ia dimuka perkakas tenunnya.
Tiba-tiba berdirilah ia, dan benang yang masih dalam tangannya diletakkannya.
Lalu berkatalah ia kepada bapaknya, katanya : “Bapak, pekerjaan ini sebenarnya
bukanlah pekerjaan saya, melainkan pekerjaan perempuan, atau orang yang lemah,
tidak seperti saya, besar dan tegap. Tak sepadan pekerjaan ini dengan tenaga
saya. Sebab itu bapak izinkanlah saya mencari pekerjaan lain. Sampai sekarang
ini yang terkenang oleh saya ialah hendak menyeberangi lautan yang besar,
hendak melihat-lihat negeri orang akan mengetahui keadaan disitu serta
penduduknya.”
Bagaimana juga ayahnya melarangnya pergi, tetapi sia-sia saja,
maksudnya akan disampaikannya juga.
Sebab dilihatnya anaknya keras benar hendak pergi berlayar itu,
berkatalah ia, katanya : “Sekarang saya izinkanlah engkau pergi. Baik-baiklah
dijalan. Saya lepas engkau dengan do’a, mudah-mudahan selamat engkau pulang
pergi.” Iba betul hatinya melepas anaknya pergi itu, tetapi tidak
diperlihatkannya, karena takut ia anaknya akan berangkat dengan bersusah hati.
Sambil mengepit sebuah bungkusan kain pergilah ia kepelabuhan.
Kebetulan hari itu ada sebuah kapal yang hendak berangkat. Waktu didengarnya
kabar itu, pergilah ia menghadap nachoda kapal itu akan minta menjadi kelasi.
Karena nachoda itu lagi perlu lagi seorang kelasi yang berbadan tegap dan kuat,
iapun diterimanya bekerja dikapal itu. Kapal yang ditumpanginya itu ialah kapal
kecil kepunyaan seorang bangsa Italia.
Itulah permulaannya Christoforus Columbus mengarungi lautan yang
luas. Bertahun-tahun ia tak pulang. Banyak pulau dan kota besar-besar yang
sudah dilihatnya. Tetapi tidak juga bosan-bosannya. Rupanya tak tertinggalkan
lagi laut olehnya. Niatnya akan pergi keujung dunia. Jauh disana dibalik
lautan. Niat yang sejak kecilnya dimimpi-mimpikannya itu akan disampaikannya
juga. Sebab kapal Italia tempatnya bekerja itu hanya berlayar sekeliling laut
tengah saja, pindahlah ia bekerja kekapal orang Portugis, karena orang
Portugis termasyhur sebagai pelayar yang berani, tak takut akan angin topan dan
ombak yang serumah-rumah tingginya. Bertahun-tahun pula ia bekerja disana.
Anak tukang tenun yang dahulu itu, ketika itu sudah menjadi
seorang orang laut. Kulitnya yang putih dahulu sudah menjadi merah tua; bahunya
bidang, badannya tinggi, besar dan tegap.
Sepuluh tahun kemudian ia sudah menjadi nachkoda kapal, kepunyaan
seorang Portugis. Dengan kapal itu ia berlayar menyusur pantai Afrika Barat
sampai ke Tanjung Pengharapan.
Setelah ia berumur 35 tahun, kawinlah ia dengan seorang gadis
bangsa Portugis. Dibuatnyalah sebuah rumah yang bagus dipulau Porto Santo,
sebuah pulau di Portugis juga. Jendela kamar tempatnya bekerja dihadapkannya
kebarat, sehingga laut Atlantik yang luas itu selalu dapat dilihatnya. Diatas
mejanya terletak sebuah peta, yang diperolehnya dari seorang sahabatnya, guru
besar sekolah tinggi di Perancis. Menurut peta itu adalah bumi itu bulat
bangunnya seperti limau(jeruk). Menurut pikirannya demikian pula. Sebentar-sebentar
melihat ia kepetanya, sesudah itu kelaut Atlantik yang biru itu.
“Jauhkah barangkali letaknya pulau yang diseberang ini?” tanyanya
sama sendirinya. Dibukanyalah sebuah buku lama, lalu dibacanya. Kebetulan
terbalik olehnya halaman yang berisi ceritera Marcopolo. Kira-kira dua ratus
tahun yang lalu dimulainya perjalanannya menuju ketimur. Mula-mula dengan kapal
di Laut Tengah, kemudian berjalan kaki. Maka sampailah ia kepantai negeri
Tiongkok. Jauh ditengah laut kelihatan olehnya berpuluh-puluh pulau. Sebuah
diantara pulau yang banyak itu dinamainya Zipangoe. Dari negeri Tiongkok
diteruskannya perjalanannya ke Indonesia yang kaya raya; maka sampailah ia ke
Pasai, yang letaknya disebelah utara tanah Aceh. Beberapa pelayar orang
Portugis sudah juga mencoba pergi ke Indonesia. Jalannya menanjung Benua Afrika
Selatan, tetapi sampai waktu itu maksudnya belum juga tercapai.
“Marcopolo, menuju ke
Timur”, kata Columbus dalam hatinya. “Saya akan mencoba berjalan ke Barat.
Tentu saya akan sampai juga ke Indonesia. Barangkali lebih lekas lagi dari
Marcopolo.” Tak tertidur ia sekejap juapun, memikirkan hal itu. Tetapi apakah
akalnya hendak menyampaikan maksudnya? Tentulah perjalanan itu akan besar
biayanya. Uang ada padanya, tetapi untuk membelanjai perjalanan sejauh itu
tentu tak cukup ……..
Didalam sebuah bilik yang besar dan bagus, diistana Yang Mahamulia
Seri Baginda Djohan II, Raja Portugis, pembesar negeri beserta dengan raja
sedang duduk bermusyawarah. Rupanya ada suatu hal yang penting, yang sedang
dibicarakan. Waktu itulah, tanggal 8 Bulan VIII 2143, Columbus akan datang
menghadap raja mencurahkan niatnya serta minta tolong dan bantuan kepada
baginda raja.
Kira-kira pukul sepuluh pagi sampailah Columbus kesitu. Setelah ia
dipersilahkan raja akan berbicara, maka berdirilah ia; peta besar yang
dibawanya dikembangkannya sekali. Maka diceriterakannyalah akan maksudnya.
Waktu Columbus menceriterakan bahwa bumi ini bulat seperti limau, maka yang
hadir tertawa gelak-gelak, karena pada pendapatannya dunia ini tidak bulat,
melainkan pecak seperti daun meja, terapung-apung diatas laut. Bagaimana juga
Columbus menerangkannya, mereka itu tak percaya juga. Bulatlah pembicaraan
mereka itu akan menolak permintaan Columbus itu. Dengan hampa tangan
berangkatlah Columbus, meninggalkan istana itu.
Sungguhpun begitu ia tak juga berputus asa. Pergi pula ia
menghadap raja Spanyol, lalu diceriterakannya pula maksudnya. Tetapi tak
berhasil juga. Semuanya mengatakan, bahwa Columbus sudah gila, karena
angan-angannya.
Delapan tahun kemudian pergilah ia dengan seorang sahabatnya,
sahabat baik baginda raja perempuan Isabella, raja di Spanyol juga. Sahabatnya
itu menerangkan kepada baginda akan maksud Columbus. “Kalau maksud Columbus ini
berhasil, tentulah Spanyol akan menjadi kaya”, katanya. “Dan kalau maksudnya
tak sampai, tidaklah akan merugikan benar kepada Spanyol. Biaya yang akan
tuanku keluarkan untuk pelayaran Columbus ini tidaklah berarti kalau
dibandingkan dengan kekayaan negeri kita, apalagi Spanyol baru-baru ini sudah
pula menaklukkan Granada.”
Bagindapun bermusyawarahlah dengan pembesar-pembesar negeri
Spanyol. Putuslah mupakat mereka itu akan mengabulkan permintaan Columbus.
Delapan belas ribu rupiah diberikan kepada Columbus untuk perjalanannya itu.
Tanggal 2 Bulan VIII 2152 diadakanlah diistana raja perjamuan
besar. Sekalian pembesar-pembesar negeri dan sahabat kenalan Columbus datanglah
kesana akan menghadiri perjamuan itu dan akan mengucapkan selamat jalan
kepadanya. Tengah malam barulah dihabisi dengan do’a selamat.
Keesokan harinya, hari Jum’at tanggal 3 Bulan VIII 2152,
berduyun-duyunlah orang pergi kepelabuhan, akan melepas Columbus, berlayar
mengarungi lautan besar, akan mencari negeri baru itu.
Setelah siap semuanya, Columbuspun berteriaklah memerintahkan
menurunkan layar. Layarpun dikembangkan oranglah, dan kapal Columbuspun
bertolaklah lambat-lambat meninggalkan pelabuhan Spanyol. Orang-orang yang
berdiri ditepi pantai melambai-lambaikan tangannya tak putus-putusnya mereka
itu meneriakkan “Selamat jalan”.
Beberapa hari kemudian kelihatanlah oleh kita tiga buah kapal
layar, sebuah besar dan dua buah kecil, berlayar dengan angin turutan di Laut
Atlantik menuju kebarat. Dibagian depan kapal yang sebesar-besarnya antara
kapal yang tiga buah itu tertulis dengan huruf yang besar nama “Santa Maryam”.
Itulah nama yang diberikan Columbus kepada kapalnya. Berjalanlah ia pulang
balik digeladak kapal. Matanya ditujukannya kemuka. Tak lain yang kelihatan
olehnya, melainkan langit dan air yang biru saja. Keningnya dikerutkannya,
tetapi matanya tidaklah ruyup, seperti orang yang putus asa, melainkan bercahaya-cahaya,
penuh dengan kegembiraan dan pengharapan. Dilupakannya yang sudah-sudah dan
disatukannya pikirannya menunggu apa yang akan jadi.
Kepada anak-anak kapal diterangkannyalah dengan sejelas-jelasnya,
bahwa bumi ini bulat, tidak pecak seperti pendapat kebanyakan orang waktu itu.
Tentulah mereka itu akan sampai juga ke Indonesia, yang letaknya disebelah
timur. Akan kaya-rayalah dan akan senanglah hidupnya pada kemudian hari.
Perkataannya itu sebagai cambuk dan menambah semangat mereka itu, karena sejak
itu mereka itu makin sungguh-sungguh dan hati-hati bekerja.
Anginpun bertiuplah dari sebelah timur, layar-layarpun
mengembunglah dan ketiga kapal itu meluncurlah kemuka dengan amat lajunya.
Makin lama makin jauh juga mereka itu menuju kebarat. Daratan sudah lama tak
kelihatan; kemana juga mereka itu memandang, hanyalah yang tampak air, air dan
langit saja. Mereka itupun takutlah. Tetapi seorangpun tak ada yang berani
menceriterakan hal itu kepada nachodanya. Columbus mulailah pula menghiburkan
hati mereka itu. Dua orang sahabatnya yang mengikut waktu itu turut pula
membantu Columbus menyenangkan hati mereka itu. Hati mereka itupun senanglah
dan penuh pula dengan pengharapan akan sampai kepulau emas yang seperti
diceriterakan oleh Columbus.
Tiga pekan sudah lamanya mereka itu berlayar. Dibiliknya, nachoda
kapal yang berani dan tetap hati itu selalu melihat peta yang terkembang diatas
mejanya. Berhelai-helai kertas penuh dengan garis, bundaran dan angka-angka.
Dihitungnya berapa mil sudah dilayarinya dan berapa lama lagi ia akan sampai
kelaut yang disebelah timur. Menurut pendapatnya sudah lama ia sampai kepulau
Zipangu, pulau yang dinamai oleh Marcopolon dahulu, waktu ia ditanah Tiongkok.
Amat heran Columbus memikirkan hal itu. Sudah selama itu ia berlayar, tetapi
sebuah pulau juapun tak kelihatan olehnya. Sesatkah ia agaknya? Salahkah
barangkali peta yang dikirimkan oleh temannya kepadanya? Iapun mulailah bimbang.
Tetapi tak diperlihatkannya. Pergilah ia kegeladak kapal mendapatkan anak-anak
kapal. Dirahasiakannya pendapatnya kepada mereka itu. Tak seorang juga dapat
melihat dari gerak-gerik Columbus, bahwa hatinya waktu itu kacau dan kusut
seperti benang. Begitulah pandainya nachoda itu menyimpan rahasianya.
Tetapi sungguhpun begitu, waktu mereka itu melihat Columbus
datang, berlari-larilah ia mengelilinginya dan meminta dengan sungguh supaya
Columbus suka memutar haluan, kembali pulang ke Spanyol, karena kalau terus
juga berlayar, tentu takkan ada kesudahannya; tak masuk pada pikiran mereka
itu, bahwa ia akan sampai kepulau dibalik laut yang luas itu.
Waktu Columbus mendengar perkataan mereka itu, sangatlah marahnya.
Sambil membelalakkan matanya yang merah padam cahayanya dan menghentamkan
kakinya kelantaui geladak kapal, berkatalah ia dengan keras suaranya, katanya :
“Tidak, kita tidak akan kembali. Pelayaran kita akan kita teruskan. Tidak lama
lagi kita akan sampai kepulau emas yang sudah lama menunggu-nunggu kedatangan
kita. Apa yang kamu takutkan, makanan masih cukup pada kita. Tetapkanlah
hatimu! Satukanlah pikiranmu kepulau emas yang akan menguntungkan dan
menyenangkan kamu dikemudian hari.”
Melihat ketetapan hati nachodanya, dan mendengarkan
perkataan-perkataan yang penuh semangat itu, mereka itu tak dapat berkata-kata
lagi. Seorang demi seorang mundur perlahan-lahan, pergi ketempatnya
masing-masing.
Haripun malamlah. Columbus masuk kedalam biliknya. Tetapi
sekejappun matanya tak dapat ditidurkannya, memikirkan masalah yang maha
penting itu. Akan diteruskannyalah niatnya itu, atau akan kembalikah ia ke
Spanyol? Kalau datang pikirannya hendak memutar haluan kapalnya, maka
terbayang-bayanglah diruang matanya beribu-ribu orang yang akan mentertawakan
dan mengejekkannya. Akan diteruskannya pelayarannya, tentu akan sia-sia saja.
Pulau Zipangu yang ada pada petanya menurut hitungannya sudah lama terlampaui.
Demikianlah seminggu lamanya. Bekal yang dibawanya sudah berangsur
kurang juga. Tak ada juga pulau kelihatan. Anak kapal itupun hilanglah
sabarnya, disesalinya Columbus dengan perkataan-perkataan yang tak patut
dikeluarkan oleh awak kapal kepada nachodanya. Seorang diantara mereka itu,
yaitu bekas orang kurungan, datang mendapatkan nachodanya itu hendak
memukulnya. Ialah yang menjadi kepala anak-anak kapal itu, dan yang mengajak
mereka itu memberontak. Tetapi Columbus lebih cepat dari padanya. Melompatlah
ia, ditangkapnya leher orang itu, lalu dihempaskannya kelantai. Dipijaknya
orang itu lalu berkata, katanya : “Hendak kau ajak orang memberontak, kau suruh
orang khianat kepadaku? Ingatlah, bahwa tak suka aku sekali-kali hal yang
seperti itu. Kamu tunggulah tiga hari lagi. Jika sesudah tiga hari tidak juga
kelihatan daratan, aku berjanji kepadamu sekalian memutar haluan dan pulang
kembali.”
Seorangpun tak ada yang menjawab. Semuanya menundukkan kepalanya
dan mundur perlahan-lahan.
Malam yang pertama petang Senin malam Selasa, tanggal 9 Bulan X
duduklah Columbus berlutut dibiliknya. Ditadahkannya tangannya kelangit,
bermohon kepada Tuhan, supaya maksudnya disampaikannya. Besoknya pagi-pagi
hari Rabu tanggal 10 Bulan X, hari yang keenam puluh delapannya mereka itu
meninggalkan Spanyol, pergilah mereka itu keatas geladak, akan melihat adakah
tanda-tanda bahwa mereka itu sudah dekat kepada sebuah pulau. Tetapi tak ada
yang kelihatan, lain dari pada air dan langit, langit dan air. Haripun malamlah
pula. Tinggal dua hari lagi, mereka itu akan kembali ke Spanyol dengan tak
mencapai maksudnya.
Keesokan harinya, hari Kamis, pergilah pula ia kegeladak kapal.
Kira-kira pukul sebelas seorang diantara anak kapal “Pinta”, sebuah diantara
kapal yang tiga itu berteriak dengan tiba-tiba : “Hai, lihatlah itu ada
sebatang kayu, penuh dengan daun dan buah-buahan. Tentulah tak jauh dari sini
ada pulau. Iapun melompatlah kedalam laut, berenang kekapal “Nani”, kapal yang
ketiga, akan memberitahukan hal itu. Tetapi dikapal “Nani” itu dilihatnya orang
berkerumun melihat sebuah tongkat yang berukir-ukir. Kabar baik itupun
disampaikanlah kepada Columbus dikapal “Santa Maryam”.
Mendengar kabar itu sekalian isi kapal “Santa Maryam” berbesar
hati. Sudah terang kepada mereka itu, bahwa ada pulau yang tak jauh lagi dari
tempat itu. Tetapi bilamanakah mereka itu akan sampai kesana, akan bertemu
dengan orang pulau itu?
Haripun mulailah petang. Petang berganti dengan malam. Seorangpun
tak mau turun kebawah. Semuanya tinggal digeladak kapal. Lapar tak terasa lagi
oleh mereka itu. Diatas geladak itulah mereka itu tertidur.
Pukul dua tengah malam terbitlah bulan dengan amat terangnya.
Apakah yang kelihatan oleh penjaga kapal, jauh disebelah barat? Bukankah itu
tepi daratan garis hitam yang kelihatan olehnya? Ah, alangkah bodohnya.
Bukanlah tepi daratan melainkan awan yang berarak-arak sangat tebalnya. Awan
itu main lama makin tinggi, akhirnya memecah dekat bulan. Makin nyata juga
kelihatan olehnya.
Tiba-tiba melompatlah ia, karena kebersaran hati, dibangunkannya
kawan-kawannya dan berteriak-teriak : “Hai bangun-bangun. Lihatlah itu daratan.
Tak salah lagi”, sambil menunjuk kegaris hitam yang disangkanya awan tadi.
Semua orang dikapal yang tiga buah itu bangunlah serta melihat kegaris hitam
yang ditunjukkan penjaga itu.
Sesungguhnyalah garis hitam yang kelihatan itu daratan juga.
Semuanya mereka itu berteriak-teriak karena riangnya : “Daratan, daratan,
daratan.”
Dikapal “Santa Maryam” sekalian anak kapal pergi kepada nachoda
Columbus, memeluk lehernya. Ada pula yang bergantung dibahunya yang lebar dan
kuat itu, sehingga ia hampir jatuh. Waktu itu lupa mereka itu, bahwa yang
dipeluk dan dipergantunginya itu ialah nachodanya. Air matanya berlinang-linang
dimatanya, tanda kegirangan.
Columbus turun kebawah dan masuk kedalam biliknya, lalu berlutut
dan menandahkan tangannya kelangit meminta syukur kehadirat Tuhan yang Maha
Esa, yang menyelamatkannya dalam pelayaran sampai kepulau emas yang selama ini diimpikan
itu.
Besoknya pagi-pagi berdayunglah tiga orang kepantai dalam sebuah
sekoci, yaitu Columbus dankedua sahabatnya.
Columbuslah yang memijak tanah lebih dahulu. Tiada berapa lamanya,
kelihatanlah dari kapal bendera Spanyol berkibar-kibar ditiup angin.
Waktu itu yaitu Jum’at tanggal 12 Bulan X 2152.
Orang yang tinggal dipulau itu dinamainya orang Indian, sebab
pikirannya ia sudah sampai di Indonesia, pada hal ia di Amerika ketika itu.
(Bersumber dari buku “Tjeritera Goeroe”)